Aku sontak berdiri karena kaget mendengar berita yang disampaikan oleh Manda."Gimana keadaannya, Man?" tanyaku lagi."Parah, Kak. Ang–kot yang ditumpangin I–Ibu kebalik karena nabrak trotoar." Manda menjelaskan sambil terisak-isak."Astaghfirullahal adziim ...." Jantungku berdegup kencang mendengar semua itu. Aku sangat khawatir, walau bagaimanapun juga Bi Eli adalah bibiku satu-satunya. Kalau kenapa-napa kedua anaknya bagaimana? Hendi juga ...."Kakak cepat ke sini, Kak. Aku bingung ... udah dulu ya, Kak. Aku dipanggil suster. Kakak ke Rumah Sakit Marzuki ya! Udah dulu, assalamualaikum!" Telepon pun ditutup.Aku menjawab salam dari Manda dengan lirih. Kemudian tercenung."Siapa, Nay?" tanya Bu Mona sembari berjalan ke luar dari kamarnya. Raut wajahnya tampak heran. Mungkin ia melihat aku yang terdiam setelah menerima telepon dari Manda barusan."Maaf, Bu. Saya mau izin pulang sekarang. Bibi saya kecelakaan,"
"Ini kamu pakai aja dulu, Nay," ucap Mas Wahyu sembari menyerahkan sebuah amplop coklat yang aku tahu kalau itu isinya adalah uang."Mas, aku nggak bisa nerima ini." Aku menolak pemberiannya.Mas Wahyu mengernyitkan dahinya."Mas jadi ikut susah karena aku dan keluargaku," ujarku dengan perasaan sedih.Aku memang membutuhkan uang. Namun, aku tidak mau menyusahkan Mas Wahyu lagi. Dia sudah terlalu banyak menolong. Beberapa waktu lalu, ia juga sudah mengeluarkan uang satu juta lebih untuk menalangkan obat-obatan Bibi.Aku sudah mengecewakannya sebab tidak jadi berkenalan dengan orang tuanya, diakibatkan peristiwa kecelakaan Bi Neli yang sangat tidak terduga ini. Namun, ia masih saja peduli."Jangan menolak, Nay. Kamu sudah aku anggap bukan orang lain lagi. Kamu paham, 'kan?" Mas Wahyu menatapku lekat. Ia mendorong amplop coklat itu semakin dekat kepadaku.Aku terdiam melihat amplop itu. Apakah aku harus menerimanya? Aku ta
"Ya," jawab Bang Hanan singkat."A–bang kenapa kok, di sini?" tanyaku penasaran. Sebenarnya aku mau tahu alasan Tuan Steven ada di kota. Aku ... juga tidak tahu mengapa aku penasaran."Biasa. Tuan Arnold mesti berkala ke sini untuk memantau kantornya," ujar Bang Hanan menjelaskan."Ooh." Aku manggut-manggut. "Di mana?" tanyaku lagi. Mengapa aku jadi sangat penasaran begini?"Di seberang sana!" tunjuk Bang Hanan ke arah barat. Di arah sana terlihat sebuah gedung bertingkat yang mewah."Di gedung tinggi itu?" Gedung yang ditunjukkan Bang Hanan tampak paling megah dibandingkan dengan gedung lain di sekitarnya."Iya," jawab Bang Hanan singkat sembari melihat ke arah jam tangannya."Oh.""Sudah dulu. Tuan Arnold sudah menunggu saya," pamit pria yang dikenal kaku itu.Aku mengangguk pelan.Bang Hanan langsung saja melangkah ke arah mini market yang posisinya berada di sebelah apotek tempatku menebus
"Nay!" Tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing di telinga. Ya, itu Mas Wahyu."Eh, Mas Wahyu. Kapan datang?" tanyaku basa-basi. Hampir setiap akhir pekan Mas Wahyu selalu ke mari. Ia tak henti memberikan support kepadaku dan kedua sepupuku."Tadi, jam sepuluh. Hmmm ... kenapa ke sini?" Mas Wahyu melihat ke arah petugas rumah sakit yang sedang sibuk menulis entah apa di buku catatannya."Eng ... nggak, Mas! Cuma nanya perkembangan Bi Eli aja," jawabku menutupi apa yang terjadi.Aku tidak mau Mas Wahyu kembali ikut pusing dengan memikirkan biaya Bi Eli. Ia sudah terlalu banyak mengeluarkan uang membantuku selama ini. Bahkan aku belum mampu untuk membayar semua utangku padanya."Oh," sahut Mas Wahyu singkat."Mbak, aku permisi dulu ya. Terima kasih banyak!" ucapku pada petugas di balik meja tinggi itu."Sama-sama, Mbak," jawabnya ramah.Aku lalu berjalan kembali menuju ke arah ruang Bi Eli. Mas Wahyu j
