“Apa kamu bilang?! Pemilik apotek?”
Wanita itu sepertinya sudah benar-benar dikuasai kesombongan. Bahkan, penjelasan dari si Pegawai Apotek yang segamblang itu pun tak lantas bisa membuatnya tersadar. Irene justru semakin terbahak usai mendengarnya. Padahal seandainya dia mau membuka sedikit saja matanya, Irene seharusnya bisa melihat bagaimana perlakuan para pegawai apotek pada Kemala memang tak seperti sedang melayani pelanggan biasa. Namun, Irene tetaplah Irene. Dia adalah tipe manusia yang selalu memandang segala sesuatu dari luarnya saja.
“Bu Kemala memang pemilik apotek ini, Bu. Saya tidak mengada-ada,” kata pegawai apotek itu, berusaha terus menjelaskan.
“Sudah Mbak, biarkan saja, tidak perlu dijelaskan. Tolong paracetamol-nya, ya?” Merasa tak mungkin bisa membuat Irene diam dan menyadari kesalahannya, Kemala pun harus turun tangan meredakan emosi salah satu karyawan apotek itu.
Dengan wajah masih bersungut dan merah padam, si pegawai apotek segera menuruti permintaan Kemala. Dia bergegas masuk dan sebentar kemudian sudah kembali dengan paracetamol di tangannya.
“Makasih ya,” ucap Kemala setelah menerima barang pesanannya. Kemudian dia pun bergegas menuju ke bagian kasir.
Irene, yang masih berdiri di tempatnya semula, lantas menggerakkan bola matanya mengikuti langkah Kemala. Tentu saja, bibirnya masih tersenyum dengan congkak. Walau dalam hati, dia sudah mulai menyadari ada hal aneh pada diri Kemala, tapi tentu saja tak semudah itu baginya mau mengakui kekalahan.
“Jadi mau menebus resepnya, Bu?” Perhatiannya pada Kemala mendadak buyar dengan pertanyaan Si Pegawai Apotek. Irene langsung menoleh dan menatap tajam pegawai itu dengan sorot tajam.
Walau kini wajahnya tak lagi semarah tadi pada Irene, tapi rupanya Irene belum bisa melupakan bagaimana pegawai itu berkata dengan nada tinggi padanya.“Jangan mimpi! Nggak sudi aku tebus resep mahalku ini di sini!” ujarnya sinis.
Sedetik kemudian, Irene pun melenggang pergi meninggalkan tempat itu usai menyambar kertas resep di atas etalase. Langkahnya yang menghentak menuju ke pintu keluar apotek membuat beberapa orang yang sedang berada di tempat itu langsung memperhatikannya, termasuk juga Kemala. Dalam hati, Kemala bersyukur Irene akhirnya pergi juga dari tempat itu. Tapi, wajah pucat pegawai apotek yang tadi sempat membelanya membuatnya sedikit khawatir.
“Kenapa, Mbak?” Kemala menghampiri gadis itu setelah menyelesaikan pembayarannya di kasir.
“Itu Bu, Ma-afkan saya ya Bu. Ibu yang tadi itu akhirnya nggak jadi menebus resep obatnya. Sepertinya, dia marah dengan kata kata saya tadi,” ucapnya dengan penuh sesal.
Kemala pun langsung mengembangkan senyumnya. “Nggak apa-apa, biarkan saja Mbak. Kita nggak perlu merasa rugi kehilangan calon pelanggan yang tidak punya sopan santun seperti itu. Ya sudah ya, aku pulang dulu. Oh ya, hari ini sepertinya aku nggak bisa masuk. Aku sudah bilang ke Pak Abi. Tolong nanti kalau bapak lupa, diingatkan. Aku ada acara sampai sore di sekolah Bia,” katanya.
“Baik, Bu. Nanti saya sampaikan ke Pak Abi,” kata si pegawai. Kemala pun segera berlalu dari tempat itu.
Langkahnya tenang menuju ke pintu keluar. Kesal akibat insiden beberapa saat lalu dengan Irene sepertinya perlahan sudah mulai hilang. Namun hal itu ternyata tak berlangsung lama, karena di halaman parkir dilihatnya kini satpam apotek sedang berusaha memberdirikan motor bututnya yang sepertinya baru saja ambruk.
