Bagai Sebuah PetuahPoV Author[Terima kasih. Tapi, tahu dari mana jika saya belum tidur?] balas Nadia.[Whatsapp-mu online, Bu Nadia. Oh, ya, anak-anak sudah tidur?] tanya pria si pengirim pesan itu.[Kenapa, memangnya?] tanya balik Nadia. Sesekali ia tersenyum, mengingat kejadian tadi ketika menuduh pria itu sebagai penjahat pe_do_fil.[Tak apa. Kamu tidak tidur?] balas pria itu lagi.[Mendadak tidak mengantuk.] Nadia mengirim pesan balasan, kemudian melirik jam dinding rumah sakit sudah menunjukkan pukul 23.30 sudah hampir tengah malam.[Kutraktir minum kopi, mau?] tawar pria itu, yang tak lain adalah pria yang telah menolong anaknya dari serangan Khiara.[Yang ada, saya gak tidur sampai pagi, Pak.] Tanpa sadar, Nadia melengkungkan senyuman tipisnya, setelah mengetik balasan itu.[Susu jahe, mungkin? Biar badan hangat dan pikiran menjadi relaks,] balas pria itu, Emir.[Boleh juga. Aku juga mendadak laper.][Tapi, maaf. Aku tidak bisa meninggalkan anak-anak, meskipun mereka sedang t
Pertimbangan NadiaPoV Author"Ya, aku pun berpikir begitu. Tapi aku yakin jika dengan cinta, sifat buruknya akan berangsur hilang." Nadia menatap kosong ke arah lorong gelap. Ia membayangkan Khiara tumbuh bersama dengan gadis kecilnya, menjadi kakak-beradik yang saling menghargai dan menyayangi."Kamu benar. Bahkan harimau sekalipun, bisa melunak jika setiap hari dilatih dengan penuh cinta. Hanya saja ... watak manusia lebih keras dibanding hewan buas sekalipun." Emir menatap wajah Nadia yang tengah melamun dalam gelayut dilemanya."Batu saja akan berlubang, jika sering tertimpa air." Nadia menoleh, bertemu pandang dengan tatapan lekat Emir. Keduanya bergegas saling membuang pandang."Begini, Nadia. Menurutku, apa tidak sebaiknya kamu periksakan Khiara ke psikolog?" usul Emir lagi. Pria itu tetap saja tidak bisa melihat sisi baik dalam diri Khiara, usai pertengkaran sore tadi dengan Allisya.Pandangan Emir terhadap Khiara tentu berbeda, tanpa pemakluman Khiara itu masih kecil. Berbed
Kebohongan Baru KhiaraKeesokan harinya, usai melaksanakan shalat subuh, Nadia segera merapikan ruangan Khiara. Ia pun membangunkan Allisya, karena harus berangkat ke sekolah lebih pagi. Jarak rumah sakit dengan sekolah Allisya cukup jauh, lebih dari setengah jam perjalanan.[Ima, kamu bisa ke rumah sakit sekarang?] ketik Nadia pada pesan chat yang akan ia kirim pada Ima. Namun karena sedang sangat buru-buru, Nadia pun lupa menekan tombol kirim.Ia sibuk memandikan dan mendadani Allisya, berlari ke luar mengajak anak semata wayangnya untuk sarapan di kantin rumah sakit. Khiara ia tinggalkan sendirian, karena masih terlelap dengan damai."Ma, kok, buru-buru banget?" tanya si cantik Allisya."Sekolahnya jadi jauh, Sayang. Ayo, sarapannya dimakan biar gak telat." Nadia menjawab celoteh gadis kecilnya seraya mengusap puncak kepala sang gadis."Siapa yang anterin Al, Ma?""Mama, dong! Tunggu Kak Ima sampai, biar dia yang jagain Khiara sementara waktu," jawab Nadia, kemudian memasukkan suap
KecurigaanPoV AuthorEmir : [Bisa ketemu?]Nadia : [Ada apa?]Emir : [Butuh tandatangan kamu.]Nadia : [Memangnya, bisa keluar di jam kantor begini?]Emir : [Bisa. Urusan pekerjaan.]Khiara sudah diperbolehkan pulang dan menjalani pemulihan di rumah. Nadia sendiri yang membawa pulang ke rumahnya, kemudian meminta Ima dan Mbak Nani untuk menjaganya.Waktu pulang sekolah Allisya masih sekitar satu setengah jam lagi. Di dalam kamarnya, Nadia kembali membuka kotak pesan pada aplikasi whatsapp di ponselnya.[Mau ketemu sekarang? Aku ada waktu satu jam,] kirim Nadia pada Emir.[Oke. Ketemu di restomu, ya.][Siap!] balas Nadia, bergegas keluar dari dalam kamarnya."Khia, Tante ada urusan sebentar. Sekalian jemput Allisya. Kamu di sini dulu, ya, sama Kak Ima dan Mbak Nani. Pokoknya, kamu mau makan apa aja boleh." Nadia berbicara pada Khiara, berpamitan sekaligus berpesan agar gadis itu tidak pulang ke rumahnya."Iya, Tante. Makasih, ya," balas Khiara menurut."Iya, Sayang." Nadia tersenyum s
