"Hei! Gimana sih? Motor butut kok parkir di sini?!” teriak perempuan di dalam mobil dengan nada angkuh
Kemala yang baru saja memarkirkan motor di sudut kosong untuk membeli vitamin anaknya, sontak terkejut.
“Maaf, Mbak. Saya nggak lihat tadi,” katanya penuh sesal, meski dia tak salah.
Kesehariannya melayani pelanggan dengan baik selama ini, membuat Kemala terbiasa untuk meminta maaf terlebih dulu sebelum menanyakan apa yang menjadi keluhan mereka. Dan, Kemala yakin bahwa wanita di depannya kali ini pun juga seorang calon pelanggan apotek miliknya.“Tahu diri dong, motor butut tuh parkirnya jangan di sini. Agak jauh-jauh sana! Menuh-menuhin tempat aja. Untung, tadi aku nggak sampai nyenggol motor bututmu itu. Bisa-bisa lecet nih mobil baruku," ucap wanita itu lagi dengan nada semakin kasar.
Mendengar semprotan di siang bolong seperti itu, Kemala mengerutkan kening–bingung. Mau tak mau, wanita berumur 30 tahun itu pun memperhatikan wajah si wanita dengan seksama. Matanya segera membulat sempurna saat tiba-tiba pikirannya teringat pada sesuatu.
“Bukankah ini Irene?’ batin Kemala.
Tentu, Kemala tak akan pernah bisa lupa dengan rupa wanita yang telah menjadi selingkuhan mantan suaminya itu. Meski sudah beberapa tahun berlalu dan Kemala merasa sudah bisa melupakan sakit hatinya, sesekali dia masih bisa merasakan sesak di dada jika teringat kembali akan peristiwa itu.
Tak ingin berurusan dengannya, Kemala pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam apotek. Namun rupanya, Irene yang sedang dikuasai emosi tak rela membiarkannya pergi begitu saja. Saat Kemala baru beberapa langkah menuju pintu apotek, wanita angkuh itu langsung menyusulnya. Sepertinya, Irene semakin marah karena merasa diabaikan.
"Hei, mau ke mana kamu?! Enak aja main nyelonong!" teriak wanita itu dengan lantang.
Di sisi lain, Kemala yang masih berusaha mengendalikan diri untuk tak meladeni, terus saja berlalu. Bahkan, kali ini semakin mempercepat langkahnya. Tak disangka, Irene pun mengejar langkah cepat Kemala menuju pintu apotek. Wanita tak tahu malu itu langsung mencekal bahu Kemala untuk kemudian ditarik menghadap ke arahnya. Kemala yang tak menyangka akan diperlakukan seperti itu masih berusaha tetap tenang. Bagaimanapun juga, dia tak ingin menimbulkan keributan di tempat itu.
"Maaf Mbak, saya sedang buru-buru membeli obat untuk anak saya," kata Kemala–berharap Irene jadi merasa bersalah dan kemudian mengurungkan niat untuk bertikai dengannya.
Namun, bukannya minta maaf telah mengganggu privasi orang, Irene justru tampak tersinggung dengan cara Kemala menghindar darinya. Dipandanginya Kemala dengan tatapan tajam. Bahkan, setengah melotot dengan bola mata memerah. Hanya saja, itu tak berlangsung lama karena Irene segera menyadari ada sesuatu yang tak asing pada wanita di depannya.
Kini Irene rupanya juga telah menyadari bahwa wanita yang sedang mengenakan daster rumahan sedikit lusuh di depannya itu adalah mantan istri dari suaminya. Senyum Irene pun mulai mengembang seiring dengan ingatan akan kejadian demi kejadian di masa lalunya.
"Kamu itu ... Kemala, kan?"
