"Nona Naila!"Terdengar suara Santi dari luar kembali. Naila mulai panik lantas dengan cepat bersuara."Iya Santi, ada apa?"Tak ada sahutan, Naila mengerutkan dahi. Sementara Santi di luar pintu menghela napas kasar karena Naila telah kembali ke mansion. Sejak tadi dia begitu gusar kala Naila tak kunjung keluar dari kamar. Pasalnya tadi sore tukang kebun yang sebulan sekali datang ke mansion, mengatakan melihat Naila pergi mengendap-endap keluar mansion. Dia berusaha berpikir positif mungkin Naila butuh udara segar, hingga menjelang sore Santi menghubungi Ali hendak memberitahu persiapan pernyataan cinta hampir selesai. Namun, panggilan tak diangkat sama sekali, Santi menebak Ali tengah sibuk dengan orang tuanya. Tak lupa pula Santi meminta kepada Roni untuk menyusul Ali ke mansion agar rencana berjalan lancar nanti malam. Saat menjelang petang, Santi pergi ke kamar Naila kembali hendak memeriksa sang empunya kamar. Tarikan napas lega berhembus dari hidung Santi kala suara Naila t
Sudah sebulan Naila dan Ali menikmati masa-masa bahagia mereka. Semakin hari pasangan suami-istri itu terlihat semakin mesra. Walau terkadang berdebat karena masalah kecil. Seperti pagi ini, Ali baru saja muntah di toilet. Akan tetapi, Ali malah mengajak Naila melakukan hubungan badan untuk kedua kalinya."Ali, aku capek, lihatlah wajahmu itu pucat, sebaiknya kamu beristirahat saja ya," kata Naila sembari mendorong pelan dada Ali yang saat ini menindih tubuhnya. Naila cemas karena wajah Ali terlihat pucat pasi sekarang. Ali melempar senyum tipis sambil mencium gemas bibir Naila. "Hm, capek? Bukankah aku yang sering bergerak, jangan membuat alasan, kemarilah Sayang.""Ali, aku mohon, aku tidak membuat alasan ...."Perkataan Naila terjeda ketika melihat perubahan raut wajah Ali dalam sepersekian detik. Pria itu baru saja menutup mulutnya kemudian bergegas turun dari ranjang dan melangkah cepat ke kamar mandi. "Ali!" seru Naila. Naila menyusul ke kamar mandi, melihat Ali berdiri di d
"Mari Tuan." Roni pun mulai mendorong kursi roda Sherkan, memasuki ruangan.Tanpa mengucapkan satu kata pun, Sherkan hanya menatap lurus ke depan. Meski tak lagi muda tapi ketampanan pria berambut putih itu masih terlihat jelas, rahang dan bentuk wajahnya kurang lebih mirip seperti Ali. Naila meneguk ludah berulang kali kala suara kursi roda mengalun pelan di telinganya sekarang. Dalam hitungan detik sebuah model mewah yang disinyalir milik Anya berhenti tepat di pelataran mansion. Naila semakin gugup, pikirkannya sudah melanglang buana entah kemana sekarang dan berharap kakek Ali dapat menerimanya. Dengan wajah senang Anya keluar dari mobil kemudian berlari kecil ke arah Sherka. "Ayah! Maafkan aku datang terlambat, bagaimana keadaan Ayah?" tanya Anya kepada sang mertua. "Hm, baik," balas Sherkan tanpa menatap lawan bicara. Roni mulai memperlambat gerakan kakinya. Melihat kedatangan Anya Roni hanya menghembuskan napas. Tadi dia dan Ali tak menyangka Sherkan akan datang tiba-tiba
