Risyad hanya ingin Shama membalas cintanya. Dia tidak peduli meski seberapa buruk kini perempuan itu memperlakukannya, yang terpenting adalah, Shama tahu dan sadar bahwa cinta Risyad hanyalah untuknya seorang.
Sebelum bertemu dengan Andara, tujuan awal Risyad mengunjungi Indonesia hanyalah sebatas perjalanan bisnis. Namun, usai pertemuan dengan beberapa rekan di sana, banyak teman yang mengusulkan pada Risyad untuk mencoba hal baru yang akan menentukan apakah Shama bisa menerimanya atau tidak.Dan cara itu adalah, mencari gadis yang rela dijadikan kelinci percobaan. Perempuan yang kastanya lebih rendah dari Shama. Gunanya agar Shama bisa membuat dirinya seolah tidak terkalahkan dan mungkin akan berakhir menunjukkan pada Risyad kalau dirinyalah yang paling pantas menjadi nyonya Risyad Al Maktoum.**Andara terbangun dari alam bawah sadarnya. Tidurnya lelap tadi malam, hanya saja tidak terlalu nyaman. Sofa memang tidak terlalu dianjurkan untuk tempat mengistirahatkan tubuh. Badannya serasa dipukuli begitu bangun menyambut mentari.Baru saja selesai membersihkan diri dari dalam kamar mandi, Andara mendadak tersihir ditempat tatkala pemandangan di depannya terlalu sempurna untuk dilewatkan. Ada potret Risyad yang tengah mengancing kemeja hitamnya satu-persatu, yang mana sempat memamerkan warna kulit dada pria itu.Senyum nakal Andara mendadak muncul. Risyad terlalu tampan untuk ukuran laki-laki hidung belang. Mana mungkin dia bisa mendapatkan pria cabul sesempurna Risyad ini. Ah... sial. Kenapa kebanyakan lelaki sempurna itu memiliki perasaan yang dalam hanya pada satu perempuan? Jika saja Risyad mau, Andara bahkan rela tidak dibayar sekali pun.Aksi Risyad selesai dan beralih memasang arloji. Merasa ada yang mengawasi, Risyad langsung saja menoleh dan tepat saja, sepasang matanya mendapati Andara yang menatapnya tanpa berkedip sama sekali."Sejak kapan kamu berdiri di sana?" tanya Risyad. Andara mengerjap-erjap."Baru aja. Kenapa emang?" jawab Andara sambil mengibas rambutnya yang basah kebelakang.Risyad kembali menghela napas, frustrasi. Dua bola mata legam itu memutar jengah. Rasanya sangat kontras karakter Andara ini dengan dirinya. Andai saja bisa, ingin sekali Risyad membuang saran teman-temannya untuk mendatangkan orang macam Andara ini."Terserah," kata Risyad mengalah.Andara mengerucutkan bibirnya, seolah ikut merasa terserah. Gadis itu berjalan ke arah Risyad untuk mematut diri di depan cermin, tapi yang terjadi Risyad justru kaget hingga menjauhkan diri, mundur dua langkah."Apa-apaan kamu? Ke-kenapa tiba-tiba mendekat?" ucap Risyad, shock."Santai aja kali," sahut Andara dengan tenangnya.Risyad lagi-lagi hanya bisa mendesis, kesal. Andara sungguh definisi gadis gila yang banyak dideskripsikan di drama-drama juga beberapa novel."Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Risyad mencoba mengabaikan kegilaan Andara ini.Sembari menepuk-nepuk wajah yang masih sedikit basah, Andara menjawab,"Lihat situasi dulu. Kalau ada efeknya, berarti rencana berikutnya akan berjalan sempurna.""Apa maksudmu?" Risyad mengerutkan dahi, bingung.Gadis itu segera memutar tubuh menghadap Risyad sebentar lalu berjalan ke arah ambang pintu. Laki-laki di sana hanya bisa menatap heran, mencoba menebak-nebak apa yang hendak dilakukan Andara kali ini.Andara sudah menyusun beberapa skenariountuk melancarkan aksinya. Kesepakatan sudah terjalin, dan entah kenapa Andara justru antusias untuk pekerjaannya saat ini. Menyatukan dua orang yang menurutnya saling mencintai, namun terhalang gengsi.Andara menyembulkan kepalanya dari pintu kamar Risyad, memantau kiri-kanan apakah Shama sudah bangun atau belum. Namun, sudah