"Tidak Bu, sampai kapan pun Sam tidak akan menikahi Hanin. Itu hanya membuka luka lama tentang kematian Hanum."
Kematian Hanum? Misteri apa lagi ini?
"Bagus. Ibu tidak mau kamu terlalu dekat dengan Hanin. Yang lama hanya masa lalu dan jauhi wanita itu. Hormati ia sebatas mantan adik iparmu. Soal kematian Hanum, itu kecelakaan. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Sekarang yang kamu pikirkan adalah rumah tanggamu bersama May. Pikirkan bagaimana perasaan May waktu kamu marahi dia hanya soal foto ini jatuh? May itu wanita yang baik, karena itulah Ibu melamarkan dia untukmu. Waktu itu kamu setuju saja. Lalu sekarang, sikapmu bisa saja membuat May merasa tidak diinginkan."
Masih suara Ibu yang berbicara. Kusandarkan badan ke dinding depan kamar. Sakit, rasanya hati ini sakit sekali mengetahui fakta sebenarnya.
Tidak terdengar sahuta
"Bunda … Bunda kenapa kerudungnya nggak dibuka? Bulan belum pernah lihat rambut Bunda? Pasti cantik." Bulan bertanya saat kami kumpul di meja makan untuk makan malam."Kalau Bulan mau lihat datang saja ke kamar Bunda," ucapku menjawab pertanyaannya."Di kamar, Bunda lepas ya?" Bulan masih bertanya dengan mulut penuh."Bulan …, nggak boleh bicara kalau lagi makan," tegur Mas Sam."Iya, Sayang," timpalku, sambil mengacak rambutnya. Posisi Bulan berada duduk di tengah antara ku dan Mas Sam."Tapi May, kalau dibuka di luar juga nggak papa. Di dalam rumah ini perempuan semua. Kecuali di luar rumah ada tukang kebun dan pak satpam. Jadi masih aman menurut Ibu kamu lepas hijab. Pekerja laki-laki nggak pernah masuk ke dalam rumah."Aku hanya menganggukkan kepala menerima
"Sam … May!" Sayup kudengar ada suara yang memanggil kami disertai dengan suara gedoran pintu kamar. Dengan berat kubuka mata ini. Entah kenapa atas dadaku terasa berat juga, seperti ada sesuatu yang menindih dan terdengar deru napas di dekat telinga. Apa Bulan? Perasaan tidak seberat ini?"Mas Sam?" ucapku tercekat di tenggorokan. Ia tidur memelukku sedang Bulan malah bertukar posisi dengannya ada di ujung sana, masih tertidur dengan nyenyak."Mas, bangun. Sepertinya Ibu memanggil." Kugoyangkan lengannya pelan dengan berbisik takut Bulan terbangun."Biarkan saja, siapa suruh tidak mengawasi cucunya sampai masuk ke sini."Hah! Masih dengan mata terpejam ia menjawab ucapanku. Mas Sam sudah bangun atau berpura tidur? Sepertinya ia masih kesal karena malam tadi gagal gituan."Mas, nggak enak.
Lelah hanya tiduran di tempat tidur dan berselancar media sosial, kuputuskan membuka laptop melihat pekerjaan anak-anak didikku. Kebetulan hasil nilai mereka belum kurekap ke dalam buku jurnal.Ponselku berdering. Dengan gerakan cepat kuambil ponsel yang terletak di atas tempat tidur.Ibu Denok? Ada apa beliau menghubungiku? Apa ada hubungannya dengan Ayah?"Assalamualaikum, Bu. Iya ini May, kenapa Bu? Apa Ayah baik-baik saja?""Heh! Anak tak tahu diuntung, bukannya membuat adikmu naik jabatan dengan menikahi orang kaya, eh, malah dipecat." Gegas Ibu bicara dengan nada tinggi."Maksud Ibu?" tanyaku tidak mengerti."Jangan pura-pura tidak tahu. Pasti kamu kan yang meminta Sam untuk memecat Mala."Hah! Aku malah baru tahu ka
"Maaf, Bu. Semua keputusan May serahkan ke Ayah ataupun Mas Sam." Wajah Ibu dan Nirmala mendadak pias. Mungkin mereka tidak menyangka kalau akhirnya aku tidak membela mereka."Ini menyangkut masalah nyawa, soal keselamatan keluarga Mas Sam. Untung saja mereka tidak kenapa waktu itu. Benar tidaknya bukankah sudah ada bukti? Sudah ada yang mengaku kalau Nirmala lah yang menugaskannya melakukan kejahatan tersebut. Itu lebih dari cukup sebagai bukti dan saksi bukan?"Mas Sam mengangguk."Tidak, Kak May. Harusnya Kakak percaya sama aku--adik Kakak sendiri, bukannya lebih percaya sama orang asing yang bahkan cuma kedengaran suaranya doang!" Gegas Nirmala berucap, ia bahkan berdiri dan menatap tajam padaku.Aku ikut berdiri dan membalas tatapan tajamnya. Cara dia minta dibela tidak selaras dengan tindakan
"Kenapa, masih kepikiran Nirmala atau Ayah?" Mas Sam bertanya saat berada di mobil yang meluncur di jalanan.Mas Sam pintar juga menebak apa yang kupikirkan."Keduanya," jawabku tanpa menoleh ke arahnya."Soal Ayah nanti kuminta anak buahku mengawasi Ayah. Jadi tiap hari akan ada laporan yang masuk. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Tiap hari kamu juga bisa kunjungi beliau untuk memastikan keadaannya."Aku tersenyum mendengarnya, tidak menyangka kalau Mas Sam sepengertian ini."Kalau soal Nirmala. Sepertinya ada yang aneh. Apa adik tirimu itu suka percaya diri yang berlebihan?""Maksudnya?""Dia bersikeras tidak mengaku. Kalau soal rekaman tentangmu itu, dia ngaku kan tapi soal mencelakaiku tidak.
Bingung harus bagaimana diantara perkumpulan orang asing yang sama sekali tidak kukenal, kuputuskan duduk di salah satu kursi, meja nomor 15.Sambil menikmati lantunan musik yang mengalun indah yang dibawakan oleh seorang artis ibu kota. Kucoba bersikap sesantai mungkin. Sesekali mata awas mengitari setiap sisi ruangan. Beberapa orang berpakaian seragam serba hitam hilir mudik tampak sibuk. Mungkin mereka panitia atau karyawan yang mengurus pesta ini.Sampai tiba-tiba ada seorang wanita yang mendatangi dan menegurku."Maaf, Bu, meja ini sudah ada pemiliknya, silakan anda ke kursi deretan belakang. Di sana bebas untuk tamu dan pegawai biasa," ujar seorang wanita berpakaian seragam warna hitam dengan tag name Yessie."Oh, gitu ya. Iya, maaf," ucapku sambil beranjak bangun dan menengok ke belakang. Kursi belakang lumayan penuh,
"Maaf, Nin. Bukan aku mengusirmu, tapi … aku hanya ingin berduaan saja duduk dengan istriku di sini. Jadi tolong tempati kursi sesuai nama yang tertera di atas meja." Aku mengulum senyum mendengar ucapan Mas Sam. Untunglah Mas Sam mengusirnya. Aku tidak suka dengan wanita bibit PeLaKor. Masih teringat jelas perkataannya waktu itu kalau dia memaksa Mas Sam menjadikannya yang kedua. Kedua itu maksudnya istri kedua bukan? Apakah tidak ada laki-laki lain hingga harus Mas Sam? Dia cantik, muda, seharusnya mudah mendapatkan laki-laki lain yang pasti sama halnya seperti Mas Sam. Kenapa harus Mas Samudra-ku? Soal perkataannya barusan yang mengatakan Mas Sam bukan orang baik, kurasa hanya bohong belaka. Untuk apa ia mengatakan hal tersebut, sedang dia sendiri ingin berdekatan terus dengan Mas Sam."Tapi Mas, aku kan biasanya duduk selalu berdekatan denganmu. Seperti ini. Itu kan sudah biasa. Apa karena ada istrimu?" Keningku mengernyit mendengarnya.
Aku terpaku di tempatku berdiri tidak jauh dari kursi Mas Sam. Tanganku mengepal kuat sampai bukunya memutih. Wajah menegang melihat pemandangan di depan mata.Di sana, tepat di meja khusus CEO, wanita licik tak tahu malu itu datang lagi dan duduk di samping Mas Sam. Anehnya Mas Sam tidak mengusirnya. Mereka seperti terlibat pembicaraan serius.Kesal, baru kutinggal sebentar ke toilet sudah begini, entah kalau di kantor, apa saja yang diperbuat wanita itu agar selalu dekat dengan suamiku.Tak bisa dibiarkan, aku harus bertindak.Aku berjalan dengan langkah cepat mendatangi mereka. Lalu, "hai! Wanita ganjen! Tak tahu malu. Ngapain lu duduk di samping suami gue? Mau ngerayu? Mau maksa Mas Sam jadiin lu istri kedua, gitu!" Dengan berkacak pinggang dan mata melotot kutatap Hanin tersebut.Hanin
POV AuthorTernyata belum siap aku,Kehilangan dirimu.Belum sanggup untuk jauh darimu.Yang masih s'lalu ada dalam hatiku.Tuhan, tolong mampukan aku.'Tuk lupakan dirinya.Semua cerita tentangnya. yang membuatku s'lalu teringat akan cinta yang dulu, hidupkanku.Ken menghela napas panjang, lalu menghembuskannya. Lagu yang sedang diputar di cafe shopnya, membuat dadanya terasa sesak karena terkenang seseorang. Padahal lagu dari Stevan Pasaribu tersebut sedang hits dan sering diputar di media elektronik."Gas, matikan lagu itu. Putar yang lain saja," titahnya pada pegawainya bernama Bagas, yang kebetulan lewat di hadapannya."Siap Bro!" Ken hanya mengerjap. Ia kembali duduk di pojok kursi sambil mengamati ruangan cafe yang mulai terisi oleh para pengunjung. Cafenya mulai menamp
Semalaman mengurung diri di kamar. Mata sembab dan bengkak. Penampilanku kacau. Ibu ternyata memanggil Kak May. Sebenarnya aku malu, tapi mungkin ada baiknya meminta maaf padanya, siapa tahu rasa sakit ini berkurang. Kami akhirnya bicara dari hati ke hati. Kuceritakan bagaimana Raihan memutuskanku. Kak May bilang dia tidak pernah mendoakan yang buruk untukku. Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu padanya? Kak May benar, inii hanya teguran dari Allah karena perbuatan jahatku. Aku kembali menuturkan kata maaf padanya. Sekarang aku sadar kalau perbuatan kita, entah baik atau buruk pasti akan berbalik ke arah kita kembali. Aku berjanji akan menjadi pribadi yang baru dan tidak akan menyakiti orang lain.***Di kantor, aku bersikap biasa saja. Aku dan Raihan seolah tidak saling kenal. Kami bagaikan orang asing kembali. Kulihat ia malah menjalin hubungan dengan wanita lain, teman satu kantor lainnya, padahal baru bebera
Aku tidak ingin dipenjara. Kenapa perhiasan itu bisa berada di kosanku? Siapa yang sengaja meletakkannya di sana? Pasti Hanin. Bukankah dia yang melaporkanku atas kasus ini?Kak May. Hanya dia yang bisa membantu. Dengan bersuamikan Pak Biru, masalahku pasti teratasi. Kak May tidak mungkin abai.Aku meminta Ibu membujuk Kak May agar mau membantuku. Pasti Kak May tidak akan menolak. Kenapa sulit sekali menjadi orang baik. Baru saja memulai hubungan baik dengan Kak May, sudah ditimpa musibah seberat ini.Beberapa kali melihat ke arah arloji. Tidak terasa sudah dua jam berada di sini. Lelah. Entah sudah berapa pertanyaan mereka lontarkan kepadaku. Hingga tiba-tiba salah satu petugas bilang aku bisa pulang.Aku tercengang. Katanya aku bebas. Laporan untukku sudah dicabut, dan aku boleh pulang. Secepat ini
"Bodoh! Bodohnya aku! Seharusnya kujauhi wanita licik sepertimu. Mana ada wanita baik yang merebut kekasih hati kakaknya. Kenapa aku baru sadar sekarang?""Aku yakin kamu cuma mempermainkanku. Sedari awal kamu yang mendekati, merayuku hingga rela meninggalkan Maysarah dan menyakiti hatinya. Benar kan? Kenapa La? Kenapa tega melakukan semua ini padaku?" tambahnya lagi. Tidak ada tatapan cinta yang kutangkap dari kedua matanya.Akhirnya lelaki di depanku ini sadar juga. Sayang sudah terlambat.'Ayo Mala, bersandiwara lah dulu. Yakinkan Ibram jangan sampai lelaki ini bertindak diluar kuasamu.'"Kamu berkata apa? Jangan berspekulasi yang tidak-tidak tentangku. Kamu salah paham, Mas." Aku mencoba bertahan dengan kepura-puraan ini, meyakinkannya kembali."Aku tidak bisa dibohongi lag
POV NirmalaAku menatap seseorang dari atas ke bawah. Kupindai penampilannya. Masih cantikkan aku. Masih tinggian aku, dan masih lebih aku kemana-mana.Kulihat ia mendekap erat boneka bear kecil yang sudah berwarna kusam. Pasti itu benda kesayangannya.Muncul sebuah ide di kepalaku. "Bu, Mala mau itu," tunjukku pada boneka tersebut. Ibu memandang heran ke arah sosok anak kecil yang berada di hadapanku."Jangan, itu kotor. Mending kita beli yang baru yang lebih besar," bujuk Ibu berbisik di telingaku. Namun aku bersikeras menginginkan boneka yang berada di tangan anak tersebut. Dengan rengekan dan tangisan kerasku, Ibu dan laki-laki dewasa yang sekarang harus kupanggil ayah, akhirnya luluh dan memaksa anak itu memberikannya padaku.***
"Karma apaan? Kamu memangnya dapat karma apa?" tanyaku sedikit kesal setelah ditudingnya begitu."Karma sama kayak Kak May. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya." Nirmala menarik tisu dan menyapu air matanya yang kembali menitik. Wajah sembabnya menandakan ia menangis sudah terlalu lama."Jangan muter-muter jelasinnya. Aku ada kelas hari ini. Dari tadi kamu bilang karma dan karma. Ingat Nir, di dunia ini tidak ada yang namanya karma. Yang ada tabur, tuai. Siapa yang menabur, dia pula yang kelak menuai. Jadi apa yang terjadi denganmu bisa saja akibat perbuatanmu sendiri." Mendengar penjelasanku, Isak tangisnya semakin keras."Kak May benar. Ini semua pasti azab dari Tuhan karena dulu menyakiti Kak May. Raihan meninggalkanku dengan alasan yang sama seperti laki-laki brengsek itu katakan pada Kak May." Ia mengelap air mata yang membasah
Ibu seperti terkejut saat melihatku datang bersama Mas Sam dan ibu mertua. Namun dia tetap mempersilakan kami masuk."May, kok kamu bawa ibu mertua sama suamimu kemari," bisik Ibu saat aku berdiri di sampingnya."Oh, itu kan May bilang mau ke sekolah pas di telepon tadi, dan waktu itu bareng mereka, Bu," bisikku pula. Sepertinya Ibu tidak suka aku datang bersama Mas Sam dan ibu mertua. Nampak sekali dari raut wajahnya."Silakan duduk besan, izin sebentar mau membuat minuman," ucap Ibu ramah mempersilakan Mas Sam dan ibu mertua duduk."Nggak perlu repot Bu, kita cuma mengantarkan May ke sini. May, Ibu sama Sam pergi dulu, nanti biar Mang Diman yang kemari buat antar kamu ke sekolah. Ibu lupa ternyata ada janji sama klien sekarang ini," ujar Ibu sembari menengok jam di pergelangan tangannya dan beralih
"Bu Asri masih menghubungi Ibu. Dia terus mengabarkan keadaan Hanin. Ibu belum membalas apapun pesan darinya. Jadi, menurut kalian, Ibu harus gimana?" Tampak gurat kebingungan menghiasi wajah Ibu.Hubunganku dengan Ibu sudah membaik. Semalam kami bicara dari hati ke hati.Aku dan Mas Sam saling lirik di meja makan mendapati pertanyaan Ibu."Gimana May?" Mas Sam ikutan bertanya."Kok May yang harus jawab. Bu, hubungan Ibu sama Ibu Asri itu urusan Ibu. Kalau beliau meminta dijenguk atau meminta support ya silakan saja Bu. May tidak keberatan. Kecuali Ibu ikut mendukung menikahkan Mas Sam sama Hanin, baru May protes dan tidak setuju," ujarku menjawab kerisauan beliau dengan mendelik tajam ke arah Mas Sam.Mas Sam mengerutkan keningnya kutatap seperti itu.
Sejak naik ke lantai atas, aku tidak turun lagi ke bawah. Mengurung diri di kamar hanya dengan rebahan di atas kasur. Rasa kesal masih menghinggapi relung hati. Aku terus berpikir tentang permintaan gila ibunya Hanin. Seharusnya ibunya berpikir bagaimana cara menyembuhkan sakit jiwanya anaknya, bukan malah menjerumuskan lebih dalam, dengan menuruti semua keinginannya.Suara pintu dibuka, memaksaku menoleh ke arah sana. Mas Sam, ia baru pulang kerja. Aku hanya melihatnya sekilas lalu fokus kembali ke layar ponsel berpura sibuk mengamati isi dalamnya.Saat kami bertaut pandang, tatapan Mas Sam menyiratkan sesuatu. Dia pasti sudah tahu kejadian di ruang tengah dari ibunya. Mungkin juga Ibu cerita tentang aku yang mengabaikannya dengan tidak mau membuka pintu kamar ini saat diketuk. Bukannya tidak sopan, hanya saja aku perlu waktu untuk menenangkan hati yang sempat panas akibat mendengar sebuah per