Sekitar sepuluh menit kemudian, aku mendengar suara napas yang teratur dari Steven di pucuk kepalaku. Sepertinya dia sudah mulai lelap. Sementara aku, aku masih belum bisa tidur walau mataku terpejam di dadanya yang bidang. Pikiranku melanglang buana ke mana-mana.Teringat lagi dengan Bang Rizal. Dulu pernah kami tidur dalam posisi seperti ini. Waktu pertama-tama menikah. Ketika kami selesai melakukan ritual intim suami-istri.Ah ... sama sekali aku tidak pernah berpikir akan merasakan hal ini lagi. Namun, dengan pria yang berbeda. Bahkan pria itu bukan orang sembarangan. Dia Steven Arnold. Tuan tanah di desa kami. Sempat ada harapan hidup bersama dengan Mas Wahyu. Namun, belum sempat aku berpikiran lebih jauh, justru Steven-lah yang mengalihkan semuanya.Ya, Rabb, aku harap ini adalah pernikahanku yang terakhir. Aku sangat-sangat berharap Steven bisa berubah menjadi lelaki yang baik. Tidak jahat dan semena-mena seperti saat ini.Tapi, tapi apakah bisa? Apakah tidak muluk-muluk aku b
Bagaimana tidak, aku tengah berusaha meredam rasa. Tiba-tiba saja diinterupsi oleh suara itu. Ya Allah, untung saja jantung ini buatan-Mu, bukan buatan pabrik. Steven pun beranjak dari duduk dan melepas genggaman tangannya, lalu melangkah ke sana, lantas membuka pintu itu.Oh, ternyata seorang room service membawakan kami minuman hangat dan makanan untuk sarapan.***"Aku tahu itu." Steven tampak serius bicara di telepon dengan seseorang, entah siapa.Aku hanya diam dengan mengarahkan mata ke TV LED di hadapan sembari menyesap secangkir teh hangat dan menikmati kudapan di sore hari ini. Namun, telingaku masih mendengar pria blasteran itu bicara di sana.Seharian ini aku hanya tidur-tiduran dan menonton film action saja. Sementara Steven, pagi tadi setelah sarapan ia pergi ke kantor, katanya. Pada jam makan siang dia kembali. Kemudian setelahnya, sebentar-sebentar ia membuka ponsel, sebentar-sebentar menyalakan laptop sampai sore ini. Tampaknya pria bule ini begitu sibuk dengan pekerj
Seketika saja bulu romaku berdiri ketika untuk ke sekian kalinya ia mendaratkan bibirnya ke bibirku. Dan dengan intens pria itu memainkan bibir dan lidahku. Semakin lama kepalaku terasa melayang karena permainannya yang luar biasa. Sungguh aku tak bisa menolak sensasi yang diciptakan dari sentuhan-sentuhannya.Dengan perlahan tapi pasti ia melepas satu demi satu kancing yang melekat di gamis yang aku kenakan. Kemudian ia melepas pakaian yang tadinya aku anggap 'aman' ketika tengah berada berdua dengannya seperti sekarang. Di hadapannya, ya, akhirnya aku polos di hadapannya. Ia pun segera melucuti pakaiannya sendiri. Ya Allah, aku ... aku tak bisa menolaknya kali ini. Aku tak punya alasan lagi. Ia berhak, sangat berhak atas tubuh ini.Kuremas ujung sarung bantal yang berhasil tergapai. Kupejamkan mata ketika akhirnya lelaki ini menyatukan dirinya dengan tubuhku.***"Kamu siap-siap. Habis shalat magrib ini, kita mau ke luar." Steve mengancingkan kaus berkerahnya setelah selesai mandi u
Nyonya Sarah dan Bu Narsih menjawab salam dariku. Mereka tersenyum manis menyambutku. "Selamat datang, Nay," ucap Nyonya Sarah ramah."Terima kasih, Nyonya," jawabku seraya menyambut uluran tangannya, lalu aku mencium takzim punggung tangan orang tua itu, "Bu," sapaku juga kepada Bu Narsih, kemudian menyalaminya."Mari masuk, Nay!" tawar Nyonya Sarah sambil ia didorong oleh Bu Narsih masuk ke dalam rumah.Aku mengikuti ke mana mereka mengarahkan. Teringat waktu pertama kali aku ke rumah ini waktu itu. Hmm ....Ternyata Nyonya Sarah mengajakku ke bagian ruang tengah rumah. Tampak sebuah teko dengan beberapa cangkir di dekatnya serta sebuah piring yang berisi potongan kue sudah siap di atas meja."Duduk, Nay!" suruh sang Nyonya rumah.Aku tersenyum canggung ke arahnya, lalu mendaratkan bokong ke sofa berwarna mint yang empuk tersebut. "Terima kasih, Nyonya," ucapku."Panggil Mommy. Kamu 'kan, menantu saya," ujar
