Mendengar perkataan Naila, Ali menoleh ke samping dan mengerutkan dahi. Pasalnya dia tak mengira Naila akan meminta Jackson membawa Shakira ke rumahnya. Sekarang, Ali yakin bila Naila sedang membuat rencana yang dia sendiri pun tak tahu. Ali semakin mengeratkan genggaman tangannya dan berharap apa yang dilakukan Naila, tak menjadi bumerang baginya nanti. Sementara Jackson, perlahan wajahnya berubah dingin. Amarah mulai menjalar di palung hatinya. Dia yakin sekali bila Shakira—lah yang membeberkan hubungannya dengan temannya kemarin. Berdasarkan informasi dari kedua penjaganya, Shakira berjumpa dengan teman modelnya. Bukan tidak mungkin Shakira mengatakan hubungannya. Kemarin, saat mengetahui Shakira kabur. Jackson naik pitam lantas sepulang berkerja menyiksa Shakira hingga menjelang pagi buta. "Jackson, aku harap kamu jangan marah pada Shakira, yang memberitahuku adalah Ali, bukan Shakira," ujar Naila seakan bisa membaca isi pikiran Jackson. Jackson mendelik tajam ke arah Ali lalu
"Awh!"Shakira tersentak kala mendapat tamparan kuat di pipi kanannya seketika. Sakit, belum juga luka semalam mengering, Jackson telah menamparnya lagi. Entah apa yang membuat Jackson marah, Shakira hanya bisa menerka-nerka. Sambil memegangi pipinya yang terasa panas sekarang, ia menoleh ke depan, melihat Jackson melayangkan tatapan tajam padanya."Apa salahku, Jackson?" Bola mata itu sudah mulai terlihat berkaca-kaca, suaranya pun terdengar bergetar, Shakira sedang membendung agar air mata tak keluar.Dengan napas memburu, Jackson melotot tajam lalu menyeringai tipis. "Kamu masih bertanya apa salahmu hah?!!!"Teriakan Jackson membuat dada Shakira naik sedikit. Dia terlonjak kaget. Gelengan cepat sebagai balasan Shakira. "Aku tidak tahu Jackson, aku minta maaf jika melakukan kesalahan."Hanya kalimat itu yang bisa dikatakan Shakira. Karena dia benar-benar tidak tahu, apa yang membuat Jackson marah besar sekarang. Dalam keadaan bola mata mulai berkaca-kaca, Shakira menundukkan pandan
"Am—pun Jackson, i—ya aku mendengarkanmu ...."Shakira mendongak ke atas, menatap Jackson tengah menarik rambutnya dari belakang sekarang. Mata Jackson melotot keluar, melihat manik Shakira terpancar ketakutan. Sekarang, tangan kirinya pun mencengkeram dagu Shakira dengan sangat kuat. "Cih! Kalau kamu mendengarkan aku, mengapa kamu tidak langsung menjawab! Apa kamu sudah berani melawanku hah!!!" Sekali lagi Jackson berteriak hingga Marco di depan kursi kemudi melirik sekilas melalui kaca spion di bagian tengah.Shakira meringis, menahan perih akibat kuku-kuku Jackson menancap pipinya sekarang. "Maafkan aku Jack, sungguh aku tak bermaksud seperti—hmmf, ahk!"Shakira terkejut ketika bibirnya dibungkam dan digigit Jackson tiba-tiba. Air mata pun jatuh perlahan-lahan dari sudut matanya. Bibir tipis itu mengeluarkan darah sedikit. Shakira mengusap pelan bibirnya yang terasa perih dan sakit saat ini. Sudah terlampau sering Jackson menyakitinya, baik secara fisik dan psikis. Pria itu sudah
'Apa ini kesempatan untukku?'Shakira tak langsung menjawab, sedang bergelut dengan batinnya. Sementara Naila menunggu dengan sabar untuk Shakira menanggapi pertanyaannya. Naila menebak bila ada sesuatu yang tidak beres. Hal itu dapat terlihat dari ekspresi wajah Shakira sekarang. Namun, dia tidak mau menerka-nerka saja dan sangat berharap Shakira dapat berkata jujur padanya. "Sebenarnya aku—""Shakira!"Shakira tersentak ketika tiba-tiba mendengar bunyi pintu terbuka diikuti suara Jackson setelahnya. Dengan cepat ia menoleh ke sumber suara, melihat Jackson dan Ali masuk ke dalam kamar bersama-sama. Jackson melempar senyum lebar. Pria itu sedang memainkan perannya sebagai suami yang romantis. Shakira terpaksa membalas senyum Jackson lalu melirik Naila, yang tengah tersenyum pula pada Ali. "Apa yang kalian bicarakan, Sayang?" Ali pun duduk di samping Naila.Jackson pun melakukan hal yang sama, duduk bersebelahan dengan Shakira. Naila tersenyum kaku. Dia tak mau jika Jackson sampa
