Caid membawa Lova ke dalam kamar hotel dengan langkah mantap. Pintu kamar tertutup dengan suara lembut, dan ruangan itu terasa jauh lebih sunyi daripada sebelumnya.
Lova masih merasa linglung, campuran antara keterkejutan dan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ia mencoba memproses apa yang baru saja terjadi, tapi setiap kali ia mencoba berpikir, sentuhan Caid seolah menahannya."Emphhh..." Lova mengeluarkan suara tertahan ketika Caid kembali menciumnya, kali ini lebih lembut tetapi tetap penuh intensi. Lova terjebak antara perlawanan dan penerimaan, antara logika dan emosi yang tak bisa ia tolak.Bibir mereka menyatu dalam keheningan yang hanya dipecahkan oleh napas mereka yang semakin memburu.Tangan besar Caid mengacak disela rambut Lova, menahan kepala belakangnya agar bibir mereka saling menempelPanas..Seingat Lova mereka tidak meminum alkohol namun kenapa rasa ini sungguh memabukkanLova merasakan tubuhnya melemah, pikirannya berkabut, dan seluruLova tidak tau apa yang salah namun semenjak kembali dari Las Vegas, sikap Caid nampak semakin menyebalkan baginya. Pertama, Caid suka tidur di apartemennya. Kedua, Caid lebih sering menghubunginya sekadar bertanya kabar atau mengganggunya dan ketiga, pria itu suka sekali menciumnya dan menyentuhnyaCup"Kenapa kau cantik sekali, Relova"Lova memutar matanya jengah, berusaha mengabaikan senyuman nakal yang tersungging di bibir Caid. Dia kembali fokus pada laptopnya, sekedar melakukan latihan programernya"Relova.. " Caid bergumam, jemarinya bermain dengan rambut Lova yang terikat satu.Caid menatap leher putih Lova yang tampak begitu menggoda, membuatnya tak tahan untuk tidak mendekat. Jemarinya yang tadi bermain dengan rambut Lova kini berpindah ke pundaknya, membelai lembut namun dengan niat yang jelas.Lova bisa merasakan hembusan napas hangat Caid di lehernya, membuat tubuhnya merinding tanpa bisa dikendalikan.Lova berusaha tetap fokus pada laya
"Mereka bukan kau, Love" ucapnya, suaranya lembut namun berbahaya "mereka bukan Relova Luvena" TekannyaLova terkekeh "lalu Evelyn?"Gerakan Caid terhenti dan Lova merasa sudah mengatakan sesuatu yang salah"Aku tidak bermaksud lain hanya saja... " Lova menjelaskan sambil menggerakan tangannya ke arah tubuh Caid, menujuk pada satu titik dibagian kiri pinggang Caid. Ada sebuah tato disana, tato huruf dengan ukiran cantik yang membentuk sebuah nama"Ini.. Tulisannya Evelyn kan?"Tatapan Caid seketika berubah, seolah percikan api yang sebelumnya hanya sekadar panas kini membara. Matanya menatap Lova tajam, namun ada sedikit kilatan emosi di sana yang sulit ditebak. Tangannya perlahan bergerak ke tato yang disebutkan Lova, seolah ingin menutupi atau melindungi nama yang tertulis di sana."Bukan urusanmu, Love" desisnya, suaranya rendah dan nyaris berbisik, namun jelas membawa ketegangan. Lova dapat merasakan ketegangan otot di tubuh Caid, seolah dia mencoba menah
Tubuh Lova terasa lemah, hampir tak bertenaga setelah malam yang begitu intens bersama Caid. Setiap otot dalam tubuhnya seolah berteriak kelelahan, dan pikiran yang tadinya berusaha tetap kuat kini mulai goyah.Lova terbaring di ranjang pasien dengan napas yang berat, sementara Caid duduk di sampingnya, memegang semangkuk makanan di tangannya. Alih-alih merasa bersalah atau menyesal, Caid justru terlihat tenang, seolah yang terjadi adalah hal biasa"Makan. Kau harus minum obat""Berkat siapa aku jadi begini?" Sinis Lova pada CaidCaid terkekeh sambil menyuapi Lova dengan sendok kecil, wajahnya tampak puas dan santai, seolah semua yang terjadi bukanlah masalah besar baginya. "Berkat siapa? Ya, berkat dirimu sendiri yang menantangku" jawabnya dengan nada main-main namun dalam sorot matanya ada kekuasaan yang tak bisa dipungkiri.Lova melirik Caid dengan mata menyipit, rasa sakit dan lelah masih menguasai tubuhnya "Kalau aku tahu kau hewan buas, aku tidak akan perna
