Aster mengambil jurnal yang dia temukan di kamar David. Jurnal yang sepertinya dipakai saat David bekerja di Pustaka Gemilang. Jadi David pernah di sana kan.
Dan Aster juga pernah bekerja untuk Pustaka Gemilang. Ah, sebelum AntarKata, bukan kah Aster pernah menjadi desainer freelance. Salah satu kliennya adalah Pustaka Gemilang. Dia bisa menjadikan perusahaan itu sebagai klien AntarKata juga karena hasil freelancenya kan. "Ya, ampun!" pekik Aster kaget sendiri. Bagaimana bisa dia melupakan hal tersebut?! Dia bertemu David. Juga Brian! Aster menekan dada. Betapa bodohnya Aster. Sifat pelupanya mengapa memilih momen seperti itu. David pasti sangat kecewa padanya. Telah melupakan saat - saat pertama mereka bertemu.Aster membaca sekali lagi tulisan di belakang foto. Tulisan tangan yang artistik. Namun isinya amat mengusik. Tanggal seharusnya David menemui Aster di rumah baru. Sebab itu lah David tak dapat datang. Seperti yang tergambar di foto. "Abaikan, Mbak. Ini hanya foto editan. Tenangkan dirimu," ujar Tomy. Namun bagaimana bisa Aster semudah itu menghapus pikiran buruk. Foto itu sangat nyata terlihat. Bukan sesuatu yang telah diutak - atik. Mata telanjangnya masih normal. Apa lagi dengan ilmu desain yang dia miliki. Dia bisa memeriksa keasliannya. Andai hatinya sekuat itu. "Permisi, Nona Aster, pak Jimmy sudah datang sama dua orang tamu. Boleh masuk?" tanya Ari. Aster terperanjat. Dia tidak sadar Ari sudah ada di sana menunggunya menjawab. "Dua? Siapa?" celetuk Aster. "Staff kantor non Aster katanya. Jadi boleh atau tidak?" ujar Ari. Aster mengangguk. Dia membolehkan mereka masuk. Lagi pula kan Jimmy bukan orang yang tidak boleh masuk. Sepertinya Ari menjadi berlebihan
"Lho, sudah pada pulang?" ujar Tomy yang muncul dari ruang dalam. Aster mendongak padanya. Kepalanya terayun perlahan membenarkan. Namun pandangannya masih tertarik pada benda tadi. Tomy melangkah mendekat. Matanya tampak memicing pada Aster. Seakan bertanya - tanya. "Kenapa, Mbak?" keheranan Tomy terucap. "Di foto tadi, mas David memakai kemeja kotak - kotak biru tua kan?" sebut Aster. Suara tercekat. Tomy menaikkan alis. "Em..., kurasa, iya." Jari Aster terangkat. Sampai Tomy mengikuti arah jari tersebut. Dia melihat benda di lantai. "Seperti itu?" bisik Aster ngeri. Di atas lantai memang teronggok segumpal kain yang mirip kemeja David. Namun ada bercak darah mengering. "Mbak, apa itu terjatuh dari buket tadi?" tebak Tomy. Meski ingin mengatakan yang lain, namun pikiran Aster pun mengarah ke hal tersebut. Kain itu bisa saja diselipkan dalam rangkaian bunga. Sebab buket itu besar da
"Aku tetap mau ikut menemui Reno," tegas Aster. Tomy meraup muka. "Jangan, Mbak. Ah..., baiklah! Baiklah! Aku akan menangkap dan membawa orang itu ke sini," ketus Tomy. "Bagaimana bisa? Dia akan menyulitkanmu." "Apa dia akan berkutik jika terancam dipecat juga di-blacklist?" Aster terhenyak. Tentu saja itu jalan yang paling ampuh untuk menyeret Reno. Pria itu akan mengikuti instruksi. Hanya saja itu pun bisa menjadi pisau bermata dua. Jika benar Reno yang menyekap David, maka dia akan memakai David sebagai senjata mengancam balik mereka. Perdebatan mereka diputus oleh Jimmy yang sudah muncul lagi. Jimmy mengambil buket yang sudah dikemas dalam plastik bening besar dan kain tadi. Dia juga mengatakan kalau mengenali kain tersebut sebagai pakaian yang dipakai David sebelum dia hilang. Namun dia akan memastikannya. Dia akan mengusahakan mengecek darah yang telah mengering itu. "Kamu mungkin lelah mendengar ini, tapi masuklah ke kamar. Kamu
