Nyonya Sarah dan Bu Narsih menjawab salam dariku. Mereka tersenyum manis menyambutku.
"Selamat datang, Nay," ucap Nyonya Sarah ramah."Terima kasih, Nyonya," jawabku seraya menyambut uluran tangannya, lalu aku mencium takzim punggung tangan orang tua itu, "Bu," sapaku juga kepada Bu Narsih, kemudian menyalaminya."Mari masuk, Nay!" tawar Nyonya Sarah sambil ia didorong oleh Bu Narsih masuk ke dalam rumah.Aku mengikuti ke mana mereka mengarahkan. Teringat waktu pertama kali aku ke rumah ini waktu itu. Hmm ....Ternyata Nyonya Sarah mengajakku ke bagian ruang tengah rumah. Tampak sebuah teko dengan beberapa cangkir di dekatnya serta sebuah piring yang berisi potongan kue sudah siap di atas meja."Duduk, Nay!" suruh sang Nyonya rumah.Aku tersenyum canggung ke arahnya, lalu mendaratkan bokong ke sofa berwarna mint yang empuk tersebut. "Terima kasih, Nyonya," ucapku."Panggil Mommy. Kamu 'kan, menantu saya," ujar"Setelah itu, malah perempuan-perempuan lebih nggak bener dibandingkan Katalina pula yang dijadikan istri sama Steve. Heran Mommy dengan anak itu, nyari istri kok, asal-asalan!" Mommy tampak kesal.Aku tersenyum getir mendengar hal tersebut. "Maaf, Mommy waktu itu salah sangka dengan kamu, Nay," imbuh Mommy dengan raut menyesal.Aku menautkan alis demi mendengar apa yang baru saja orang tua itu sampaikan."Mommy pikir kamu perempuan nggak bener kayak yang sudah-sudah. Mau-maunya bercerai dari suamimu hanya demi hartanya Steven. Ya, sama seperti Hana dan Erika dulu, hanya mengincar uang." Mommy mendengkus tak suka.Hana dan Erika pasti mantan-mantan istri Steve lainnya. Aku tidak begitu mengenal mereka. Setahuku ketiga wanita yang pernah bersama lelaki yang kini menjadi suamiku itu tidak ada yang lama terikat pernikahan dengannya. Hal itu juga yang membuatku ragu kepada pria blasteran tersebut."Mommy sudah cari tahu tentang kamu
"Wa alaikumus sallam," jawabnya, "kamu sudah sampai rumah dan bertemu dengan Mommy?" tanya pria itu tanpa basa-basi."Iya, sudah," jawabku singkat sembari meredam kegugupan. Jangan sampai suaraku terdengar aneh di telinga Steve."Ya sudah kalau begitu. Aku pergi dulu." "Eh, tunggu!" cegahku. Kenapa seenaknya dia mau memutuskan telepon begitu saja? Masak cuma nanya begitu doang?"Ya?"Mmm ... tapi, mengapa aku mencegahnya memutuskan saluran telepon ini? Aku mau ngomong apa memangnya? Ah, aku jadi bingung sendiri dengan yang aku lakukan."Hmm ... Steve, kamu sudah sampai di Pontianak? Dari jam berapa tadi?" Ya, benar juga. Dia cuma mau tahu kegiatanku. Masak aku tidak boleh tahu kegiatan dia?"Tadi jam setengah dua belas sudah sampai Bandara Supadio," jawabnya to the point."Mmm ... sekarang kamu lagi apa?" Aku mesti tahu apa saja yang ia kerjakan. Mungkin saja dia bertemu dengan wanita lain d
"Baik, Mom." Aku menganggukkan kepala. Aku baru ingat, Steven 'kan, pemarah. Walau selama tiga hari ini dia sangat baik kepadaku, belum tentu akan seterusnya. Aku tidak mau memancing kemarahannya. Entahlah ... masih ada rasa segan dan takut terhadap pria tersebut, walaupun kami sudah resmi menjadi suami-istri. Aku khawatir jika ia marah, akan berimbas pada segala fasilitas yang ia berikan untuk membantu keluargaku. Bahkan bisa lebih dari itu. Ia tentu mampu menghancurkan keluargaku. Jangan sampai terjadi.Sehabis sarapan bersama Mommy, aku pun masuk ke dalam kamar. Kulihat ponsel baruku yang tergeletak di atas nakas. Hmm ... bagaimana ngomongnya? Kira-kira Steve ngizinin apa nggak ya? Ragu-ragu aku meraih telepon genggamku, lalu jari pun mulai mencari nama Steven di sana. Kemudian akhirnya kucoba saja menghubungi pria yang kini berstatus sebagai suamiku itu."Hallo," sapanya dengan suara khasnya yang berat dan datar.