Dengan napas tak beraturan Shakira membuka suara. "Sebenarnya aku tidak bahagia Naila, aku—" "Hmmm!"Belum sempat Shakira meneruskan perkataannya, dehaman kuat terdengar di belakang seketika. Naila dan Shakira sontak kaget lantas reflek menoleh ke belakang bersamaan. Melihat Jackson berdiri tegap dengan raut wajah tak dapat terbaca sama sekali. Entah sejak kapan pria itu ada di situ.Sementara Ali masih di belakang sana sedang melangkah pelan, menghampiri mereka."Jackson," desis Shakira pelan dengan wajah ketakutan. Berbeda dengan Naila. Wanita itu malah melayangkan tatapan tajam kepada Jackson karena jawaban Shakira barusan memperjelas prasangkanya. "Jackson, aku perlu berbicara denganmu nanti."Jackson melirik Shakira sekilas lalu memasang wajah datar. Dia sempat mendengar pembicaraan antara Shakira dan Naila barusan. "Untuk apa? Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku, Naila. Shakira sedang kecapean, dia memang suka mengatakan yang tidak-tidak. Ayo Sayang, kita pulang, aku tid
"Sakit, Jackson ...."Shakira tersentak. Sekali lagi Jackson menjambak rambut dan mencengkeram kuat dagunya. Entah apa yang terjadi, namun pemilik mata hitam itu sedang marah. Dua bola mata itu seakan ingin keluar dan mengulitinya hidup-hidup saat ini. Rahang tajam Jackson semakin mengetat seiring dengan genggaman kuat yang menerpa rambutnya sekarang. "Apa yang kamu katakan pada Naila hah! Cepat jawab!" Suara Jackson terdengar meninggi, membuat jantung Shakira berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Wanita itu diserang ketakutan mendadak. Menahan rasa sakit, Shakira mencoba menyentuh tangan kanan Jackson, berharap suaminya mengendurkan cengkeraman di dagu. Namun, pria itu malah semakin menekan dagunya hingga ringisan pelan keluar dari bibir ranumnya. "Apa maksudmu Jackson? Aku tidak mengerti ....""Kamu masih bertanya, aku heran mengapa Naila masih mengasihimu, padahal kamu dulu selalu menganggu dan melukainya! Apa kamu masih punya muka hah?! Meminta seseorang yang pernah kamu lukai u
Berjarak beberapa meter.Bruk!"Awh!" Arnold dan Adeline tak sengaja menabrak kaki pasangan paruh baya di depan barusan. Sekarang, keduanya tengah terduduk di atas tanah sambil membenarkan topi kupluk mereka yang hampir saja terjatuh. Dengan cepat Adeline dan Arnold menengok ke atas. Melihat wajah yang tak asing dan mirip dengan foto yang pernah diperlihatkan mamanya tempo lalu. Keempat pasang mata mungil itu berkedip-kedip pelan, mengamati seksama wajah di hadapan mereka sekarang. Sementara, Anya dan Salman saling melempar pandangan. Lalu berbisik-bisik pelan. "Ada apa dengan mereka, Salman? Apa mereka mengenali kita, tidak mungkin, 'kan? Kemana Naila dan Ali, apa mereka tidak menjaga cucu-cucu kita? Benar-benar keterlaluan." Anya mendekatkan bibir ke telinga Salman dengan wajah menahan kesal. "Entahlah, mereka tidak becus menjaga Arnold dan Adeline." Salman berdecak sebal sambil menatap ke arah Arnold dan Adeline. Sementara Arnold dan Adeline masih bergeming dengan wajah polos.
"Naila!" Sekali lagi Ali berteriak hingga penghuni rumah berhamburan keluar. Dengan cepat dia melangkahkan kaki menuju sofa. Mata elangnya itu tak beralih dari seseorang, yang sedang duduk di samping Arnold sejak tadi. Di belakang, Roni pun mulai panik dan langsung menekan earpiece bermaksud menghubungi para penjaga rumah. Akan tetapi, jawaban di sebrang sana membuat dahinya berkerut kuat. "Ada apa Ali?" Naila baru saja sampai di ruangan, sedari tadi berada di dapur bersama Mirna dan Anya. Matanya langsung melirik ke arah sofa sesaat, di mana Arnold sedang duduk bersama Salman.Rani dan Adeline yang sedang bermain petak umpet di ruangan, terpaksa keluar dari tempat persembunyian. Rani terlihat kebingungan, melihat suasana di depan matanya sekarang. Dia memilih berdiri bersama Adeline di sudut ruangan. "Mengapa pria ini bisa masuk ke rumahku, Naila!" pekik Ali sambil menarik paksa Arnold seketika.Arnold tersentak. Dengan raut wajah kebingungan mendongak ke atas. Sementara Salman b
"Jangan pergi! Jangan mengucapkan kata-kata pergi, Anna!" Adnan memeluk erat Anna dari belakang. Mendengar kata pergi yang terucap dari bibir Anna, membuatnya resah. Adnan tak akan mau hal itu terjadi.Anna membalik cepat. Lalu menatap tajam. Tampaknya kekesalan Anna belum mereda. "Iya, kalau kamu tidak membuktikan perkataanmu, maka aku akan pergi!"Adnan langsung mendekap tubuh Anna dengan sangat erat. "Tidak, tidak Sayang, percayalah padaku, aku akan membuktikannya, kamu lihat saja nanti," ucapnya sambil berkali-kali melabuhkan kecupan di kening Anna."Iya, awas saja kamu berulah, bukan hanya Damar yang akan aku remukkan, tubuhmu pun aku akan hancurkan dengan teflon!" kata Anna, ketus.Adnan malah terkekeh-kekeh. Teringat dengan malam di mana Anna memukul-mukul sang wanita malam dengan teflon. "Iya, iya Sayang, itu kan kalau berulah, aku akan membuktikannya padamu, lihat saja nanti."Anna mendengus lantas melirik tajam Adnan. Namun, di mata Adnan, wajah Anna nampak menggemaskan."Say
Mata Anna melebar kala Adnan menangkup kedua pipinya dan membungkamnya dengan sebuah kecupan. Dia hendak memberontak. Namun, tubuhnya mendadak lumpuh. Anna tak mengerti dengan situasi saat ini. Tadi, Adnan memarahinya. Tetapi, sekarang malah menciumnya. Dengan mata masih terbuka, Anna dapat merasakan Adnan menjelajahi isi mulutnya dengan melilitkan lidahnya perlahan-lahan. Dalam hitungan detik, Adnan menurunkan tangan lalu mendekap tubuh Anna. Anna terdiam, sambil mendongak, menatap Adnan dengan air mata masih mengalir pelan di pipi. "Siapa nama pria yang menyentuhmu, Anna? Apa kamu sangat mencintainya?" Kali ini suara Adnan terdengar lebih lembut, sinar matanya pun tak berapi-api seperti tadi.Anna hendak memberitahu namun sebenarnya dia pun tidak tahu siapa nama asli pria tersebut. "Apa nama samarannya Mr. D?" tanya Adnan lagi sambil menempelkan keningnya ke kening Anna.Dahi Anna langsung mengerut kuat. "Bagaimana kamu bisa tahu nama samarannya? Iya, aku sangat mencintainya, di