Kemala sedikit kaget–tak menyangka bahwa Irene pun ternyata masih mengenalinya. Namun kesadaran sedang berada di tempat umum, membuatnya tak ingin berkonflik dengan wanita itu. Untuk itulah, Kemala memilih tak menjawab pertanyaan konyol Irene dan bergegas pergi ke dalam apotek dan langsung menuju ke seorang pegawai yang dilihatnya tak sedang melayani pelanggan.
“Mbak, tolong vitamin seperti biasa, ya?” ucapnya pada pada seorang pegawai apotek.
Gadis dua puluh tahunan dengan seragam setelan rok dan kemeja warna soft ungu lengkap dengan jilbabnya itu lantas tersenyum ramah dan kemudian menganggukkan kepala. “Baik, Bu.”
Kemala terlihat mengeluarkan beberapa lembar puluhan ribu dari dalam saku dasternya sesaat setelah si pegawai masuk untuk mengambilkan pesanannya. Meski ini adalah apotek miliknya, dia terbiasa “membayar” barang yang dikonsumsi agar alur kas usahanya tetap terjaga. Hanya saja, Kemala kembali dikejutkan dengan sesuatu yang menyenggol kasar bahunya.
Kemala tak menyangka bahwa ternyata Irene sepertinya masih begitu penasaran dengan perjumpaan mereka hari itu. Terbukti, wanita itu kini telah ikut berdiri di sebelahnya dan berdiri bersandar dengan angkuhnya di etalase apotek. Yang lebih membuat kesal, Irene terlihat memandangnya dengan tatapan sinis dari ujung kepala hingga kaki.
“Ngomong-ngomong, apa kabar kamu Kemala?” tanyanya dengan bibir tersenyum mengejek.
Kemala tahu, kalimat bernada seperti itu biasa diucapkan oleh orang yang ingin memancing emosi seseorang yang sedang diajaknya bicara.
Dengan tarikan nafas panjang, Kemala berharap dirinya masih akan tetap bisa mengendalikan diri. “Alhamdulillah baik.”
Irene malah terkikik mendengar jawaban itu. Entah apa maksudnya, tapi Kemala tak sedikitpun ingin meladeni semua hal provokatif yang keluar dari mulut wanita itu.
“Perasaan … kamu tuh makin lecek aja deh sekarang. Memangnya, nggak perawatan gitu? Atau jangan-jangan, udah nggak ada yang mau nafkahin kamu ya setelah Mas Keenan nggak ada? Duuh … kasihan bener,” ocehnya makin menjadi-jadi.
Kemala bahkan harus menghela nafas panjang berulang kali untuk tetap tak terpancing dengan kata-kata Irene. Dia sama sekali belum berniat untuk mengatakan apapun pada wanita itu. Justru, ingin rasanya Kemala cepat pergi saja dari apotek agar bisa segera menghindari Irene. Beruntung, si pegawai apotek datang sebelum Irene memprotes karena Kemala tak meresponnya sedikitpun.
“Ini vitaminnya, Bu,” kata pegawai tadi, hingga membuat Kemala langsung menyibukkan diri–memeriksa barang-barang yang diserahkan padanya itu.
“Oh iya, masih kurang satu lagi Mbak. Paracetamol ya, yang seperti biasa,” pintanya pada pegawai apotek setelah menyadari bahwa pesanannya ternyata belum lengkap.
“Baik. Maaf, tunggu sebentar saya ambilkan ya, Bu.” Pegawai apotek itu pun bermaksud hendak berlalu kembali ke dalam. Namun, Irene tiba-tiba berteriak padanya.
“Hei, tunggu! Aku duluan dong!” Irene menyodorkan secarik kertas dengan tulisan tangan dokter di atas etalase. Si pegawai pun mengamati benda tipis itu sebentar–baru kemudian memberikan respon.
“Tunggu sebentar ya, Bu. Antri dulu,” katanya dengan ramah. Setelah itu, dia bermaksud melanjutkan langkahnya lagi ke dalam. Namun lagi-lagi Irene berteriak padanya.
