Di pulau Jowaraka, tepatnya di wilayah kerajaan Rawamerta. Setiap malam pergantian musim Siak, para penduduk di wilayah kerajaan tersebut, selalu menyambutnya dengan menabuh kentongan. Mereka bergembira ria menyongsong datangnya waktu pergantian musim tersebut, Siak yang berarti sebuah keberuntungan.
"Ayo, keluarlah!" teriak seorang pemuda sambil menabuh kentongan diikuti oleh pemuda-pemuda desa lainnya. Sehingga para penduduk yang sudah terlelap tidur pun menjadi terbangun, ikut berbaur dan bergembira ria merayakan pertanda akan datangnya musim Siak.
Menurut kitab kuno dari kerajaan Rawamerta, musim Siak ditandai dengan munculnya awan hitam di angkasa, yang berbentuk seperti seekor naga raksasa sedang menelan bulan purnama, sehingga bumi akan berubah gelap gulita, karena bulan terhalang awan yang dipercaya sebagai jelmaan naga raksasa.
Seketika bintang Sangkuti akan muncul dari arah timur. Oleh karena itu, maka penduduk pun percaya kalau pergantian musim sudah tiba, dan wilayah mereka akan segera mengalami musim Siak–musim penghujan di ujung tahun.
"Guru, bangunlah! Lihat di langit sana, ada bintang Sangkuti sudah muncul!" ucap seorang pemuda tampak riang menyambut kemunculan bintang Sangkuti yang menandakan akan datangnya musim Siak yang konon selalu membawa keberkahan bagi penduduk di pelosok wilayah kerajaan tersebut.
Orang tua itu pun terbangun dan segera bangkit dari tempat pembaringannya. Lalu, ia pun menjawab lirih, "Ya, aku sudah melihatnya di jendela kamarku," jawabnya sambil berdiri di balik jendela kamar, dua bola matanya terus mengamati kemunculan bintang Sangkuti yang memancar terang di arah timur langit wilayah kerajaan Rawamerta.
Masa kemunculan bintang Sangkuti itu bisa dijadikan patokan pula akan datangnya permulaan musim hujan, dan menjadi waktu yang sangat tepat untuk bercocok tanam bagi para petani di wilayah kerajaan tersebut.
Pemuda itu adalah Wanara dan orang tua yang ada di dalam kamar adalah Ki Ageng Jayamena yang merupakan seorang tokoh masyarakat yang sangat dihormati di desa tersebut.
Wanara segera melangkah ke arah kamar Ki Ageng Jayamena. Kemudian, Wanara mengetuk pintu tersebut, 'Tok! Tok! Tok!'
Ki Ageng pun menyahut dari dalam kamarnya, "Masuklah!" perintahnya lirih.
"Guru saja yang keluar! Aku tidak berani masuk ke dalam kamarmu!" jawab Wanara kembali melangkah dan duduk di sebuah kursi yang ada di ruang tengah rumah tersebut.
"Buatkan aku kopi, nanti aku segera keluar!" pinta Ki Ageng.
"Iya, Guru." Pemuda berwajah tampan itu bangkit dan segera melangkah menuju ruang dapur.
Setelah berada di ruang dapur, ia segera meraih kantung yang biasa dijadikan tempat penyimpanan kopi dan gula. Setelah kantung itu dibuka, tak ada sedikitpun kopi atau gula yang tersimpan di dalamnya.
Berteriaklah Wanara, "Guru! Tidak ada kopi ataupun gula di sini! Di mana Guru menyimpannya?" tanya Wanara bersuara keras.
Kemudian, Ki Ageng pun keluar dari dalam kamar dan segera menyahut, "Pejamkan matamu dan tarik napas dalam-dalam!" perintah Ki Ageng balas berteriak. "Setelah itu, kau buka matamu!" tambahnya sambil melangkah keluar menuju beranda rumah.
"Yang aku tanyakan tentang kopi dan gula. Kenapa, malah disuruh menarik napas dan menutup mata," umpat Wanara bingung.
Meskipun demikian, Wanara tetap mematuhi perintah gurunya, karena sudah merasa percaya dan yakin akan kelinuhungan ilmu yang dimiliki oleh Ki Ageng Jayamena. Maka, Wanara pun segera melaksanakan perintah tersebut. Perlahan, ia mulai merapatkan kedua bola matanya dan menarik napas dalam-dalam.