“Kenapa, Pak?” Sedikit tergesa, Kemala pun menghampiri si satpam.
“Anu, Bu. Ini, tadi motor Ibu ditendang sama ibu yang bawa mobil tadi,” jelas di satpam. “Saya sudah berusaha mengejarnya, tapi si ibunya sudah terlanjur pergi,” lanjutnya,
Kemala kembali menghela nafas panjang. Baru saja merasa tenang, hatinya sudah dibuat kesal lagi dengan ulah Irene yang benar-benar tak beretika.” Ya sudah nggak apa-apa, Pak,” katanya kemudian.
Tapi si satpam sepertinya masih terlihat kebingungan dengan motor yang dipegangnya. itu
“Aduh Bu, tapi ini kayaknya bengkok pegangannya. Bahaya kalau tetap dipakai. Biar saya bawa ke bengkel dulu ya, Bu. Ibu mau saya antarkan pulang?” tawarnya.
Deg!
“Masa’ sih, Pak?” Kemala berjalan lebih mendekat. Rasanya dia tak percaya Irene setega itu merusak barang yang bukan miliknya. Tapi ternyata pegangan motor itu memang benar-benar bengkok.
“Astaghfirullah.”
Kemala pun memperhatikan motor keluaran lamanya itu dengan sedih. Bukannya Kemala tidak punya uang untuk membeli motor yang baru. Dia bahkan sudah berulang kali menawarkan pada Mbok Narti–asisten rumah tangganya– untuk menggunakan motor keluaran terbaru miliknya. Namun, seperti Kemala, si Mbok sudah terlanjur nyaman dengan ukurannya yang kecil dan ramping. Terlebih lagi, motor ini banyak sekali historinya. Lalu, Kemala pun kembali menghela nafas berat.
“Ya sudah, Pak. Tolong bawakan ke bengkel deh. Kasihan Mbok Narti kalau sepeda ini rusak. Oh ya, saya jalan kaki aja pulangnya sekalian olahraga. Nggak usah diantar,” katanya kemudian.
“Jangan Bu Kemala! Saya antar saja. Nanti Kalau Bapak tahu Bu Kemala pulang jalan kaki, saya bisa dimarahin loh,” kata si satpam.
Kemala justru tertawa. “Ah Bapak nih ada-ada aja. Mana mungkin Pak Abi marah cuma gara-gara masalah itu? Udah ya Pak, saya jalan. Nanti kalau udah jadi, tolong langsung antar ke rumah saja motornya. Oh ya, ini uangnya.”
Kemala merogoh selembar ratusan ribu untuk diberikannya pada si satpam. “Kalau kurang bilang ya, Pak,” lanjutnya. Setelah itu, dia pun berjalan menyusuri trotoar menuju kompleks perumahannya.
*******
“Loh Bu, kok jalan kaki? Ibu kenapa?” Mbok Narti langsung menyongsong Kemala di pintu pagar begitu melihat majikannya pulang berjalan kaki. Padahal saat itu, dia sedang sibuk menyiangi tanaman hias di halaman rumah. Sementara di teras rumah, seorang lelaki dan anak perempuan berusia sekitar 5 tahunan ikut terbengong melihat kepulangan Kemala.
“Nggak apa-apa kok. Oh iya, maaf ya Mbok, motormu rusak. Pegangannya bengkok. Jadi, aku minta tolong satpam apotek buat bawa ke bengkel.” Kemala pun nyengir saat menjelaskan itu.
“Pegangan motornya bengkok?!” Tiba-tiba lelaki yang berada di teras tadi sudah berada di dekat Kemala dan Mbok Narti, diikuti Bia–putri semata wayang Kemala–di belakangnya. “Kamu habis jatuh dari motor, Sayang? Tapi. kamu nggak kenapa-napa, kan?”
Melihat muka panik calon suaminya itu, Kemala justru terkikik. Apalagi setelahnya, Abimanyu segera memeriksa seluruh tubuhnya dengan membolak baliknya ke kanan dan kiri. Kemala makin tertawa geli melihat kelakuannya.“Apaan sih, Mas?” tanyanya sambil tak bisa menahan tawa.“Kamu kalau dibilangin, nggak mau nurut sih. Kalau mau kemana-mana tuh bawa mobil aja. Terus motor itu tuh, sudah berapa kali coba aku suruh jual aja? Lagian kan ada motor lain juga yang lebih bagus, kenapa masih suka pakai motor itu?” Lelaki itu mulai mengomel, membuat Kemala dan Mbok Narti langsung saling melempar senyum.“Tuh, Bu. Saya bilang juga apa? Kan saya juga udah bilang jangan pakai motor itu. Motor itu kan memang cuma saya aja yang bisa pakai,” kata Mbok Narti, membela diri.“Ah Simbok nih ada-ada aja. Lagian kan Mbok sendiri yang nggak mau motor itu diganti, ya kan? Tuh Mas, marahin tuh Si Mbok. Suruh siapa motornya nggak mau diganti hayoo? Dia yang ngeyel pengen tetap pakai motor itu. Marahin tuh, Mas!
"Kurang aj*r! Bener-bener kur*ng ajar!" Irene membanting tasnya ke sofa dan hampir mengenai tubuh suaminya yang sedang duduk bersantai di depan TV."Kenapa sih, Ren? Pulang marah-marah gitu bukannya salam dulu?" Keenan yang kaget karena nyaris terhantam tas branded Irene yang lumayan besar itu menatap istrinya penuh tanya sambil menahan kesal. "Mantan istri kamu tuh, belagunya minta ampun," gerutu wanita berambut sebahu itu jengkel, lalu mendudukkan diri di samping suaminya dengan wajah cemberut.Mendengar kata mantan istri disebut, Keenan langsung membalikkan tubuhnya ke arah Irene."Mantan istri? Siapa? Kemala maksud kamu?" "Siapa lagi? Emang masih ada lagi mantan istri kamu yang lainnya?" Irene mengedikkan bahu, bertambah kesal karena suaminya Kemalah seperti antusias menyebut nama Kemala. "Kamu habis ketemu Kemala?""Iyaa, si gembel itu. Miskin aja belagu." Lagi-lagi, wanita itu menggerutu kesal."Kemala? gembel? Maksud kamu apa sih, Ren? Kok aku nggak ngerti." "Jadi tadi t
Malam itu usai mengantar sang istri menebus resep di apotek lain, Keenan langsung menuju ke ruang kerjanya saat dilihatnya Irene sudah bersiap untuk tidur. Diam-diam ada sesuatu yang sangat ingin dilakukannya tanpa sepengetahuan sang istri. Di depan komputer, Keenan sejenak termenung. Dia sudah membuka akun sosmed-nya dari beberapa menit yang lalu, tapi dia masih saja ragu untuk mengetikkan sebuah nama di bagian kolom pencarian. Beberapa kali jari-jari tangannya hanya berputar-putar saja di atas keyboard tanpa tahu harus memencet tombol yang mana. Keenan sungguh galau. [ Kemala Andara ]Akhirnya lelaki itu pun menuliskan juga nama mantan istrinya di layar meski gemetar. Tak lama, muncullah sebuah akun dengan foto profil seorang wanita sedang bersama dengan seorang gadis kecil yang berdandan ala princess. Mata Keenan langsung membulat takjub. “Secantik inikah mantan istri dan putri yang dulu kutinggalkan?” gumam Keenan sambil mengerjapkan mata tak percaya. Kembali, ia men-scroll ak
Mendengar jawaban itu, Irene tak begitu saja percaya. Ditatapnya sang suami dalam. "Jujur sama aku, Mas. Kamu ngapain stalking-in f******k mantan istrimu?!" Nyali Keenan menciut melihat wajah murka sang istri yang tengah berdiri di depannya."Eng-gak kok, siapa yang stalking-in Mala sih?" Ingin membela diri, Keenan pun berucap dengan nada yang tinggi. Mungkin dia berharap Irene akan melembutkan sikap melihatnya juga nampak marah karena tersinggung."Mataku belum buta, Mas. Aku lihat dengan jelas tadi. Kamu mau mengelak apa lagi, heh?"Keenan nampak mengucek rambutnya frustasi. Raut wajahnya terlihat penuh sesal. "Mau ngeles apa kamu, Mas?!" Irene makin garang menuduh. "Aku cuma rindu Bia, Sayang. Makanya, aku cari dia di akun Mala," ucapnya dengan nada sudah lebih rendah dan wajah yang memelas. Keenan berharap istrinya akan percaya omongannya kali ini."Alaaa bohong! Anak kamu jadikan alasan saja kan, Mas? Kamu aslinya ingin tahu kabar ibunya, kan?" ketus Irene. Hatinya mencelos. T
Di sisi lain, Abimanyu Haninditya kini melangkah ringan ke dalam rumah usai memarkirkan mobil dengan sempurna di garasi. "Assalamualaikum …""Wa'alaikumsalam. Baru pulang kamu, Bi?" Seorang wanita paruh baya dengan kacamata baca sedang sibuk dengan buku tebalnya di sebuah kursi santai di ruang tengah. Ibundanya memang akan selalu menunggu, selarut apapun anak lelakinya itu pulang. "Iya, Ma. Belum tidur?" Perbincangan yang sama berulang-ulang, tapi sepertinya tak pernah bosan diucapkan oleh sepasang ibu dan anak itu. Kejadian selanjutnya pun sudah bisa ditebak, yaitu adegan cium tangan Abimanyu pada sang ibu. "Sabtu bukannya kamu nggak ke kantor? Memangnya pergi kemana sih, Bi?" tanya wanita itu lagi setelah membiarkan putranya duduk di sebelahnya untuk melepas sepatu. "Biasa Ma, ngurusin apotek," jawab si anak bungsu. "Kamu tuh kalau lagi libur, nggak usah kebanyakan ke luar kenapa sih? Nggak kasihan mama kesepian di rumah?" keluh wanita itu, yang memang sudah menjadi makanan se
Malam itu, Kemala sedang berada di kamar putrinya untuk membacakan dongeng seperti biasa. "Gimana kalau sekarang gantian Bia yang bacain cerita buat mama? Mama ngantuk nih, pengen tidur sambil didongengin," kata wanita itu manja, usai menyelesaikan sebuah kisah lumayan panjang untuk Abiya. "Enggak ah. Mama aja yang bacain cerita. Bia kan nggak bisa," ucap gadis kecil itu dengan muka cemberut. "Loh kok gitu? Masa' dari Bia kecil, mama terus yang bacain cerita. Sekali-kali dong ganti Bia yang dongengin mama," kata wanita yang tengah mengenakan setelan piyama panjang berbahan satin itu. Dia makin melebarkan senyum melihat anak semata wayangnya makin cemberut. “Telpon papa Abi aja yuk, Ma?” kata Abiya tiba-tiba dengan raut muka sudah kembali ceria. Padahal sebenarnya gadis kecil itu hanya ingin mengalihkan perhatian ibunya saja padanya. Kemala melirik sebentar arloji di tangannya, lalu berkata. “Ini sudah malam, Sayang. Nanti gangguin papa Abi.”“Cuma sebentar aja kok. Bia mau tanya
“Ke rumah sama Bia?” Abimanyu kaget bukan kepalang. Tapi demi tak membuat Kemala tersinggung, dia berusaha menanggapi hal itu dengan santai. “Iya, Mas. Kenapa? Mas masih belum siap aku ketemu sama mamamu?” Kemala sambil menahan nafas saat menanyakan itu. Sebenarnya bukan hanya Abimanyu saja yang mungkin belum siap mempertemukan kembali dirinya dengan keluarganya, dia pun sama. Tapi demi melihat keseriusan Abimanyu dan mengetahui kepastian hubungan mereka ke depan, Kemala dengan terpaksa mengajukan permintaan itu. “Jika tidak dimulai dari sekarang mendekati calon ibu mertuanya, kapan lagi?” pikirnya. Sedangkan hubungannya dengan lelaki itu pun sudah sangat jauh. Fitnah kemungkinan besar akan segera terjadi jika hubungan keduanya tak segera diresmikan. Dia tak bisa menunggu dalam ketidakpastian lebih lama lagi. Apalagi, Bia makin tumbuh dewasa. “Bukan gitu. A-ku sih nggak masalah kamu sama Bia mau ke sini. Aku justru senang kamu bilang kayak gitu, Sayang. Tapi kan kamu tahu mama itu