"Si Parmin mana, Sih?" tanya Mommy kepada asistennya itu.Pak Parmin adalah supir keluarga Arnold satu lagi. Hanya saja, dia biasanya khusus melayani Mommy."Mmm, nggak usah, Mom!" sambarku sebelum Bu Narsih menjawab, "itu ojeknya sudah datang." Aku menunjuk ke arah seseorang yang memakai motor dengan jaket khasnya di depan pagar. Sepertinya ia sedang bertanya kepada penjaga keamanan sambil celingak-celinguk mengamati. Aku yakin itu tukang ojek yang sedang menungguku."Lain kali bisa sama Parmin aja. Ya sudah, hati-hati," pesan Mommy sambil bersungut-sungut.Aku balas dengan senyum simpul. Lalu menjawab, "Iya, Mom. Aku pergi dulu, assalamualaikum!" Kemudian aku pun segera meraih tangan Mommy dan mencium punggungnya cepat. Lantas berlari kecil ke arah si tukang ojek yang sudah menunggu.***Sesampainya di rumah Bi Eli, di Desa Mekar, aku melihat Nanda tengah asik bercanda dengan Rika. Aku pun turun dari ojek, dan membaya
Manda menatapku dengan sorot yang ... ah, entah. Aku tak bisa mengartikannya. Antara ia kasihan kepadaku atau sekaligus menyesali apa yang telah aku putuskan."Nggak kayak gitu, Manda! Kamu jangan sok tahu, ih!" Aku mencoba tersenyum walau hatiku terasa tertusuk dengan apa yang sepupuku bilang barusan.Gadis itu menarik napas panjang dan mengembuskan udara perlahan-lahan. "Maafkan kami semua, Kak. Kakak jadi tumbal semuanya. Gara-gara kami Kakak jadi harus terpaksa menikah dengan Tuan Steven yang jahat," ucap Manda dengan raut sedih. Ia tertunduk menatap lantai yang dingin."Eh, jangan ngomong begitu!" sambarku. Kuraih jemari Manda dan menggenggamnya erat, "Kakak bahagia, Man! Steven ternyata baik kok, orangnya," ungkapku kepada gadis itu. Aku berusaha meyakinkannya agar tidak berpikiran buruk seperti itu. Aku tidak mau keluargaku terbebani oleh keputusan yang telah aku buat sendiri.Manda menatapku lekat. Entahlah aku tidak tahu dia per
Pertanyaan Bang Rizal menarikku dari berbagai lamunan di kepala.Sontak aku melirik ke arah Shela lagi. Bang Rizal tidak tahu kalau gadis itu bekerja dengan Steven. Aku tidak mau ada isu skandal di antara kami."Mmm, in syaa Allah, Bang," jawabku ragu-ragu."Kamu hubungi Abang aja kalau mau ngejenguk ayah ya!" seru Bang Rizal."Iya," sahutku lirih.Akhirnya mobil kami sampai di depan gerbang Rumah Sakit Marzuki. Aku dan Shela pun turun."Ini, Bang!" Kusodorkan uang sejumlah lima ratus ribu ke arah Bang Rizal."Eh! Banyak banget, Nay!" Bang Rizal seakan hendak menolak."Nggak apa-apa." Kuletakkan lima lembar uang merah itu ke atas dash board mobilnya."Makasih, Nay," ucap Bang Kamal dengan mengulas senyum getir.Aku hanya mengangguk menjawabnya. Semenjak menikah dengan Steven, memang aku diberi banyak kemudahan. Termasuk soal uang. Lelaki yang kini berstatus sebagai suamiku itu mentran
"Nay! Maaf ya! Itu memang bukan urusan Abang. Maaf, Nay ... Abang gak bermaksud menyinggung kamu," imbuh Bang Rizal dengan raut menyesal. Ia berhasil menyamakan kembali langkah kaki kami.Aku hanya diam. Malas melihat ke arahnya. Aku nggak suka dia sok nyindir seperti itu!"Nay, Abang hanya menyampaikan pesan ayah aja. Nggak lebih. Tapi, kalau kamu nggak mau ketemu dengan ayah lagi ya mau dikata apa."Aku pun menoleh ke arahnya. Bukan itu yang membuat aku kesal! Huh! Sudahlah, aku malas menjelaskan!"Aku bukan nggak mau ngejenguk ayah, Bang. Cuma ini sudah sore. Takut kemagriban," jawabku akhirnya."Sebentar aja, Nay. Itu juga kalau kamu masih peduli sama ayah ... ayah masih ingat dengan kamu."Aku mengernyitkan dahi. Aku bukan nggak mau peduli ...."Dulu juga sebenarnya ayah sering titip uang untuk kamu."Hah? Aku kembali menatap ke arah Bang Rizal."Cuma ... cuma Abang aja yang nggak pernah nyampein k
Ya Allah ....Hatiku terenyuh melihat Ayah di sana hanya bisa terbaring lemah di kasur yang lepek di lantai. Ketika mata tuanya beradu pandang denganku, Ayah terlihat begitu sedih.Perempuan di samping Ayah itu perlahan bangkit berdiri."Bukannya dia ...." Perempuan itu seperti mengingat-ingat ketika melihatku."Sini, Mer. Keluar dulu!" Bang Rizal menghampiri perempuan itu, lalu menarik lengannya, dan membawa wanita itu keluar dari kamar.Sementara itu, mata ayah berkaca-kaca melihatku. "N–Naay ...," lirihnya dengan bibir yang mencong. Sepertinya ayah terkena bell palsy. Ya, Rabb ... hatiku terasa diremas melihat keadaan ayah yang sangat menyedihkan seperti ini. Dia yang dulu masih gagah dan sehat. Dia yang tidak pernah lupa terhadap aku, menantunya dulu. Dia yang selalu menyayangiku seperti orang tuaku sendiri. Sekarang, aah ...."Ayah!" Aku menghambur meraih tangannya dan mencium punggung