Lima menit sebelumnya, Adnan mendapat panggilan dari Bruno, sang sekretaris, bahwa akan diadakan rapat di restaurant. Adnan pun bergegas turun ke bawah, melihat sosok yang amat dia kenali bersama seorang pria. Saat ini, Adnan dapat merasakan dadanya terbakar membara, menahan cemburu, melihat tangan Anna disentuh oleh seorang pria. 'Siapa pria itu? Apa dia yang menyentuh tubuh Anna!' Tanpa pikir panjang, Adnan melangkah cepat hendak melihat apa yang dilakukan Anna. Dengan jarak aman, Adnan melirik-lirik ke depan. Memandang Anna dan sosok itu berjalan cepat ke bangunan di samping. Adnan terpaksa bersembunyi di balik pilar sambil sesekali menyembulkan kepala hendak mengintip.'Apa yang mereka bicarakan?'Di ujung sana, Adnan dapat melihat Anna dan pria tersebut terlibat pembicaraan serius. Adnan menajamkan pendengaran tapi karena suara kendaraan di jalan raya, menghalanginya. 'Sial, hampir saja!'Dengan buru-buru Adnan menggerakkan kepala kala matanya sedikit lagi bertemu dengan mata
Anna begitu ketakutan, melihat ayahya berdiri dengan raut wajah merah padam. Sementara Adnan mundur beberapa langkah kala mendengar Anna memanggil pria paruh baya di belakang dengan sebutan ayah. Anna berdiri sambil mengusap pelan bibirnya sesaat."Mengapa Ayah ada di sini?"Sebuah pertanyaan bodoh meluncur bebas dari bibir Anna tiba-tiba. Wanita itu lupa bila ayahnya terkadang akan datang ke apartment sekadar menengok keadaannya. "Kamu belum menjawab pertanyaan ayah barusan! Siapa yang hamil dan siapa pria ini hah!" tanya Ramdan sambil melirik Anna dan Adnan secara bergantian.Anna tak langsung menjawab tengah mencari kata-kata untuk bisa berkilah. Akan tetapi, belum sempat dia menanggapi, Adnan terlebih dahulu membuka suara hingga membuat mata Anna terbelalak."Saya suami Anna, Pak. Tadi saya hanya memberi pendapat saja jika Anna siapa tahu saja sedang hamil," jelas Adnan, dengan raut wajah datar. "Apa?!"Ramdan amat terkejut. Kedua tungkai kakinya mulai lemah. Lantas dengan perl
Adnan semakin mendekat hingga membuat Anna panik setengah mati. Bagaimana tidak, tatapan pria itu seakan ingin memangsanya. Tanpa sadar Anna meneguk ludah berulang kali kala melihat otot-otot perut Adnan terlihat menggoda saat ini. 'Astaga, apa kamu sudah gila, sadarlah dia pria brengsek yang suka celap-celup!' Anna menggeleng cepat, mengusir pikiran nakalnya sesaat. Lalu, menyilangkan tangan di depan dada berusaha menyembunyikan buah dadanya yang tak mengenakan dalaman sama sekali. "Hei, pria mesum! Berhenti atau aku akan menendang burungmu itu!" seru Anna tiba-tiba. Adnan mengindahkan perkataan Anna, malah menyeringai tajam. "Jangan sok jual mahal, Anna. Kamu yang membuat aku seperti ini. Lagipula aku ini suamimu, jadi wajar-wajar saja jika aku menyentuh tubuhmu.""Cih! Aku tak sudi tubuhku disentuh oleh pria mesum sepertimu, tubuhku hanya boleh disentuh oleh pria yang pertama kali menjamah tubuhku!" Perkataan Anna membuat dada Adnan bergemuruh. Langkahnya terhenti seketika. "
Anna membuka mata seketika saat tak dapat merasakan tamparan mendarat di pipinya barusan. Ia langsung melirik ke samping, melihat Naila malah berdiri tepat di hadapan Adnan. Adnan terlihat sangat terkejut dengan pergerakkan Naila yang menurutnya sangat cepat dan tidak dapat diprediksi itu. Dengan wajah menahan kesal, ia menatap Naila. "Kenapa kamu menamparku?" tanya Adnan sambil mengusap pipinya yang pedas. "Itu karena kamu sudah menyentuh tubuh temanku, Adnan!" seru Naila.Adnan ingin menyahut. Namun, tatapan tajam Ali yang berada di belakang, membuat Adnan bungkam. Ali baru saja tiba bersama Anya.Dalam hitungan detik, Naila mengalihkan pandangan kepada Anna lalu mendekat. Anna merasa bersalah, tatapan Naila menyiratkan kekecewaan. "Naila, maafkan aku karena tidak memberitahu kamu tentang permasalahanku, aku benar-benar minta maaf."Naila membuang napas kasar kemudian memegang kedua tangan Anna. "Kamu membuatku kecewa, Anna. Padahal kita bisa mencari bersama-sama solusinya, tapi
