Debby yang sudah mantap dengan keputusannya merasa lebih lega sekarang. Setelah mengobrol dengan sang papi, Debby menyadari jika ia sudah menyia-nyiakan hidupnya selama ini. Sekarang, ia ingin meraih masa depan dan kebahagiaan yang sudah ia abaikan itu.
Bukan karena dorongan sang papi saja, tetapi dari lubuk hati Debby sendiri pun menginginkan hal tersebut. Hanya saja, dengan dukungan yang diberikan oleh Gunawan membuat Debby merasa lebih siap menghadapi segala kemungkinan, bahkan yang terburuk sekalipun.
Itu sebabnya saat William bertanya di sela-sela makan malam mereka kemarin, apa status hubungan mereka sekarang, dengan tanpa ragu Debby pun memberikan jawabannya.
Namun, sebelum menjawab, Debby malah balik bertanya, “Bapak sendiri maunya apa?”
William langsung tertawa. “Astaga, Baby! Kamu masih pakai tanya segala? Kalau mauku, jelas istrilah! Tapi untuk sekarang ... &rdqu
Sudah hampir seminggu mereka menjadi sepasang kekasih. Memang masih terbilang baru, bahkan mau disebut baru seumur jagung pun itu masih berlebihan. Namun, bagi William, hubungan yang baru seujung kuku itu sudah banyak tantangan yang harus dihadapi. William harus banyak menahan diri dan tetap memasang mode sabar setiap kali berhubungan dengan Debby. Meskipun sudah berstatus kekasih, Debby tidak serta-merta meluluskan semua keinginan William. Padahal, apa yang diminta William pun masih dalam batas kewajaran, bukan sesuatu yang sulit dilakukan, apalagi melanggar norma. Lelaki itu mengerang frustrasi pada satu saat kemarin, pada kunjungannya ke rumah Debby yang kesekian kalinya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah berukuran sedang itu. “Astaga! Ternyata ini gak segampang yang kukira!” William lantas melirik Debby sambil tersenyum masam. “Koko pikir, Koko bisa mengatasi ini saat
“Astaga! Chen-Chen! Bikin kaget aja! Jangan seperti anak kecil!” Debby langsung terkekeh mendengarnya. “Huu! Jangan suka marah-marah terus, Ko, nanti cepat tua. Eh, memang sudah tua, ya?” ejek Chen-Chen. “Kamu ini! Dasar!” Meskipun William bersungut-sungut, kedua ujung bibirnya terangkat ke atas. Debby tersenyum geli melihatnya. Pandangan Chen-Chen lantas beralih pada Debby tanpa menghiraukan gerutuan William. “Hai, Cici,” sapanya dengan ceria. “Kita ketemu lagi, Ci. Apa kabar?” Debby yang masih senyum-senyum melihat interaksi kakak adik di hadapannya menjawab, “Halo, Chen-Chen. Kabar Cici baik. Oh ya, makasih buat kemarin, ya.” Debby baru teringat kalau ia belum berterima kasih secara langsung pada dokter cantik itu. “Makasih buat apa, Ci,” tampik Chen-Chen. “Lagi apa kamu di sin
Netra sipit Debby seketika membola dan bibirnya ternganga.“Kenapa kaget gitu?” tanya William seraya terkekeh. “Koko sudah sering ke rumahmu, ‘kan? Sekarang, giliran kamu dong. Kapan kamu mau main ke tempat Koko? Bora pasti senang dikunjungi pemiliknya.”Serta-merta tawa Debby pecah mendengar omongan William. “Ya ampun, Ko Billy. Benar-benar deh! Bilang aja diri sendiri yang bakal senang. Nggak usah bawa-bawa Bora. Dia itu cuma guling!”“Tapi guling istimewa, Baby. Jadi, kapan?” kejar William di sela-sela tawanya.“Aish! Kapan-kapanlah, Ko,” elak Debby.“Bagaimana kalau minggu depan? Kita bisa atur kencan berikutnya dengan berolahraga. Kamu suka renang, ‘kan? Setelah kita ketemu di kolam renang hotel waktu itu, Koko sudah bolak-balik pengin ajak kamu renang bareng, lo. Tapi tunggu. Kalau pagi, kamu harus ke rumah papi kamu, ya? Kalau gitu, cuma bisa Minggu sore. Bagaimana menurutmu, Baby?”Debby tidak menyahut. Otaknya langsung berputar menganalisis situasi. Baru membayangkan berdua sa
Untuk saat ini, William tak bisa lebih bahagia lagi setelah mendengar izin dari sang kekasih. Namun, saat telapak tangan William akhirnya menyentuh bahu kanan Debby, lelaki itu merasakan sentakan halus. Bahkan bukan cuma itu saja! Tubuh Debby sedikit kaku dan William bisa mendengar sentakan napas yang tertahan. “Sial! Aku membuatnya ketakutan lagi,” rutuk William dalam hati. Tangannya segera diturunkan dari bahu Debby. Entah ia harus merasa apa saat ini. Beruntung atau sial? Mereka sudah tiba di samping mobil hatchback hitam yang akan membawa mereka ke rumah Debby. Jadi, tangannya memang harus segera menyingkir dari bahu wanita itu. Namun, reaksi Debby tadi menjadi indikasi kuat bagi William kalau wanita itu memang masih belum siap. “Ternyata permintaannya kemarin supaya gak ada kontak fisik sama sekali gak mengada-ada, ya? Hah! Aku malah protes, bilang kalau gak ada kontak fisik jadi seperti dua orang asing yang baru pertama kali ketemu, padahal statusnya pacaran. Ya ampun, Will! B
