Namun kini, saat kami kembali berdiri bersama, aku justru menjadi orang yang patut dia sanjung.Rama juga tidak menyangka bahwa orang yang akan bertemu dengannya adalah aku.Dia memandangiku dengan linglung, agak kehilangan kendali. "Wulan, aku pikir kamu nggak akan pernah mau menemuiku lagi ....""Apakah dokumen game baru kalian sudah siap?" Aku tidak menanggapi ucapannya.Rama mengangguk, "Sudah."Sepanjang jalan, dia terus mencari bahan obrolan, "Game baru dari Perusahaan Mandala Surya itu kamu yang buat, ya? Kamu ... lebih hebat dari yang kubayangkan!"Game baru yang aku kembangkan itu memang sukses besar di pasar, hingga semua orang di industri game mengetahuinya."Terima kasih atas pujiannya. Kita nggak sedekat itu. Sebaiknya Anda panggil saya Bu Wulan, Pak Rama."Aku pun tidak menyangka, saat bertemu dengannya lagi, hatiku bisa sedemikian tenang.Rama tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya dia menahannya, lalu mengajakku masuk ke dalam studio.Sinta juga bekerja di stu
Sepulangnya aku dari pemakaman ibuku, hujan turun sangat deras.Air hujan membasahi tubuhku, membuat mataku sulit terbuka, dan kepalaku terasa berat.Tiba-tiba terdengar dering ponselku.Dengan wajah tanpa ekspresi, aku mengangkat ponsel dan melirik layarnya. Saat melihat nama Rama, jantungku kembali terasa sakit seperti ditusuk-tusuk.Aku sudah pacaran dengan Rama selama sepuluh tahun, tetapi dia selalu dingin dan cuek padaku.Dulu aku pikir, cintaku mampu mencairkan hati batu yang paling keras sekalipun, selama aku tetap berada di sampingnya. Namun, nyatanya, api cintaku yang berkobar tak mampu bertahan selamanya tanpa balasan.Tujuh hari yang lalu, aku menerima kabar buruk bahwa ibuku meninggal.Kekhawatiran terbesar ibu menjelang akhir hayatnya adalah tentang pernikahanku.Dia pernah berkata padaku, "Wulan, kamu sudah pacaran dengan Rama sekian lama, tapi dia masih belum bicara soal pernikahan? Maaf kalau kata-kata Ibu ini kurang enak didengar.""Keadaan keluarga kita dan keluarga
Sinta Limawan adalah anak dari sahabat lama keluarga Subrata, usianya tujuh tahun lebih muda dariku dan Rama.Dari kecil, Sinta selalu mengikuti Rama ke mana pun, sangat menempel padanya.Bahkan nama mereka diambil dari nama pasangan terkenal dalam cerita wayang "Ramayana".Sinta berwajah cantik, sifatnya ceria dan sedikit usil, sangat mudah disukai.Awalnya, aku juga suka padanya, dan menganggapnya seperti adik perempuan di sebelah rumah.Namun, setelah dia menumpahkan kopi ke gaunku, diam-diam membuang hadiah yang kuberikan, dan memecahkan gelang giok pemberian ibu Rama padaku, barulah aku sadar bahwa dia tidak menyukaiku.Aku pernah membahas ini pada Rama, awalnya hanya sebagai keluhan kecil.Dia malah mengerutkan kening dan memarahiku, "Wulan, kamu 'kan orang dewasa, kenapa harus mempermasalahkan anak kecil?"Waktu itu kami baru berusia dua puluh tahun, sedangkan Sinta baru tiga belas tahun.Dia memang masih di bawah umur, jadi aku terlihat tidak dewasa karena mempermasalahkan hal
Kami sudah bersama selama sepuluh tahun. Walaupun sering tidak bahagia, aku selalu duduk dan membicarakannya dengan baik-baik, tidak pernah sekalipun mengucapkan kata-kata berat seperti perpisahan.Rama terlihat agak terkejut sesaat, sambil menahan kesal dia berkata, "Wulan, jangan sembarangan bilang putus. Itu menyakitkan. Aku anggap ini nggak pernah terjadi!"Saat Sinta sedang tidak bahagia, dia akan dengan sabar menenangkannya, menanyakan apa yang terjadi.Kalau aku yang mengalaminya, dia hanya menyuruhku belajar mengendalikan emosi dengan dingin.Bahkan saat aku bilang ingin putus, dia hanya menanggapi dengan ringan, seolah-olah aku hanya sedang membuat keributan tanpa alasan.Aku tidak ingin terus-menerus merasa seperti wanita yang merajuk, selalu membandingkan diri dengan Sinta.Namun, standar ganda Rama terlalu mencolok, bahkan orang buta pun bisa melihatnya.Sinta turun dari mobil sambil membawa payung, lalu berkata dengan nada manja, "Kak Rama, coba bujuk Kak Wulan. Dia memang
