Nalarku membenarkan. Bisa jadi itu dia. Kecemburuan ampuh membutakan, sehingga seseorang dengan mudah berubah menjadi musuh dalam selimut.“Kenapa kamu mengarang bualan bahwa ini anakmu?” Kutanyakan hal lain yang juga sangat mengganggu.Mike santai saja menanggapinya. “Karena aku berharap itu jadi anakku. Toh aku yang mengetahui kabar itu untuk pertama kalinya.”“Kamu gila. Itu fitnah dan fitnah itu lebih keji dari pada pembunuhan!” Ada yang salah dengan otaknya, nuraninya juga. Betapa tega mengarang cerita yang merugikan orang lain hanya demi memuluskan tujuannya.“Sejak mengenalmu aku tak tahu caranya waras kembali. Kamu terus bersemayam di otakku. Menari-nari di atas rinduku. Tak bisa kubayangkan dirimu memadu kasih dengan pria yang telah membawa racun untuk melumpuhkanmu. Maaf jika aku berdusta demi mendapatkanmu. Maaf jika aku sengaja mengatakan itu demi memilikimu. Itu karena perasaanku padamu nyata, bukan rekayasa, bukan sandiwara.”Matanya lurus menatapku tanpa ragu. Ada tekad
Apa yang ditanam dengan cinta akan tumbuh indah dan berharga. Apa yang ditanam dengan benci akan hangus bersama api.Diimami oleh suami, tahajudku malah tidak khusyuk. Bagaimana bisa, sedang debar hati ini kencang terasa. Inilah pertama kalinya, aku memiliki dia sungguh-sungguh sebagai imam dalam ibadah yang kudirikan, rakaat demi rakaat. Ibarat membangun rumah, setahap demi setahap.Setelah salam, ia duduk tafakur cukup lama. Aku pun ingin bisa se-khusyuk dia, berusaha sekuat tenaga fokus, tapi tak bisa. Punggungnya bagai lukisan yang menggambarkan masa lalu kami yang dulu begitu muram. Tak ada canda tawa, apalagi cinta.Sepi.Punggung itu pun menapak jejak rinduku yang kelabu. Tiada tempat bagiku menuang secawan rindu kala raga bersatu. Sebab semua hanya pelabuhan semu. Tak ada hasrat ‘tuk berkasih sayang, layaknya dua insan yang mabuk kepayang.Tangannya melambai-lambai di depan kedua mataku. “Hey, kamu melamun?” tanya Mas Danu menyadari diri ini lambat merespon gerakan tangannya.
Sekar yang muncul dengan muka masam, terlihat merana melihat kami berdua. ‘Heh’ patutkah memanggil suaminya dengan kata ‘heh’?“Honey, kamu udah bangun. Aku hanya ...” Mas Danu bangkit menghampirinya.“Jangan pernah panggil aku Honey,” tepisnya, “jikalau hanya kau jadikan madu dari wanita itu. Penghinaan ini akan membekas selalu.”“Sayang, please dong, jangan marah-marah, kecilkan suaramu, ini sudah dini hari, lho.”Panggilan sayang itu, nyatanya membuat batinku berdarah. Panggilan itu, kuingin untukku saja.“Kamu sadar ini dini hari? Dan kamu ngumpet-ngumpet di tempat seperti ini untuk menemui dia? Sadarlah Danu, ini tempat salat, bukan tempat maksiat.”Baru kutahu, Sekar bisa sekasar itu pada Mas Danu. Tanpa segan, ia memanggil nama suami seenaknya. Tak ada penghormatan sama sekali. Diakah wanita yang disebut Mas Danu tadi? Wanita yang galak dan hobi marah-marah?“Hubungan kami belum terputus. Ada hak dia atas waktuku juga ...”"Kalau begitu putuskan!" perintahnya.Mas Danu menggele
Malam ini, meskipun masih memikirkan Mas Danu, tetapi aku sudah bisa tidur nyenyak. Seperti kata bapak, aku hanya perlu menunggu. Biar Mas Danu yang berburu. Kali ini, aku tak perlu sibuk mencari. Biarkan dia yang datang sendiri.Tanpa sadar, kualitasku teruji sebagai istri yang layak dimiliki dan dicintai sepenuh hati.***Seminggu sudah sejak Mas Danu dan Sekar pergi dari rumah ini. Terkadang kami masih sering berkomunikasi melalui pesan singkat dan video call. Namun, itu tak pernah mampu menuntaskan kerinduan seorang istri terhadap suami. Justru kian menambah berat beban rindu.Sementara anak-anakku lebih beruntung. Setiap hari, mereka dibebaskan berkunjung ke rumah ayahnya dengan diantar sopir. Sekar tak ingin aku menampakkan diri di hadapannya dan Mas Danu juga memintaku tak memperkeruh keadaan. Sungguh aku merasa nelangsa sendirian.Sepi.Iri.Galau.Bohong jika menunggu itu mudah. Apalagi jika orang yang dirindukan sejatinya dekat, tetapi terhalang tembok tinggi menjulang. Jika
[ Mas, aku mendapat penugasan kantor untuk dinas luar kota. Selama seminggu di Bali. Apakah Mas izinkan aku pergi? ] tanyaku via pesan singkat. Percuma jika aku yang menelepon duluan, sering di-riject. Harus menunggu dia dahulu yang menelepon. Tetapi itu seperti menunggu tukang bakso lewat depan rumah. Tak ada kepastian. Bisa jadi hanya menuai kekecewaan.Tak lama kemudian, ia membalas. [ Silakan. Pergilah. Hati-hati di jalan.]Padahal aku berharap dia mengatakan jangan, tidak, tak usah, biar nanti aku yang mengurusnya. Dia bisa menggunakan wewenangnya untuk membatalkan penugasan itu. Sejatinya, aku ingin ia berat melepasku, seperti aku yang begitu berat melepasnya.Berbekal izin darinya, aku berangkat ke Pulau Dewata bersama tim. Sungguh hal yang paling tidak kuinginkan di saat kami bepergian jauh seperti ini adalah dia, pria yang menaruh harapan berlumur kepalsuan. Mike.Penerbangan kelas bisnis. Nyaman. Kaki pun bisa diangkat sejajar badan. Aku bisa berbaring sepanjang penerbangan.
