Siapa Emir?PoV AuthorDalam heningnya malam, seorang wanita memilih menyendiri di balik jendela yang sengaja daunnya ia buka setengah. Hawa dingin mengusap lembut wajah ayu yang tak henti-hentinya membasah oleh air mata.Bahkan ketika nyamuk-nyamuk hitam dari luar kamarnya turut mengerubungi, menggigitnya penuh nafsu, seolah ia tak merasakannya.Lubang luka di hatinya terlalu dalam, hingga ia kesulitan merasakan rasa yang lainnya. Pedih, sakit, merasa menjadi makhluk yang paling menderita. Hanya air mata yang mampu menjadi teman, di setiap malam yang menyudutkannya pada sebuah penyesalan."Papa ... Nadia sudah jebloskan ketiganya ke dalam penjara. Negara kita punya hukum, Pa. Jika saja Nadia boleh memilih, tentu Nadia ingin mereka ma_ti saja. Nadia ingin mereka merasakan apa yang Papa rasakan malam itu." Hatinya terus menjerit mengucap sesal yang tak kunjung selesai."Seandainya Nadia tidak dengan mudah jatuh cinta dan percaya pada Mas Irwan, mungkin sekarang Papa sudah sembuh. Ini s
Tentang EmirPoV Author"Emir?" gumam Nadia, tak asing dengan wajah pemuda yang kini tengah menjabat tangan Pak Adnan."Lho, Nadia?" tanya Emir, pria yang Nadia kenal dengan nama lain."I-iya. Kamu ngapaian?" tanya Nadia gugup. Ia merasa canggung sebab, pernah beberapa kali mengabaikan pesan chat dari pria di balik meja pelayanan masyarakat itu."Kerja lah, masa cari istri. Oh, ya, jadi klien Pak Adnan ini Nadia?" tanya Emir, usai menjawab pertanyaan Nadia."Kalian sudah saling kenal?" tanya Pak Adnan, menoleh pada Nadia dan Emis bergantian."Sudah, Pak. Kebetulan--""Hanya sebatas saling kenal saja, Pak," sambar Nadia, memotong ucapan Emir.'Kenapa namanya jadi Emir. Dia bilang padaku, Fachri. Ah, sepertinya laki-laki gak bener ini. Nama saja dia manupulasi,' batin Nadia, kemudian membuang pandangan ke arah luar.Emir Muhammad Fachri adalah pria bermobil mewah yang beberapa hari ini pernah tak sengaja menabrak mobil Nadia. Pria itu memperkenalkan diri pada Nadia dengan nama akhiranny
Kondisi Khiara"Ya, sudah. Tolong jangan dilambat-lambatin, ya, Mir. Kami permisi dulu," ujar Pak Adnan yang memang tak mungkin mengucap salam."Ya. Kami pamit. Assalamu'alaikum," ucap Nadia, berinisiatif mengucap salam, sebab tahu nama tengah Emir tak mungkin berasal dari non muslim.**"Kalian kenal di mana?" tanya Pak Adnan di tengah perjalanan yang mulai terik oleh cahaya mentari."Oh, itu__" Nadia pun menceritakan peristiwa sore itu, yang membuatnya tak sengaja harus berkenalan dengan Emir."Ha ha ha ...kayak orang gak punya saja, kamu, Nad. Kerusakan lama, kamu limpahkan pada Emir." Pak Adnan terbahak beberapa saat, menertawakan tingkah Nadia yang ia anggap konyol."Habisnya sombong, sih, jadi orang. Mentang-mentang pake mobil mewah," ketus Nadia."Memangnya dia sombong gimana?" selidik Pak Adnan lagi. Paham dengan sikap baik dan ramah Emir selama ini, rasanya tak mungkin jika pemuda itu bersikap sombong."Ya ..." Nadia berpikir beberapa saat. Sore itu, ia sangat geram pada Emir
Merawat Khiara"Emm ... oke, deh. Tapi janji, jangan sampai anak Mama yang cantik ini kelelahan. Mama gak mau, sampai Allisya sakit." Nadia pun menampakkan wajah yang tak kalah sendu. Kekhawatiran jelas terlihat di kedua netranya.Nadia pun segera menelepon Ima dan Mbak Nani, ingin meminta tolong pada mereka mengambilkan seragam sekolah Allisya dan segala macam keperluannya untuk di rumah sakit."Bu, saya gak berani masuk kamar Ibu," kata Mbak Nani di ujung telepon."Masuk aja, Mbak, gak pa-pa. Ambilkan baju ganti saya sama sabun cuci muka saya di kamar mandi," pinta Nadia, memercayai kedua orang pekerjanya."Emm ... video call, ya, Bu. Biar Ibu bisa lihat saya masuk dan keluar dari kamar Ibu." Mbak Nani yang memang tak pernah masuk ke kamar Nadia pun, sangat ketakutan ada sesuatu yang hilang dan dialah yang menjadi tersangkanya."Ya, sudah, gimana menurut Mbak Nani saja." Nadia sedikit terkekeh, kagum dengan kesopanan Mbak Nani.Mbak Nani pun mengalihkan panggilan ke panggilan video,
PoV Author"Lho, kamu di sini? Sendirian?" tanya seseorang yang tak sengaja Nadia tabrak.'Kebetulan atau apa, ini? Mengapa harus bertemu di sini,' batin Nadia, bukannya segera menjawab."Hei, malah bengong!" tegur orang itu, seorang pria muda yang tak lain adalah Emir."Oh. Itu ... aku sedang menjaga temannya Allisya. Maaf, aku buru-buru." Nadia bergegas melangkah, hendak meninggalkan pria itu. Tanpa sadar, kartu tunggu yang ia masukan ke dalam saku gamis justeru terjatuh di hadapan Emir."Tunggu, Nadia! Kartumu jatuh," tukas Emir, setengah berlari mengejar Nadia."Oh, terima kasih." Nadia mengambilnya, lantas segera berbalik hendak melangkah lagi."Buru-buru banget? Mau ke mana?" Rupanya Emir malah mengikuti langkah cepat Nadia."Jangan ikuti, plis. Aku sedang buru-buru," mohon Nadia, merasa sedikit risih dengan keberadaan Emir.Emir mengangguk. Cukup tahu diri jika wanita yang ia dekati terus menolak. Pria itu pun tak lagi mengikuti Nadia, melainkan kembali pada tujuan utamanya.Ke
Bagai Sebuah PetuahPoV Author[Terima kasih. Tapi, tahu dari mana jika saya belum tidur?] balas Nadia.[Whatsapp-mu online, Bu Nadia. Oh, ya, anak-anak sudah tidur?] tanya pria si pengirim pesan itu.[Kenapa, memangnya?] tanya balik Nadia. Sesekali ia tersenyum, mengingat kejadian tadi ketika menuduh pria itu sebagai penjahat pe_do_fil.[Tak apa. Kamu tidak tidur?] balas pria itu lagi.[Mendadak tidak mengantuk.] Nadia mengirim pesan balasan, kemudian melirik jam dinding rumah sakit sudah menunjukkan pukul 23.30 sudah hampir tengah malam.[Kutraktir minum kopi, mau?] tawar pria itu, yang tak lain adalah pria yang telah menolong anaknya dari serangan Khiara.[Yang ada, saya gak tidur sampai pagi, Pak.] Tanpa sadar, Nadia melengkungkan senyuman tipisnya, setelah mengetik balasan itu.[Susu jahe, mungkin? Biar badan hangat dan pikiran menjadi relaks,] balas pria itu, Emir.[Boleh juga. Aku juga mendadak laper.][Tapi, maaf. Aku tidak bisa meninggalkan anak-anak, meskipun mereka sedang t
Pertimbangan NadiaPoV Author"Ya, aku pun berpikir begitu. Tapi aku yakin jika dengan cinta, sifat buruknya akan berangsur hilang." Nadia menatap kosong ke arah lorong gelap. Ia membayangkan Khiara tumbuh bersama dengan gadis kecilnya, menjadi kakak-beradik yang saling menghargai dan menyayangi."Kamu benar. Bahkan harimau sekalipun, bisa melunak jika setiap hari dilatih dengan penuh cinta. Hanya saja ... watak manusia lebih keras dibanding hewan buas sekalipun." Emir menatap wajah Nadia yang tengah melamun dalam gelayut dilemanya."Batu saja akan berlubang, jika sering tertimpa air." Nadia menoleh, bertemu pandang dengan tatapan lekat Emir. Keduanya bergegas saling membuang pandang."Begini, Nadia. Menurutku, apa tidak sebaiknya kamu periksakan Khiara ke psikolog?" usul Emir lagi. Pria itu tetap saja tidak bisa melihat sisi baik dalam diri Khiara, usai pertengkaran sore tadi dengan Allisya.Pandangan Emir terhadap Khiara tentu berbeda, tanpa pemakluman Khiara itu masih kecil. Berbed
Kebohongan Baru KhiaraKeesokan harinya, usai melaksanakan shalat subuh, Nadia segera merapikan ruangan Khiara. Ia pun membangunkan Allisya, karena harus berangkat ke sekolah lebih pagi. Jarak rumah sakit dengan sekolah Allisya cukup jauh, lebih dari setengah jam perjalanan.[Ima, kamu bisa ke rumah sakit sekarang?] ketik Nadia pada pesan chat yang akan ia kirim pada Ima. Namun karena sedang sangat buru-buru, Nadia pun lupa menekan tombol kirim.Ia sibuk memandikan dan mendadani Allisya, berlari ke luar mengajak anak semata wayangnya untuk sarapan di kantin rumah sakit. Khiara ia tinggalkan sendirian, karena masih terlelap dengan damai."Ma, kok, buru-buru banget?" tanya si cantik Allisya."Sekolahnya jadi jauh, Sayang. Ayo, sarapannya dimakan biar gak telat." Nadia menjawab celoteh gadis kecilnya seraya mengusap puncak kepala sang gadis."Siapa yang anterin Al, Ma?""Mama, dong! Tunggu Kak Ima sampai, biar dia yang jagain Khiara sementara waktu," jawab Nadia, kemudian memasukkan suap
Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama
Allisya kemudian melirik seperangkat perhiasan emas yang dikenakannya. "Kamu memang pekerja keras dan pantang dibantu, Mas. Hanya kerjaan dariku yang kamu ambil, saking kamu nggak mau berleha-leha dengan fasilitas yang sudah aku punya," ucap Allisya pelan.Perempuan cantik yang telah melepas masa gadisnya itu pun bergegas masuk ke dalam, hendak bersiap-siap pergi ke restorannya karena ada rapat besar. Di restoran nanti, mereka akan bersikap seperti biasa, layaknya atasan dengan pekerja. Azka yang meminta. Azka bahkan sudah menolak sebagian saham yang diberikan oleh Allisya.***"Bagaimana, Pak, laporan keuangan resto cabang no 2?" tanya Allisya kepada salah seorang manager di restoran cabang di Bogor. Pria bertubuh sedang dengan perut sedikit maju itu mengeluarkan laporan, lalu meminta Allisya untuk mengeceknya kembali. Beberapa penjelasan juga sudah dia sampaikan.Allisya memeriksanya, lalu segera beralih pada manager cabang-cabang lain. Setelah semua ia cek, barulah ia mengecek res
Seluruh keluarga berkumpul di tanah pemakaman, menyaksikan sekaligus mendoakan kepergian Bu Aniyah yang terbilang mendadak. Hanya dirawat beberapa hari di rumah sakit, lalu meninggal ketika kondisinya mulai membaik.Azka dan Allisya sudah berusaha semaksimal mungkin, tentunya. Namun ternyata, inilah suratan yang harus mereka jalani. Keinginan Bu Aniyah untuk menjadikan Allisya sebagai menantu, sekaligus ibu bagi cucu satu-satunya telah terpenuhi. Beliau pergi dengan tenang, seolah bebannya telah terlepas.Perempuan berkerudung putih senada dengan gamis yang dikenakannya, terus saja berdiri menggamit tangan suaminya, juga memegangi tangan gadis kecil di sisi lainnya. Perempuan itu sesekali melepaskan tangan untuk mengusap air mata. Ia mendongak, menatap wajah sang suami yang terlihat begitu tenang seolah-olah tidak ada hal buruk yang menimpa."Mas ... kamu hebat. Kamu kuat," kata sang wanita, memandangi penuh kagum suami yang dicintainya. Dialah Allisya, sang ibu sambung bagi Ziya."Be
Ketika suaminya terpukul setelah kehilangan ibunya, Allisya duduk di sebelahnya. Dengan lembut memandangnya, dengan hati penuh kasih. Dia bisa merasakan betapa sedihnya yang dirasakan suaminya. Meski tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit itu, dia tahu dia harus ada di samping suaminya, memberikan kekuatan lewat keberadaannya.Dia menggenggam tangan suaminya dengan erat, memberikan ketenangan dalam diam. Wajah suami yang biasanya tegar kini dipenuhi kepedihan, dan dia merasa cemas melihat keprihatinan di depan matanya.Sambil memeluk, tangannya terus mengusap punggung sang suami. Membiarkan suaminya menangis, mengeluarkan nestapa yang membelenggu jiwanya."Nenek! Ziya mau ke nenek! Ziya mau lihat nenek, Tante ... tolong Ziya ...!" Jeritan Ziya di luar sana, terdengar begitu menyayat hati. Gadis kecil itu sangat dekat dengan neneknya, sejak ia bayi. Terutama setelah bundanya pergi untuk selama-lamanya.Mendengar itu, Azka dan Allisya menjadi gusar. Saling menatap, merasakan