Pagi itu suasana hening di meja makan rumah Bu Rosmala. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu di piring, nyaris tanpa celotehan wanita itu seperti biasa. Di seberangnya, putranya sesekali menatap sang ibu dengan bimbang. Ingin mengajaknya bicara, tapi masih takut jika ibundanya itu belum berkenan mengobrol dengannya. “Pak Abi mau nambah nasi gorengnya?” Suara Lastri dari samping tempatnya duduk, membuyarkan lamunan Abimanyu. “Eh, enggak. Makasih,” jawabnya singkat. “Mama barangkali mau nambah?” tanyanya kemudian pada wanita yang masih khusyu’ dengan piring di depannya. Bu Rosmala rupanya juga sedang larut dalam pikirannya sendiri hingga sedikit kaget saat anak lelakinya itu mengajaknya bicara. “Apa?” tanyanya, membuat Abimanyu sedikit lega karena ternyata ibundanya sudah mau berbicara padanya. “Mau nambah nasi goreng lagi, Ma?” ulang Abimanyu. Tapi Bu Rosmala malah memandang Lastri yang kini telah berdiri di sebelah sang nyonya rumah dengan siaga..“Oh, enggak Las, makasih. A
Nguing nguing ...Suara sirine mobil polisi pun akhirnya terdengar di lokasi pergudangan itu. "Cepat! Cepat! Amankan lokasi!" Reno mengeluarkan tangannya dari kaca dan memberi kode pada anak buahnya. Tidak lama kemudian, beberapa mobil polisi langsung berhenti di sekitar tempat persembunyian Gery dan komplotannya itu. Para polisi langsung keluar dan menodongkan senjatanya pada beberapa preman yang mereka jumpai dan dengan mudah pula dibekuk. Sementara itu Reno dan timnya masuk ke dalam gudang dan langsung berpencar. Reno sempat menggeleng melihat kacaunya kondisi di dalam gudang. Dia sendiri langsung berteriak lantang dari tengah-tengah ruangan. "Menyerahlah! Kalian sudah dikepung!" teriak Reno sambil melepaskan tembakan ke beberapa arah kosong. Dor! Dor! Dor!Suara keras itu sontak membuat semua orang kaget. Meski begitu, tak semua dari mereka menghentikan gerakannya. Beberapa diantaranya malah berpencar dengan panik karena tentu saja tidak ada yang mau ditangkap. Alih-alih te
Abimanyu menghempaskan tubuh Surya dengan keras dan berniat melawan beberapa lelaki lain yang makin mendekat, saat matanya sekilas melihat sosok Kemala melintas tak jauh darinya."Astaga! Apa yang dia lakukan di sini!" geramnya. Abimanyu bergerak cepat menghajar para lelaki itu, lalu bersiap untuk mengejar Kemala. Namun langkahnya rupanya dihalangi oleh anak buah Surya yang sudah kembali bangkit dari tempat mereka tersungkur.Orang-orang itu maju bersama untuk menghajar Abimanyu yang mulai tidak bisa konsentrasi penuh karena kehadiran kekasihnya. Hingga akhirnya, salah satu dari lelaki itu menemukan kelengahan Abimanyu dan memukul dengan telak tepat di pipinya. "Auwh!"Dengan menahan sakit, Abimanyu meradang. Dia langsung maju menerjang lelaki berperawakan tak terlalu tinggi itu dan menarik kaos pria itu dengan sedikit mengangkatnya. Tubuh lelaki itu terangkat, lalu Abimanyu menghantam wajahnya dengan tinju sebelum mendorong tubuhnya keras-keras sampai menabrak tubuh temannya yang