Beberapa menit kemudian, Wanara kembali membuka matanya. Ia sungguh terkejut ketika melihat bubuk kopi dan gula ganting sudah tersedia di atas meja yang ada di hadapannya.
"Ya, Dewata agung! Kenapa bukan emas yang muncul?" gumam Wanara tersenyum-senyum sendiri.
Lantas ia pun segera meraih kopi bubuk dan gula ganting itu, Wanara segera menyeduh kopi tersebut. Kemudian menumbuk gula ganting secara halus dan dilebur menjadi satu, lalu dimasukan ke dalam gelas keramik. Setelah diaduk rata terciptalah aroma wangi khas dari kopi tersebut.
"Guruku pasti suka dengan kopi racikanku ini," desis Wanara meraih gelas yang sudah berisi kopi panas, dan langsung membawanya keluar.
Setibanya di hadapan sang guru, Wanara langsung meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan gurunya.
"Ini kopinya, Guru!" kata Wanara lirih.
Ki Ageng tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lalu, memerintahkan Wanara untuk duduk, "Duduklah!" pinta Ki Ageng tersenyum-senyum memandang wajah muridnya.
Tanpa banyak bicara, Wanara langsung duduk di hadapan gurunya. Berkatalah Ki Ageng sembari menatap wajah sang murid, "Kau tentu belum tahu, apa makna di balik kemunculan bintang Sangkuti dan datangnya musim Siak?" tanya Ki Ageng meluruskan pandangannya ke wajah Wanara.
"Aku tidak paham akan hal itu, yang aku tahu hanya pertanda musim hujan saja, Guru," jawab Wanara tidak berani memandang lama wajah gurunya. "Apa ada yang lain selain itu, Guru?" sambung Wanara sedikit mengangkat wajah.
"Kitab kuno Jowaraka telah menerangkan berdasarkan dari sejarah ribuan tahun silam. Di dalam kitab tersebut dijelaskan kejadian sebagai berikut, hawa dari atas turun ke bawah, sebaliknya yang di bawah naik ke atas. Sehingga kedua hawa tersebut bersatu dan menciptakan kegelapan karena gumpalan awan tebal yang dipercaya oleh nenek moyang kita sebagai jelmaan seekor naga," tutur Ki Ageng menjelaskan.
Wanara mengerutkan keningnya, lalu bertanya, "Apakah itu benar-benar jelmaan naga raksasa, Guru?"
"Sebenarnya itu bukanlah jelmaan naga. Menurut Ki Buyut Sarmi, bahwa itu merupakan sekumpulan air laut yang dibawa oleh tiupan angin menuju angkasa raya, dan hinggap di sebuah gumpalan awan sehingga dapat merubah bentuk dan warna awan tersebut, menjadi hitam dan menyerupai bentuk naga raksasa," jawab Ki Ageng menjelaskan.
Wanara mengangguk-anggukkan kepala. Lantas, ia pun kembali bertanya, "Maaf, Guru. Kalau yang dinamakan bintang Sangkuti itu apa, yah?"
Ki Ageng tersenyum-senyum dan langsung menjawab pertanyaan dari muridnya itu, "Makna dari kalimat Sangkuti ialah, sebuah keberkahan. Jika diartikan dalam bahasa Merta bermakna pertolongan Dewa, atau limpahan rezeki. Itu berdasarkan keterangan dalam kitab kuno Jowaraka."
Wanara menyimak dengan baik penuturan dari gurunya, ia pun baru paham ternyata apa yang sudah diceritakan oleh gurunya itu. Memang benar adanya, sesuai yang dirasakan oleh penduduk kerajaan Rawamerta, bahwa kemunculan bintang Sangkuti merupakan kabar baik yang akan membawa harapan untuk rakyat.
Beberapa saat kemudian, langit menjadi terang kembali, bumi menjadi terasa sejuk dan tenang. Gumpalan awan hitam yang bergelayut tebal di angkasa hilang tertiup angin.
Pada saat itulah, Ki Ageng segera mengajak Wanara untuk berangkat ke sebuah lembah yang berada di tengah hutan tidak jauh dari desa tersebut.
Ketika mereka sudah tiba di lembah itu. Berkatalah Ki Ageng kepada Wanara, "Tahukah kau dengan nama lembah ini?"
Wanara mengerutkan kening dan bergeleng-geleng, ia sungguh tidak mengenal nama lembah tersebut. Bahkan, kala itu ia baru pertama kali datang ke tempat tersebut.
"Aku tidak tahu, Guru. Ini adalah awal aku menginjakkan kaki di tempat ini."
Ki Ageng tersenyum, kemudian menjelaskan tentang nama dan seluk-beluk tentang lembah tersebut, "Ini adalah Lembah Kober, yang artinya sebuah lembah kuburan. Pada saat terciptanya lembah ini, banyak hewan berkaki empat dan hewan berkaki dua, segala macam makhluk hidup di alam dunia, termasuk manusia yang mempunyai kesempurnaan telah tewas oleh segerombolan harimau buas. Ini terjadi puluhan abad silam," terang Ki Ageng menuturkan.
"Harimau buas?!" kata Wanara menatap wajah gurunya sambil mengerenyitkan kening.
"Iya, harimau dengan jumlah yang sangat banyak, yang tiba-tiba datang dan menyerang manusia dan hewan lainnya," terang Ki Ageng.
Kemudian, Wanara bertanya lagi dengan penuh rasa penasaran, "Lantas siapakah yang membasmi sekelompok harimau buas tersebut, sehingga bumi kembali damai?"
"Yang menciptakan kedamaian itu adalah Raden Merta Jaya, ia seorang pendekar sakti pada zaman dahulu. Konon menurut sejarah peradaban pulau Jowaraka, Raden Merta Jaya merupakan titisan Dewa Petir," jawab Ki Ageng lirih.
Demikianlah, apa yang dituturkan oleh Ki Ageng Jayamena semua berdasarkan apa yang tertulis di sebuah kitab kuno yang menjadi kepercayaannya.
Penduduk pulau Jowaraka sangat bersyukur terhadap usaha yang sudah dilakukan oleh Raden Merta Jaya yang telah membuka kedamaian, sehingga terbentuklah sebuah kerajaan besar yang dinamakan kerajaan Rawamerta yang hingga kini tetap berdiri kokoh dan menguasai seluruh wilayah pulau Jowaraka.
Nama dari kerajaan tersebut, sengaja diambil dari nama Raden Merta Jaya sebagai bentuk penghormatan terhadapnya, yang merupakan tokoh utama kedamaian di bumi Jowaraka.
*****
Note:
Cerita ini hanya fiktif belaka, tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah dan kejadian nyata.
Beberapa tahun kemudian....Ketika Wanara sudah menginjak usia 23 tahun. Ia mengajukan permohonan kepada gurunya, untuk melakukan perjalanan jauh ke wilayah kerajaan Jantara yang berada di sebrang lautan. Wanara berniat untuk mencari kitab kuno yang dinamakan kitab Jala yang konon di dalam kitab tersebut terdapat banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa membuat pemiliknya akan menjadi seorang kesatria pilih tanding. Jika dapat mempelajari dengan baik kitab tersebut, dan kitab Jala akan menjadikan pengamalnya menjadi seorang pemimpin terhebat di jagat raya. "Maaf, Guru. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Guru," ucap Wanara berkata kepada Ki Ageng Jayamena. "Tentang apa, Wanara? Katakan saja!" sahut Ki Ageng Jayamena. "Izinkan aku untuk melakukan perjalanan jauh menuju kerajaan Jantara, aku berkeinginan mencari tahu tentang kitab kuno itu. Sebagaimana yang telah Guru ceritakan kepadaku," ucap Wanara ber
Pada keesokan harinya, Wanara ditemukan dalam kondisi mengenaskan oleh dua orang pemuda. Tubuhnya dipenuhi sampah-sampah pantai yang terbawa ombak hampir menutupi tubuh Wanara, dan pakaiannya pun dalam keadaan basah oleh air laut. Ketika dua pemuda tersebut tiba di pantai itu, tubuh Wanara hampir tergerus ombak. Beruntung kedua pemuda itu langsung menolongnya, dan membawa Wanara ke sebuah gubuk tempat tinggal mereka yang ada di dalam hutan bakau tidak jauh dari pesisir pantai itu. "Langsung masukkan ke dalam saja!" kata salah seorang pemuda tersebut mengarah kepada kawannya. "Bantu aku! Orang ini tubuhnya sangat berat sekali," desis kawannya. Dengan demikian, kawannya pun langsung membantu membawa Wanara masuk ke dalam gubuk tempat tinggal mereka. Tubuh Wanara langsung dibaringkan di atas bebalean yang ada di dalam gubuk itu. "Sepertinya orang ini sudah satu malam berada di pantai," k