“Jangan gitu dong! Dia kan udah tadi. Gantian lah! Nih resepku!” Kembali Irene memegang secarik kertas di depannya, lalu mendorongnya ke depan.
“Iya Bu, tapi maaf antri dulu, ya? Saya ambilkan dulu paracetamol untuk Bu Kemala,” kata si pegawai apotek itu lagi.
Mendengar itu, Irene langsung mencebik karena merasa dinomor-duakan. Seketika, dia pun terbahak. “Halah … abaikan aja dia kenapa, sih? Lagian, dia beli apaan memangnya? Palingan cuma obat cacing, kan? Atau kalau enggak, obat batuk atau obat masuk angin. Biasa kan gitu penyakit orang kismin.”
Lagi-lagi, Kemala harus menarik nafas panjang mendengar ocehan Irene.Mungkin, jika saat ini tak sedang berada di tempat umum, dia akan marah juga dengan ejekan demi ejekan Irene. Tapi, Kemala tetap berusaha bersabar. Sayangnya, sementara Kemala terus berusaha mengendalikan diri, si pegawai justru terlihat tidak terima dengan perlakuan Irene padanya.
“Bu, mohon maaf. Tolong dijaga bicaranya. Kami melayani semua pelanggan di sini dengan perlakuan baik dan sama. Jadi, mohon jangan bicara yang menyinggung perasaan satu sama lain,” katanya.
Irene kembali terkekeh. Kali ini, bahkan lebih keras dari sebelumnya. “Apaan sih kamu ini, Mbak? Memangnya dia beli habis berapa? Coba dong kamu lihat dulu berapa yang akan aku bayar di apotek ini! Bandingin tuh sama punya dia! Berapa sih yang bisa dibeli orang miskin kayak dia, hah?”
Irene lantas melirik tas plastik di tangan Kemala dengan pandangan mencibir. Kemala sampai memalingkan muka melihat itu. Dia berusaha untuk tak melihat wajah nyinyir Irene yang pasti hanya akan membuatnya tak bisa mengendalikan diri lagi. Namun lagi-lagi, justru pegawai apotek itu yang bicara. Kali ini bahkan dengan nada sedikit tinggi.
“Tolong yang sopan ya, Bu! Bu Kemala ini pemilik apotek di sini. Anda sudah sangat keterlaluan!”
“Apa kamu bilang?! Pemilik apotek?” Wanita itu sepertinya sudah benar-benar dikuasai kesombongan. Bahkan, penjelasan dari si Pegawai Apotek yang segamblang itu pun tak lantas bisa membuatnya tersadar. Irene justru semakin terbahak usai mendengarnya. Padahal seandainya dia mau membuka sedikit saja matanya, Irene seharusnya bisa melihat bagaimana perlakuan para pegawai apotek pada Kemala memang tak seperti sedang melayani pelanggan biasa. Namun, Irene tetaplah Irene. Dia adalah tipe manusia yang selalu memandang segala sesuatu dari luarnya saja. “Bu Kemala memang pemilik apotek ini, Bu. Saya tidak mengada-ada,” kata pegawai apotek itu, berusaha terus menjelaskan. “Sudah Mbak, biarkan saja, tidak perlu dijelaskan. Tolong paracetamol-nya, ya?” Merasa tak mungkin bisa membuat Irene diam dan menyadari kesalahannya, Kemala pun harus turun tangan meredakan emosi salah satu karyawan apotek itu. Dengan wajah masih bersungut dan merah padam, si pegawai apotek segera menuruti permintaan Kemal
Melihat muka panik calon suaminya itu, Kemala justru terkikik. Apalagi setelahnya, Abimanyu segera memeriksa seluruh tubuhnya dengan membolak baliknya ke kanan dan kiri. Kemala makin tertawa geli melihat kelakuannya.“Apaan sih, Mas?” tanyanya sambil tak bisa menahan tawa.“Kamu kalau dibilangin, nggak mau nurut sih. Kalau mau kemana-mana tuh bawa mobil aja. Terus motor itu tuh, sudah berapa kali coba aku suruh jual aja? Lagian kan ada motor lain juga yang lebih bagus, kenapa masih suka pakai motor itu?” Lelaki itu mulai mengomel, membuat Kemala dan Mbok Narti langsung saling melempar senyum.“Tuh, Bu. Saya bilang juga apa? Kan saya juga udah bilang jangan pakai motor itu. Motor itu kan memang cuma saya aja yang bisa pakai,” kata Mbok Narti, membela diri.“Ah Simbok nih ada-ada aja. Lagian kan Mbok sendiri yang nggak mau motor itu diganti, ya kan? Tuh Mas, marahin tuh Si Mbok. Suruh siapa motornya nggak mau diganti hayoo? Dia yang ngeyel pengen tetap pakai motor itu. Marahin tuh, Mas!
"Kurang aj*r! Bener-bener kur*ng ajar!" Irene membanting tasnya ke sofa dan hampir mengenai tubuh suaminya yang sedang duduk bersantai di depan TV."Kenapa sih, Ren? Pulang marah-marah gitu bukannya salam dulu?" Keenan yang kaget karena nyaris terhantam tas branded Irene yang lumayan besar itu menatap istrinya penuh tanya sambil menahan kesal. "Mantan istri kamu tuh, belagunya minta ampun," gerutu wanita berambut sebahu itu jengkel, lalu mendudukkan diri di samping suaminya dengan wajah cemberut.Mendengar kata mantan istri disebut, Keenan langsung membalikkan tubuhnya ke arah Irene."Mantan istri? Siapa? Kemala maksud kamu?" "Siapa lagi? Emang masih ada lagi mantan istri kamu yang lainnya?" Irene mengedikkan bahu, bertambah kesal karena suaminya Kemalah seperti antusias menyebut nama Kemala. "Kamu habis ketemu Kemala?""Iyaa, si gembel itu. Miskin aja belagu." Lagi-lagi, wanita itu menggerutu kesal."Kemala? gembel? Maksud kamu apa sih, Ren? Kok aku nggak ngerti." "Jadi tadi t
Malam itu usai mengantar sang istri menebus resep di apotek lain, Keenan langsung menuju ke ruang kerjanya saat dilihatnya Irene sudah bersiap untuk tidur. Diam-diam ada sesuatu yang sangat ingin dilakukannya tanpa sepengetahuan sang istri. Di depan komputer, Keenan sejenak termenung. Dia sudah membuka akun sosmed-nya dari beberapa menit yang lalu, tapi dia masih saja ragu untuk mengetikkan sebuah nama di bagian kolom pencarian. Beberapa kali jari-jari tangannya hanya berputar-putar saja di atas keyboard tanpa tahu harus memencet tombol yang mana. Keenan sungguh galau. [ Kemala Andara ]Akhirnya lelaki itu pun menuliskan juga nama mantan istrinya di layar meski gemetar. Tak lama, muncullah sebuah akun dengan foto profil seorang wanita sedang bersama dengan seorang gadis kecil yang berdandan ala princess. Mata Keenan langsung membulat takjub. “Secantik inikah mantan istri dan putri yang dulu kutinggalkan?” gumam Keenan sambil mengerjapkan mata tak percaya. Kembali, ia men-scroll ak
Mendengar jawaban itu, Irene tak begitu saja percaya. Ditatapnya sang suami dalam. "Jujur sama aku, Mas. Kamu ngapain stalking-in f******k mantan istrimu?!" Nyali Keenan menciut melihat wajah murka sang istri yang tengah berdiri di depannya."Eng-gak kok, siapa yang stalking-in Mala sih?" Ingin membela diri, Keenan pun berucap dengan nada yang tinggi. Mungkin dia berharap Irene akan melembutkan sikap melihatnya juga nampak marah karena tersinggung."Mataku belum buta, Mas. Aku lihat dengan jelas tadi. Kamu mau mengelak apa lagi, heh?"Keenan nampak mengucek rambutnya frustasi. Raut wajahnya terlihat penuh sesal. "Mau ngeles apa kamu, Mas?!" Irene makin garang menuduh. "Aku cuma rindu Bia, Sayang. Makanya, aku cari dia di akun Mala," ucapnya dengan nada sudah lebih rendah dan wajah yang memelas. Keenan berharap istrinya akan percaya omongannya kali ini."Alaaa bohong! Anak kamu jadikan alasan saja kan, Mas? Kamu aslinya ingin tahu kabar ibunya, kan?" ketus Irene. Hatinya mencelos. T