Berpindah ke taman bunga yang tertata apik di halaman villa. Mengeluarkan perangkat kerja dari tas. Mencoba fokus pada tujuan utama datang ke tempat ini. Berulang kali berkonsentrasi, tapi tak bisa. Ada apa? Kualihkan pandangan ke samudera luas.Debur ombak terdengar menantang. Hati tak tahan untuk mendekat, bermain dengan air laut dan pasir halus yang menggelitiki jemari kaki.Lupakan, sejenak lupakan, bujuk hati.Semua tentang kehilangan yang berulang. Adalah tanda untuk menambah stok kesabaran. Adalah tanda untuk mendalami hakikat keikhlasan. Adalah tanda untuk berhenti mencintai makhluk melebihi cinta hamba pada Sang Pencipta.Andai saja, cinta ini tak terlalu besar. Tentu, tak seperih ini pula rasa sakitnya. Tak seberat ini rasa rindunya. Tak sekuat ini rasa hampanya. Bagai ombak yang bergulung, tak menemukan daratan untuk memecah buih-buihnya.Kulepaskan sandal. Berjalan dengan kaki telanjang. Melewati jajaran bunga warna warni yang ditanam di atas pot. Telaten sekali tukang keb
Jangan sampai terlambat menyadari, siapa yang paling kita cintai. Sebab bisa jadi saat itu, tak ada kesempatan lagi untuk memasuki pintu hati.***“Senja. Semua orang bisa melihat senja, tetapi tidak semua bisa tiba di waktu senja. Kamu tahu artinya?” tanya Mike, masih rebahan di atas pasir putih. Namun, kali ini ia menyangga kepala dengan kedua tangan.“Jika orang bisa melihat senja, bukankah ia sudah tiba di waktu senja?” Kubalas bertanya balik karena belum mengerti maksudnya. Lama-lama lupa untuk kembali ke kamar, menjaga hati dari gejolak rasa. Mike pandai menghadirkan rasa nyaman yang menyenangkan. Orang akan betah berjam-jam duduk mengobrol dengannya.“Salah!”“Jadi?”“Waktu senja, waktu tua. Anak kecil bisa melihat senja, tapi ia bisa mati sebelum usia senja. Karena itu, jangan terlalu merisaukan masa depan. Jangan! Kamu tak akan tahu, kamu bisa sampai ke masa itu atau tidak. Pikirkan masa kini, kamu hidup di masa ini. Manfaatkan sebaik-baiknya, agar tidak ada penyesalan di kem
“Aku tidak bisa pulang sekarang, Mas Danu. Aku sudah minta izin padamu dan kamu sudah mengizinkan. Konsistenlah. Aku bekerja di sini. Aku tak akan kembali sebelum tugasku selesai.”Hal itu kuputuskan begitu saja, karena menyadari bahwa diriku perlu waktu untuk jeda dari semua kesedihan yang menerpa. Aku butuh sibuk untuk bisa membunuh hampa. Butuh suasana berbeda untuk membantuku lupa padanya, yang lebih sering bersama istri muda. Apalah arti diriku yang menjadi istri seorang pria, tapi tak bisa merengkuhnya.“Kapan aku memberimu izin bepergian dengan pria ini, sejauh ini? Kamu tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menyusulmu kemari?”Kalimatnya membuatku bingung. Kutunjukan pesannya di gawaiku. Ia menggertakan gigi, geram. Kemarahan kembali berkobar. “Seharusnya kamu memastikan apa itu aku atau bukan.”“Bukan, Mas?” Agaknya ini semua ulah Sekar.“Tentu saja bukan! Pria bodoh mana yang mengizinkan istrinya yang tengah hamil bepergian sejauh ini?” Ia mengacak-acak rambutnya, tak ha
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa