Wanara tampak kaget dan segera bangkit dari tempat pembaringannya. "Ternyata aku hanya mimpi," desis Wanara.
Wanara langsung meraih gelas yang terbuat dari potongan batang bambu berukuran sedang, kemudian menuangkan air dari dalam kendi ke dalam batang bambu tersebut.
"Kau kenapa, Wanara?" tanya Sumadra bangkit dan mengamati Wanara yang sedang minum.
"Aku mengalami mimpi," jawab Wanara terengah-engah.
Sumadra tampak penasaran, lantas ia pun bertanya lagi, "Mimpi tentang apa, Wanara?"
Wanara pun segera menceritakan tentang mimpinya itu kepada Sumadra. Tak hanya Sumadra, Jasena pun saat itu sudah terjaga dari tidurnya karena mendengar suara gaduh kedua sahabatnya itu.
"Menurut cerita para penduduk, memang benar kalau di hutan ini terdapat manusa pondok, seperti yang masuk dalam mimpimu itu," timpal Jasena sambil menatap wajah Wanara yang dipenuhi keringat.
"Ya, sudah. Sekarang kau tidur lagi! Masih malam, besok kita jalan-jalan ke desa," kata Sumadra kembali berbaring.
Begitu juga dengan Wanara dan Jasena, mereka kembali merebahkan tubuhnya di atas bebalean yang hanya beralaskan tikar pandan.
Tidak lama kemudian, ketiga pemuda itu sudah kembali terlelap tidur dengan ditemani oleh suara jangkrik dan walang keke yang saling bersahutan memecah keheningan malam.
****Pagi harinya, Jasena dan Sumadra mengajak Wanara berjalan-jalan ke perkampungan nelayan. Memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang."Coba kau perhatikan! Setiap orang yang bertemu di tengah jalan dengan kita, mereka memberi hormat dengan merangkapkan kedua telapak tangan dan menundukkan kepalanya ke arahku. Maksud mereka apa?" Wanara mengerutkan kening tampak bingung melihat sikap orang-orang yang ia jumpai kala itu.
"Mungkin mereka menghormati dirimu," jawab Sumadra tersenyum-senyum menatap wajah Wanara
"Tetapi aku adalah manusia biasa, bukan Dewa atau raja. Kenapa mereka harus menghormati aku?" kata Wanara tampak bingung, kerutan di keningnya tampak semakin mendalam.
"Sudahlah, jangan kau pikirkan itu! Ayo, kita jalan lagi!" ajak Sumadra.
Ketiga pemuda itu, kembali melanjutkan langkah menyusuri pasir pantai yang gemerlapan tersorot sinar matahari pagi.
"Aku mau berjemur," kata Wanara membaringkan tubuhnya di atas pasir putih di pantai tersebut.
"Apakah punggungmu sudah tidak terasa sakit lagi?" tanya Sumadra menatap wajah Wanara.
"Tidak, Sumadra. Punggungku sudah sembuh," jawab Wanara lirih.
"Syukurlah, kalau memang seperti itu," imbuh Sumadra merasa senang mendengar kabar kesembuhan Wanara.
Sejatinya, Sumadra merasa heran dengan semua itu. Akan tetapi, ia sangat percaya akan kekuatan pedang pusaka milik Wanara. Sehingga dirinya beranggapan bahwa luka di punggung Wanara sembuh oleh pengaruh kekuatan gaib dari pedang tersebut.
Dari kejauhan tampak seorang pria tua tengah memperhatikan gerak-gerik Wanara dan kedua rekannya. Orang tua itu pun terus mengamati Wanara yang tengah berjemur di bawah teriknya matahari pagi.
Kemudian orang tua tersebut melangkah menghampiri Wanara, dan menyeru, "Kaulah calon raja di negri ini!" ucap orang tua itu mengejutkan.
"Raja?!" Jasena terkejut ketika mendengar ucapan pria tua itu, yang datang tiba-tiba. Wanara pun segera bangkit lalu ia bertanya, "Pak tua! Apa yang kau bicarakan tadi?"
Pria tua yang diperkirakan berusia sekitar 60 tahun itu tertawa kecil, "Hahaha." Kemudian, ia pun menjawab, "Di mana makhluk-makhluk abadi itu berada? Dan kaulah jelmaan manusia abadi di masa lalu!" ungkap orang tua itu sangat mengejutkan.
Wanara dan kedua rekannya saling berpandangan. Mereka tampak heran dan tidak memahami apa yang dikatakan oleh orang tua itu.
Kemudian Sumadra bertanya, "Manusia di masa lalu itu siapa, Pak tua?"
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak, seakan-akan merasa lucu dengan perkataan yang dilontarkan oleh Sumadra, "Hahaha." Setelah puas tertawa, orang tua itu pun langsung menjawab pertanyaan dari Sumadra, "Raden Prabu Merta Jaya," ucapnya langsung melangkah berlalu dari hadapan Wanara dan kedua rekannya. Sikapnya sungguh aneh datang tiba-tiba, dan berlalu tanpa pamit.
Ketiga pemuda itu tampak kaget dan tercengang, mereka saling bertatapan. Tanpa mereka sadari, orang tua tersebut sudah lenyap entah pergi ke mana?
"Orang tua itu ke mana? Gerakannya sangat cepat. Apakah orang tua itu adalah Dewa?" tanya Sumadra terheran-heran sambil mengerutkan dahi.
Jasena dan Wanara tertawa lepas mendengar apa yang dikatakan oleh rekannya itu. "Kau terlalu tinggi menilai orang tua itu, mana ada seorang Dewa turun ke bumi hanya untuk menemui kita," kata Wanara tersenyum-senyum menatap wajah Sumadra.
"Meskipun orang tua itu bukan Dewa, tapi ucapannya sama seperti mimpi yang kau alami itu, Wanara," kata Sumadra menjawab apa yang dikatakan oleh Wanara.
Jasena mengangkat alis tinggi, kemudian berpaling ke arah Wanara. "Berarti kau adalah calon raja, seperti mimpi yang kau alami semalam!" kata Jasena meluruskan pandangannya ke wajah Wanara.
Mendengar perkataan dari Jasena, Wanara tersenyum, lalu berkata, "Itu hanya mimpi, aku tidak mempunyai darah keturunan raja."
Kedua rekannya mengerutkan kening, kemudian Sumadra berkata, "Kitab kuno!"
"Maksudmu kitab Jala?" tanya Wanara berpaling ke arah Sumadra.
"Ya, itu." Sumadra mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Entahlah, aku tidak paham itu," desis Wanara kembali merebahkan tubuh di atas pasir. Ia tidak peduli dengan perkataan dua kawannya.
*****Berbulan-bulan lamanya, Wanara berada di hutan tersebut. Tinggal bersama Sumadra dan Jasena. Pemahamannya terhadap alam semakin luas, Wanara mulai terbiasa hidup tanpa makan nasi, untuk makanan sehari-hari di tempat tersebut, cukuplah dengan memakan buah-buahan segar yang ada di hutan itu.Jika Wanara dan kedua rekannya menginginkan nasi dan lauk pauknya, maka mereka harus mengumpulkan kayu bakar kemudian dijual ke pasar. Setelah itu baru mereka dapat membeli nasi dari uang hasil penjualan kayu bakar tersebut.
Pada suatu hari, Wanara dan kedua rekannya mulai sibuk untuk memperbaiki sebuah perahu yang berukuran sedang, perahu tersebut mereka dapatkan di tepi pantai. Entah milik siapa? Sebuah perahu yang tampak masih bisa dipakai dan hanya sedikit mengalami kerusakan akibat terombang-ambing terbawa ombak. Kemudian bersandar di tepi pantai tidak jauh dari hutan tempat tinggal Wanara dan kedua rekannya.
"Kita harus memperbaiki perahu ini, agar bisa menyebrangi lautan!" kata Wanara lirih.
"Kami akan membantumu dan kami pun akan ikut menemanimu dalam melakukan perjalanan ke negri sebrang dalam mencari kitab kuno yang kau inginkan," tandas Sumadra menyatakan diri siap untuk menemani Wanara.
Begitu pula dengan Jasena, ia pun sangat mendukung dan akan siap menemani Wanara berkelana ke negri sebrang.
"Terima kasih, semoga kalian tetap bersamaku sampai tua," kata Wanara tersenyum bahagia mendengar ucapan kedua rekannya itu, yang sangat tulus dalam memberikan dukungan.
Setelah seharian mengerjakan perbaikan perahu tersebut, Jasena langsung mengajak Wanara dan Sumadra untuk makan di warung yang ada di desa yang jaraknya lumayan jauh dari lokasi mereka memperbaiki perahu tersebut.