Dalam perjalanan menuju ke sebuah perkampungan yang ada sebelah timur hutan tempat tinggalnya, Jasena berpapasan dengan dua orang pria yang tidak ia kenal. Mereka tampak sinis ketika melihat kedatangan Jasena, dua orang itu terus memandangi wajah Jasena. Namun, Jasena tetap bersikap tenang dan bertutur sapa dengan sopan terhadap kedua pria itu. Tiba-tiba, salah seorang dari mereka berteriak memanggil Jasena, "Hai, Anak muda! Kemarilah sebentar!" Seketika, Jasena menghentikan langkahnya. Lalu ia berpaling ke arah kedua pria itu. "Iya, Ki. Ada apa?" jawab Jasena balas bertanya. "Kemarilah!" pinta salah satu dari dua orang pria itu. "Mau apa mereka?" desis Jasena segera menghampiri. Setelah berada di hadapan kedua pria tersebut, Jasena hanya diam dan tidak berkata apa-apa. Salah satu dari mereka kembali bertanya, "Kau mau ke mana, Anak muda?" Jasena me
Wanara tampak kaget dan segera bangkit dari tempat pembaringannya. "Ternyata aku hanya mimpi," desis Wanara. Wanara langsung meraih gelas yang terbuat dari potongan batang bambu berukuran sedang, kemudian menuangkan air dari dalam kendi ke dalam batang bambu tersebut. "Kau kenapa, Wanara?" tanya Sumadra bangkit dan mengamati Wanara yang sedang minum. "Aku mengalami mimpi," jawab Wanara terengah-engah. Sumadra tampak penasaran, lantas ia pun bertanya lagi, "Mimpi tentang apa, Wanara?" Wanara pun segera menceritakan tentang mimpinya itu kepada Sumadra. Tak hanya Sumadra, Jasena pun saat itu sudah terjaga dari tidurnya karena mendengar suara gaduh kedua sahabatnya itu. "Menurut cerita para penduduk, memang benar kalau di hutan ini terdapat manusa pondok, seperti yang masuk dalam mimpimu itu," timpal Jasena sambil menatap wajah Wanara yang dipenuhi keringat.
Menurut kabar dari orang-orang yang pernah dimintai keterangan oleh Wanara. Mereka menyebutkan bahwa kerajaan Jantara itu, memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa. Konon katanya, kerajaan Jantara seindah rembulan purnama. Di wilayahnya terdapat banyak pepohonan obat dan rempah-rempah yang sangat diburu oleh para tabib dari berbagai pelosok kerajaan di sejagat raya. Wanara dan kedua rekannya menjelajah seantero wilayah kerajaan tersebut. Kebiasaan penduduk di wilayah kerajaan Jantara yang dijumpainya, tidak jauh berbeda dengan para penduduk di kerajaan Rawamerta. "Besok pagi kita harus berjalan ke barat, melewati bukit itu!" kata Wanara meluruskan jari telunjuknya ke arah perbukitan yang menjulang tinggi di arah barat dari tempatnya berdiri bersama kedua kawannya. "Terus malam ini kita tidur di mana, Wanara?" tanya Jasena mengerutkan kening menatap tajam wajah Wanara. Wanara tersenyum dan menudingkan jari telunjuknya ke sebuah gundukan b
Jasena dan Sumadra segera meraih ikan dalam kantung itu, mereka pun segera membersihkan ikan-ikan tersebut, kemudian langsung membakarnya. "Akan lebih enak lagi kalau ikan itu ditambahkan bumbu rempah!" seloroh Wanara. "Dari mana kita bisa mendapatkan bumbu tersebut?" tanya Sumadra terheran-heran dengan ucapan sahabatnya itu. "Kau pergi ke desa beli di warung!" gurau Wanara tertawa lepas. Sumadra mendelik ke arah Wanara. Lalu, ia berkata, "Kau mendapatkan ikan ini dengan cara bagaimana, Wanara?" tanya Sumadra sambil membolak-balik ikan yang sedang ia bakar itu. "Aku menangkapnya dengan tanganku sendiri," jawab Wanara sambil tersenyum lebar. "Sungguh?" timpal Jasena kembali bertanya tampak ragu dengan apa yang dikatakan oleh Wanara. "Aku memang bukan pandita atau ulama, tapi aku tidak bohong. Ikan-ikan itu, aku tangkap menggunakan tangan kosongku," tegas Wanara. "Tidak ada yang menuduhmu berbohong, aku hanya memastikan,"
Usai menebang dan memotong pohon tersebut menjadi dua bagian, Wora Saba langsung mengajak Wanara dan kedua sahabatnya untuk segera ikut dengannya."Kalian mau ikut denganku atau tetap berada di hutan ini?"Wanara tidak langsung menjawab, ia berpaling ke arah Sumadra dan Jasena. Lalu, bertanya kepada kedua sahabatnya itu, "Apakah kalian mau ikut ke padepokan bersama Wora Saba?"Kedua pemuda itu menjawab tanpa bersuara, mereka hanya mengangguk tanda setuju ikut dengan orang tersebut."Kami ikut denganmu," tandas Wanara.Wora tersenyum dan merasa senang, karena Wanara dan kedua rekannya mau ikut dengannya."Ya, sudah. Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Wora Saba langsung meraih batang kayu Lemo yang sudah dibagi menjadi dua potong itu."Baiklah, sini aku bantu!" jawab Wanara meminta Wora Saba untuk menyerahkan batang pohon tersebut kepadanya.Wora Saba tersenyum dan segera menyerahkan satu batang potongan pohon Lemo kepada Wanara. Wanara tampak riang dan tidak
Pada suatu hari, Wanara mengajak Wora Saba berbincang di pendapa padepokan. Mereka hanya berdua saja, tanpa Jasena ataupun Sumadra. Karena hari itu, kedua rekannya sedang membantu Resi Wana bercocok tanam di sebuah ladang yang ada di belakang kediamannya itu."Apakah kau tahu tentang orang sakti di desa ini selain guru?" tanya Wanara lirih.Wora Saba hanya tersenyum, kemudian menjawab lirih, "Yah, aku tahu!"Wanara segera menggeser posisi duduknya, lebih mendekat ke arah pemuda yang pandai membuat ukiran kayu dan dipercaya sebagai seorang tabib muda yang bisa mengobati berbagai penyakit."Siapa namanya, Wora?" bertanya lagi Wanara dengan bola mata lurus ke wajah sahabat barunya itu."Wirya Tama!""Apakah dia punya padepokan seperti guru kita ini?"Wora tersenyum, seakan-akan tidak merasa risih meskipun diberondong beberapa pertanyaan oleh Wanara, "Ya, Ki Wirya Tama mempunyai pondok sama seperti guru kita. Sekarang masih ada sekitar puluhan murid yang masih menun
Setelah berhasil mengalahkan siluman-siluman tersebut, Raja Wanara langsung mengajak para senapatinya untuk kembali ke tenda saat itu juga. Sementara itu, kedua permaisurinya pun sudah terjaga dari tidur mereka, dan tengah menunggu kedatangan suami mereka dengan perasaan cemas. Setibanya di perkemahan, sang raja segera memerintahkan kepada para prajuritnya agar tidak lengah dan bersiaga penuh secara bergiliran. Karena, sang raja khawatir akan datang kembali teror dari para siluman utusan Raja Nainggolo. "Sebaiknya, kalian tetap bersiaga dan berjaga secara bergiliran!" kata sang raja mengarah kepada salah seorang prajurit senior yang bertanggung jawab atas tugas keamanan di perkemahan tersebut. "Baik, Baginda Raja. Hamba akan segera mengaturnya," jawab prajurit senior itu. Malam terasa semakin dingin, suasana pun sudah mulai sepi. Tidak terlalu gaduh oleh hilir-mudik para prajurit, karena sebagian dari mereka sudah terlelap tidur. Dan hanya men
Siluman itu sangat tangguh. Ia dapat bertarung dengan sebaik-baiknya. Meskipun usianya sudah tua, namun ia memiliki pengalaman dan kemampuan memancing Raja Wanara dengan gerak tipu yang diperagakannya."Kau telah melumpuhkan kawanku, maka terimalah pembalasan dariku ini!" bentak siluman itu bersuara keras dan terdengar parau."Berhentilah! Jangan kau menganggu kami!" Raja Wanara pun balas membentak sambil meloncat tinggi dan memukul keras kepala makhluk tersebut.Sontak tubuh siluman itu terhempas jauh hingga membentur batu padas yang ada di sekitaran tempat tersebut. Akan tetapi, ia tidak menyerah begitu saja. Siluman itu bangkit dan menggeram sambil menatap tajam wajah sang raja, dari mulutnya menyemburkan api bak seekor naga."Hati-hati, Baginda Raja!" teriak Senapati Jasena tampak khawatir melihat pemandangan seperti itu.Raja Wanara hanya tersenyum sambil meloncat tinggi demi menghindari serangan dari siluman tersebut yang menyemburkan api dar
Pada malam harinya, Raja Wanara dan ketiga senapatinya tengah berbincang santai di depan tenda sambil menikmati sajian sederhana yang tersedia di hadapan mereka.Sementara itu, Santika dan Sekar Widuri sudah terlelap tidur di dalam tenda dengan dikawal ketat oleh para prajurit wanita yang menjadi pengawal pribadi sang ratu."Susana malam ini sangat dingin sekali. Akan tetapi, langit sangat cerah dan bulan pun bersinar terang. Sungguh indah luar biasa," desis Senapati Yandradipa mengangkat wajahnya menatap keindahan langit yang tampak cerah itu."Mungkin ini pertanda akan datangnya musim kemarau, setelah lama kita mengalami musim Siak," sahut sang raja sambil menikmati hidangan sederhana yang disajikan oleh para pelayannya.Kemudian, Senapati Jasena menyahut pula, "Iya, Baginda. Sepertinya ini memang sudah waktunya pergantian musim."Raja Wanara menghela napas dalam-dalam, kemudian mengangkat wajahnya dan memandangi langit yang tampak cerah itu, ser
Ketika matahari sudah terik dan terasa panas menyengat. Maka, Senapati Jasena langsung menyeru kepada para prajuritnya untuk segera beristirahat dan mendirikan tenda di sebuah hutan yang ada di bawah perbukitan dekat dengan lembah Kalen Laes yang masih masuk ke dalam wilayah kerajaan Bayu Urip bagian timur."Sebaiknya kita beristirahat saja dulu! Ini adalah tempat yang bagus, sang raja pasti menyukai tempat ini!" seru Senapati Jasena. "Kalian segera dirikan perkemahan dan persiapkan makanan untuk sang raja dan permaisurinya!" sambung Senapati Jasena kepada para prajurit dan juga para pelayan yang ikut dalam rombongan tersebut."Baik, Gusti Senapati," sahut salah seorang pimpinan pelayan tersebut menjura kepada sang senapati.Setelah itu, mereka pun langsung membagi tugas dengan mendirikan tenda terlebih dahulu untuk dijadikan tempat penyimpanan bahan-bahan makanan. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan kebutuhan untuk memasak dengan dibantu oleh puluhan p
Setelah kematian Rosapati, akhirnya para pendekar dari gerombolan tersebut, merasakan bahwa mereka telah dikelilingi oleh beberapa prajurit yang kuat. Mereka menyerang dengan begitu semangat dari berbagai penjuru.Demikian pula dengan Senapati Yamadaka dan Senapati Yandradipa, mereka memiliki ketangkasan dalam memainkan pedang mereka. Sehingga lawan-lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuh kedua senapati itu dengan ujung senjata mereka."Kita sudah akal dan cara untuk mengalahkan para prajurit itu, kita tidak bisa lagi melanjutkan perlawanan terhadap mereka. Sebaiknya kita lari saja dari tempat ini! Kau lihat sendiri, Rosapati pun sudah binasa!" ujar salah seorang pendekar dari kelompok pemberontak itu. Ia mulai ragu melihat pemandangan seperti itu.Kawannya itu hanya dapat menggeram dan menahan kemarahan karena ia dan kawan-kawannya tidak dapat membebaskan diri dari cengkraman para prajurit kerajaan Bumi. Lawannya yang mereka hadapi ternyata memiliki
Ketika rombongan Raja Wanara sudah tiba di sebuah hutan yang berada di luar wilayah kerajaan Bumi. Tepatnya di sebuah alas yang masuk ke dalam wilayah kedaulatan kerajaan Bayu Urip, tenyata rombongan tersebut sudah dihadapkan dengan sebuah ancaman dari kelompok kecil yang sering melakukan teror di wilayah kerajaan Bayu Urip. Mereka berusaha untuk melakukan tindakan penghadangan terhadap rombongan Raja Wanara.Para prajurit yang mengawal sang raja tampak siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena mereka sudah diberi tugas secara langsung oleh Senapati Jasena pada setiap kelompok yang ada di bawah pimpinan panglima masing-masing. Senapati Jasena telah memerintahkan para prajuritnya untuk melawan siapa saja yang dianggap berbahaya terhadap keselamatan sang raja dan kedua permaisurinya."Siapa mereka?" tanya sang raja mengerutkan kening sambil mengamati puluhan orang bersenjatakan pedang berbaris rapi menghadang di tengah jalan.Kemudian,
Keesokan harinya, Senapati Jasena dan para prajuritnya langsung melakukan persiapan jelang keberangkatan mereka pada hari itu menuju ke wilayah kerajaan Buana Loka, dalam rangka kunjungan persahabatan dari pihak kerajaan Bumi kepada pihak kerajaan Buana Loka yang merupakan sebuah kerajaan sahabat yang kini menjadi sekutu kerajaan Bumi.Dengan gagahnya, ia melangkah menuju ke barak para pelayan yang berada di belakang barak prajurit. Sang senapati langsung menghampiri salah seorang kepala pelayan yang hendak ikut dalam rombongan Raja Wanara."Selamat datang di barak kami, Gusti Senapati," ujar seorang pria berusia sekitar 30 tahun dengan sikap ramahnya menjura kepada sang senapati.Senapati Jasena hanya tersenyum, lalu berkata, "Sebaiknya pedati yang mengangkut barang logistik kebutuhan makanan dan lainnya langsung dikeluarkan sekarang! Tunggu di depan istana, sebentar lagi kita akan segera berangkat!" perintah Senapati Jasena kepada para pelayan istana dan kusir yang
Satu hari menjelang keberangkatan rombongan sang raja. Maka, Senapati Jasena dan dua senapati lainnya yang hendak ikut mengawal sang raja sudah mempersiapkan segalanya yang tentu akan dibutuhkan dalam melakukan perjalanan jauh tersebut."Apakah kita perlu membawa pasukan panah, Senapati?" tanya Senapati Yandradipa mengarah kepada Senapati Jasena yang merupakan panglima senior di kerajaan Bumi."Aku rasa mereka sangat penting untuk dilibatkan dalam pengawalan ini. Kau siapkan 50 prajurit panah yang benar-benar memiliki kemampuan tinggi! Sisanya bawa saja para prajurit campuran dan jangan lupa sertakan lima orang kusir pedati yang akan membawa barang-barang keperluan logistik dan peralatan lainnya!" jawab Senapati Jasena menuturkan.Dengan demikian, Senapati Yandradipa dan Senapati Yamadaka langsung meluncur ke barak prajurit yang berada di belakang istana utama, untuk menyiapkan para prajuritnya yang akan diperintahkan untuk mengawal sang raja dan kedua perma
Pagi itu, Panglima Yandradipa dan Yamadaka sudah berada di ruang utama istana kerajaan Bumi. Mereka datang memenuhi undangan dari sang raja, bahkan dijemput langsung oleh utusan istana yang diperintahkan oleh sang raja menjemput kedua punggawanya ke istana kepatihan Waraya timur."Aku sangat senang mendapat kabar tentang keberhasilan kalian," ujar sang raja tampak semringah. "Oleh sebab itu, kalian aku minta untuk datang ke istana ini. Karena, sang guru sepuh memintaku untuk menganugerahkan gelar kepada kalian berdua," sambung sang raja menyampaikan maksud dan tujuannya dalam mengundang kedua punggawanya tersebut.Panglima Yandradipa dan Yamadaka saling berpandangan, raut wajah mereka tampak semringah. Dengan kompaknya mereka menjura kepada Raja Wanara dan Maha Patih Ramanggala."Terima kasih, Baginda Raja. Ini merupakan bentuk penghormatan Baginda terhadap kami berdua," sahut Panglima Yandradipa sambil membungkukkan badan di hadapan sang raja.Raja Wan