Di sisi lain, Abimanyu Haninditya kini melangkah ringan ke dalam rumah usai memarkirkan mobil dengan sempurna di garasi. "Assalamualaikum …""Wa'alaikumsalam. Baru pulang kamu, Bi?" Seorang wanita paruh baya dengan kacamata baca sedang sibuk dengan buku tebalnya di sebuah kursi santai di ruang tengah. Ibundanya memang akan selalu menunggu, selarut apapun anak lelakinya itu pulang. "Iya, Ma. Belum tidur?" Perbincangan yang sama berulang-ulang, tapi sepertinya tak pernah bosan diucapkan oleh sepasang ibu dan anak itu. Kejadian selanjutnya pun sudah bisa ditebak, yaitu adegan cium tangan Abimanyu pada sang ibu. "Sabtu bukannya kamu nggak ke kantor? Memangnya pergi kemana sih, Bi?" tanya wanita itu lagi setelah membiarkan putranya duduk di sebelahnya untuk melepas sepatu. "Biasa Ma, ngurusin apotek," jawab si anak bungsu. "Kamu tuh kalau lagi libur, nggak usah kebanyakan ke luar kenapa sih? Nggak kasihan mama kesepian di rumah?" keluh wanita itu, yang memang sudah menjadi makanan se
Malam itu, Kemala sedang berada di kamar putrinya untuk membacakan dongeng seperti biasa. "Gimana kalau sekarang gantian Bia yang bacain cerita buat mama? Mama ngantuk nih, pengen tidur sambil didongengin," kata wanita itu manja, usai menyelesaikan sebuah kisah lumayan panjang untuk Abiya. "Enggak ah. Mama aja yang bacain cerita. Bia kan nggak bisa," ucap gadis kecil itu dengan muka cemberut. "Loh kok gitu? Masa' dari Bia kecil, mama terus yang bacain cerita. Sekali-kali dong ganti Bia yang dongengin mama," kata wanita yang tengah mengenakan setelan piyama panjang berbahan satin itu. Dia makin melebarkan senyum melihat anak semata wayangnya makin cemberut. “Telpon papa Abi aja yuk, Ma?” kata Abiya tiba-tiba dengan raut muka sudah kembali ceria. Padahal sebenarnya gadis kecil itu hanya ingin mengalihkan perhatian ibunya saja padanya. Kemala melirik sebentar arloji di tangannya, lalu berkata. “Ini sudah malam, Sayang. Nanti gangguin papa Abi.”“Cuma sebentar aja kok. Bia mau tanya
“Ke rumah sama Bia?” Abimanyu kaget bukan kepalang. Tapi demi tak membuat Kemala tersinggung, dia berusaha menanggapi hal itu dengan santai. “Iya, Mas. Kenapa? Mas masih belum siap aku ketemu sama mamamu?” Kemala sambil menahan nafas saat menanyakan itu. Sebenarnya bukan hanya Abimanyu saja yang mungkin belum siap mempertemukan kembali dirinya dengan keluarganya, dia pun sama. Tapi demi melihat keseriusan Abimanyu dan mengetahui kepastian hubungan mereka ke depan, Kemala dengan terpaksa mengajukan permintaan itu. “Jika tidak dimulai dari sekarang mendekati calon ibu mertuanya, kapan lagi?” pikirnya. Sedangkan hubungannya dengan lelaki itu pun sudah sangat jauh. Fitnah kemungkinan besar akan segera terjadi jika hubungan keduanya tak segera diresmikan. Dia tak bisa menunggu dalam ketidakpastian lebih lama lagi. Apalagi, Bia makin tumbuh dewasa. “Bukan gitu. A-ku sih nggak masalah kamu sama Bia mau ke sini. Aku justru senang kamu bilang kayak gitu, Sayang. Tapi kan kamu tahu mama itu
Nguing nguing ...Suara sirine mobil polisi pun akhirnya terdengar di lokasi pergudangan itu. "Cepat! Cepat! Amankan lokasi!" Reno mengeluarkan tangannya dari kaca dan memberi kode pada anak buahnya. Tidak lama kemudian, beberapa mobil polisi langsung berhenti di sekitar tempat persembunyian Gery dan komplotannya itu. Para polisi langsung keluar dan menodongkan senjatanya pada beberapa preman yang mereka jumpai dan dengan mudah pula dibekuk. Sementara itu Reno dan timnya masuk ke dalam gudang dan langsung berpencar. Reno sempat menggeleng melihat kacaunya kondisi di dalam gudang. Dia sendiri langsung berteriak lantang dari tengah-tengah ruangan. "Menyerahlah! Kalian sudah dikepung!" teriak Reno sambil melepaskan tembakan ke beberapa arah kosong. Dor! Dor! Dor!Suara keras itu sontak membuat semua orang kaget. Meski begitu, tak semua dari mereka menghentikan gerakannya. Beberapa diantaranya malah berpencar dengan panik karena tentu saja tidak ada yang mau ditangkap. Alih-alih te
Abimanyu menghempaskan tubuh Surya dengan keras dan berniat melawan beberapa lelaki lain yang makin mendekat, saat matanya sekilas melihat sosok Kemala melintas tak jauh darinya."Astaga! Apa yang dia lakukan di sini!" geramnya. Abimanyu bergerak cepat menghajar para lelaki itu, lalu bersiap untuk mengejar Kemala. Namun langkahnya rupanya dihalangi oleh anak buah Surya yang sudah kembali bangkit dari tempat mereka tersungkur.Orang-orang itu maju bersama untuk menghajar Abimanyu yang mulai tidak bisa konsentrasi penuh karena kehadiran kekasihnya. Hingga akhirnya, salah satu dari lelaki itu menemukan kelengahan Abimanyu dan memukul dengan telak tepat di pipinya. "Auwh!"Dengan menahan sakit, Abimanyu meradang. Dia langsung maju menerjang lelaki berperawakan tak terlalu tinggi itu dan menarik kaos pria itu dengan sedikit mengangkatnya. Tubuh lelaki itu terangkat, lalu Abimanyu menghantam wajahnya dengan tinju sebelum mendorong tubuhnya keras-keras sampai menabrak tubuh temannya yang
Abiya tidak berhenti menangis, sampai Gery terlihat sangat pusing karenanya. Dibentak pun, gadis kecil itu tetap saja tak menghentikan tangisannya. Bahkan semakin dibentak, tangis Abiya semakin meledak-ledak. Bu Fenny yang akhirnya sudah masuk ke dalam tempat persembunyian, menatapnya dengan mengerikan. Gery pun masih menyeringai memandangi gadis kecil itu, saat mendadak pintu gudang terbuka dan Surya masuk sambil menyeret Tabitha. "Akh, lepaskan! Lepaskan!" teriak Tabitha yang bergerak dengan kewalahan mengikuti langkah Surya memasuki gudang. Surya terus menyeret gadis itu sampai mendekati Bu Fenny. Wanita itu tak hanya kaget, bahkan sampai membelalak melihat perlakuan lelaki itu pada putrinya. "Apa yang kamu lakukan pada anakku? Apa yang kamu lakukan, Surya?!" bentaknya. Fenny langsung menghampiri Surya dan mendorong tubuh lelaki itu. Kekuatan Bu Fenny yang tak seberapa, bahkan tak bisa membuat tubuh Surya bergeming. Namun justru langsung melepaskan Tabitha dengan mendorongnya s