"Sebaiknya, kita makan dulu. Aku punya sedikit uang hasil dari penjualan kayu bakar dan kepiting!" ajak Jasena.
Wanara dan Sumadra tersenyum dan menganggukkan kepala secara bersamaan.
Kemudian, Jasena melangkah mendekati Wanara, lantas ia pun berbisik, "Aku akan mengenalkanmu kepada gadis cantik di desa nelayan."
Wanara tersenyum mendengar perkataan Jasena, ia pun mengangguk tanda setuju dengan ajakan rekannya itu. Dengan demikian, ketiga pemuda tersebut langsung melangkah menuju ke arah desa yang berada di bibir pantai di wilayah utara kepulauan Jowaraka.
Seperti biasa, mereka makan di sebuah warung yang sudah menjadi langganan Jasena dan Sumadra. "Kau lihat itu!" tunjuk Jasena mengarah kepada Wanara. "Dia adalah Sekar Widuri, gadis yang paling cantik di desa nelayan ini!" sambungnya.
Wanara terkesima ketika melihat paras cantik gadis berkebaya putih itu, seakan-akan dalam jiwa dan pikirannya tumbuh sebuah rasa yang begitu sukar untuk dihindari.
"Gadis ini adalah calon ratuku jika kelak aku menjadi raja." Wanara berkata dalam hati sembari memandangi wajah ayu sang gadis—putri pemilik warung makan itu.
Jasena langsung melangkah menuju ke warung tersebut dengan diikuti oleh Wanara dan Sumadra.
Wanara tampak berat melangkahkan kedua kakinya, ketika beradu pandangan dengan Sekar Widuri.
Gadis itu secara mengejutkan melontar senyum ke arah Wanara. Sekar Widuri pun berkata dalam hatinya, "Siapakah pria ini? Aku baru melihatnya, paras wajahnya sangat tampan sekali."
Wanara tertegun dibuatnya. "Hai, Wanara! Ayo, duduk!" ajak Jasena.
"Ternyata pria tampan itu namanya Wanara, nama yang indah sesuai paras wajahnya," desis Sekar Widuri terus memandangi wajah Wanara.
*****
Menurut kabar dari orang-orang yang pernah dimintai keterangan oleh Wanara. Mereka menyebutkan bahwa kerajaan Jantara itu, memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa. Konon katanya, kerajaan Jantara seindah rembulan purnama. Di wilayahnya terdapat banyak pepohonan obat dan rempah-rempah yang sangat diburu oleh para tabib dari berbagai pelosok kerajaan di sejagat raya. Wanara dan kedua rekannya menjelajah seantero wilayah kerajaan tersebut. Kebiasaan penduduk di wilayah kerajaan Jantara yang dijumpainya, tidak jauh berbeda dengan para penduduk di kerajaan Rawamerta. "Besok pagi kita harus berjalan ke barat, melewati bukit itu!" kata Wanara meluruskan jari telunjuknya ke arah perbukitan yang menjulang tinggi di arah barat dari tempatnya berdiri bersama kedua kawannya. "Terus malam ini kita tidur di mana, Wanara?" tanya Jasena mengerutkan kening menatap tajam wajah Wanara. Wanara tersenyum dan menudingkan jari telunjuknya ke sebuah gundukan b
Jasena dan Sumadra segera meraih ikan dalam kantung itu, mereka pun segera membersihkan ikan-ikan tersebut, kemudian langsung membakarnya. "Akan lebih enak lagi kalau ikan itu ditambahkan bumbu rempah!" seloroh Wanara. "Dari mana kita bisa mendapatkan bumbu tersebut?" tanya Sumadra terheran-heran dengan ucapan sahabatnya itu. "Kau pergi ke desa beli di warung!" gurau Wanara tertawa lepas. Sumadra mendelik ke arah Wanara. Lalu, ia berkata, "Kau mendapatkan ikan ini dengan cara bagaimana, Wanara?" tanya Sumadra sambil membolak-balik ikan yang sedang ia bakar itu. "Aku menangkapnya dengan tanganku sendiri," jawab Wanara sambil tersenyum lebar. "Sungguh?" timpal Jasena kembali bertanya tampak ragu dengan apa yang dikatakan oleh Wanara. "Aku memang bukan pandita atau ulama, tapi aku tidak bohong. Ikan-ikan itu, aku tangkap menggunakan tangan kosongku," tegas Wanara. "Tidak ada yang menuduhmu berbohong, aku hanya memastikan,"