"Setelah itu, malah perempuan-perempuan lebih nggak bener dibandingkan Katalina pula yang dijadikan istri sama Steve. Heran Mommy dengan anak itu, nyari istri kok, asal-asalan!" Mommy tampak kesal.Aku tersenyum getir mendengar hal tersebut. "Maaf, Mommy waktu itu salah sangka dengan kamu, Nay," imbuh Mommy dengan raut menyesal.Aku menautkan alis demi mendengar apa yang baru saja orang tua itu sampaikan."Mommy pikir kamu perempuan nggak bener kayak yang sudah-sudah. Mau-maunya bercerai dari suamimu hanya demi hartanya Steven. Ya, sama seperti Hana dan Erika dulu, hanya mengincar uang." Mommy mendengkus tak suka.Hana dan Erika pasti mantan-mantan istri Steve lainnya. Aku tidak begitu mengenal mereka. Setahuku ketiga wanita yang pernah bersama lelaki yang kini menjadi suamiku itu tidak ada yang lama terikat pernikahan dengannya. Hal itu juga yang membuatku ragu kepada pria blasteran tersebut."Mommy sudah cari tahu tentang kamu
"Wa alaikumus sallam," jawabnya, "kamu sudah sampai rumah dan bertemu dengan Mommy?" tanya pria itu tanpa basa-basi."Iya, sudah," jawabku singkat sembari meredam kegugupan. Jangan sampai suaraku terdengar aneh di telinga Steve."Ya sudah kalau begitu. Aku pergi dulu." "Eh, tunggu!" cegahku. Kenapa seenaknya dia mau memutuskan telepon begitu saja? Masak cuma nanya begitu doang?"Ya?"Mmm ... tapi, mengapa aku mencegahnya memutuskan saluran telepon ini? Aku mau ngomong apa memangnya? Ah, aku jadi bingung sendiri dengan yang aku lakukan."Hmm ... Steve, kamu sudah sampai di Pontianak? Dari jam berapa tadi?" Ya, benar juga. Dia cuma mau tahu kegiatanku. Masak aku tidak boleh tahu kegiatan dia?"Tadi jam setengah dua belas sudah sampai Bandara Supadio," jawabnya to the point."Mmm ... sekarang kamu lagi apa?" Aku mesti tahu apa saja yang ia kerjakan. Mungkin saja dia bertemu dengan wanita lain d
"Baik, Mom." Aku menganggukkan kepala. Aku baru ingat, Steven 'kan, pemarah. Walau selama tiga hari ini dia sangat baik kepadaku, belum tentu akan seterusnya. Aku tidak mau memancing kemarahannya. Entahlah ... masih ada rasa segan dan takut terhadap pria tersebut, walaupun kami sudah resmi menjadi suami-istri. Aku khawatir jika ia marah, akan berimbas pada segala fasilitas yang ia berikan untuk membantu keluargaku. Bahkan bisa lebih dari itu. Ia tentu mampu menghancurkan keluargaku. Jangan sampai terjadi.Sehabis sarapan bersama Mommy, aku pun masuk ke dalam kamar. Kulihat ponsel baruku yang tergeletak di atas nakas. Hmm ... bagaimana ngomongnya? Kira-kira Steve ngizinin apa nggak ya? Ragu-ragu aku meraih telepon genggamku, lalu jari pun mulai mencari nama Steven di sana. Kemudian akhirnya kucoba saja menghubungi pria yang kini berstatus sebagai suamiku itu."Hallo," sapanya dengan suara khasnya yang berat dan datar.
"Si Parmin mana, Sih?" tanya Mommy kepada asistennya itu.Pak Parmin adalah supir keluarga Arnold satu lagi. Hanya saja, dia biasanya khusus melayani Mommy."Mmm, nggak usah, Mom!" sambarku sebelum Bu Narsih menjawab, "itu ojeknya sudah datang." Aku menunjuk ke arah seseorang yang memakai motor dengan jaket khasnya di depan pagar. Sepertinya ia sedang bertanya kepada penjaga keamanan sambil celingak-celinguk mengamati. Aku yakin itu tukang ojek yang sedang menungguku."Lain kali bisa sama Parmin aja. Ya sudah, hati-hati," pesan Mommy sambil bersungut-sungut.Aku balas dengan senyum simpul. Lalu menjawab, "Iya, Mom. Aku pergi dulu, assalamualaikum!" Kemudian aku pun segera meraih tangan Mommy dan mencium punggungnya cepat. Lantas berlari kecil ke arah si tukang ojek yang sudah menunggu.***Sesampainya di rumah Bi Eli, di Desa Mekar, aku melihat Nanda tengah asik bercanda dengan Rika. Aku pun turun dari ojek, dan membaya