Abimanyu begitu geram dan emosi, tapi dia sama sekali tidak bisa membiarkan Kemala terancam. "Sayang...""Cukup, Mas! Kita sudah banyak membuang waktu! Lebih baik cepatlah menyetir karena kita harus sampai ke lokasi sebelum semuanya terlambat!" rengek wanita itu.Abimanyu pun menghembuskan nafas panjangnya sebelum mengangguk dan kembali melajukan mobilnya. *****Sementara di tempat lain, Lintang sudah bertemu dengan Reno dan timnya. Mereka rupanya telah mendapatkan lokasi target yang mereka kejar. "Itu lokasi kawasan gudang yang banyak terbengkalai! Kalau mereka berada di sana, sudah pasti tempat persembunyiannya adalah salah satu gudang di sana. Kita harus memastikan gudang mana di antara banyaknya gudang yang sudah terbengkalai itu tempatnya! Kita benar-benar membutuhkan titik lokasi lagi dari Tabitha agar menghemat waktu kita!" kata Reno pada Lintang. Lintang yang mendengarnya pun mengangguk. "Aku mengerti sih! Berarti kita hanya bisa menunggu pesan dari Tabitha? Berharap saja
Abimanyu masih melajukan mobilnya dengan kencang. Dia merasa sangat khawatir dengan kondisi Mbok Narti. Selama di jalan pun Kemala terus berkirim pesan dan bertelepon dengan Lintang maupun dokter Andini untuk memberitahukan kabar terkini meski belum ada kemajuan yang berarti. "Din! Bagaimana kondisi Mbok Narti, dia baik-baik saja kan?""Kami sudah merawatnya! Jangan khawatir, Mala. Dia aman di sini, tapi sepertinya dia masih shock sampai. Masih terus menangis dan belum bisa memberikan keterangan lainnya! Aku tadi sudah sempat bicara dengannya sih!" jelas dokter Andini.Hati Kemala ngilu mendengarnya. Bahkan Kemala langsung menitikkan air matanya saat ini. Kesedihannya bukan hanya untuk Abiya, tapi juga pembantu rumah tangganya itu."Aku kasihan padanya, Din! Tolong jagakan dia untukku!" ucapnya dengan sisa tangis. Tentu hatinya sedang sangat kacau karena penculikan putrinya, tapi wanita itu tetap masih memikirkan orang lain. "Pasti, Kemala! Aku akan memberikan perawatan yang terbai
"Bagaimana? Kamu sudah mendapatkan informasi tentang pria bernama Gery itu?" tanya Reno pada salah satu anak buahnya. "Saya sudah mendapatkan alamatnya dan tim sudah ke sana, Pak. Tapi rumahnya sepi! Info dari tetangga, pria itu suka judi dan jarang pulang!""Hmm! Cari tahu lagi ke mana tempat yang biasa dia kunjungi dan segera gerebek semuanya!""Baik, Pak!"Reno sedang mulai mempelajari berkas yang dilaporkan anak buahnya lebih lanjut saat ponselnya berbunyi. Rupanya dia menerima laporan dari anak buahnya yang lain dari TKP tempat penculikan Abiya. Reno membelalak kaget dan langsung menelepon Abimanyu dan Kemala yang saat ini ada di TKP. "Benarkah namanya Gery?" Meski sudah menduganya, Reno tetap ingin memastikan."Benar, Ren! Ada saksinya di sini! Aku minta tolong untuk temukan anakku sekarang!" ucap Abimanyu dengan nada panik."Baik! Tenang, Bi! Aku akan mengerahkan timku! Rupanya mereka bergerak lebih cepat!"Reno menutup teleponnya sambil tidak berhenti mengumpat. "Perhatian