hampir lima menit dia berdiri di sana, belum juga ada tanda-tanda wanita itu keluar."Lama banget sih? Udah jam berapa nih woi, masa belum bangun juga?" gerutunya dalam hati.Tengah asyik memantau, tiba-tiba saja Andara dibuat kaget oleh Risyad yang terkesan datang tiba-tiba."Ada apa?""Astaga! Lu ngagetin aja!" ujar Andara, kaget."Memangnya lagi apa? Kenapa kamu seperti pencuri?" tanya Risyad, justru santai."Shtttt!" Andara menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. "Jangan kuat-kuat. Kita akan mulai aksi di mana lu bakalan liat kalau istri lu emang cinta sama lu," lanjutnya menjelaskan.Risyad selalu saja tidak bisa menangkap satu kali saja omongan Andara ini. Dia hanya bisa ber 'hah' ria, kala kepalanya gagal mencerna."Udah nggak usah hah heh hah heh, ikutin aja apa kata gue. Jangan ngebantah, dengar?""Memangnya apa rencanamu?"Baru saja akan menjelaskan, dentuman suara high heels yang beradu dengan keramik rumah menunda semuanya. Buru-buru Andara menutup pintu kamar, lantas menarik Risyad untuk lebih dekat dengannya.Laki-laki itu kaget bukan kepalang, saat jarak mereka terkikis. Andara amat sangat brutal, terlihat bagaimana Andara begitu lihai membuat posisi di mana Risyad terjebak antara tembok juga Andara di depannya."Mendesah, buruan!" suruh Andara, memaksa!"Kamu gi!""Sthhhh!!" Andara dengan sigap membungkam mulut Risyad, sambil melotot tajam. "Gue bilang mendesah, bukan teriak, Tolol!" umpatnya, geram."Ba-bagaimana? Ak-"Terlalu lama menunggu Risyad, dan mendengarkan ketukan langkah itu semakin terasa mendekat, Andara tidak ada pilihan lain. Tepat saat Shama melewati kamar Risyad, Andara pun mengeluarkan aksi absurnya."Aw ... Ah ... Ya, uhhh ...," desah Andara, sengaja lebih kuat.Melihat dan mendengar itu, Risyad justru kaget berat, tampak dua bola matanya itu seolah bisa mencuat keluar. Belum siap akan keterkejutannya, Andara sudah lebih dulu mengancam Risyad untuk membalas."Balas!" bisiknya, geram."Ak- Aw ...," pekik Risyad, saat Andara mencubit lengannya kuat. Laki-laki itu meringis kesakitan.Lantas saja yang menjadi target sejenak berhenti sebab suara ambigu itu melengos begitu saja ke daun telinganya. Shama mendengus, miris. Apa katanya kemarin? Cinta? Cih, bulshit! Damn it!Bola mata Shama memutar begitu malas. Lirikan tajam pada pinta kamar Risyad, cukup untuk membuktikan kalau Shama sedikit ambil atensi untuk hal yang baru saja masuk ke dalam kepalanya.Begitu langkah kaki itu kembali terdengar, Andara pun perlahan melepaskan tangannya dari dinding untuk memalang tubuh Risyad. Kaki tanpa alas itu melangkah pelan, membuka sedikit pintu untuk memastikan apakah Shama sudah berlalu atau masih berada di sana."Tuh tuh tuh, liat, kan? Apa gue bilang, dia itu suka sama lu. Gengsi dia aja emang yang terlalu kuat," ujar Andara antusias.Risyad lagi-lagi tidak mengerti, di mana dan apa yang membuat Andara yakin akan kata-katanya tadi."Shama tidak berbuat apa-apa. Bagaimana bisa kamu mengatakan kalau dia juga mencintai saya?" tanya Risyad, polos.Andara mengibaskan tangannya. "Duh, lu emang cowok paling nolep ya. Lu tolol banget emang. Nih ya, kalau emang dia nggak suka atau nggak peduli sama lu, dia nggak akan berhenti dulu buat mastiin apa yang dia dengar. Bagi dia, kan lu nggak sepenting itu, kenapa juga harus kepo? Jawabannya ada di aksi dia tadi. Mikir aja sendiri," jelas Andara bangga akan dirinya.Risyad mulai paham setelah memikirkan nya sejenak. Ya, sepertinya benar apa kata Andara. Shama bisa saja terus berjalan tanpa peduli apa yang terjadi. Tapi tadi ketukan langkahnya sempat terhenti, itu artinya Shama ternyata menyisakan rasa terhadapnya. Hal itu sukses memberikan sedikit ruang lega dalam hati Risyad. Laki-laki itu mengulas senyum kecil."Mau ke mana kamu?" Risyad bertanya saat Andara berjalan ke arah lemari."Gue nggak punya baju, minjem baju lu ya? Baju gue norak semua. Itung-itung ini juga buat jadi bahan biar bini lu makin hangus terbakar," jawab Andara sambil memilah-milah kemeja Risyad."Saya bahkan belum mengiyakan, kamu sudah berlagak semua itu punyamu.""Halah, lu mah. Kita ini, kan partner, biarin aja kali cuma gini doang." Andara mendapatkan warna cantik kemeja milik Risyad. "Gue ambil ini ya? Cakep warnanya," katanya meminta izin. Kemeja warna soft blue berbahan satin silk di tangannya ditatap lama oleh Risyad."Pakai saja. Kalau bisa ambil saja untukmu, saya tidak suka warna itu," ungkap Risyad yang mendadak memancarkan aura asing dalam nada bicaranya.Hal itu membuat Andara sedikit mengangkat alis, bisa langsung menebak kalau ada yang salah dari laki-laki itu. Meski dari awal memang Risyad adalah sosok laki-laki yang super menyebalkan karena sifat sok polosnya itu, tapi nada dan gaya bicara Risyad tadi cukup untuk membuat Andara bertanya-tanya dalam kepalanya.Apa orang kaya juga masih punya banyak masalah? Rasanya tidak mungkin. Begitulah kira-kira nada tanya dalam kepalanya.Risyad keluar lebih dulu. Sepasang matanya langsung saja menangkap potret Shama tengah duduk sendiri di meja makan sambil mengaduk-aduk salad sayur di depannya. Laki-laki itu terus memperhatikan istrinya yang terlihat sedang memendam banyak masalah. Shama melamun. Dia hilang dari tempatnya saat ini. "Kenapa tidak makan? Kamu sakit?" ujar Risyad sambil mendekat. Shama lantas menoleh malas. Tatapan sinis penuh kebencian itu terpampang jelas. Daripada besarnya kebencian Shama pada sang ayah mertua, sebenarnya Shama jauh lebih membenci Risyad mau sebaik apa pun sikap laki-laki itu. "Puas? Ada lagi yang kau inginkan, Risyad?" Alih-alih menjawab, Shama lebih tertarik mengajak Risyad kembali berperang. Sosok jangkung yang mengenakan jas biru polos itu menunda duduk di kursi. Mendengar tanya Shama membuatnya mendadak ingat kejadian pagi ini. Risyad menghela napas, kini dilema. Harusnya bukan ini hasil yang diterima Risyad. Laki-laki itu tidak menyadari akan seburuk ini tanggapan Shama ten
Andara berjalan dengan perasaan jengkel yang masih tersimpan. Tangannya masih tersisa jejak saos salad yang sempat membersihkan kepala Risyad. Tak sengaja, keduanya orang itu kembali berpapasan dengan keadaan Risyad yang sudah kembali rapi dan bersih. Jas birunya berubah jadi kemeja hitam.Andara bergeming begitu menatap Risyad yang diam di depannya. Sementara Risyad melirik tangan Andara yang kotor. Melihat betapa berantakannya kini Andara, dengan kemeja yang kebesaran, rambut acak-acakan, dan kaki jenjang hingga pahanya tak tertutup apa-apa, membuat Risyad inisiatif memberikan kartu kreditnya. "Ajak sopir belanja. Kamu sudah seperti orang gila," titahnya sambil menyodorkan kartu kredit. Alis Andara langsung menyatu, dengan bibir yang sinis. Tatapannya masih sama pada Risyad. Jengkel. "Dih, lu nggak nyadar? Yang gila itu elu, buka gue!" cetus Andara membalas. "Jangan membantah. Di rumah tidak ada yang memasak juga. Kamu boleh beli apa pun dan makan apa pun di luar. Ini kesepakatan
Risyad benar-benar tidak menanggapi serius apa yang baru saja dikatakan Andara. Baginya, Andara itu tetap gadis 'gila' yang mengatakan suatu hal yang tak mendasar. Itu kenapa Risyad hanya menghela napas lalu melupakan peringatan Andara. Dia kembali pada rekannya yang menunggu. Begitu tiba di kursinya lagi, dari jarak yang berbeda Andara satu kali lagi memastikan kalau Risyad benar-benar tidak percaya padanya. Dan benar saja, laki-laki itu sudah kembali duduk dan siap meneguk wine miliknya. "Gilak ya tu orang!" sungut Andara dalam hati. Dia melihat dengan jelas bagaimana Risyad meneguk dengan santai minuman 'beracun' itu. Anggap saja hari ini Risyad sedang beruntung, atau Andara yang lagi baik-baiknya. Gadis itu siap di anggap tolol karena tetap diam mengawasi Risyad untuk memastikan laki-laki itu aman. Andara tahu dimenit keberapa obat itu akan bereaksi. Itu kenapa Andara memilih diam sejenak dan kembali duduk di tempat yang jaraknya lebih dekat, tanpa Risyad tahu. Risyad akhirnya
Kesadaran Risyad benar-benar sudah tidak terkendali lagi. Bahkan jauh lebih baik kalau laki-laki itu tidak sadarkan diri agar Andara lebih mudah membawanya masuk ke dalam rumah. Namun, nyatanya Risyad masih terjaga sampai saat ini. Bahkan setelah Andara membawanya masuk ke dalam rumah pun, laki-laki itu masih meraung-raung kecil, bergumam tidak jelas. "Dikit lagi, sabar dong!" gerutu Andara masih berusaha sekuat mungkin memapah Risyad. Andara mendadak berhenti di depan pintu kamar Risyad kala suatu rencana muncul di kepalanya. Dia menatap lagi Risyad yang sempoyongan lalu menatap pintu kamar Shama yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari kamar Risyad. "Buset, gue pinter banget," ucapnya girang. "Kali ini lu bakal berterima kasih dua kali sama gue, Bro!" lanjutnya kemudian sambil berjalan melewati pintu kamar laki-laki itu.Andara berniat membiarkan Risyad yang mabuk berada di kamar Shama. Dengan begitu pasti suatu 'kecelakaan' akan terjadi. Mustahil rasanya jika kedua orang itu t
Andara perlahan terjaga. Mulutnya menganga, menguap. Gadis itu meregangkan otot dengan mengangkat kedua tangannya ke atas sambil merintih pelan melepas semua penat. Masih dalam tahap meregangkan ototnya, profil Risyad yang muncul dari balik pintu kamar mandi membuat Andara buru-buru menurunkan tangannya. Pria itu sudah rapi. Dia mengenakan kaos oblong hitam dengan celana bahan bernada sama. Bisep padat itu tercetak sempurna. Entah otot Risyad yang terlalu besar, atau ukuran bajunya yang terlalu kecil. Entahlah, yang pasti laki-laki itu benar-benar memikat dengan tampilan santai seperti saat ini. Risyad menyadari kalau Andara sudah terjaga. Sambil mengeringkan rambutnya dengan sehelai handuk, laki-laki itu ikut menatap diam Andara sebelum akhirnya Risyad menaikkan alisnya.Andara segara mengalihkan pandangan sambil mengerjap-erjap. Sial! Andara merasa pipisnya sedang panas. Juga dadanya, kenapa pula harus berdetak cepat? Sambil berjalan ke arah cermin Risyad bersuara, "Saya ngasih k
Setelah merapikan diri dengan busana yang lebih nyaman, Andara segera keluar dari kamar Risyad. Dia tidak lagi melihat keberadaan pria itu dalam jangkauan pandangannya saat ini. Saat kakinya usai menapaki seluruh anak tangga, suara gaduh dari arah dapur mengalihkan atensinya. Perlahan Andara berjalan, mengikis jarak. Pandangan binar kagum mendadak terpancar dari dua bola mata Andara kala mendapati potret Risyad sedang berpacu dengan alat masak. Pria dengan potongan rambut ala korea itu sedang fokus. Dia memasak. Kali ini Andara tak tahan diam saja. Dia berjalan mendekati, lalu diam di jarak lima langkah di depan Risyad. Meja panjang menjadi pembatas antara mereka. Kepala Risyad menoleh singkat menyadari kedatangan Andara. Gadis itu sudah rapi dengan dres selutut berwarna cream. Cantik. "Lu ngapain?" tanya Andara, heran. "Kamu buta?" singkat Risyad. Dia tak menatap wajah Andara yang pastinya sudah mengerutkan dahi. "Lu bisa masak? Yakin lu?" Sembari memasukkan makanan yang baru