Abiya tidak berhenti menangis, sampai Gery terlihat sangat pusing karenanya. Dibentak pun, gadis kecil itu tetap saja tak menghentikan tangisannya. Bahkan semakin dibentak, tangis Abiya semakin meledak-ledak. Bu Fenny yang akhirnya sudah masuk ke dalam tempat persembunyian, menatapnya dengan mengerikan. Gery pun masih menyeringai memandangi gadis kecil itu, saat mendadak pintu gudang terbuka dan Surya masuk sambil menyeret Tabitha. "Akh, lepaskan! Lepaskan!" teriak Tabitha yang bergerak dengan kewalahan mengikuti langkah Surya memasuki gudang. Surya terus menyeret gadis itu sampai mendekati Bu Fenny. Wanita itu tak hanya kaget, bahkan sampai membelalak melihat perlakuan lelaki itu pada putrinya. "Apa yang kamu lakukan pada anakku? Apa yang kamu lakukan, Surya?!" bentaknya. Fenny langsung menghampiri Surya dan mendorong tubuh lelaki itu. Kekuatan Bu Fenny yang tak seberapa, bahkan tak bisa membuat tubuh Surya bergeming. Namun justru langsung melepaskan Tabitha dengan mendorongnya s
Abimanyu begitu geram dan emosi, tapi dia sama sekali tidak bisa membiarkan Kemala terancam. "Sayang...""Cukup, Mas! Kita sudah banyak membuang waktu! Lebih baik cepatlah menyetir karena kita harus sampai ke lokasi sebelum semuanya terlambat!" rengek wanita itu.Abimanyu pun menghembuskan nafas panjangnya sebelum mengangguk dan kembali melajukan mobilnya. *****Sementara di tempat lain, Lintang sudah bertemu dengan Reno dan timnya. Mereka rupanya telah mendapatkan lokasi target yang mereka kejar. "Itu lokasi kawasan gudang yang banyak terbengkalai! Kalau mereka berada di sana, sudah pasti tempat persembunyiannya adalah salah satu gudang di sana. Kita harus memastikan gudang mana di antara banyaknya gudang yang sudah terbengkalai itu tempatnya! Kita benar-benar membutuhkan titik lokasi lagi dari Tabitha agar menghemat waktu kita!" kata Reno pada Lintang. Lintang yang mendengarnya pun mengangguk. "Aku mengerti sih! Berarti kita hanya bisa menunggu pesan dari Tabitha? Berharap saja
Abimanyu masih melajukan mobilnya dengan kencang. Dia merasa sangat khawatir dengan kondisi Mbok Narti. Selama di jalan pun Kemala terus berkirim pesan dan bertelepon dengan Lintang maupun dokter Andini untuk memberitahukan kabar terkini meski belum ada kemajuan yang berarti. "Din! Bagaimana kondisi Mbok Narti, dia baik-baik saja kan?""Kami sudah merawatnya! Jangan khawatir, Mala. Dia aman di sini, tapi sepertinya dia masih shock sampai. Masih terus menangis dan belum bisa memberikan keterangan lainnya! Aku tadi sudah sempat bicara dengannya sih!" jelas dokter Andini.Hati Kemala ngilu mendengarnya. Bahkan Kemala langsung menitikkan air matanya saat ini. Kesedihannya bukan hanya untuk Abiya, tapi juga pembantu rumah tangganya itu."Aku kasihan padanya, Din! Tolong jagakan dia untukku!" ucapnya dengan sisa tangis. Tentu hatinya sedang sangat kacau karena penculikan putrinya, tapi wanita itu tetap masih memikirkan orang lain. "Pasti, Kemala! Aku akan memberikan perawatan yang terbai
"Bagaimana? Kamu sudah mendapatkan informasi tentang pria bernama Gery itu?" tanya Reno pada salah satu anak buahnya. "Saya sudah mendapatkan alamatnya dan tim sudah ke sana, Pak. Tapi rumahnya sepi! Info dari tetangga, pria itu suka judi dan jarang pulang!""Hmm! Cari tahu lagi ke mana tempat yang biasa dia kunjungi dan segera gerebek semuanya!""Baik, Pak!"Reno sedang mulai mempelajari berkas yang dilaporkan anak buahnya lebih lanjut saat ponselnya berbunyi. Rupanya dia menerima laporan dari anak buahnya yang lain dari TKP tempat penculikan Abiya. Reno membelalak kaget dan langsung menelepon Abimanyu dan Kemala yang saat ini ada di TKP. "Benarkah namanya Gery?" Meski sudah menduganya, Reno tetap ingin memastikan."Benar, Ren! Ada saksinya di sini! Aku minta tolong untuk temukan anakku sekarang!" ucap Abimanyu dengan nada panik."Baik! Tenang, Bi! Aku akan mengerahkan timku! Rupanya mereka bergerak lebih cepat!"Reno menutup teleponnya sambil tidak berhenti mengumpat. "Perhatian
"Hei, itu dia! Dia sudah berbelok!""Ya, kamu benar! Ini saatnya kita mengepung mobil itu! Ingat, yang pertama yang harus dilumpuhkan adalah sopirnya! Telepon oeang-orang di belakang dan kita beraksi sekarang!"Gery dan timnya pun bertindak cepat. Mobil Mbok Narti yang awalnya masih melaju, berbelok ke jalan yang lebih sepi menuju ke kompleks perumahan mendadak disalip oleh mobil Gery. Mobil itu pun langsung berhenti di depan menghadang taksi yang ditumpangi Mbok Narti.Sedangkan di belakang, mobil orang-orang bayaran Gery juga berhenti mengapit taksi online itu. CitttSontak sopir taksi menghentikan mobilnya mendadak, sampai bannya berdecit. "Astaga, mau apa mereka?!" seru sang sopir. Mbok Narti sendiri yang masih berbalas pesan dengan Kemala pun nampak kaget. "Apa itu, Pak? Kenapa berhenti mendadak?""Ada mobil di depan, Bu! Di belakang juga ada, tidak tahu apa maunya! Biar saya lihat, Bu!"Dengan cepat, sang sopir keluar dari mobil dan langsung melihat apa mobilnya ada lecet at
"Bagaimana? Apa sudah ada kabar?" "Belum ada, Pak! Polisi juga masih mencari keberadaan Fenny dan Tabitha!""Apa kalian sudah mencari tahu tentang Gery?""Kami sedang mencarinya saat ini, Pak!""Baiklah! Lakukan dengan segera!""Baik, Pak!"Reno, teman Lintang yang merupakan seorang anggota kepolisian yang menangani kasus itu, masih nampak gelisah karena menghilangnya buruannya. Lintang sengaja menemuinya untuk menanyakan secara langsung bagaimana kedua wanita itu bisa lolos."Maaf, Lin! Belum ada perkembangan apa-apa saat ini, tapi kami curiga dengan seseorang bernama Gery!" "Gery? Kurasa aku pernah mendengar nama itu! Nanti akan kucoba tanya ke mama, siapa tahu mama mengenalnya!" kata Lintang akhirnya. "Ya, kalau ada yang mengenal pria itu maka lebih baik lagi karena bahkan Tabitha pun sekarang ikut dengannya!""Waktu pertama kali mamaku mengenalkan Tabitha ada kami, aku lihat dia itu sebenarnya gadis yang biasa saja. Tidak terlalu agresif seperti belakangan ini. Mungkin ibunya
Tabitha masih terus berusaha membuka mata ibunya yang belum juga terbangun. Keduanya ditinggalkan di sebuah rumah kecil, sementara Gery pergi bersama temannya untuk melaksanakan rencananya. Gery meminta orang untuk menjaga dua wanita itu selama kepergiannya, tapi Tabitha memanfaatkan kesempatan itu untuk mempengaruhi Bu Fenny. "Kamu harus percaya padaku, Ma! Gery itu tidak sebaik yang kamu pikir! Kalau Mama bisa berpura-pura di hadapan Bu Rosmala selama ini, maka dia juga sama, Ma! Dia hanya berpura-pura di depanmu! Buka mata Mama! Buka matamu!" seru Tabitha dengan sisa air matanya yang masih mengalir. "Cukup, Tabitha! Sejak tadi kamu terus berusaha mempengaruhi Mama! Mama nggak mengerti dengan semua ini! Mama mencintainya dan hubungan kami sudah berlangsung lama! Apa lagi yang harus Mama ragukan darinya? Memang dia bukan pria baik seperti yang kamu pikir, tapi dia adalah pria yang bisa membawa kita ke kehidupan yang lebih baik! Dia setia sama mana! Dia nggak pernah berkhianat sama