"Saya Shela." Belum sempat Nanda menjawab, perempuan itu melangkah maju dan menghampiri. Lalu ia mengulurkan tangan ke arahku."Oh, iya. Aku Nay ...." Aku pun menyambut uluran tangannya. Aku baru ingat, ini yang tadi Manda bilang orangnya Steven yang akan menjaga Bi Eli. Shela tersenyum manis ke arahku. "Saya ke luar dulu, Mbak," pamit gadis itu. Kemudian ia berjalan menuju ke luar ruangan.Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya."Dari pagi Mbak Shela di sini, Kak," ungkap Nanda setelah Shela ke luar."Oh gitu," sahutku singkat."Katanya Mbak Shela itu pernah jadi perawat," lanjut Nanda lagi."Hmmm ...." Aku menganggukkan kepala sembari membenarkan selimut Bi Eli yang agak tersingkap.Aku yakin Steven mengutus orang yang kompeten. Orang perfeksionis seperti dia tidak mungkin mempekerjakan sembarang orang. Kecuali ada maunya—dulu—ketika ia menginginkanku ketika masih menjadi istri dari Bang Rizal. Entah mengapa pria bule itu begitu getol mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk bis
Oh, tidak. Ap-apa yang harus aku lakukan?! Aku sontak mengalihkan pandangan sambil meremas ujung kerudungku. Bagaimana ini?"Kenapa-" Omongan Mas Wahyu terputus ketika menyadari ada seseorang yang datang dari arah belakangnya."Bagaimana keadaan bibimu?" Steven melangkah mendekat. Ia meraih pinggangku dan mengecup pucuk kepalaku singkat.Ya Allah, aku jadi salah tingkah di depan Mas Wahyu. Lagian kenapa Steven bersikap seperti ini di depannya? Astaga ... wajah ini terasa sangat kebas!Pria berkacamata itu tampak sangat kaget melihat apa yang baru saja dilakukan Steven kepadaku di depan matanya."Mmm ... masih seperti ini, tapi alhamdulilah operasinya lancar," jawabku dengan berusaha mengangkat kedua ujung bibir ini di hadapan Steven. Jantungku berdegup sangat kencang. Ya, Rabb, tolong hamba.Lelaki yang kini sudah berstatus sebagai suamiku itu mengalihkan pandangannya ke arah Mas Wahyu. "Ini pria yang waktu itu ada di rumah bibimu?" tanya Steven memastikan."Aa-" Belum sempat aku menj
Kembali diri ini teringat akan Mas Wahyu yang pergi dengan perasaan kecewa di rumah sakit tadi. Semenjak kepergian lelaki berkacamata itu, kepalaku terasa begitu penuh. Rasanya ada yang tersangkut di dalam dada ini. Sakit dan sangat-sangat menyesakkan.Steven meraih jemariku, menjalinnya dengan jari-jari panjangnya. Entahlah, apa yang kurasa saat ini. Lelaki di sampingku ini punya kekuasaan. Dan yang pasti, ia jelas punya kekayaan. Aku menyadari. Semua yang ia miliki saat ini bisa dipergunakan untuk membantu permasalahan keluargaku. Mungkin inilah jalan yang terbaik. Ya, mungkin tidaklah masalah mengorbankan perasaanku demi menebus itu semua. Mungkin ....Sesampainya di hotel, aku letakkan tas baruku di atas nakas dan tanpa menanggalkan sepatu juga masih dengan pakaian lengkap, aku merebahkan tubuh ke tempat tidur yang empuk di situ. Aku usap setitik air yang muncul begitu saja dari sudut mata ini. Dadaku saat ini terasa nyeri dan semakin sesak, tapi aku tidak boleh menangis. Jangan
Namun, entah mengapa tidak bisa aku pungkiri, mata ini tak bisa sepenuhnya lepas dari pemandangan indah itu. Aku sedikit mengalihkan wajah, tetapi tetap saja, sudut mata ini masih menangkap bayangannya. Punggung dengan otot-otot yang sangat menggoda. Astaga, Naaay, sadaaar ...!Setelah mengenakan celana dalamnya, mengapa Steven langsung menggantung bathrobe-nya? Apa dia tidak memakai baju dulu? Kemudian pria itu berbalik, lalu berjalan perlahan ke arahku. Seketika hatiku menjadi kebat-kebit. Mengapa kamu tidak mengenakan pakaianmu, Steve?!Aku hanya bisa protes. Tapi ... tapi di dalam hanya hati. Hhhhgg ...!Lelaki itu kembali duduk di bibir ranjang di dekatku, tangannya memegang lututku.Aku beringsut sedikit, merasa grogi tentu saja. Ya Allah ... otot dada dan perutnya. Aaarrgh! Aku berusaha dengan keras menarik kedua ujung bibirku ke atas. Jantungku terasa memompa darah lebih cepat. Mengapa Steven melihatku seperti itu?"Kamu mau mandi dulu? Atau ...." Lelaki itu menggeser naik s
Dengan perlahan Lelaki bertubuh tinggi itu merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur."Bukankah ini malam pertama kita. Iya, 'kan?" Steven mengurungku dalam kungkungannya.Jantungku berdegup sangat kencang."Steve, ma–malam ini aku lelah sekali. Ak–aku butuh istirahat," ujarku lirih sembari mengalihkan wajah ke samping. Aku tahu ia menatapku lekat.Terdengar lelaki itu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. Terasa hangat embusan napasnya di rahangku. Ia lalu bangkit dari atas tubuhku. Huuuft ....Kemudian Steven berjalan ke arah almari di sana. Ia lalu mengeluarkan salah satu gaun tidurku yang berwarna merah maroon berbahan brokat menerawang."Pakai ini!" suruhnya sembari menyerahkan benda itu ke arahku, "kalau mau tidur, kamu mesti pakai baju tidur," lanjutnya."Oke," gumamku sembari meraih apa yang ia sodorkan. Bibirku berkedut dengan apa yang ia lakukan. Jadi, aku boleh istirahat, 'kan?Aku pun beranjak bangkit dari ranjang besar itu, kemudian mengambil pakaian dalam dari a
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku mendengar suara napas yang teratur dari Steven di pucuk kepalaku. Sepertinya dia sudah mulai lelap. Sementara aku, aku masih belum bisa tidur walau mataku terpejam di dadanya yang bidang. Pikiranku melanglang buana ke mana-mana.Teringat lagi dengan Bang Rizal. Dulu pernah kami tidur dalam posisi seperti ini. Waktu pertama-tama menikah. Ketika kami selesai melakukan ritual intim suami-istri.Ah ... sama sekali aku tidak pernah berpikir akan merasakan hal ini lagi. Namun, dengan pria yang berbeda. Bahkan pria itu bukan orang sembarangan. Dia Steven Arnold. Tuan tanah di desa kami. Sempat ada harapan hidup bersama dengan Mas Wahyu. Namun, belum sempat aku berpikiran lebih jauh, justru Steven-lah yang mengalihkan semuanya.Ya, Rabb, aku harap ini adalah pernikahanku yang terakhir. Aku sangat-sangat berharap Steven bisa berubah menjadi lelaki yang baik. Tidak jahat dan semena-mena seperti saat ini.Tapi, tapi apakah bisa? Apakah tidak muluk-muluk aku b
Bagaimana tidak, aku tengah berusaha meredam rasa. Tiba-tiba saja diinterupsi oleh suara itu. Ya Allah, untung saja jantung ini buatan-Mu, bukan buatan pabrik. Steven pun beranjak dari duduk dan melepas genggaman tangannya, lalu melangkah ke sana, lantas membuka pintu itu.Oh, ternyata seorang room service membawakan kami minuman hangat dan makanan untuk sarapan.***"Aku tahu itu." Steven tampak serius bicara di telepon dengan seseorang, entah siapa.Aku hanya diam dengan mengarahkan mata ke TV LED di hadapan sembari menyesap secangkir teh hangat dan menikmati kudapan di sore hari ini. Namun, telingaku masih mendengar pria blasteran itu bicara di sana.Seharian ini aku hanya tidur-tiduran dan menonton film action saja. Sementara Steven, pagi tadi setelah sarapan ia pergi ke kantor, katanya. Pada jam makan siang dia kembali. Kemudian setelahnya, sebentar-sebentar ia membuka ponsel, sebentar-sebentar menyalakan laptop sampai sore ini. Tampaknya pria bule ini begitu sibuk dengan pekerj
Seketika saja bulu romaku berdiri ketika untuk ke sekian kalinya ia mendaratkan bibirnya ke bibirku. Dan dengan intens pria itu memainkan bibir dan lidahku. Semakin lama kepalaku terasa melayang karena permainannya yang luar biasa. Sungguh aku tak bisa menolak sensasi yang diciptakan dari sentuhan-sentuhannya.Dengan perlahan tapi pasti ia melepas satu demi satu kancing yang melekat di gamis yang aku kenakan. Kemudian ia melepas pakaian yang tadinya aku anggap 'aman' ketika tengah berada berdua dengannya seperti sekarang. Di hadapannya, ya, akhirnya aku polos di hadapannya. Ia pun segera melucuti pakaiannya sendiri. Ya Allah, aku ... aku tak bisa menolaknya kali ini. Aku tak punya alasan lagi. Ia berhak, sangat berhak atas tubuh ini.Kuremas ujung sarung bantal yang berhasil tergapai. Kupejamkan mata ketika akhirnya lelaki ini menyatukan dirinya dengan tubuhku.***"Kamu siap-siap. Habis shalat magrib ini, kita mau ke luar." Steve mengancingkan kaus berkerahnya setelah selesai mandi u