Debaran segumpal daging di dalam dada ini benar-benar tak bisa diajak kompromi. Ya Allah ... aku gugup sekali. Kuremas jemariku satu sama lain. Terasa dingin sekali.Tampak Tuan Steven duduk di sana, di kursi kebesarannya. Matanya memindaiku seakan-akan ingin melahapku bulat-bulat.Hening ...."Ada apa kamu ke mari?" Sorot netra biru itu menatapku tajam.Sungguh, jika tidak terpaksa, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di hadapan pria blasteran ini lagi. Ya Allah, jantungku seakan-akan mau pecah akibat denyutnya yang keras berdentam. "Mari duduk sini!" suruhnya sembari bangkit dari kursi kebesarannya, lalu berjalan anggun mengarahkanku untuk duduk di sofa mewah di dalam kantornya ini.Kaki yang tiba-tiba terasa melemah ini pun melangkah pelan mengikuti arahan darinya. Lantas aku pun mendaratkan bokong ke sofa berwarna putih gading berpadu dengan abu-abu tersebut. Kugigit bibir dengan perasaan yang campur aduk."Silakan bicara. Apa kamu hanya ing
Lelaki itu pun menatap lekat ke arahku. Matanya memindai seolah menelisik keyakinan atas ucapan yang baru saja aku lontarkan."Aku tidak memaksamu," tuturnya dengan wajah datar."I–iya. Aku bersedia menjadi istri Anda," sahutku.Kembali ia menatapku lebih lekat. Tatapan itu membuatku ... jengah.Lelaki tampan itu mencebikkan bibirnya sekejap. "Oke, kamu boleh pulang. Urusan biaya perawatan bibimu akan aku urus." Aku menautkan alis. Benarkah? Besok aku sudah harus melunasi biaya perawatan Bi Eli ...."Aku ... aku butuh uangnya segera, Tuan." Harga diriku benar-benar sudah hilang di hadapannya."Aku akan mengurus semuanya." Lelaki berkuasa itu berisyarat meyakinkan kalau apa yang barusan aku pinta bukanlah suatu masalah baginya.Dengan ragu aku pun berbalik dan ... dengan hati gamang aku melangkah menuju pintu keluar. ***Baru saja aku sampai di depan pintu kamar rawat Bi Eli, Manda terlihat me
Gila! Aku hampir lupa kalau aku sedang berhadapan dengan manusia paling tidak waras di muka bumi saat ini. Ya, Tuan Steven memang benar-benar tidak waras!Apa dia tidak berpikir kalau semua ini butuh waktu barang sejenak? Mengapa lelaki blasteran itu kebelet banget ingin cepat menikah denganku?"Apa tidak bisa diundur beberapa waktu lagi, Bang?" tanyaku berusaha bernegosiasi kepada Bang Hanan, "soalnya aku harus mengurus Bi Eli. Beliau operasi besok!" lanjutku kesal.Sebenarnya hal itu hanya satu dari banyak alasan. Yang paling pasti itu karena aku ... aku belum siap untuk menjadi istri dari seorang pria yang bernama Steven Arnold."Kamu tidak perlu khawatir masalah itu, Nay. Semua akan di-handle oleh orang-orang saya. Kamu ikuti saja rencana dari Tuan Arnold. Semua akan beres," sahut Bang Hanan datar.Beres, beres. Enak aja Bang Hanan bilang beres. Masak mesti secepat ini aku nikah sama si Tuan Otoriter?"Coba Abang hu
Lagi pula momennya tidak tepat seperti ini. Huufftt ...."Manda! Kamu dengan Nanda tunggu saja di rumah sakit. Kalau ada apa-apa, telepon aja Kakak. Oke?"Gadis itu mengangguk.Hari masih sangat pagi, masih pukul 05.35 WIB. Sengaja aku menyuruh mereka pergi pagi-pagi sekali. Jangan sampai mereka bertemu Bang Hanan di sini nanti."Tapi apa nggak kepagian ini, Kak?" tanya Manda yang baru saja mandi dan memakai pakaiannya."Ya, mesti pagi-pagi perginya. Ke kota saja memakan waktu empat puluhan menit, 'kan? Paling tidak, kalau ada sesuatu yang mesti diurus sebelum operasi, kalian sudah stay di tempat!" cerocosku.Mereka diam tidak menjawab sambil terus menyiapkan diri. Mudah-mudahan saja mereka tidak curiga. Aarrgh! Mumet sekali rasanya. Ini gara-gara si Tuan Otoriter kebelet kawin! Keseeeel!Akhirnya Manda dan Nanda pun siap berangkat ke rumah sakit. Mereka lalu mencium punggung tanganku dan pamit, "Kami pergi dulu, Kak!"***Matahari merangkak naik dengan perlahan. Benda langit terbesar