"Maksud Tante dengan kekasihku ya?"Anna memaksa tersenyum meski jantungnya sudah dag dig dug, seperti genderang perang. Dia menerka-nerka apa Anya sudah mengetahui kejadian semalam, entahlah. Anna berharap tidak.Anya tersenyum lebar, senyumannya membuat Anna panik. "Tentu saja dengan anak Tante, masa dengan kekasihmu."Anna menelan ludah berulang kali, terlihat gugup. "Tapi Tante mengapa harus menikah sama Adnan, aku punya kekasih, Tante?"Anya tersenyum penuh arti. "Kamu pikir Tante tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian semalam."Sekarang, senyum wanita paruh baya di hadapannya membuat Anna menarik napas panjang. "Memangnya semalam ada apa, Tante?"Anna masih mencoba mengelak. Meski keringat dingin menjalar di telapak tangannya saat ini. "Sudahlah, tak usah banyak tanya, ayo ikut Tante sebentar!" Tanpa mendengarkan balasan Anna, wanita yang wajahnya masih terlihat segar itu menarik tangan Anna keluar dan menyeretnya ke suatu tempat.Anna nampak panik, bertanya pada Anya mau
Demi mengatasi rasa gugupnya, Anna meneguk ludah berulang kali. Bagaimana tidak, Anya sedang melayangkan tatapan menyelidik padanya sekarang. "Anna, Green, siapa yang tidur dengan Adnan?" Anya mengulangi pertanyaan kala Anna maupun Green terdiam. Anne melirik Green sekilas lalu terkekeh hambar. "Bukan Adnan anak Tante kok, Adnan kekasihku, nama belakangnya Adnan juga, hehe.""Iya, Adnan pacar Anna, Tante." Green menyenggol cepat lengan Anna sambil melempar senyum kecut pada Anya pula. Selama ini, Anya mengira Anna memiliki kekasih. Anna dipaksa Naila unfuk berbohong. Naila sangat tak setuju bila Anna menikah dengan pria seperti Adnan. Meskipun begitu, Anya kerapkali meminta Anna membawa pacarnya ke rumah sekadar ingin tahu. Dan pada akhirnya ia berbohong lagi mengatakan jika kekasihnya berkerja menjadi abdi negara di perbatasan dan hanya pulang di waktu tertentu. Semenjak saat itu, Anya tak pernah lagi bertanya."Nama kekasihmu Adnan juga, Anna?" tanya Anya."Iya, Tante," balas Anna
"Anna, kamu ada di dalam 'kan?" kata Naila lagi dari luar. Anna semakin gusar. Tampak panik sekaligus kebingungan. Mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Namun, kepalanya semakin pusing. Matanya berkeliling sejenak di ruangan, melihat dress yang dikenakan saat menghadiri bridal shower Green nampak robek. Lalu melihat juga pakaian seorang pria berserakkan di mana-mana. Siapalagi kalau bukan punya Adnan. Anna yakin bila terjadi sesuatu di antara mereka semalam. Apalagi tubuh keduanya dalam keadaan polos sekarang. Di seberang ranjang, Adnan pun terlihat bingung. Sedari tadi mengamati keadaan kamar. "Anna?" Suara Naila terdengar lagi. Lamunan Anna buyar."I-ya Naila, tunggu sebentar!" balasnya setengah berteriak. Lantas dengan cepat menoleh ke arah Adnan. Matanya langsung menutup, melihat Adnan belum menutup burungnya."Adnan, cepat sembunyi dan pakai bajumu itu!" perintah Anna lalu mengambil celana dalam Adnan sambil menahan jijik. Kemudian tanpa melihat ke belakang, dia