Tomy menarik tangan Aster bergegas naik ke kamar atas. Mereka telah memerintahkan para pengurus rumah untuk tidak mengatakan apa pun soal Aster pada orang, terutama Brian. Mereka berpura - pura tak ada Aster di sana. Suara tinggi terdengar. Ari sepertinya tengah melarang seseorang untuk masuk. Atau menahan orang tersebut. Tomy mengunci pintu kamar David tempat Aster bersembunyi. Dia pun turun ke teras depan. Dari balik pintu Aster merapat. Dia menempelkan telinga ke pintu. Berusaha mendengar. Namun tidak ada lagi suara yang merembet sampai ke atas. Aster pun menyerah. Dia mundur ke tempat tidur. Agak beberapa lama baru pintunya berbunyi. Ada yang memutar anak kunci dari luar. Pelan dan berhati - hati. "Mbak, dia sudah pergi," beritahu Tomy yang mengayunkan daun pintu. Aster bangkit dengan lega. Dia menghampiri Tomy ingin tahu apa yang ter
"Apa? Reno melunasi hutang?" ulang Aster tak percaya. Dia tidak bisa mengecek rekening. Namun memang Panji bisa turut mengecek. Dia punya notifikasi pula. Juga De adalah pemantau perjanjian pelunasan. Jadi dia pun tahu perkembangan pembayaran. Pasti dari temannya itu Panji tahu Reno membayar lunas. Namun, uang dari mana? Tidak mungkin dia tiba - tiba mendapat uang banyak. Pinjam ke kantor jelas tidak mungkin. Setelah peristiwa di kafe, David sudah membuatnya tidak bisa berurusan soal uang dengan perusahaan. Begitu pula istrinya juga tidak akan bisa mengajukan pinjaman ke kantor. "Iya, Mbak. Pertengahan minggu lalu dia membayar semua kekurangan," jawab Panji. "Nggak, Pan. Nggak mungkin. Uang dari mana? Dia tidak mungkin mau ambil hutang lain untuk membayar hutang padaku," bantah Aster. "Entah dari mana, t
Aster menyentuh dada. Dia ingin memegang jantungnya erat. Agar tidak meledak. Betapa berdebar dia bisa keluar dari rumah Rendra. Berhari - hari terkurung di dalam sana. Dia merasa asing ketika melangkah ke luar. Mereka mengijinkan Aster keluar bersama Tomy. Walau pun Brian kembali ke rumah untuk kedua kali. Brian datang menuntut untuk bertemu Aster. Dia terus menyangkal telah membawa Aster. Malah dia menuduh Rendra yang menyembunyikan Aster. Dikejar Rendra pun Brian tidak menyebut alasan ingin bertemu Aster. Rendra pun balik menyerang Brian bahwa Aster disekap Brian. Keduanya beradu mulut begitu lama di teras rumah. Sampai Safira menarik Rendra masuk ke rumah. Dan dua penjaga menahan Brian dan memaksanya pergi. "Kenapa kamu, Mbak? Nggak enak badan?" cemas Tomy melirik Aster. Aster menggeleng pelan. "Aku nggak apa - apa. Hanya antusias," jawab Aster lirih. "Tenanglah. Brian tidak akan menemukanmu. Dia tid
"Aster! Aster dengarkan aku!" seru Reno bangkit dari kursi. Dia berlari mengitari meja rapat yang besar. Kursi roda yang dia tinggalkan bergeser liar. Tangannya terjulur ke arah Aster. Namun Aster mundur menjauh. Dia tidak mau Reno menyentuhnya. "Duduk!" perintah Tomy. Reno melayangkan pandang pada Tomy dengan sinis. Dia berani mengacungkan telunjuk. "Anda bukan atasan saya," sebutnya galak. Tomy mengeluarkan sebuah kartu dari saku kemeja. Tanda pengenal berlambang grup Antasena. Reno membelalak melihatnya. "Anda bukan auditor independen?" sergah Reno. "Duduk," desis Tomy dingin. Dia tidak perlu menjawab pertanyaan remeh Reno. Pria itu pun patuh mendudukkan diri ke kursi. Dia beralih menatap Aster penuh tuntutan. Meski bibirnya masih terkatup. "Kamu tahu mengapa dipanggil ke sini?"
"Dua puluh juta untuk wanita sial ini!" seru Reno meradang. Plak! Tamparan Tomy mendarat di muka Reno. Sampai pria itu terhuyung miring. "An-da sudah bertindak kriminal!" tuduh Reno menyentuh pipinya. Aster memandang tajam pada Reno. "Aku tidak pernah memintamu untuk membayar dengan uang haram!" tegas Aster. "Aku muak harus ingat memiliki hutang padamu! Terlebih kekasih barumu sangat menjengkelkan. Dia telah menghinaku!" seru Reno lebih kencang. "Apa?" sahut Aster kesal. Dia mengepalkan tangan lebih kuat. "Apa yang kekasihku lakukan padamu? Apa yang kamu lakukan pada kekasihku?!" "Dia mengancamku masuk penjara, sialan! Orang kaya seperti dia beraninya hanya pada rakyat jelata sepertiku. Menghina kami karena memiliki uang lebih banyak," amuk Reno. Dia sudah berdiri membungkuk. Tidak pernah dia bisa menegakkan punggungnya. Selalu terlihat menyedihkan bahwa ketika membela diri. "Dia tidak pernah melakukan i