Dia bersikap buruk padaku, aku bisa menahannya.Tapi aku tidak akan membiarkan dia menginjak-injak keluargaku!Sinta menutupi wajahnya yang memerah dan bengkak sambil menangis.Melihat ini, ekspresi Rama menjadi dingin. "Wulan, memukul orang itu sudah keterlaluan!"Aku memandangnya dengan kecewa, tanpa niat untuk berdebat.Rama selalu membelanya, aku seharusnya sudah terbiasa.Akan tetapi ayahku tidak terima."Hei, Rama! Sebenarnya siapa yang jadi pacarmu? Sinta atau anakku? Ketika Wulan pulang untuk pemakaman ibunya, aku tanya kenapa kamu nggak datang. Dia menangis dan bilang kamu sibuk, tapi aku tahu dia berbohong. Kamu pasti melakukan sesuatu yang melukai hatinya!""Benar saja 'kan, dugaanku nggak salah!""Nggak heran kalian pacaran bertahun-tahun, tidak kunjung menikah. Ternyata memang ada orang lain di luar sana!""Keluarga kalian memang lebih berada, tapi Wulan juga anak yang dirawat dengan sepenuh hati oleh aku dan ibunya. Nggak ada alasan dia diperlakukan seperti ini! Sampai me
Aku menatapnya dengan acuh tak acuh, lalu berbalik masuk ke kamar.Begitu pintu balkon tertutup, suara hujan yang deras terhalang di luar, seolah-olah semua angin dan hujan sudah berakhir.Di atas tempat tidur, ponselku bergetar, ada panggilan masuk dari Rama.Setelah bertahun-tahun, ini pertama kalinya dia meneleponku terlebih dahulu setelah kami bertengkar.Dulu saya kira, jika suatu hari Rama mau merendahkan diri dan membujukku, pasti aku akan senang. Tidak peduli kesalahan apa yang dia buat, aku pasti bisa memaafkannya.Namun, saat ini yang kurasakan hanyalah kebingungan.Rasanya seperti mengunyah daun sirih pahit, rasa pahit itu perlahan meresap hingga ke seluruh tubuh.Entah kenapa, aku teringat masa lalu.....Beberapa belas tahun yang lalu, ibu Rama, Helen Sumardi, datang berlibur ke desa kecil kami di pegunungan.Saat itu musim banjir, aliran sungai yang kecil berubah menjadi arus deras hanya dalam beberapa detik. Dia tidak sempat menghindar, dan tersapu banjir.Ayahku kebetul
Rama: "Ayo kita bicara.""Nggak ada yang perlu dibicarakan, kita sudah putus."Aku menghapus WhatsApp-nya dan memblokir nomor teleponnya.Setelah mengantar ayahku pulang, aku langsung demam tinggi. Namun, aku tidak berani menunda pekerjaan, tetap menggunakan plester penurun panas dan bertahan di kantor.Saat pulang kerja, aku dihadang di jalan oleh Rama.Entah sudah berapa banyak rokok yang dia isap, tubuhnya penuh dengan bau rokok, tampak agak terpuruk, berbeda dengan biasanya."Maaf, Wulan, aku nggak tahu ibumu meninggal, dan aku juga nggak tahu seminggu yang lalu itu ulang tahunmu.""Aku nggak menikahimu bukan karena aku menyukai orang lain, tapi karena orang tuaku nggak bahagia dalam pernikahan, aku agak takut dengan pernikahan. Kalau kamu mau, kita bisa menikah sekarang juga."Rama mengeluarkan sekuntum mawar merah dan memberikannya padaku.Rasanya agak sedih juga, setelah bertahun-tahun berpacaran, ini pertama kalinya aku menerima bunga darinya ... dan itu terjadi setelah kami pu
Namun kini, saat kami kembali berdiri bersama, aku justru menjadi orang yang patut dia sanjung.Rama juga tidak menyangka bahwa orang yang akan bertemu dengannya adalah aku.Dia memandangiku dengan linglung, agak kehilangan kendali. "Wulan, aku pikir kamu nggak akan pernah mau menemuiku lagi ....""Apakah dokumen game baru kalian sudah siap?" Aku tidak menanggapi ucapannya.Rama mengangguk, "Sudah."Sepanjang jalan, dia terus mencari bahan obrolan, "Game baru dari Perusahaan Mandala Surya itu kamu yang buat, ya? Kamu ... lebih hebat dari yang kubayangkan!"Game baru yang aku kembangkan itu memang sukses besar di pasar, hingga semua orang di industri game mengetahuinya."Terima kasih atas pujiannya. Kita nggak sedekat itu. Sebaiknya Anda panggil saya Bu Wulan, Pak Rama."Aku pun tidak menyangka, saat bertemu dengannya lagi, hatiku bisa sedemikian tenang.Rama tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya dia menahannya, lalu mengajakku masuk ke dalam studio.Sinta juga bekerja di stu
Hanya saja, saat malam tiba dan dunia sunyi, kenangan masa lalu kadang terlintas. Saat itu, tidak bisa dipungkiri perasaan campur aduk pun muncul.Aku tidak ingin masalah yang sudah usang itu terus memengaruhi suasana hatiku. Aku bekerja lebih keras, nyaris tinggal di kantor.Ketua tim baru di kelompok kami bercanda, "Kak Wulan, jangan terlalu ambisius, ya. Kasihan rambutmu nanti!"Ketua tim itu bernama Candra Lukito, lima tahun lebih muda dariku, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi. Rekan-rekan kerja mengatakan bahwa dia punya koneksi keluarga, makanya bisa langsung menduduki posisi ini.Namun, tiga bulan setelah dia datang, tidak ada lagi yang membahas soal itu.Candra punya kepribadian yang baik, murah hati, sering mentraktir kami makan dan minum, dan memang punya kemampuan yang luar biasa....."Kak Wulan, malam ini kita jalan-jalan, yuk!"Bahuku tiba-tiba ditepuk, aku kaget setengah mati. Tanpa menoleh pun aku tahu itu pasti Candra.Dia memang baik dalam banyak hal, tetapi sifatny
Rama: "Ayo kita bicara.""Nggak ada yang perlu dibicarakan, kita sudah putus."Aku menghapus WhatsApp-nya dan memblokir nomor teleponnya.Setelah mengantar ayahku pulang, aku langsung demam tinggi. Namun, aku tidak berani menunda pekerjaan, tetap menggunakan plester penurun panas dan bertahan di kantor.Saat pulang kerja, aku dihadang di jalan oleh Rama.Entah sudah berapa banyak rokok yang dia isap, tubuhnya penuh dengan bau rokok, tampak agak terpuruk, berbeda dengan biasanya."Maaf, Wulan, aku nggak tahu ibumu meninggal, dan aku juga nggak tahu seminggu yang lalu itu ulang tahunmu.""Aku nggak menikahimu bukan karena aku menyukai orang lain, tapi karena orang tuaku nggak bahagia dalam pernikahan, aku agak takut dengan pernikahan. Kalau kamu mau, kita bisa menikah sekarang juga."Rama mengeluarkan sekuntum mawar merah dan memberikannya padaku.Rasanya agak sedih juga, setelah bertahun-tahun berpacaran, ini pertama kalinya aku menerima bunga darinya ... dan itu terjadi setelah kami pu
Aku menatapnya dengan acuh tak acuh, lalu berbalik masuk ke kamar.Begitu pintu balkon tertutup, suara hujan yang deras terhalang di luar, seolah-olah semua angin dan hujan sudah berakhir.Di atas tempat tidur, ponselku bergetar, ada panggilan masuk dari Rama.Setelah bertahun-tahun, ini pertama kalinya dia meneleponku terlebih dahulu setelah kami bertengkar.Dulu saya kira, jika suatu hari Rama mau merendahkan diri dan membujukku, pasti aku akan senang. Tidak peduli kesalahan apa yang dia buat, aku pasti bisa memaafkannya.Namun, saat ini yang kurasakan hanyalah kebingungan.Rasanya seperti mengunyah daun sirih pahit, rasa pahit itu perlahan meresap hingga ke seluruh tubuh.Entah kenapa, aku teringat masa lalu.....Beberapa belas tahun yang lalu, ibu Rama, Helen Sumardi, datang berlibur ke desa kecil kami di pegunungan.Saat itu musim banjir, aliran sungai yang kecil berubah menjadi arus deras hanya dalam beberapa detik. Dia tidak sempat menghindar, dan tersapu banjir.Ayahku kebetul
Dia bersikap buruk padaku, aku bisa menahannya.Tapi aku tidak akan membiarkan dia menginjak-injak keluargaku!Sinta menutupi wajahnya yang memerah dan bengkak sambil menangis.Melihat ini, ekspresi Rama menjadi dingin. "Wulan, memukul orang itu sudah keterlaluan!"Aku memandangnya dengan kecewa, tanpa niat untuk berdebat.Rama selalu membelanya, aku seharusnya sudah terbiasa.Akan tetapi ayahku tidak terima."Hei, Rama! Sebenarnya siapa yang jadi pacarmu? Sinta atau anakku? Ketika Wulan pulang untuk pemakaman ibunya, aku tanya kenapa kamu nggak datang. Dia menangis dan bilang kamu sibuk, tapi aku tahu dia berbohong. Kamu pasti melakukan sesuatu yang melukai hatinya!""Benar saja 'kan, dugaanku nggak salah!""Nggak heran kalian pacaran bertahun-tahun, tidak kunjung menikah. Ternyata memang ada orang lain di luar sana!""Keluarga kalian memang lebih berada, tapi Wulan juga anak yang dirawat dengan sepenuh hati oleh aku dan ibunya. Nggak ada alasan dia diperlakukan seperti ini! Sampai me
Kami sudah bersama selama sepuluh tahun. Walaupun sering tidak bahagia, aku selalu duduk dan membicarakannya dengan baik-baik, tidak pernah sekalipun mengucapkan kata-kata berat seperti perpisahan.Rama terlihat agak terkejut sesaat, sambil menahan kesal dia berkata, "Wulan, jangan sembarangan bilang putus. Itu menyakitkan. Aku anggap ini nggak pernah terjadi!"Saat Sinta sedang tidak bahagia, dia akan dengan sabar menenangkannya, menanyakan apa yang terjadi.Kalau aku yang mengalaminya, dia hanya menyuruhku belajar mengendalikan emosi dengan dingin.Bahkan saat aku bilang ingin putus, dia hanya menanggapi dengan ringan, seolah-olah aku hanya sedang membuat keributan tanpa alasan.Aku tidak ingin terus-menerus merasa seperti wanita yang merajuk, selalu membandingkan diri dengan Sinta.Namun, standar ganda Rama terlalu mencolok, bahkan orang buta pun bisa melihatnya.Sinta turun dari mobil sambil membawa payung, lalu berkata dengan nada manja, "Kak Rama, coba bujuk Kak Wulan. Dia memang
Sinta Limawan adalah anak dari sahabat lama keluarga Subrata, usianya tujuh tahun lebih muda dariku dan Rama.Dari kecil, Sinta selalu mengikuti Rama ke mana pun, sangat menempel padanya.Bahkan nama mereka diambil dari nama pasangan terkenal dalam cerita wayang "Ramayana".Sinta berwajah cantik, sifatnya ceria dan sedikit usil, sangat mudah disukai.Awalnya, aku juga suka padanya, dan menganggapnya seperti adik perempuan di sebelah rumah.Namun, setelah dia menumpahkan kopi ke gaunku, diam-diam membuang hadiah yang kuberikan, dan memecahkan gelang giok pemberian ibu Rama padaku, barulah aku sadar bahwa dia tidak menyukaiku.Aku pernah membahas ini pada Rama, awalnya hanya sebagai keluhan kecil.Dia malah mengerutkan kening dan memarahiku, "Wulan, kamu 'kan orang dewasa, kenapa harus mempermasalahkan anak kecil?"Waktu itu kami baru berusia dua puluh tahun, sedangkan Sinta baru tiga belas tahun.Dia memang masih di bawah umur, jadi aku terlihat tidak dewasa karena mempermasalahkan hal
Sepulangnya aku dari pemakaman ibuku, hujan turun sangat deras.Air hujan membasahi tubuhku, membuat mataku sulit terbuka, dan kepalaku terasa berat.Tiba-tiba terdengar dering ponselku.Dengan wajah tanpa ekspresi, aku mengangkat ponsel dan melirik layarnya. Saat melihat nama Rama, jantungku kembali terasa sakit seperti ditusuk-tusuk.Aku sudah pacaran dengan Rama selama sepuluh tahun, tetapi dia selalu dingin dan cuek padaku.Dulu aku pikir, cintaku mampu mencairkan hati batu yang paling keras sekalipun, selama aku tetap berada di sampingnya. Namun, nyatanya, api cintaku yang berkobar tak mampu bertahan selamanya tanpa balasan.Tujuh hari yang lalu, aku menerima kabar buruk bahwa ibuku meninggal.Kekhawatiran terbesar ibu menjelang akhir hayatnya adalah tentang pernikahanku.Dia pernah berkata padaku, "Wulan, kamu sudah pacaran dengan Rama sekian lama, tapi dia masih belum bicara soal pernikahan? Maaf kalau kata-kata Ibu ini kurang enak didengar.""Keadaan keluarga kita dan keluarga