Malam pukul 11 malam Caid tiba di apartemen Lova. Caid membuka pintu dengan tenang. Dia berjalan ke meja di mana laptop Lova tergeletak sebelum kegiatan panas mereka sebelumnya dan tanpa ragu, dia duduk di depannyaSaat dia mencoba membuka laptop itu, layar menampilkan permintaan kata sandi. Caid tersenyum tipis, seolah sudah menduganya."Kau memang berhati-hati, little Kit" gumamnya.Dia memutar pandangannya ke sekitar, matanya tajam mengamati setiap sudut ruangan. Lalu, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah flashdisk kecil tersembunyi di balik tumpukan buku di meja samping. Caid meraihnya dan memasukkannya ke port USB laptop. Setelah beberapa detik, layar laptop menyala dengan akses penuh. Seperti yang diduganya, flashdisk itu menyimpan kunci untuk membuka semua data yang ada di dalam sistem. Dengan cermat, dia mulai menelusuri file-file di dalamnya, dan apa yang dia temukan benar-benar mengejutkannya.Kumpulan data yang Lova berhasil dapatkan dari meretas, ter
Malam itu, Lova mengenakan gaun paling seksi yang bisa dia temukan—gaun merah ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, dengan belahan tinggi di samping, cukup untuk menarik perhatian siapa saja yang melihatnya.Make-up tebal menghiasi wajahnya, lipstick merah menyala menonjolkan bibirnya yang sensual. Rambutnya dibiarkan tergerai liar dengan ujung rambut yang dibuat bergelombang, menambah kesan menggoda yang tak terbantahkan.Sesampainya di club, suasana terasa panas. Musik keras menggetarkan dinding, lampu-lampu berkedip dalam kegelapan, menciptakan atmosfer yang sempurna untuk melupakan dunia.Lova melangkah masuk dengan percaya diri, menyusuri lantai dansa dengan tatapan penuh maksud. Mata-mata langsung tertuju padanya, tubuh-tubuh lain menatap dengan kekaguman dan hasrat."Angelic""Hai Em" Lova menyapa balik"Bagaimana keadaanmu? Susah sekali menghubungimu belakangan ini" Emily berdiri dengan tangan bersedekap. Ekspresinya sedikit kesal, tapi matanya me
"I Liliana Yudsir take you Aleandro Broker, for my husband, to have and to hold from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and health, until death do us part."Mata Lova berkaca-kaca saat dua orang didepan altar saling mengucapkan janji suci lalu setelahnya dia memalingkan muka saat ciuman itu terjadi"Ingin menangis litte Kit?"Dengan cepat Lova menoleh ke samping kanan, Caid duduk disebelahnya dengan seringai miring, seolah mentertawakan dirinya"Untuk apa menangis?" Lova berucap pelan, takut jika suaranya akan terdengar orang lain di gereja itu"Karena pria yang kau cintai menikah dengan wanita lain" Lova menahan napas, mencoba meredam emosi yang bergolak di dalam dadanya. "Aku tidak menangis" jawabnya dengan suara bergetar, meskipun hatinya terasa remuk. Dia tak bisa menyangkal, pemandangan di depan altar itu seperti pisau yang menancap di hatinya.Caid terkekeh pelan, lalu mendekatkan diri sedikit ke arah Lova.
"Jadi, sudah kau dapatkan buktinya?" Suara tegas seorang wanita dari seberang langsung menyapanya begitu dia mengangkatnya Lova menggigit bibir bawahnya, menahan ketegangan yang tiba-tiba merambat dalam dirinya. “Belum. Tapi aku hampir mendapatkannya.” "Waktumu hampir habis R11" Suara itu dingin dan penuh tuntutan "Aku tau" Lova melirik ke arah Caid yang berdiri tak jauh darinya, pria itu sedang berbicara dengan tamu lainnya, dari ekspresi Caid, Lova bisa menebak jika pria itu tak menyimak hingga akhirnya netra abu itu bersitatap dengannya Lova merasakan jantungnya berdetak lebih kencang saat tatapannya bertemu dengan Caid. Dia segera memalingkan wajahnya, mencoba menjaga ketenangan. Suara di telepon masih bergaung di telinganya, dingin dan penuh tekanan. "Aku tidak peduli bagaimana kau melakukannyamelakukannya" suara wanita itu kembali terdengar. "Pastikan kau mendapatkannya, atau kau tahu apa yang akan te
Lova terbangun dengan rasa pegal yang menusuk di sekujur tubuhnya. Semua ototnya terasa kaku, hasil dari malam yang panjang dan penuh serangan tanpa henti dari Caid.Menggeliat pelan di atas kasur, ia sadar dirinya sudah berada di apartemennya. Bau khas selimut yang familiar dan pemandangan langit-langit putih yang biasa ia lihat mengonfirmasi hal tersebut, terlebih Caid sendiri yang menggendongnya kesini dan menyetubuhinya kembaliKepalanya berdenyut pelan saat ia berusaha duduk. Tubuhnya seolah memprotes setiap gerakan yang ia lakukan, seakan-akan meminta istirahat lebih lama.Tapi pikiran Lova tak bisa tenang. Ada rasa penasaran yang mengganggu pikirannya, sebuah pertanyaan yang tak bisa diabaikanDengan hati-hati, Lova turun dari tempat tidur, melangkah keluar dari kamar tidurnya dengan langkah lambat. Suasana di luar kamar terasa sepi, tapi ada sesuatu yang berbeda. Suara samar terdengar dari dapur. Sebuah desisan pelan—seperti suara daging yang digoreng di atas