Usai menebang dan memotong pohon tersebut menjadi dua bagian, Wora Saba langsung mengajak Wanara dan kedua sahabatnya untuk segera ikut dengannya."Kalian mau ikut denganku atau tetap berada di hutan ini?"Wanara tidak langsung menjawab, ia berpaling ke arah Sumadra dan Jasena. Lalu, bertanya kepada kedua sahabatnya itu, "Apakah kalian mau ikut ke padepokan bersama Wora Saba?"Kedua pemuda itu menjawab tanpa bersuara, mereka hanya mengangguk tanda setuju ikut dengan orang tersebut."Kami ikut denganmu," tandas Wanara.Wora tersenyum dan merasa senang, karena Wanara dan kedua rekannya mau ikut dengannya."Ya, sudah. Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Wora Saba langsung meraih batang kayu Lemo yang sudah dibagi menjadi dua potong itu."Baiklah, sini aku bantu!" jawab Wanara meminta Wora Saba untuk menyerahkan batang pohon tersebut kepadanya.Wora Saba tersenyum dan segera menyerahkan satu batang potongan pohon Lemo kepada Wanara. Wanara tampak riang dan tidak
Pada suatu hari, Wanara mengajak Wora Saba berbincang di pendapa padepokan. Mereka hanya berdua saja, tanpa Jasena ataupun Sumadra. Karena hari itu, kedua rekannya sedang membantu Resi Wana bercocok tanam di sebuah ladang yang ada di belakang kediamannya itu."Apakah kau tahu tentang orang sakti di desa ini selain guru?" tanya Wanara lirih.Wora Saba hanya tersenyum, kemudian menjawab lirih, "Yah, aku tahu!"Wanara segera menggeser posisi duduknya, lebih mendekat ke arah pemuda yang pandai membuat ukiran kayu dan dipercaya sebagai seorang tabib muda yang bisa mengobati berbagai penyakit."Siapa namanya, Wora?" bertanya lagi Wanara dengan bola mata lurus ke wajah sahabat barunya itu."Wirya Tama!""Apakah dia punya padepokan seperti guru kita ini?"Wora tersenyum, seakan-akan tidak merasa risih meskipun diberondong beberapa pertanyaan oleh Wanara, "Ya, Ki Wirya Tama mempunyai pondok sama seperti guru kita. Sekarang masih ada sekitar puluhan murid yang masih menun
Beberapa hari kemudian, Wanara meminta izin kepada gurunya untuk berangkat ke sebuah tempat yang berada di balik bukit yang jaraknya lumayan jauh dari padepokan milik Resi Wana.Tanpa banyak pertanyaan, Resi Wana langsung mengizinkan muridnya itu untuk berangkat ke tempat yang dimaksud. "Silahkan kau pergi ke sana, dan yakin pada dirimu untuk senantiasa mempelajari ilmu kanuragan dengan baik dan bersungguh-sungguh. Dia adalah Wirya Tama yang akan menjadi gurumu dan akan mengajarkanmu jurus tenaga dalam!" ucap Resi Wana penuh kebijaksanaan, memberi izin tanpa banyak tanya."Terima kasih, Guru. Aku akan berangkat esok lusa." Wanara terlihat senang dan bahagia mendengar jawaban dari Resi Wana.Orang tua itu hanya tersenyum, menatap lekat wajah Wanara yang berparas tampan itu. Kemudian, ia berkata lirih, "Namaku tersimpan dalam kalimat namamu Wana bermakna kesatria dan Ra, bermakna tangguh. Jadi Wanara artinya kesatria tangguh!"Wanara dan kedua rekannya saling berpa
Setelah berhasil melewati hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi berdaun lebat, Wanara menghentikan langkah sejenak. Ia berdiri tegak mengatur pernapasan sambil mengamati sekitaran tempat tersebut. Tampak butiran peluh keluar dari pori-pori keningnya, hingga mengalir membasahi wajah yang sudah tampak pucat kelelahan."Katanya dekat? Ini rasanya sudah berjalan lama tapi tak kunjung tiba," gumam Wanara memandangi puncak bukit yang menjulang tinggi di hadapannya.Kemudian, ia meraih batang bambu berukuran dua jengkal telapak tangan, sebagai wadah air minum. Lalu, Wanara meminum air tersebut hingga hampir menghabiskan isi dalam wadah batang bambu itu. Sejenak, ia berdiam diri sambil mengamati suasana di hutan tersebut. "Aku harus melanjutkan perjalanan ini," desis Wanara kembali melangkah naik ke atas bukit tersebut, menyusuri jalanan setapak.Ia tidak menghiraukan rasa lelah yang mendera, karena ingin segera tiba di tempat tujuan sebelum menjelang sore. Peluh kian be