Tiga hari tiga malam sudah Andara menetap di rumah mewah milik Risyad ini. Dan sejauh itu pula, dia tidak pernah tahu apa-apa tentang si empunya rumah atau bahkan seluk-beluk tentang orang yang diajaknya bekerja sama. Andara bahkan belum tahu siapa nama lengkap Risyad. Yang dia ingat, Shama kerap memanggilnya dengan nama Risyad saja tanpa embel-embel apa-apa lagi.Hendak mengekori Shama, Andara tiba-tiba menghentikan Risyad dengan menarik ujung baju pria itu. Sosok jangkung itu lantas menoleh lalu bertanya, "Ada apa?""Gue boleh ngomong bentar nggak? Kayaknya ada yang salah deh," jawabnya. "Saya tidak punya banyak waktu. Setelah saya kembali barulah kita bicara." Risyad menarik tangannya kini lepas dari Andara. Saat Risyad menjauh, Andara memutar badan melihat kepergian pria itu. Punggung lebar nan berisi itu begitu lamat di tatapnya. Seolah ada yang mengganjal di dalam hati Andara, tapi entah apa. "Sebenarnya lu nyewa gue buat apaan sih? Kadang gue bingung peran gue di sini tuh a
Ucapan Andara itu mengundang ketertarikan Lukas untuk menatap lebih dalam wajah Andara. Berangsur matanya menyorot lantang, marah. "Lu pikir gue takut sama lu? Gue nggak datang buat jadi pembantu atau pun pelayan kalian! Gue juga nggak pernah makan dari yang kalian. Ingat itu baik-baik!" hardik Andara lagi sambil berdiri. Mata Andara ikut menatap nyalang. Baru saja akan pergi menjauh, Andara tidak tahu kapan tepatnya Shama datang mendekat. Sebelum merasakan tamparan pada pipi kanannya, Andara merasakan lebih dulu bagaimana tangan Shama mencengkeram bahunya untuk memutar tubuhnya. Plak! "Lancang sekali kau ini!" bentak Shama. Sementara Andara terdiam sebentar saat rasa panas menyerang wajahnya. Sorot tajam dari mata Andara menangkap jelas wajah Shama yang baru saja memukulnya. "Lu bakal nyesel udah mulai perang sama gue. Gue ingetin lu! Cukup satu kali ini lu bisa lakuin kni. Lain kali, lu nggak akan selamat," desis Andara mengancam.Usai mengancam Shama, lagi-lagi Andara meringis
Kabar kehamilan Shama sudah beredar luas bahkan sampai ke telinga sang suami. Risyad yang kala itu tengah berjuang sekuat tenaga, langsung saja dibuat gagal fokus karena tidak percaya atas kabar yang sudah beredar. Hendak berlari dari tempatnya, Risyad pun diberhentikan oleh kehadiran sang ayah yang sudah ada didepan mata. "Ayah, apa yang terjadi?""Mari sudahi kesepakatan yang kemarin. Kamu akan tetap menjadi pemenangnya, Risyad," ujar sang ayah. "Apa-apaan ini, Ayah? Aku tidak ingin berlalu curang. tolong jangan buat aku tidak mempercayai kalian lagi!" tekan Risyad."Apa yang kau maksud?" "Shama tidak hamil! Kalau pun dia hamil, yang jelas itu bukan anakku!" "Risyad!" "Apa, Ayah!" balas Risyad ikut berteriak. "Aku sudah sangat cukup sabar menghadapi kalian. Jangan coba-coba usik lagi kebahagiaanku, Ayah. Atau jika memang itu terjadi, maka aku akan meninggalkan mama keluarga ini!" Lukas terkekeh sumbang, tak percaya atas perkataan sang putra. "Apa katamu?" "Apa yang sudah Ayah
Risyad pun mulai menjalani titah dari sang ayah. Bagaimana pun caranya, dia tidak boleh gagal dalam tugas ini. Risyad sudah sangat muak dengan kehidupannya yang kemarin. Itulah kenapa Risyad akan menempuh segala cara agar kesepakatan dengan ayahnya segera berakhir. Di sisi lain, Shama terus saja dibuat tidak tenang dengan segala perencanaan ayah mertuanya. Dia yakin pada kinerja Risyad, sangat tidak mungkin suaminya yang tidak dia inginkan itu kalah dalam pertarungan ini. Mengingat tentang latar belakang Risyad yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya, mana mungkin semudah itu kalah. Tak punya pilihan lain, Shama pun mencari jalan lain untuk menggagalkan rencana suaminya. Dia memang tidak menginginkan Risyad, akan tetapi lebih tidak menginginkan jika dirinya gagal menjadi pemegang saham utama di perusahaan yang sudah dia kelola. Shama pun segera menghubungi lawan dari perusahaan yang akan bersaing dengan Risyad. Setalah sepakat bertemu, Shama pun buru-buru pergi dan siap membua