Anya tersenyum sumringah karena sebentar lagi pertunjukan akan dimulai. "Tidak Kakek, aku sangat mencintai Ali. Kami saling mencintai, maaf jika aku—" "Diam! Dasar wanita buruk rupa! Saling mencintai apanya! Aku yakin sekali wanita ini menggunakan pelet untuk membuat Ali jatuh cinta kepadanya!" sela Anya sambil menyeringai tajam.Mata Naila terbelalak, benar dugaannya bila kedatangan Anya hanya untuk memperkeruh suasana. "Tidak, kami memang saling mencintai Kek, tanyakan saja kepada Ali, Kek. Jangan percaya perkataan Mama!" Sherkan enggan membalas, matanya hanya melirik-lirik Anya dan Naila secara bergantian."Wah, wah percaya diri sekali kamu. Lihatlah Kek, wanita ular ini mulai memperdayai kita semua, wajahnya saja yang kelihatan polos! Asal kakek tahu, wanita ini umurnya jauh lebih tua dari Ali! Aku tidak terima memiliki menantu seperti Naila yang jelek. Dia tak pantas bersanding dengan Ali!" kata Anya menggebu-gebu sambil melirik Sherkan. "Apa maksud Mama!" Terdengar suara Ali
Dengan jantungnya berdetak kencang, Naila terpaku di tempat, saat mendengar Sherkan meminta Ali untuk menceraikan dirinya. Padahal Naila sudah berharap jika sikap Sherkan berbeda dengan mertuanya. Namun, sepertinya mereka hanya menilai seseorang dari penampilan luarnya saja. Sekarang, Naila hanya bisa pasrah dengan keputusan Ali nantinya. Ali menggeleng cepat sambil mengeratkan gengamannya. "Tidak, sampai kapanpun aku tidak akan menceraikan, Naila. Mengapa Kakek kecewa padaku? Justru aku yang kecewa padamu, Kek."Suara Ali tak lagi seperti tadi, lebih tegas. Pria itu terlihat kecewa dengan perkataan Sherkan barusan. Sementara Naila, dengan raut wajah tak percaya, melirik Ali. Lantas ketakutan yang hinggap di relung hatinya mulai lenyap perlahan.Melihat pendirian Ali, Anya melebarkan mata, "Lihatlah Ayah—""Diam!!!" potong Sherkan cepat. Anya terkejut lantas dengan cepat menutup mulutnya.Sherkan melayangkan tatapan tajam kepada Anya saat ini. "Jangan menyela pembicaraanku dengan cu
"Hm, ingat keputusan berada ditanganku nanti. Apa kamu bersedia menerima tantanganku?" Tanpa menunjukkan ekspresi sama sekali, Sherkan menjawab pertanyaan Naila.Sebelum memberikan tanggapan, Naila menarik napas dalam dan berharap tantangan yang diberikan Sherkan tidaklah sulit. "Bersedia, Kek."Sekali lagi Sherkan menyeringai tipis membuat Naila sedikit ketakutan."Hmm, untuk tantangan pertama, aku ingin kamu memasak rendang jengkol untukku sekarang!" seru Sherkan tiba-tiba. 'Rendang jengkol? Apa aku tidak salah mendengar?' Mendengar tantangan yang terlontar dari bibir Sherkan, kening Naila berkerut kuat sekarang. "Rendang jengkol, Kek?" "Iya, buatkan aku sekarang! Jika masakanmu enak, aku akan mempertimbangkan apa kamu layak jadi menantu di keluarga kami atau tidak!" titah Sherkan sambil mengambil kembali teh di atas meja. "Baik Kek." Dengan raut wajah bingung Naila bangkit berdiri kemudian pergi ke dapur hendak memasakkan Sherkan rendang jengkol. Sementara itu, Sherkan dari ke
Sherkan memutus kontak mata seketika kemudian mengalihkan pandangannya ke arah mangkuk kembali dan menatap rendang jengkol tersebut dengan seksama. 'Enak sekali rendang ini, aku jadi rindu masakan istriku.' Sherkan tak dapat berbohong rasa rendang jengkol mengingatkannya dengan masakan mendiang sang istri. Sementara Naila, dengan sabar menunggu jawaban Sherkan. Sedari tadi keringat sudah menjalar di telapak tangannya, cemas dan takut bila dia gagal. "Kek?" Sekali lagi Naila memberanikan diri membuka suara. Dengan raut wajah datar Sherkan melirik Naila lagi. "Tidak enak!" katanya, ketus. Lalu Sherkan menyantap rendang jengkol kembali. Hal itu membuat dahi Santi berkerut hingga tiga lipatan, keheranan. Sementara Naila tampak murung karena masakannya tidak enak. Saat melihat perubahan raut wajah Naila, Santi mulai menggerakkan bibir. "Maaf menyela Kek, jadi Nona Naila gagal ya?" Dengan mulut penuh makanan, Sherkan menanggapi. "Iya, gagal. Cepat sana ambil lagi rendang jengkolnya.