Orang tua itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Ya, benar sekali. Kau adalah titisan Prabu Merta Jaya putra Dewa petir!" jawab Ki Wirya Tama tersenyum-senyum.Wanara mengerenyitkan kening, ia semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh orang tua itu. Lantas, Wanara kembali bertanya, "Apakah aku sangat mirip dengan Prabu Merta Jaya?" Pemuda itu tampak penasaran, seakan-akan ia ingin mengetahui lebih lanjut tentang apa yang sudah dikemukakan oleh Ki Wirya Tama."Ada banyak persamaan di antara kalian, salah satunya adalah kesaktian yang kelak akan kau miliki!" ucap orang tua itu.Bergegas Wanara menggeser posisi duduknya, maju sampai ke hadapan orang tua itu. Lalu bersujud dan mengangguk-anggukkan kepalanya sampai tiga kali. Ki Wirya Tama memandang lekat Wanara yang bersikap sedemikian hormat terhadap dirinya. Pria senja itu, tak henti-hentinya memandangi pemuda yang ada di hadapannya dengan matanya yang jernih namun sangat tajam."Wanara, berh
Tampak darah segar mengalir dari mulut pria itu. Bahkan, ia sudah tidak dapat bangkit lagi, karena kerasnya tendangan orang tua tersebut.Orang tua itu adalah Ki Wirya Tama, yang diam-diam mengetahui kalau murid barunya itu sedang dalam kesulitan."Itu pedang miliknya, dan bukan milik kalian," ucap Ki Wirya Tama menatap tajam ke arah dua pria itu. "Jangan kalian ambil, jika barang itu bukan milik kalian!" sambung Ki Wirya Tama berteriak lantang."Hai! Pak tua, sebaiknya kau jangan ikut campur!" kata pria yang satunya lagi sambil menarik tangan kawannya yang terjatuh karena tendangan keras dari orang tua itu.Namun, kawannya itu tampak kesulitan untuk bangkit, meskipun telah dibantu oleh kawannya. "Kedua kakiku kaku, dadaku sesak. Kau hadapi saja orang tua itu, dan biarkan aku di sini!" "Baiklah, aku akan melenyapkan orang tua itu dulu. Setelah itu, kita ambil pedang anak muda itu!"Ia kembali berhadap-hadapan dengan Ki Wirya Tama. Dengan gagahnya ia be
Setelah berhasil mengalahkan siluman-siluman tersebut, Raja Wanara langsung mengajak para senapatinya untuk kembali ke tenda saat itu juga. Sementara itu, kedua permaisurinya pun sudah terjaga dari tidur mereka, dan tengah menunggu kedatangan suami mereka dengan perasaan cemas. Setibanya di perkemahan, sang raja segera memerintahkan kepada para prajuritnya agar tidak lengah dan bersiaga penuh secara bergiliran. Karena, sang raja khawatir akan datang kembali teror dari para siluman utusan Raja Nainggolo. "Sebaiknya, kalian tetap bersiaga dan berjaga secara bergiliran!" kata sang raja mengarah kepada salah seorang prajurit senior yang bertanggung jawab atas tugas keamanan di perkemahan tersebut. "Baik, Baginda Raja. Hamba akan segera mengaturnya," jawab prajurit senior itu. Malam terasa semakin dingin, suasana pun sudah mulai sepi. Tidak terlalu gaduh oleh hilir-mudik para prajurit, karena sebagian dari mereka sudah terlelap tidur. Dan hanya men
Siluman itu sangat tangguh. Ia dapat bertarung dengan sebaik-baiknya. Meskipun usianya sudah tua, namun ia memiliki pengalaman dan kemampuan memancing Raja Wanara dengan gerak tipu yang diperagakannya."Kau telah melumpuhkan kawanku, maka terimalah pembalasan dariku ini!" bentak siluman itu bersuara keras dan terdengar parau."Berhentilah! Jangan kau menganggu kami!" Raja Wanara pun balas membentak sambil meloncat tinggi dan memukul keras kepala makhluk tersebut.Sontak tubuh siluman itu terhempas jauh hingga membentur batu padas yang ada di sekitaran tempat tersebut. Akan tetapi, ia tidak menyerah begitu saja. Siluman itu bangkit dan menggeram sambil menatap tajam wajah sang raja, dari mulutnya menyemburkan api bak seekor naga."Hati-hati, Baginda Raja!" teriak Senapati Jasena tampak khawatir melihat pemandangan seperti itu.Raja Wanara hanya tersenyum sambil meloncat tinggi demi menghindari serangan dari siluman tersebut yang menyemburkan api dar
Pada malam harinya, Raja Wanara dan ketiga senapatinya tengah berbincang santai di depan tenda sambil menikmati sajian sederhana yang tersedia di hadapan mereka.Sementara itu, Santika dan Sekar Widuri sudah terlelap tidur di dalam tenda dengan dikawal ketat oleh para prajurit wanita yang menjadi pengawal pribadi sang ratu."Susana malam ini sangat dingin sekali. Akan tetapi, langit sangat cerah dan bulan pun bersinar terang. Sungguh indah luar biasa," desis Senapati Yandradipa mengangkat wajahnya menatap keindahan langit yang tampak cerah itu."Mungkin ini pertanda akan datangnya musim kemarau, setelah lama kita mengalami musim Siak," sahut sang raja sambil menikmati hidangan sederhana yang disajikan oleh para pelayannya.Kemudian, Senapati Jasena menyahut pula, "Iya, Baginda. Sepertinya ini memang sudah waktunya pergantian musim."Raja Wanara menghela napas dalam-dalam, kemudian mengangkat wajahnya dan memandangi langit yang tampak cerah itu, ser
Ketika matahari sudah terik dan terasa panas menyengat. Maka, Senapati Jasena langsung menyeru kepada para prajuritnya untuk segera beristirahat dan mendirikan tenda di sebuah hutan yang ada di bawah perbukitan dekat dengan lembah Kalen Laes yang masih masuk ke dalam wilayah kerajaan Bayu Urip bagian timur."Sebaiknya kita beristirahat saja dulu! Ini adalah tempat yang bagus, sang raja pasti menyukai tempat ini!" seru Senapati Jasena. "Kalian segera dirikan perkemahan dan persiapkan makanan untuk sang raja dan permaisurinya!" sambung Senapati Jasena kepada para prajurit dan juga para pelayan yang ikut dalam rombongan tersebut."Baik, Gusti Senapati," sahut salah seorang pimpinan pelayan tersebut menjura kepada sang senapati.Setelah itu, mereka pun langsung membagi tugas dengan mendirikan tenda terlebih dahulu untuk dijadikan tempat penyimpanan bahan-bahan makanan. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan kebutuhan untuk memasak dengan dibantu oleh puluhan p
Setelah kematian Rosapati, akhirnya para pendekar dari gerombolan tersebut, merasakan bahwa mereka telah dikelilingi oleh beberapa prajurit yang kuat. Mereka menyerang dengan begitu semangat dari berbagai penjuru.Demikian pula dengan Senapati Yamadaka dan Senapati Yandradipa, mereka memiliki ketangkasan dalam memainkan pedang mereka. Sehingga lawan-lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuh kedua senapati itu dengan ujung senjata mereka."Kita sudah akal dan cara untuk mengalahkan para prajurit itu, kita tidak bisa lagi melanjutkan perlawanan terhadap mereka. Sebaiknya kita lari saja dari tempat ini! Kau lihat sendiri, Rosapati pun sudah binasa!" ujar salah seorang pendekar dari kelompok pemberontak itu. Ia mulai ragu melihat pemandangan seperti itu.Kawannya itu hanya dapat menggeram dan menahan kemarahan karena ia dan kawan-kawannya tidak dapat membebaskan diri dari cengkraman para prajurit kerajaan Bumi. Lawannya yang mereka hadapi ternyata memiliki