Emosi, Shama pun melampiaskan amarahnya dengan mencampakkan ponsel sembarang arah. Tidak hanya Risyad, tapi laki-laki yang sempat stau ranjang dengannya kemarin pun ikut-ikutan membuatnya tersulut emosi yang kian membuncah. **Bagi Lukas, memiliki seorang penerus adalah hal yang sangat penting. Dan yang pastinya, seorang penerus itu harus lahir dari rahim yang memang mumpuni dalam hal apa pun juga tentunya dari latar belakang yang paling baik. Itulah kenapa Lukas memaksa Shama untuk tetap memberikannya seorang cucu, walau Lukas sekarang tahu kalau anaknya sudah mulai berpindah haluan. "Siapa gadis yang terus bersama Risyad? Ada hubungan apa mereka?" tanya Lukas pada salah satu ajudan yang baru dia panggil. "Sejauh ini kami hanya bisa memastikan kalau gadis itu hanya sebatas pelayan saja, Pak. Karena sejak kemarin, saya melihat kalau gadis itu di bawa ke mansion pribadi Tuan Lukas untuk dijadikan tukang bersih-bersih." "Kau yakin? Aku akan membekukan seluruh akses apa pun yang meny
Baru saja matahari menyambut, suara nyaring dari arah dapur sudah menyapa telinga Shama. Dia menyempatkan melirik jarum jam dan mendapati hari sudah pukul delapan pagi. Hendak kembali memejamkan mata, suara yang seperti gesekan benda berbahan stainless membuatnya tak tenang lagi untuk melanjutkan tidurnya. Shama segera bangun dan berjalan satu jurus ke arah dapur untuk melihat siapa agaknya yang sedang mengganggu tidurnya. "Kau masih bisa menunggu, kan? Aku akan selesai sebentar lagi." Suara bariton Risyad segera menghentikan langkahnya. Pria yang masih berstatus suaminya itu ternyata dalang di balik suara nyaring itu. Dia sedang sibuk memasak dan terlihat asyik bertukar dialog dengan orang yang dia ajak berbicara. Shama sedikit memiringkan kepalanya guna melihat siapa yang sedang berbicara dengan suaminya. Mendadak dengkusan kecil keluar dari bibirnya saat layar ponsel Risyad menampilkan gambar Andara yang rupanya tengah melakukan panggilan video. Tampak keduanya cukup bahagia te
Risyad kembali aktif di perusahaan setelah sebelumnya dia terkesan acuh tak acuh. Seperti apa janji sang ayah, jika dia bisa mengambil proyek ibu kota, maka Lukas tidak boleh lagi mengurusi hidupnya. Itulah hal yang membuat Risyad bersemangat untuk melanjutkan hidupnya. Ada sebuah tekad yang muncul untuk bahagia yang diujung angan. Berbeda dengan Risyad, Shama justru sedang merasa berjalan di tepi jurang. Apa pun yang dia lihat hanyalah ancaman kematian. Seperti bom yang di atur, hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak. Seperti itulah kira-kira keadaan Shama saat ini. Dia hanya tinggal menunggu waktu kapan Risyad akan membuangnya karena pria itu sudah mulai sadar akan keadaan.Shama melempar berkas perceraian guna meluapkan emosinya. Sedari tadi dia terus saja mondar-mandir hanya untuk menenangkan diri, berusaha menyakinkan dirinya kalau Risyad tetaplah mencintainya. Akan tetapi, satu detik keyakinan itu terus saja melayang kala mengingat lagi bagaimana kini perubahan suaminya itu
Perubahan Risyad benar-benar berpengaruh bukan hanya pada sikapnya, tapi juga pada kemampuan bisnisnya yang mulai kembali terlihat. Sikap karismatik yang kemarin sempat lenyap, kini kembali muncul. Sisi dingin dan terang-terangan menjadi 'harimau' musuh, mulai membuat jajaran petinggi Al Maktoum heran dan meneguk ludah."Saya tidak akan bersikap lembek lagi pada siapa pun. Pastikan proyek ini berpengaruh. Kalau tidak, buang saja. Membuang orang-orang yang tidak berguna lebih baik dari pada membuang waktu. Kalian mengerti?" tegas Risyad. Orang-orang yang mengikuti rapat mengangguk patuh. Sebelum menyudahi rapat tersebut, seseorang mengangkat tangan bertanya, "Bagaimana jika proyek ini gagal hanya karena latar belakang calon partner kita ini tidak terlalu baik?" "Kau di pecat! Tinggalkan Al Maktoum sekarang!" Alih-alih menjawab, Risyad justru memberhentikan pria itu. Sontak saja semua orang tercengang, kaget. Apalagi si pria berkacamata itu. Jantungnya serasa melompat dari tempat, ka
Sebuah mansion megah di lokasi yang cukup tertutup untuk kalangan orang biasa, kini terpampang jelas di depan mata Andara juga Sasa. Gedung megah itu memamerkan keindahan dunia yang sesungguhnya. Sejak tadi kedua kaki mereka melangkah, hanya kemewahan yang terpampang. Dari halaman yang luas, lobi yang megah, hingga isi rumah yang super menakjubkan benar-benar menyapa kedua mata dua perempuan itu. "Aku sudah memastikan semua keamanan rumah ini. Kalian bisa tinggal dengan tenang tanpa harus takut apa-apa. Kalau ada yang kurang, katakan saja padaku sekarang. Aku kubuat seperti yang kalian mau," ujar Risyad pada dua perempuan di depannya. Tentunya yang masih tercengang tak percaya. "I-ini buat kami? Maksudnya, kami tinggal di sini?" tanya Andara, malah gugup. Risyad mengangguk, mengiyakan, "Kenapa? Ada yang tidak kau suka? Katakan sekarang."Andara dan Sasa yang masih saja berdiri dengan pancaran tatap tak percaya, tiba-tiba satu hati untuk saling memandang. Jika Sasa saja masih kaget,
Satu hari penuh Shama berdiam diri di dalam kamarnya. Semua keadaan yang sedang terjadi benar-benar merusak suasana hati juga pikirannya. Entah angin apa yang menerpanya hingga semua terasa begitu mengkhianati. Perempuan itu bahkan enggan membuka tirai jendela kamarnya walau mentari sudah di puncak kepala.Kejadian kemarin masih saja menjadi alasan kenapa Shama merasa stres berkepanjangan. Dia tidak yakin kalau dia bisa tidur dengan pria asing bahkan saingannya di dunia bisnis. Ah, itu benar-benar menjengkelkan! Saat sedang merutuki diri di atas ranjangnya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Dengan tatapan malas dominasi kilat jengkel Shama menatap pintu cokelat tersebut. "Kalau tidak terlalu penting, jangan mengetuk!" hardiknya, berteriak. "Ah ... maaf, Nyonya. Tapi ini ada kiriman dari Tuan Risyad. Beliau berpesan untuk langsung memberikannya pada Anda," jelas seseorang dari balik pintu. Hal yang membuat Shama segera melepaskan selimut yang membungkusnya lantas berlari
Bunyi dentuman kecil dari barang yang terjatuh mengajak atmosfer yang tadinya masih terasa sensual, kini canggung kala suara barusan berasal dari tas selempang Sasa yang sudah tergeletak di lantai. Begitu mendapati Sasa berdiri di ambang pintu dengan pandangan ke arah mereka, buru-buru keduanya bangun dan berdiri kini saling menatap. "Sasa, kamu sudah pulang?" tanya Andara jadi terdengar sedikit lebih garing. Dia meringis kecil, sambil sesekali melirik Risyad di dekatnya. Bagaimana bisa keduanya tidak merasa malu, saat Sasa melihat mereka sedang berciuman. Itu hal yang paling ditutupi Andara apalagi dengan Risyad yang notabenenya adalah partner kerja juga sahabat perempuan di sana. "Ka-kalian ...." Sasa justru lebih kaget. Dia bahkan tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Jangan berlebihan seperti itu." Risyad bersuara sambil berjalan menghampiri. "Bagaimana perjalananmu, apa semuanya baik-baik saja?" lanjutnya berusaha mengalihkan pembicaraan. "Oh iya, semua baik-baik saja ta