Bisnis Lain?PoV Author"Hey, Pelayan! Cepat bersihkan sepatuku.""Baik, Ratu.""Sudah selesai, Ratu.""Siapkan kereta kencanaku.""Sudah, Ratu.""Aku mau pergi ke singgasana calon suamiku. Kamu tidak boleh ikut. Aku tidak mau Rajaku berpaling padamu."Diam-diam Nadia menguping, ketika Allisya dan Khiara main bersama di dalam kamar Allisya. Mulanya semua terlihat baik-baik saja, saat Allisya pulang sekolah.Dengan berani, Khiara meminta maaf pada Allisya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Saat itu juga, Allisya merengek ingin main berdua dengan Khiara. Nadia pun meminta keduanya makan siang terlebih dahulu, barulah bermain bersama dengan catatan, jam satu siang harus tidur siang."Siap, Mama!" jawab Allisya sebelum main bersama.Khiara pun tak membantah. Di hadapan Nadia, gadis itu bersikap sangat manis.Kini Nadia hanya bisa mengernyit, mendengar percakapan di dalam kamar Allisya. Dan ia sangat mengenal suara kedua gadis manis itu.'Apa maksud permainan mereka? Atau jan
Hadiah Kecil dari EmirPoV NadiaSesampainya di resto, segera kuminta Allisya dan Khiara duduk di dekat area dapur agar ada salah seorang pramusaji yang menjaganya, sambil memerhatikan kesibukan dapur."Tiwi, kalau dapur sibuk, segera panggil saya. Biar saya yang jagain anak-anak lagi," pesanku sebelum meninggalkan mereka ke meja luar yang menghadap langsung ke arah jalan."Siap, Bu!" ujarnya, membawakan makanan kesukaan Allisya dan Khiara.Kutemui Emir yang sudah menunggu di meja luar, duduk santai sambil menyesap kopi hitam yang sejak tadi dipesannya."Sudah lama, menunggu?" sapaku berbasa-basi."Enggak. Aku belum lama sampai.""Oh. Tapi, kopimu sudah habis," sindirku, melirik pada cangkir yang hanya tersisa ampas kopinya saja."Oh, ini. He he he ... ya, seperti ini caraku minum kopi. Menghabiskannya selagi masih panas," jelasnya seraya terkekeh.Allah ... mengapa senyumannya begitu menawan. Astaghfirulla, sadar, Nadia. Statusmu saat ini adalah janda, dan jangan pernah bermimpi mend
Kondisi Mental KhiaraPoV Author"Tiket liburan ke Singapore?" tanya Nadia dengan memasang wajah tak percaya."Setahuku anak SD sudah selesai semesteran dan akan libur semester sebentar lagi, bukan? Apa salahnya, ajak si cantik itu liburan." Emir segera menunduk ketika tatapannya bertemu. Ia sadar, ia bukanlah siapa-siapa yang berhak memberikan itu semua. Namun, entah mengapa hatinya terus mendorong untuk ia melakukan itu."Tapi ini gak murah, Pak," kata Nadia, membolak-balikkan dua buah tiket itu."Tapi gak sebanding dengan perjuanganmu saat ini. Pergilah. Itu aku dapatkan gratis dari kantor. Kebetulan aku belum punya pasangan, jadi itu untukmu dan Allisya saja." Emir sengaja berbohong. Pasalnya, dua buah tiket itu sengaja ia beli dari temannya yang memiliki usaha tour dan travel."Dari kantor? Keren juga, ya, kantor Pemda hadiah tahun barunya. Gak tanggung-tanggung, liburan ke LN." Nadia masih tak percaya mendapatkan itu dari seorang pekerja pemerintahan yang menurutnya, gajina masi
Waktu yang BergulirPoV AuthorSatu tahun berlalu ...Nadia terus menatap kosong ke arah rerumputan di halaman rumah Diniarti dan mantan suaminya. Rumah itu kini terkesan angker, sebab sudah setahun lebih ditinggal oleh penghuninya.Sesekali Nadia melintas, ketika sore hari tengah bermain sepeda dengan gadis kecilnya."Ma, ayo!" ajak Allisya, menyadari bahwa sang Mama tengah melamun hingga menghentikan laju sepedanya."Iya, Sayang."Keduanya pun kembali menggoes perlahan, namun lamunan tentang masa silam terus menggerogoti pikiran Nadia. Setahun lalu ia mengantarkan Khiara ke sel tahanan tempat Bu Rita dan Diniarti dipenjara.Nadia pikir, kedua wanita itu akan senang dan berterima kasih sebab sudah mempertemukan dengan Khiara. Namun nyatanya ..."Heh, ngapain kamu bawa Khiara ke sini? Kamu senang, sudah merusak mentalnya dengan memberitahu dia bahwa kami kini seorang narapidana? Jahat kamu, ya!" umpat Bu Rita."Merusak mentalnya? Justeru kalian yang sudah merusak dia sehingga anak sek
Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama
Allisya kemudian melirik seperangkat perhiasan emas yang dikenakannya. "Kamu memang pekerja keras dan pantang dibantu, Mas. Hanya kerjaan dariku yang kamu ambil, saking kamu nggak mau berleha-leha dengan fasilitas yang sudah aku punya," ucap Allisya pelan.Perempuan cantik yang telah melepas masa gadisnya itu pun bergegas masuk ke dalam, hendak bersiap-siap pergi ke restorannya karena ada rapat besar. Di restoran nanti, mereka akan bersikap seperti biasa, layaknya atasan dengan pekerja. Azka yang meminta. Azka bahkan sudah menolak sebagian saham yang diberikan oleh Allisya.***"Bagaimana, Pak, laporan keuangan resto cabang no 2?" tanya Allisya kepada salah seorang manager di restoran cabang di Bogor. Pria bertubuh sedang dengan perut sedikit maju itu mengeluarkan laporan, lalu meminta Allisya untuk mengeceknya kembali. Beberapa penjelasan juga sudah dia sampaikan.Allisya memeriksanya, lalu segera beralih pada manager cabang-cabang lain. Setelah semua ia cek, barulah ia mengecek res
Seluruh keluarga berkumpul di tanah pemakaman, menyaksikan sekaligus mendoakan kepergian Bu Aniyah yang terbilang mendadak. Hanya dirawat beberapa hari di rumah sakit, lalu meninggal ketika kondisinya mulai membaik.Azka dan Allisya sudah berusaha semaksimal mungkin, tentunya. Namun ternyata, inilah suratan yang harus mereka jalani. Keinginan Bu Aniyah untuk menjadikan Allisya sebagai menantu, sekaligus ibu bagi cucu satu-satunya telah terpenuhi. Beliau pergi dengan tenang, seolah bebannya telah terlepas.Perempuan berkerudung putih senada dengan gamis yang dikenakannya, terus saja berdiri menggamit tangan suaminya, juga memegangi tangan gadis kecil di sisi lainnya. Perempuan itu sesekali melepaskan tangan untuk mengusap air mata. Ia mendongak, menatap wajah sang suami yang terlihat begitu tenang seolah-olah tidak ada hal buruk yang menimpa."Mas ... kamu hebat. Kamu kuat," kata sang wanita, memandangi penuh kagum suami yang dicintainya. Dialah Allisya, sang ibu sambung bagi Ziya."Be
Ketika suaminya terpukul setelah kehilangan ibunya, Allisya duduk di sebelahnya. Dengan lembut memandangnya, dengan hati penuh kasih. Dia bisa merasakan betapa sedihnya yang dirasakan suaminya. Meski tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit itu, dia tahu dia harus ada di samping suaminya, memberikan kekuatan lewat keberadaannya.Dia menggenggam tangan suaminya dengan erat, memberikan ketenangan dalam diam. Wajah suami yang biasanya tegar kini dipenuhi kepedihan, dan dia merasa cemas melihat keprihatinan di depan matanya.Sambil memeluk, tangannya terus mengusap punggung sang suami. Membiarkan suaminya menangis, mengeluarkan nestapa yang membelenggu jiwanya."Nenek! Ziya mau ke nenek! Ziya mau lihat nenek, Tante ... tolong Ziya ...!" Jeritan Ziya di luar sana, terdengar begitu menyayat hati. Gadis kecil itu sangat dekat dengan neneknya, sejak ia bayi. Terutama setelah bundanya pergi untuk selama-lamanya.Mendengar itu, Azka dan Allisya menjadi gusar. Saling menatap, merasakan