"Sepertinya anda salah orang Tuan, namanya Talitha, hehe," jawab Santi cepat dengan detak jantung berdegup kencang saat ini.Santi membenarkan kacamata hitamnya dan sesekali melirik-lirik para pengunjung yang kini memusatkan perhatian ke arah mereka. Selama menjadi manager Naila di agency, penampilan Santi sangatlah berbeda, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Jika berada di luar dia selalu memakai wig pendek berwarna pink. "Iya, kamu benar Santi. Sepertinya anda salah orang, Tuan." Naila melempar senyum lebar kepada Sherkan. Ya pria di hadapannya saat ini adalah Sherkan. Entah bagaimana Sherkan bisa ada di sini, tapi yang jelas Ali maupun Roni tidak memberitahu mereka. Tetapi, Naila sangat heran mengapa Sherkan bisa mengenalinya, bukankah sejak kemarin wajahnya sudah ditutupi dengan make-up.Sherkan tak langsung menjawab. Sedari tadi melayangkan tatapan datar kepada Naila."Iya, sepertinya aku salah orang, maafkan aku ya," ucap Sherkan kemudian. Naila menyungging senyum lebar samb
"Jangan pergi! Jangan mengucapkan kata-kata pergi, Anna!" Adnan memeluk erat Anna dari belakang. Mendengar kata pergi yang terucap dari bibir Anna, membuatnya resah. Adnan tak akan mau hal itu terjadi.Anna membalik cepat. Lalu menatap tajam. Tampaknya kekesalan Anna belum mereda. "Iya, kalau kamu tidak membuktikan perkataanmu, maka aku akan pergi!"Adnan langsung mendekap tubuh Anna dengan sangat erat. "Tidak, tidak Sayang, percayalah padaku, aku akan membuktikannya, kamu lihat saja nanti," ucapnya sambil berkali-kali melabuhkan kecupan di kening Anna."Iya, awas saja kamu berulah, bukan hanya Damar yang akan aku remukkan, tubuhmu pun aku akan hancurkan dengan teflon!" kata Anna, ketus.Adnan malah terkekeh-kekeh. Teringat dengan malam di mana Anna memukul-mukul sang wanita malam dengan teflon. "Iya, iya Sayang, itu kan kalau berulah, aku akan membuktikannya padamu, lihat saja nanti."Anna mendengus lantas melirik tajam Adnan. Namun, di mata Adnan, wajah Anna nampak menggemaskan."Say
Mata Anna melebar kala Adnan menangkup kedua pipinya dan membungkamnya dengan sebuah kecupan. Dia hendak memberontak. Namun, tubuhnya mendadak lumpuh. Anna tak mengerti dengan situasi saat ini. Tadi, Adnan memarahinya. Tetapi, sekarang malah menciumnya. Dengan mata masih terbuka, Anna dapat merasakan Adnan menjelajahi isi mulutnya dengan melilitkan lidahnya perlahan-lahan. Dalam hitungan detik, Adnan menurunkan tangan lalu mendekap tubuh Anna. Anna terdiam, sambil mendongak, menatap Adnan dengan air mata masih mengalir pelan di pipi. "Siapa nama pria yang menyentuhmu, Anna? Apa kamu sangat mencintainya?" Kali ini suara Adnan terdengar lebih lembut, sinar matanya pun tak berapi-api seperti tadi.Anna hendak memberitahu namun sebenarnya dia pun tidak tahu siapa nama asli pria tersebut. "Apa nama samarannya Mr. D?" tanya Adnan lagi sambil menempelkan keningnya ke kening Anna.Dahi Anna langsung mengerut kuat. "Bagaimana kamu bisa tahu nama samarannya? Iya, aku sangat mencintainya, di
Lima menit sebelumnya, Adnan mendapat panggilan dari Bruno, sang sekretaris, bahwa akan diadakan rapat di restaurant. Adnan pun bergegas turun ke bawah, melihat sosok yang amat dia kenali bersama seorang pria. Saat ini, Adnan dapat merasakan dadanya terbakar membara, menahan cemburu, melihat tangan Anna disentuh oleh seorang pria. 'Siapa pria itu? Apa dia yang menyentuh tubuh Anna!' Tanpa pikir panjang, Adnan melangkah cepat hendak melihat apa yang dilakukan Anna. Dengan jarak aman, Adnan melirik-lirik ke depan. Memandang Anna dan sosok itu berjalan cepat ke bangunan di samping. Adnan terpaksa bersembunyi di balik pilar sambil sesekali menyembulkan kepala hendak mengintip.'Apa yang mereka bicarakan?'Di ujung sana, Adnan dapat melihat Anna dan pria tersebut terlibat pembicaraan serius. Adnan menajamkan pendengaran tapi karena suara kendaraan di jalan raya, menghalanginya. 'Sial, hampir saja!'Dengan buru-buru Adnan menggerakkan kepala kala matanya sedikit lagi bertemu dengan mata
Anna begitu ketakutan, melihat ayahya berdiri dengan raut wajah merah padam. Sementara Adnan mundur beberapa langkah kala mendengar Anna memanggil pria paruh baya di belakang dengan sebutan ayah. Anna berdiri sambil mengusap pelan bibirnya sesaat."Mengapa Ayah ada di sini?"Sebuah pertanyaan bodoh meluncur bebas dari bibir Anna tiba-tiba. Wanita itu lupa bila ayahnya terkadang akan datang ke apartment sekadar menengok keadaannya. "Kamu belum menjawab pertanyaan ayah barusan! Siapa yang hamil dan siapa pria ini hah!" tanya Ramdan sambil melirik Anna dan Adnan secara bergantian.Anna tak langsung menjawab tengah mencari kata-kata untuk bisa berkilah. Akan tetapi, belum sempat dia menanggapi, Adnan terlebih dahulu membuka suara hingga membuat mata Anna terbelalak."Saya suami Anna, Pak. Tadi saya hanya memberi pendapat saja jika Anna siapa tahu saja sedang hamil," jelas Adnan, dengan raut wajah datar. "Apa?!"Ramdan amat terkejut. Kedua tungkai kakinya mulai lemah. Lantas dengan perl
Adnan semakin mendekat hingga membuat Anna panik setengah mati. Bagaimana tidak, tatapan pria itu seakan ingin memangsanya. Tanpa sadar Anna meneguk ludah berulang kali kala melihat otot-otot perut Adnan terlihat menggoda saat ini. 'Astaga, apa kamu sudah gila, sadarlah dia pria brengsek yang suka celap-celup!' Anna menggeleng cepat, mengusir pikiran nakalnya sesaat. Lalu, menyilangkan tangan di depan dada berusaha menyembunyikan buah dadanya yang tak mengenakan dalaman sama sekali. "Hei, pria mesum! Berhenti atau aku akan menendang burungmu itu!" seru Anna tiba-tiba. Adnan mengindahkan perkataan Anna, malah menyeringai tajam. "Jangan sok jual mahal, Anna. Kamu yang membuat aku seperti ini. Lagipula aku ini suamimu, jadi wajar-wajar saja jika aku menyentuh tubuhmu.""Cih! Aku tak sudi tubuhku disentuh oleh pria mesum sepertimu, tubuhku hanya boleh disentuh oleh pria yang pertama kali menjamah tubuhku!" Perkataan Anna membuat dada Adnan bergemuruh. Langkahnya terhenti seketika. "
Anna membuka mata seketika saat tak dapat merasakan tamparan mendarat di pipinya barusan. Ia langsung melirik ke samping, melihat Naila malah berdiri tepat di hadapan Adnan. Adnan terlihat sangat terkejut dengan pergerakkan Naila yang menurutnya sangat cepat dan tidak dapat diprediksi itu. Dengan wajah menahan kesal, ia menatap Naila. "Kenapa kamu menamparku?" tanya Adnan sambil mengusap pipinya yang pedas. "Itu karena kamu sudah menyentuh tubuh temanku, Adnan!" seru Naila.Adnan ingin menyahut. Namun, tatapan tajam Ali yang berada di belakang, membuat Adnan bungkam. Ali baru saja tiba bersama Anya.Dalam hitungan detik, Naila mengalihkan pandangan kepada Anna lalu mendekat. Anna merasa bersalah, tatapan Naila menyiratkan kekecewaan. "Naila, maafkan aku karena tidak memberitahu kamu tentang permasalahanku, aku benar-benar minta maaf."Naila membuang napas kasar kemudian memegang kedua tangan Anna. "Kamu membuatku kecewa, Anna. Padahal kita bisa mencari bersama-sama solusinya, tapi
"Maksud Tante dengan kekasihku ya?"Anna memaksa tersenyum meski jantungnya sudah dag dig dug, seperti genderang perang. Dia menerka-nerka apa Anya sudah mengetahui kejadian semalam, entahlah. Anna berharap tidak.Anya tersenyum lebar, senyumannya membuat Anna panik. "Tentu saja dengan anak Tante, masa dengan kekasihmu."Anna menelan ludah berulang kali, terlihat gugup. "Tapi Tante mengapa harus menikah sama Adnan, aku punya kekasih, Tante?"Anya tersenyum penuh arti. "Kamu pikir Tante tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian semalam."Sekarang, senyum wanita paruh baya di hadapannya membuat Anna menarik napas panjang. "Memangnya semalam ada apa, Tante?"Anna masih mencoba mengelak. Meski keringat dingin menjalar di telapak tangannya saat ini. "Sudahlah, tak usah banyak tanya, ayo ikut Tante sebentar!" Tanpa mendengarkan balasan Anna, wanita yang wajahnya masih terlihat segar itu menarik tangan Anna keluar dan menyeretnya ke suatu tempat.Anna nampak panik, bertanya pada Anya mau
Demi mengatasi rasa gugupnya, Anna meneguk ludah berulang kali. Bagaimana tidak, Anya sedang melayangkan tatapan menyelidik padanya sekarang. "Anna, Green, siapa yang tidur dengan Adnan?" Anya mengulangi pertanyaan kala Anna maupun Green terdiam. Anne melirik Green sekilas lalu terkekeh hambar. "Bukan Adnan anak Tante kok, Adnan kekasihku, nama belakangnya Adnan juga, hehe.""Iya, Adnan pacar Anna, Tante." Green menyenggol cepat lengan Anna sambil melempar senyum kecut pada Anya pula. Selama ini, Anya mengira Anna memiliki kekasih. Anna dipaksa Naila unfuk berbohong. Naila sangat tak setuju bila Anna menikah dengan pria seperti Adnan. Meskipun begitu, Anya kerapkali meminta Anna membawa pacarnya ke rumah sekadar ingin tahu. Dan pada akhirnya ia berbohong lagi mengatakan jika kekasihnya berkerja menjadi abdi negara di perbatasan dan hanya pulang di waktu tertentu. Semenjak saat itu, Anya tak pernah lagi bertanya."Nama kekasihmu Adnan juga, Anna?" tanya Anya."Iya, Tante," balas Anna
"Anna, kamu ada di dalam 'kan?" kata Naila lagi dari luar. Anna semakin gusar. Tampak panik sekaligus kebingungan. Mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Namun, kepalanya semakin pusing. Matanya berkeliling sejenak di ruangan, melihat dress yang dikenakan saat menghadiri bridal shower Green nampak robek. Lalu melihat juga pakaian seorang pria berserakkan di mana-mana. Siapalagi kalau bukan punya Adnan. Anna yakin bila terjadi sesuatu di antara mereka semalam. Apalagi tubuh keduanya dalam keadaan polos sekarang. Di seberang ranjang, Adnan pun terlihat bingung. Sedari tadi mengamati keadaan kamar. "Anna?" Suara Naila terdengar lagi. Lamunan Anna buyar."I-ya Naila, tunggu sebentar!" balasnya setengah berteriak. Lantas dengan cepat menoleh ke arah Adnan. Matanya langsung menutup, melihat Adnan belum menutup burungnya."Adnan, cepat sembunyi dan pakai bajumu itu!" perintah Anna lalu mengambil celana dalam Adnan sambil menahan jijik. Kemudian tanpa melihat ke belakang, dia