Ketika rombongan Raja Wanara sudah tiba di sebuah hutan yang berada di luar wilayah kerajaan Bumi. Tepatnya di sebuah alas yang masuk ke dalam wilayah kedaulatan kerajaan Bayu Urip, tenyata rombongan tersebut sudah dihadapkan dengan sebuah ancaman dari kelompok kecil yang sering melakukan teror di wilayah kerajaan Bayu Urip. Mereka berusaha untuk melakukan tindakan penghadangan terhadap rombongan Raja Wanara.Para prajurit yang mengawal sang raja tampak siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena mereka sudah diberi tugas secara langsung oleh Senapati Jasena pada setiap kelompok yang ada di bawah pimpinan panglima masing-masing. Senapati Jasena telah memerintahkan para prajuritnya untuk melawan siapa saja yang dianggap berbahaya terhadap keselamatan sang raja dan kedua permaisurinya."Siapa mereka?" tanya sang raja mengerutkan kening sambil mengamati puluhan orang bersenjatakan pedang berbaris rapi menghadang di tengah jalan.Kemudian,
Keesokan harinya, Senapati Jasena dan para prajuritnya langsung melakukan persiapan jelang keberangkatan mereka pada hari itu menuju ke wilayah kerajaan Buana Loka, dalam rangka kunjungan persahabatan dari pihak kerajaan Bumi kepada pihak kerajaan Buana Loka yang merupakan sebuah kerajaan sahabat yang kini menjadi sekutu kerajaan Bumi.Dengan gagahnya, ia melangkah menuju ke barak para pelayan yang berada di belakang barak prajurit. Sang senapati langsung menghampiri salah seorang kepala pelayan yang hendak ikut dalam rombongan Raja Wanara."Selamat datang di barak kami, Gusti Senapati," ujar seorang pria berusia sekitar 30 tahun dengan sikap ramahnya menjura kepada sang senapati.Senapati Jasena hanya tersenyum, lalu berkata, "Sebaiknya pedati yang mengangkut barang logistik kebutuhan makanan dan lainnya langsung dikeluarkan sekarang! Tunggu di depan istana, sebentar lagi kita akan segera berangkat!" perintah Senapati Jasena kepada para pelayan istana dan kusir yang
Satu hari menjelang keberangkatan rombongan sang raja. Maka, Senapati Jasena dan dua senapati lainnya yang hendak ikut mengawal sang raja sudah mempersiapkan segalanya yang tentu akan dibutuhkan dalam melakukan perjalanan jauh tersebut."Apakah kita perlu membawa pasukan panah, Senapati?" tanya Senapati Yandradipa mengarah kepada Senapati Jasena yang merupakan panglima senior di kerajaan Bumi."Aku rasa mereka sangat penting untuk dilibatkan dalam pengawalan ini. Kau siapkan 50 prajurit panah yang benar-benar memiliki kemampuan tinggi! Sisanya bawa saja para prajurit campuran dan jangan lupa sertakan lima orang kusir pedati yang akan membawa barang-barang keperluan logistik dan peralatan lainnya!" jawab Senapati Jasena menuturkan.Dengan demikian, Senapati Yandradipa dan Senapati Yamadaka langsung meluncur ke barak prajurit yang berada di belakang istana utama, untuk menyiapkan para prajuritnya yang akan diperintahkan untuk mengawal sang raja dan kedua perma
Pagi itu, Panglima Yandradipa dan Yamadaka sudah berada di ruang utama istana kerajaan Bumi. Mereka datang memenuhi undangan dari sang raja, bahkan dijemput langsung oleh utusan istana yang diperintahkan oleh sang raja menjemput kedua punggawanya ke istana kepatihan Waraya timur."Aku sangat senang mendapat kabar tentang keberhasilan kalian," ujar sang raja tampak semringah. "Oleh sebab itu, kalian aku minta untuk datang ke istana ini. Karena, sang guru sepuh memintaku untuk menganugerahkan gelar kepada kalian berdua," sambung sang raja menyampaikan maksud dan tujuannya dalam mengundang kedua punggawanya tersebut.Panglima Yandradipa dan Yamadaka saling berpandangan, raut wajah mereka tampak semringah. Dengan kompaknya mereka menjura kepada Raja Wanara dan Maha Patih Ramanggala."Terima kasih, Baginda Raja. Ini merupakan bentuk penghormatan Baginda terhadap kami berdua," sahut Panglima Yandradipa sambil membungkukkan badan di hadapan sang raja.Raja Wan