Author minta maaf karena hari ini hanya bisa update satu bab saja karena penyakit author kambuh lagi :'( maaf ya.
Naila terdiam sesaat, mengira Ali tengah berakting."Al, becandamu tidak lucu tahu, ayo bangunlah!" seru Naila sambil melihat Ali di bawah sana. Tak ada pergerakkan, pria itu berbaring dengan posisi terlentang. Wajahnya terlihat pucat dan keringat mulai mengalir dari keningnya. Naila mulai panik lalu berjongkok dan menguncang tubuh Ali."Ali! Berhentilah bersandiwara, bangun!"Ali bergeming dengan napas tak karuan. Melihat hal itu Naila semakin panik. Kemudian berlari keluar rumah kaca hendak memberitahu Santi untuk menyuruh para penjaga membopong Ali ke rumah.Tak lama kemudian, Ali sudah di atas tempat tidurnya. Saat ini pria itu tengah diperiksa oleh dokter Loui. "Jadi, bagaimana Dok? Apa yang terjadi dengan suami saya, sudah lama dia mual dan muntah lalu akhir-akhir ini juga Ali tak suka makan?" tanya Naila dengan raut wajah cemas. Sedari tadi dia duduk di tepi ranjang dan menggengam erat tangan Ali. Dokter Loui menoleh tanpa menghentikan gerakan tangannya yang tengah menempe
Tak terasa perut Naila mulai menyembul keluar perlahan-lahan. Mungkin karena kembar jadi perutnya di trimester pertama terlihat lebih besar dari ibu hamil pada umumnya.Semenjak hamil Ali meminta Naila untuk cuti berkerja. Naila menurut perkataan sang suami dan sekarang lebih banyak berdiam diri di rumah. Lama-kelamaan rasa bosan mulai menyerang Naila. Meski Santi kerapkali menghiburnya. Tapi tetap saja Naila merasa bosan. Namun, hari ini Naila terlihat bahagia karena Anna akan datang berkunjung ke rumahnya.Anna baru saja tiba dan langsung memeluk tubuh Naila. "Naila, aku kangen sama kamu tahu."Naila mengurai pelukan. "Hehe aku juga, akhirnya aku senang ada teman bermain, ayo masuklah Anna.""Tentu saja, kebetulan hari ini aku tidak ada pemotretan," ucap Anna sambil mengikuti langkah kaki Naila masuk ke dalam rumah. Kedua mata Anna tak berhenti berkedip sedari tadi, melihat rumah Ali, yang menurutnya sangat megah dan mewah. "Baguslah, aku senang mendengarnya. Ayo, kita duduk dulu."
Anna reflek menarik tangan Naila hingga Naila terhuyung-huyung ke belakang sebentar dan badannya hampir saja membentur pintu mobil. Namun, Anna telah berhasil menahan tangannya sekarang. Mata Naila terbelalak kala hampir saja ditabrak. Secepat kilat ia melirik Anna. Sementara Anna terlihat sangat panik, matanya langsung memandang mobil yang baru melintas. "Astaga, hampir saja, kamu tidak apa-apa, kan, Naila?" tanya Anna sambil matanya melirik mobil yang terlihat semakin menjauh. Naila tak langsung menjawab, masih terlihat syok. Dia tengah memegang dadanya, yang jantungnya berdetak amat cepat sekarang. Penjaga yang baru saja keluar dari mobil pun itu tak kalah paniknya. "Apa Nona tidak apa-apa?" tanyanya sambil menelisik tubuh Naila."Aku baik-baik saja, ya ampun hampir saja, apa orang itu tidak melihat kita ada di sini ya?" tanya Naila sambil melirik mobil yang berwarna hitam menjauhi mereka.Anna mengedikkan bahu sedikit. "Tidak tahu, Naila."Sementara pengawal pribadi Naila mena
Naila tersentak kala Anya mendorong tubuhnya tiba-tiba barusan. Namun, beruntung seseorang yang entah sejak kapan berada di belakangnya, menahan tubuhnya sekarang. "Apa yang Mama lakukan?!"Terdengar suara seseorang yang amat dikenali, Naila memutar kepala, melihat Ali menatap tajam ke arah Anya. "Ali," Naila berdesis pelan.Sementara Anya melebarkan mata, tak menyangka jika Ali pulang awal sebab berdasarkan informasi dari kaki tangannya Ali memiliki jadwal yang sangat padat hari ini. Anya berdecak sebal, rencananya untuk mencelakai Naila gagal lagi.Dalam hitungan detik, Anya melempar senyum angkuh. "Mama cuma mau menyapa Naila kok, tadi mama tidak sengaja mendorong dadanya."Saat mendengar alasan Anya yang tak masuk diakal, Naila langsung murung. Ternyata sikap Anya hanyalah sandiwara semata kemarin."Ck! Jangan berkilah, Ma! Aku tadi melihat Mama mendorong Naila! Apa Mama sudah gila, sekarang Naila sedang berbadan dua, Ma. Jika sampai Naila terjatuh tadi, apa yang akan terjadi pa
"Adnan!" panggil Anya kala Adnan tak langsung memberi jawaban.Anya terlihat putus asa. Namun, dia tidak menyerah dan akan melakukan segala macam cara agar Naila pergi jauh-jauh dari kehidupan Ali. Pria itu sedang duduk menghadap ke arah balkon, menikmati pemandangan ibu kota melalui kaca raksasa. Tak jauh dari Adnan berada, di atas meja kecil, terlihat secangkir kopi berwarna hitam mengeluarkan kepulan hawa panas. Adnan sama sekali tak bergeming, hanya matanya saja yang sesekali melirik ke arah Anya. Anya mendekat lalu berdiri di hadapan Adnan. "Adnan, mengapa kamu diam! mama mohon bantulah mama, Nak. Gara-gara wanita itu Ali mengusir mama tadi dari rumahnya! Ali berharap mama mau menerima Naila dan anaknya nanti! Benar-benar picik bukan!"Adnan mendongak sejenak dan berkata,"Naila hamil?"Karena sibuk berkerja dan baru pulang dari Bali kemarin, sehingga Adnan tidak mengetahui jika adik iparnya tengah berbadan dua. "Iya Adnan, mama mohon hanya kamu yang bisa mama harapkan sekarang
Plak!"Anak sialan! Kamu mendengar kan aku tidak hah?!" seru Simon sambil menampar kuat pipi Shakira, saat Shakira tak langsung menjawab. Shakira menutup rapat-rapat bibir mungilnya itu, meski pipinya panas akibat tamparan Simon barusan. Dia memilih mengabaikan rasa sakit yang menerpa pipinya dan tak memberi tanggapan sama sekali. Sekarang, jiwa dan raga wanita itu sudah tak bernyawa lagi. Shakira yang dulu berubah 180 derajat. Ditambah lagi hormon kehamilan membuatnya lemah dan sudah berhari-hari pula dia dikurung papanya sendiri. Trauma yang dia dapatkan membuat Shakira berubah drastis.Simon meradang. Putri bungsunya itu masih tak mau memberitahu siapa yang telah menghamilinya. Dia semakin naik pitam. Dengan tangan terkepal erat Simon melayangkan tatapan tajam kepada Shakira. "Shakira! Cepat katakan siapa yang menghamilimu?! Setidaknya kamu bisa menikah dengan dia! Apa kamu mau anakmu tidak memiliki ayah hah?!" Sekali lagi Simon bertanya, berharap Shakira mau mengungkapkan siapa
Anya hanya diam saja, memilih mengambil cangkir di atas meja lalu meneguk pelan teh hangat tersebut. Sementara Naila melempar pandangan ke arah Santi sesaat."Ayo Santi, kita duduk di hadapan Mama," kata Naila sambil berjalan perlahan mendekati Anya."Siapa yang menyuruhmu duduk!" seru Anya tiba-tiba. Perkataan Anya berhasil menghentikan langkah kaki Naila dan Santi.Naila menarik napas dalam lalu tersenyum lembut. "Ma, maaf jika kedatanganku, menganggu waktu Mama sekarang, tapi, bolehkah aku duduk di samping, selayaknya menantu dan mertua, Ma."Dengan terburu-buru Anya meletakkan cangkir di atas meja lalu beranjak dari tempat duduknya. "Tidak mau! Bukankah kamu dan Ali kemarin mengusirku! Apalagi yang kamu inginkan sekarang! Apa kamu berharap aku akan luluh dengan perhatianmu itu hah?!" seru Anya berapi-api."Ma, aku minta maaf bila Ali berlaku kasar padamu kemarin, tapi jujur saja, aku tidak pernah menyuruh Ali mengusir Mama. Jauh di lubuk hatiku, aku sangat menyayangkan sikap Ali
"Nona!"Santi bergegas turun dari mobil, melihat Naila di sebrang jalan sedang berdiri di hadapan Shakira sekarang. Gurat kekhawatiran terlukis jelas di wajah Santi, takut bila Shakira akan melukai Naila. Namun, sepertinya pemikiran Santi tak seusia realita. Sebab saat ini kedua wanita yang sedang berbadan dua itu saling memandang satu sama lain."Shakira, mengapa kamu ada di sini? Apa yang terjadi denganmu?" tanya Naila dengan alis bertautan, heran, mengapa Shakira berada di trotoar dan memakai kebaya seakan ingin menghadiri suatu acara. Meski wanita di hadapannya sering menganggunya dulu, akan tetapi Naila tak dapat mengabaikan Shakira. Apalagi ia dan Shakira sedang berbadan dua sekarang, tentu saja sebagai seorang wanita ia dapat merasakan suatu perasaan yang sama. Secara perlahan Shakira beranjak kemudian mulai menggerakkan bibirnya. "Aku ...."Shakira tak mampu meneruskan kata-katanya saat cairan bening mengalir dari sudut matanya tanpa permisi. Kala melihat perhatian Naila seka
"Jangan pergi! Jangan mengucapkan kata-kata pergi, Anna!" Adnan memeluk erat Anna dari belakang. Mendengar kata pergi yang terucap dari bibir Anna, membuatnya resah. Adnan tak akan mau hal itu terjadi.Anna membalik cepat. Lalu menatap tajam. Tampaknya kekesalan Anna belum mereda. "Iya, kalau kamu tidak membuktikan perkataanmu, maka aku akan pergi!"Adnan langsung mendekap tubuh Anna dengan sangat erat. "Tidak, tidak Sayang, percayalah padaku, aku akan membuktikannya, kamu lihat saja nanti," ucapnya sambil berkali-kali melabuhkan kecupan di kening Anna."Iya, awas saja kamu berulah, bukan hanya Damar yang akan aku remukkan, tubuhmu pun aku akan hancurkan dengan teflon!" kata Anna, ketus.Adnan malah terkekeh-kekeh. Teringat dengan malam di mana Anna memukul-mukul sang wanita malam dengan teflon. "Iya, iya Sayang, itu kan kalau berulah, aku akan membuktikannya padamu, lihat saja nanti."Anna mendengus lantas melirik tajam Adnan. Namun, di mata Adnan, wajah Anna nampak menggemaskan."Say
Mata Anna melebar kala Adnan menangkup kedua pipinya dan membungkamnya dengan sebuah kecupan. Dia hendak memberontak. Namun, tubuhnya mendadak lumpuh. Anna tak mengerti dengan situasi saat ini. Tadi, Adnan memarahinya. Tetapi, sekarang malah menciumnya. Dengan mata masih terbuka, Anna dapat merasakan Adnan menjelajahi isi mulutnya dengan melilitkan lidahnya perlahan-lahan. Dalam hitungan detik, Adnan menurunkan tangan lalu mendekap tubuh Anna. Anna terdiam, sambil mendongak, menatap Adnan dengan air mata masih mengalir pelan di pipi. "Siapa nama pria yang menyentuhmu, Anna? Apa kamu sangat mencintainya?" Kali ini suara Adnan terdengar lebih lembut, sinar matanya pun tak berapi-api seperti tadi.Anna hendak memberitahu namun sebenarnya dia pun tidak tahu siapa nama asli pria tersebut. "Apa nama samarannya Mr. D?" tanya Adnan lagi sambil menempelkan keningnya ke kening Anna.Dahi Anna langsung mengerut kuat. "Bagaimana kamu bisa tahu nama samarannya? Iya, aku sangat mencintainya, di
Lima menit sebelumnya, Adnan mendapat panggilan dari Bruno, sang sekretaris, bahwa akan diadakan rapat di restaurant. Adnan pun bergegas turun ke bawah, melihat sosok yang amat dia kenali bersama seorang pria. Saat ini, Adnan dapat merasakan dadanya terbakar membara, menahan cemburu, melihat tangan Anna disentuh oleh seorang pria. 'Siapa pria itu? Apa dia yang menyentuh tubuh Anna!' Tanpa pikir panjang, Adnan melangkah cepat hendak melihat apa yang dilakukan Anna. Dengan jarak aman, Adnan melirik-lirik ke depan. Memandang Anna dan sosok itu berjalan cepat ke bangunan di samping. Adnan terpaksa bersembunyi di balik pilar sambil sesekali menyembulkan kepala hendak mengintip.'Apa yang mereka bicarakan?'Di ujung sana, Adnan dapat melihat Anna dan pria tersebut terlibat pembicaraan serius. Adnan menajamkan pendengaran tapi karena suara kendaraan di jalan raya, menghalanginya. 'Sial, hampir saja!'Dengan buru-buru Adnan menggerakkan kepala kala matanya sedikit lagi bertemu dengan mata
Anna begitu ketakutan, melihat ayahya berdiri dengan raut wajah merah padam. Sementara Adnan mundur beberapa langkah kala mendengar Anna memanggil pria paruh baya di belakang dengan sebutan ayah. Anna berdiri sambil mengusap pelan bibirnya sesaat."Mengapa Ayah ada di sini?"Sebuah pertanyaan bodoh meluncur bebas dari bibir Anna tiba-tiba. Wanita itu lupa bila ayahnya terkadang akan datang ke apartment sekadar menengok keadaannya. "Kamu belum menjawab pertanyaan ayah barusan! Siapa yang hamil dan siapa pria ini hah!" tanya Ramdan sambil melirik Anna dan Adnan secara bergantian.Anna tak langsung menjawab tengah mencari kata-kata untuk bisa berkilah. Akan tetapi, belum sempat dia menanggapi, Adnan terlebih dahulu membuka suara hingga membuat mata Anna terbelalak."Saya suami Anna, Pak. Tadi saya hanya memberi pendapat saja jika Anna siapa tahu saja sedang hamil," jelas Adnan, dengan raut wajah datar. "Apa?!"Ramdan amat terkejut. Kedua tungkai kakinya mulai lemah. Lantas dengan perl
Adnan semakin mendekat hingga membuat Anna panik setengah mati. Bagaimana tidak, tatapan pria itu seakan ingin memangsanya. Tanpa sadar Anna meneguk ludah berulang kali kala melihat otot-otot perut Adnan terlihat menggoda saat ini. 'Astaga, apa kamu sudah gila, sadarlah dia pria brengsek yang suka celap-celup!' Anna menggeleng cepat, mengusir pikiran nakalnya sesaat. Lalu, menyilangkan tangan di depan dada berusaha menyembunyikan buah dadanya yang tak mengenakan dalaman sama sekali. "Hei, pria mesum! Berhenti atau aku akan menendang burungmu itu!" seru Anna tiba-tiba. Adnan mengindahkan perkataan Anna, malah menyeringai tajam. "Jangan sok jual mahal, Anna. Kamu yang membuat aku seperti ini. Lagipula aku ini suamimu, jadi wajar-wajar saja jika aku menyentuh tubuhmu.""Cih! Aku tak sudi tubuhku disentuh oleh pria mesum sepertimu, tubuhku hanya boleh disentuh oleh pria yang pertama kali menjamah tubuhku!" Perkataan Anna membuat dada Adnan bergemuruh. Langkahnya terhenti seketika. "
Anna membuka mata seketika saat tak dapat merasakan tamparan mendarat di pipinya barusan. Ia langsung melirik ke samping, melihat Naila malah berdiri tepat di hadapan Adnan. Adnan terlihat sangat terkejut dengan pergerakkan Naila yang menurutnya sangat cepat dan tidak dapat diprediksi itu. Dengan wajah menahan kesal, ia menatap Naila. "Kenapa kamu menamparku?" tanya Adnan sambil mengusap pipinya yang pedas. "Itu karena kamu sudah menyentuh tubuh temanku, Adnan!" seru Naila.Adnan ingin menyahut. Namun, tatapan tajam Ali yang berada di belakang, membuat Adnan bungkam. Ali baru saja tiba bersama Anya.Dalam hitungan detik, Naila mengalihkan pandangan kepada Anna lalu mendekat. Anna merasa bersalah, tatapan Naila menyiratkan kekecewaan. "Naila, maafkan aku karena tidak memberitahu kamu tentang permasalahanku, aku benar-benar minta maaf."Naila membuang napas kasar kemudian memegang kedua tangan Anna. "Kamu membuatku kecewa, Anna. Padahal kita bisa mencari bersama-sama solusinya, tapi
"Maksud Tante dengan kekasihku ya?"Anna memaksa tersenyum meski jantungnya sudah dag dig dug, seperti genderang perang. Dia menerka-nerka apa Anya sudah mengetahui kejadian semalam, entahlah. Anna berharap tidak.Anya tersenyum lebar, senyumannya membuat Anna panik. "Tentu saja dengan anak Tante, masa dengan kekasihmu."Anna menelan ludah berulang kali, terlihat gugup. "Tapi Tante mengapa harus menikah sama Adnan, aku punya kekasih, Tante?"Anya tersenyum penuh arti. "Kamu pikir Tante tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian semalam."Sekarang, senyum wanita paruh baya di hadapannya membuat Anna menarik napas panjang. "Memangnya semalam ada apa, Tante?"Anna masih mencoba mengelak. Meski keringat dingin menjalar di telapak tangannya saat ini. "Sudahlah, tak usah banyak tanya, ayo ikut Tante sebentar!" Tanpa mendengarkan balasan Anna, wanita yang wajahnya masih terlihat segar itu menarik tangan Anna keluar dan menyeretnya ke suatu tempat.Anna nampak panik, bertanya pada Anya mau
Demi mengatasi rasa gugupnya, Anna meneguk ludah berulang kali. Bagaimana tidak, Anya sedang melayangkan tatapan menyelidik padanya sekarang. "Anna, Green, siapa yang tidur dengan Adnan?" Anya mengulangi pertanyaan kala Anna maupun Green terdiam. Anne melirik Green sekilas lalu terkekeh hambar. "Bukan Adnan anak Tante kok, Adnan kekasihku, nama belakangnya Adnan juga, hehe.""Iya, Adnan pacar Anna, Tante." Green menyenggol cepat lengan Anna sambil melempar senyum kecut pada Anya pula. Selama ini, Anya mengira Anna memiliki kekasih. Anna dipaksa Naila unfuk berbohong. Naila sangat tak setuju bila Anna menikah dengan pria seperti Adnan. Meskipun begitu, Anya kerapkali meminta Anna membawa pacarnya ke rumah sekadar ingin tahu. Dan pada akhirnya ia berbohong lagi mengatakan jika kekasihnya berkerja menjadi abdi negara di perbatasan dan hanya pulang di waktu tertentu. Semenjak saat itu, Anya tak pernah lagi bertanya."Nama kekasihmu Adnan juga, Anna?" tanya Anya."Iya, Tante," balas Anna
"Anna, kamu ada di dalam 'kan?" kata Naila lagi dari luar. Anna semakin gusar. Tampak panik sekaligus kebingungan. Mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Namun, kepalanya semakin pusing. Matanya berkeliling sejenak di ruangan, melihat dress yang dikenakan saat menghadiri bridal shower Green nampak robek. Lalu melihat juga pakaian seorang pria berserakkan di mana-mana. Siapalagi kalau bukan punya Adnan. Anna yakin bila terjadi sesuatu di antara mereka semalam. Apalagi tubuh keduanya dalam keadaan polos sekarang. Di seberang ranjang, Adnan pun terlihat bingung. Sedari tadi mengamati keadaan kamar. "Anna?" Suara Naila terdengar lagi. Lamunan Anna buyar."I-ya Naila, tunggu sebentar!" balasnya setengah berteriak. Lantas dengan cepat menoleh ke arah Adnan. Matanya langsung menutup, melihat Adnan belum menutup burungnya."Adnan, cepat sembunyi dan pakai bajumu itu!" perintah Anna lalu mengambil celana dalam Adnan sambil menahan jijik. Kemudian tanpa melihat ke belakang, dia