"Hei, itu dia! Dia sudah berbelok!""Ya, kamu benar! Ini saatnya kita mengepung mobil itu! Ingat, yang pertama yang harus dilumpuhkan adalah sopirnya! Telepon oeang-orang di belakang dan kita beraksi sekarang!"Gery dan timnya pun bertindak cepat. Mobil Mbok Narti yang awalnya masih melaju, berbelok ke jalan yang lebih sepi menuju ke kompleks perumahan mendadak disalip oleh mobil Gery. Mobil itu pun langsung berhenti di depan menghadang taksi yang ditumpangi Mbok Narti.Sedangkan di belakang, mobil orang-orang bayaran Gery juga berhenti mengapit taksi online itu. CitttSontak sopir taksi menghentikan mobilnya mendadak, sampai bannya berdecit. "Astaga, mau apa mereka?!" seru sang sopir. Mbok Narti sendiri yang masih berbalas pesan dengan Kemala pun nampak kaget. "Apa itu, Pak? Kenapa berhenti mendadak?""Ada mobil di depan, Bu! Di belakang juga ada, tidak tahu apa maunya! Biar saya lihat, Bu!"Dengan cepat, sang sopir keluar dari mobil dan langsung melihat apa mobilnya ada lecet at
"Bagaimana? Apa sudah ada kabar?" "Belum ada, Pak! Polisi juga masih mencari keberadaan Fenny dan Tabitha!""Apa kalian sudah mencari tahu tentang Gery?""Kami sedang mencarinya saat ini, Pak!""Baiklah! Lakukan dengan segera!""Baik, Pak!"Reno, teman Lintang yang merupakan seorang anggota kepolisian yang menangani kasus itu, masih nampak gelisah karena menghilangnya buruannya. Lintang sengaja menemuinya untuk menanyakan secara langsung bagaimana kedua wanita itu bisa lolos."Maaf, Lin! Belum ada perkembangan apa-apa saat ini, tapi kami curiga dengan seseorang bernama Gery!" "Gery? Kurasa aku pernah mendengar nama itu! Nanti akan kucoba tanya ke mama, siapa tahu mama mengenalnya!" kata Lintang akhirnya. "Ya, kalau ada yang mengenal pria itu maka lebih baik lagi karena bahkan Tabitha pun sekarang ikut dengannya!""Waktu pertama kali mamaku mengenalkan Tabitha ada kami, aku lihat dia itu sebenarnya gadis yang biasa saja. Tidak terlalu agresif seperti belakangan ini. Mungkin ibunya
Tabitha masih terus berusaha membuka mata ibunya yang belum juga terbangun. Keduanya ditinggalkan di sebuah rumah kecil, sementara Gery pergi bersama temannya untuk melaksanakan rencananya. Gery meminta orang untuk menjaga dua wanita itu selama kepergiannya, tapi Tabitha memanfaatkan kesempatan itu untuk mempengaruhi Bu Fenny. "Kamu harus percaya padaku, Ma! Gery itu tidak sebaik yang kamu pikir! Kalau Mama bisa berpura-pura di hadapan Bu Rosmala selama ini, maka dia juga sama, Ma! Dia hanya berpura-pura di depanmu! Buka mata Mama! Buka matamu!" seru Tabitha dengan sisa air matanya yang masih mengalir. "Cukup, Tabitha! Sejak tadi kamu terus berusaha mempengaruhi Mama! Mama nggak mengerti dengan semua ini! Mama mencintainya dan hubungan kami sudah berlangsung lama! Apa lagi yang harus Mama ragukan darinya? Memang dia bukan pria baik seperti yang kamu pikir, tapi dia adalah pria yang bisa membawa kita ke kehidupan yang lebih baik! Dia setia sama mana! Dia nggak pernah berkhianat sama