William dibuat terkesiap saat tangan yang baru saja meletakkan gelas langsung digenggam Debby.“Tangan Koko nggak apa-apa?” tanyanya penuh kekhawatiran. Wanita itu bahkan membolak-balik telapak tangannya.William langsung terkekeh sekaligus tersentuh. Tangan yang bebas pun mengusap-usap puncak kepala Debby. “Ya ampun, Baby. Bisa-bisanya kamu masih memikirkan orang lain di saat seperti ini. Tangan Koko gak apa-apa. Justru tanganmu itu, sakit apa gak? Kenapa tadi ikut-ikutan menampar sih?”“Aku nggak tahan sama omongannya, Ko!” geram Debby.“Memang sih.” William menghela napas berat. Ia balik menggenggam tangan Debby.“Dari mana Koko tahu soal laki-laki itu? Koko tahu maksudku, ‘kan? Aku nggak sudi menyebut namanya!”“Bagus! Koko juga gak mau kamu menyebut nama laki-laki lain di de
William langsung menindaklanjuti apa yang sudah diputuskannya saat masih berada di rumah Debby tadi begitu tiba di apartemen. Ia bahkan sampai menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk mematangkan apa yang terlintas di kepalanya tadi. Ia juga memikirkan dan menambahkan alternatif lain yang bisa digunakan untuk meningkatkan keamanan sang kekasih. William benar-benar memikirkan dengan cermat semua kemungkinan yang bisa ia gunakan untuk mencapai tujuannya.Kini, setelah segala upaya yang mungkin dilakukan sudah dipikirkan dan direncanakan sedemikian rupa, William bisa sedikit mengendurkan kewaspadaan. Esok hari, tinggal menjalankan rencana yang bisa ia kerjakan sendiri sementara yang membutuhkan pihak lain akan ia diskusikan dengan pihak-pihak terkait.Meski ia tidak puas dengan pengaturan seperti itu, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Status mereka saat ini yang masih pasangan kekasih cukup membatasi bentuk perlindungan yang William ingin
“Dua atau tiga hari lagi Papi akan antar Bi Siti ke rumahmu,” ucap Gunawan dari seberang telepon.“Buat apa, Pi? Bi Siti kan lebih diperlukan di rumah daripada di sini,” tolak Debby pada rencana sang papi yang disampaikan secara tiba-tiba itu.“Ya, buat menemani kamulah. Kamu di sana kan sendirian. Soal di sini gak usah kamu khawatirkan. Masih ada orang yang bisa bantu di sini. Papi lebih khawatir sama kamu di sana.”Debby mendesah. “Apa ini karena ancaman yang Debby tunjukkan ke Papi minggu lalu? Kayaknya itu cuma gertakan aja kok, Pi. Nggak ada apa-apa juga selama ini,” kecoh Debby.Gunawan langsung berdecak. “Jangan bohong, Sayang. Papi sudah tahu soal kemarin malam. Ferdinand datang lagi ke rumahmu, ‘kan?”Debby mengernyit. “Dari mana Papi tahu?”“Hah! Anaknya sendiri yang laporan sama Mami tadi siang. Huh. Mami benar-benar keras kepala, padahal Papi sudah larang supaya jangan berhubungan dulu sama anak itu buat sementara waktu, tapi … hah!”“Kenapa, Pi? Memangnya dia laporan apa s
Debby terlonjak kaget saat ponselnya berdering. Namun, detik berikutnya, embusan napas lega langsung terlontar dari bibir mungilnya. “Ugh! Kukira Mami. Sialan! Gara-gara orang itu aku jadi waswas kapan Mami meledak. Hah! Kalau cuma aku sih nggak masalah, tapi kalau Koko sampai kena omel juga … huff!” gerundel Debby dalam hati.“Halo, Fan,” sahut Debby setelah tombol hijau digeser. “Ada apa?”“Kamu lagi apa, Say? Mau menginap di tempatku beberapa hari? Atau mau kutemani?” tanya Fanny tanpa basa-basi.“Eh?” Debby langsung menoleh pada William dengan mata memicing. “Koko bilang sama Fanny?” tanya Debby tanpa suara. Tangannya yang bebas ikut bergerak, menunjuk dada William kemudian menunjuk ponsel yang masih menempel di telinga.Melihat lelaki itu hanya menyengir, membuat Debby langsun
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam