IBUKU mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Phoenix 23°C, langit cerah, biru tanpa awan. Aku mengenakan kaus favoritku—tanpa lengan, berenda putih; aku mengenakannya sebagai lambang perpisahan. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong parka … eh, tapi ini kisah Bella pada novel Twilight, bukan kisahku.
Hehe, maaf pada Stephanie Meyers karena sudah dengan kurang ajar menyalin paragraf utama novelnya. Tidak bermaksud plagiat, sungguh!
Tentu saja Ibu mengantarku ke bandara … dengan ayah kandungku, bukan ayah tiri. Bandaranya tidak terletak di kota Phoenix, tapi kota Jakarta, Indonesia.
Mengenai benda yang kubawa-bawa … bukan cuma sepotong parka, tapi sekoper pakaian. Lalu, sekoper lagi yang berisi sisa pakaian, buku-buku, dan benda-benda lain yang kupikir penting.
Kemudian, ponsel dan seutas earphone.
Apa yang diharapkan dari seorang gadis berumur delapan belas tahun sepertiku di tahun 2021 ini? Tentu saja harus ada gadget!
Lagipula, kisahku mungkin bakal sedikit berbeda dari Isabella Swan.
Aku terbang dari Jakarta ke Bangka Belitung untuk pindah ke rumah Kakek. Bukan karena ibuku menikah lagi dan berhak menikmati hari-hari bahagianya, bukan.
Ayah mendapat tugas baru di sebuah kota terpencil (atau desa, aku tak ingat), dan Ibu terpaksa mendapat dilema karenanya. Beliau tak bisa jauh-jauh dari Ayah, tetapi juga tak mungkin bisa meninggalkanku di Jakarta seorang diri.
Kenapa begitu?
Orang tuaku selalu saja berpikir bahwa aku masih seorang bayi. Itu murni pendapatku, tapi tak ada yang salah mengenainya. Aku tak boleh bersekolah di luar, jadi, jalan keluarnya hanya satu; homeschooling.
Tidak hanya itu. Aku sangat dilarang keluar rumah sendirian tanpa didampingi salah satu orang tuaku. Aku bahkan tidak boleh bermain ke rumah tetangga atau ke toko sendirian, tak peduli apapun alasannya.
Pernah suatu kali aku membangkang. Diam-diam aku pergi ke sebuah warung kecil di dekat rumah, untuk membeli keperluan pribadi seorang wanita muda, dan sekantong makanan ringan nan menggoda.
Hasilnya? Ayahku marah besar. Ibuku sampai menangis seperti artis kacangan sehingga membuatku agak mual. Setelah itu aku tak berani lagi pergi diam-diam. Orang lain bisa-bisa mengira aku baru saja meledakkan perut buncit seseorang saat melihat bagaimana ayahku marah pada saat itu.
Ayah dan Ibu memanjakan aku semanja-manjanya dengan membelikan apapun yang aku mau. Kasih sayang mereka sungguh sangat tak terkira. Mereka bahkan memperbolehkan aku main media sosial, dengan catatan jangan melanggar norma-norma atau batasan yang ada. Dengan begitu aku tak ketinggalan berita atau trend terbaru sedikit pun dan tetap modis.
Namun, aku masih merasa seperti tahanan khusus berkebutuhan bebas. Hanya punya teman dan tetangga online … sungguh tak bisa dibayangkan.
Selama hampir delapan belas tahun tak boleh jauh-jauh dari gandengan tangan orang tua … kembali ke dilema ibuku sajalah.
Memanfaatkan kebingungan Ibu, maka, di situlah aku mulai berimprovisasi.
“Aku akan ke rumah Kakek,” usulku saat itu.
Kulihat wajah Ayah dengan heran. Ia seperti akan marah lagi. Sedangkan Ibu menarik napas tajam dan menggeleng kuat-kuat.
Ibu berkacak pinggang. “Di sana lebih berbahaya, Barbie!”
Aku merinding mendengar nama panggilan itu. Kucoba untuk menahan lidahku dari mendebat bahwa Ibu boleh memanggilku dengan Barbara, Barb, atau Bara; tapi, tidak dengan Barbie!
Alih-alih, aku malah bertanya, “Kok bisa?”
Ibu mulai berceloteh tentang kenakalan remaja yang sangat mengkhawatirkan dan betapa banyak kebun sawit serta pohon karet di Bangka Belitung—yang sebenarnya tidak ada hubungannya. Ayah menambahkan dengan berlebihan bahwa banyak pelaku kriminal di sana, yang mana aku, putrinya yang berharga, tak boleh dekat-dekat dengan kota mereka.
Sungguh, perkataan mereka membuatku malu sendiri. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku minta maaf kepada pulau Bangka Belitung. Aku sering menonton acara bertema Bangka Belitung, dan pemandangan-pemandangan di sana sungguh luar biasa indah. Kakek sering mengirimkan foto-foto laut dari berbagai daerah di Bangka Belitung, dan tak mungkin aku berkata yang jelek-jelek sementara potretnya jelas sangat menakjubkan.
Mengenai kenakalan remaja dan tingkat kejahatan … kupikir tak ada bedanya dengan wilayah Indonesia yang lain. Jadi, ocehan Ayah dan Ibu benar-benar tidak berguna. Aku tak akan kaget jika mereka dipidana gara-gara menjelek-jelekkan sesuatu tanpa dasar.
“Apa kau dengar, Barbie?”
Ucapan Ibu menyadarkan lamunanku. Ayah bersedekap dengan tampang kesal. Melenceng dari kenyataan, pikiranku tiba-tiba mengocehkan betapa jahat mereka berdua, karena tidak sedikit pun mewariskan wajah menawan mereka padaku. Kutatap mereka sambil mendengus satu kali.
“Kalau begitu, aku punya satu solusi menarik.” Aku ikut bersedekap sambil menyandarkan punggung di sofa yang kududuki.
Ekspresi orang tuaku tampak waspada. Seperti anaknya ini akan minta pistol saja!
“Coba kami dengar,” kata ibuku.
Aku berdeham. “Aku ikut.”
Wajah orang tuaku waktu itu mendadak saja jadi kosong. Kupikir aku melakukan kesalahan … atau tidak?
Tiba-tiba, ponsel Ayah berdering. Setelah Ayah menjawab panggilan telepon itu dan sempat berdebat jarak jauh dengan seseorang yang tampak lebih berkuasa darinya, maka di sinilah aku; beberapa hari kemudian, beribu-ribu kaki di atas permukaan laut, mengendarai burung besi, dalam perjalanan ke rumah Kakek di Bangka Belitung.
Oh, Kebebasan! Sungguh aku menginginkanmu!
Eh … sepertinya dia tidak menginginkan aku. Sial!
—·—·—
Sekitar satu jam atau lebih kemudian, aku sudah berdiri di depan seorang lelaki berpenampilan seperti preman dengan wajah agak berkeriput. Lelaki itu tersenyum secerah langit kota Pangkalpinang setelah memasukkan koper-koperku ke dalam bagasi. Beberapa orang tampak heran dengan kami, seolah tengah menyaksikan adegan preman memalak gadis malang.
Ehem. Aku bukan gadis malang. Kubuat begitu agar kata-katanya berima, itu saja.
“Kakek!” Aku mencak-mencak pada lelaki preman itu. “Kenapa harus pakai baju seperti ini, sih?!”
Kakekku tertawa. Ia membimbingku untuk masuk ke kursi penumpang, lalu ia sendiri masuk ke kursi pengemudi dan menghidupkan mobil Toyota Avanza hitam itu.
“Aku masih berumur lima puluh satu tahun, lho,” kata kakekku berkelakar. “Masih belum tua!”
Aku memberengut saat ia mulai menjalankan mobilnya. “Belum tua … yang benar saja, Kek! Sudah tahu umur, mesti paham keadaan, dong!”
Kakekku pura-pura terluka. “Hei! Wajahku masih terlihat muda! Lihat? Kalau kau mau, aku bisa mencarikanmu nenek baru. Bagaimana?”
“KAKEK!”
Kakek tertawa keras-keras. “Aku cuma bercanda, Bara!”
Diam-diam aku tersenyum karena ia masih memanggilku dengan nama itu seperti yang sudah-sudah.
“Lagipula, aku punya alasan.” Kakek membelokkan setirnya saat melalui tikungan, lalu sekilas mengedipkan mata padaku. “Ada konser D'Masiv nanti malam, dan aku berencana untuk menontonnya. Kau mau ikut?”
Menggiurkan.
“Aku ikut. Tapi, Kek, D'Masiv bukan band musik rock atau yang sangar-sangar,” ujarku datar. “Apa hubungannya dengan band musik pop dengan pakaian preman?”
Kakekku tertawa lagi. “Tidak ada. Cuma kepengin saja. Haha.”
Aku hanya memutar-mutar bola mata tak habis pikir. Aku menguap, dan memutuskan untuk tidur saja. Kata Kakek, perjalanan dari Pangkalpinang ke kota Koba memakan waktu cukup lama. Sekitar satu jam atau lebih … atau kurang … entahlah, lagi-lagi aku tidak begitu ingat. Soalnya, aku sudah keburu tidur.
Saat akhirnya aku terbangun dengan kelopak mata lengket karena belekan, kami sudah tiba di depan rumah bercat putih satu lantai yang sederhana. Rumah itu punya halaman kecil di setiap sisi, dengan beberapa pohon dan tanaman liar yang hidup bebas di kiri-kanannya.
“Nah, selamat datang!” Kakekku tersenyum, kemudian turun dari mobil.
Kakek menyeret kedua koperku memasuki rumahnya dan aku mengikuti dengan perasaan masih mengantuk.
Bagian dalam rumah Kakek juga sama sederhananya. Terdiri dari satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu ruang keluarga, dan satu dapur. Sofa-sofa berwarna merah terang menyakiti mataku saat kami melewati ruang tamu untuk pergi ke kamar tidurku.
Beberapa detik selanjutnya aku baru ingat kalau Kakek menyukai warna merah. Itulah kenapa alat dan perabotan hampir semuanya berwarna merah. Bahkan pigura yang membingkai fotoku saat masih kecil pun berwarna merah juga!
“Kenapa Kakek tidak mengecat rumah dan lantai dengan warna merah juga?” aku menggerutu sebal ke punggung Kakek saat melewati ruang keluarga.
Kakek membalikkan badan tiba-tiba, mengagetkanku. “Aku masih belum punya cukup waktu luang. Tapi, aku sudah membeli cat merah untuk dinding-dinding itu. Aku takut catnya mengering gara-gara terlalu lama diabaikan. Apa aku menyewa orang saja, ya? Dan untuk lantai … aku berpikir akan memesan keramik-keramik berwarna merah juga. Bagaimana menurutmu?”
Aku mendengus. Seharusnya aku tidak mengatakan apa-apa tentang yang merah-merah.
Kakek membuka sebuah pintu “Ngomong-ngomong, ini kamarmu.”
Dengan ragu, aku melongok. Untunglah, warna merah tak merajai kamarku. Sepertinya Kakek tahu kalau aku lebih suka warna netral seperti hitam atau putih.
“WOI, YADI! KELUER KA!” seseorang berteriak.
Terkejut, aku menoleh pada Kakek yang tampangnya berubah datar. Kedengarannya suara itu berasal dari depan rumah.
“MEN DAK KELUER, KUDOBRAK RUMAH IKAK!”
Tanpa memahami maksud teriakan orang aneh di luar, kutatap dengan waswas saat Kakek menemuinya dengan langkah berderap.
Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya malam itu. Kudongakkan kepala dan menatap langit yang mendung. Ayunan dengan kursi bersandar yang kududuki tampak agak bergoyang saat aku membenarkan posisi duduk.Aku tengah berada di Taman Kota Koba … nama yang terpampang, sih, begitu. Tapi, kata Kakek, orang-orang lebih senang menyebutnya alun-alun. Apa pun alasannya, aku sedang tak ingin peduli dengan itu.Lantunan lagu “Jangan Menyerah” yang dibawakan D'Masiv berdentum merdu di telingaku. Namun, hanya itu saja. Aku hanya bisa mendengarkan musik itu tanpa bisa menyaksikannya dengan benar.“Ape-ape ikak ne!”Aku menoleh. Beberapa meter dariku, Kakek sedang bersenda gurau menggunakan bahasa Bangka yang tak kupahami dengan beberapa temannya. Salah satunya adalah seseorang yang sempat berteriak tak keruan di depan rumah tadi siang.Sungguh menyebalkan. Kukira benar-benar ada preman atau apa. Ternyata hanya teman Kakek yan
Saat aku berkata "terserah kalian saja", Ayah dan Ibu akan benar-benar melakukan apa pun yang mereka ingin aku lakukan. Mereka tak pernah mengerti bahwa di balik kata terserah yang kulontarkan, tersembunyi makna "aku ingin didengarkan".Namun, aku tak menyangka Kakek juga akan berlaku sama seperti Ayah dan Ibu.Seringnya aku curhat kepada Kakek lewat telepon sebelum datang ke sini, dan betapa beliau kedengaran sebal serta selalu menghiburku, aku seperti punya pemikiran bahwa Kakek tak akan tega membatasi ruang gerakku. Nyatanya, aku salah.Keesokan hari setelah malam itu, Kakek memperingatkan aku untuk tidak keluar rumah sedikit pun. Ia berangkat jam tujuh pagi untuk pergi ke sekolah sebagai seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP.Sebelum berangkat, ia dengan sangat jelas menyatakan, “Aku akan mengurus semua kebutuhan homeschooling kamu nanti. Diam saja di rumah. Kalau perlu apa-apa, beli saja lewat online. Atau kau bisa titip padaku.&rdquo
Cafe di kota kecil ini sangat berbeda dengan cafe di Jakarta. Meski begitu, tetap saja estetika tampilannya tak mengecewakan. Terutama Cafe Ananda yang kini aku—kami—singgahi.Aku menyesap es kapucino bertabur granula kecoklatan di atasnya dengan perasaan senang. Seorang pemuda merangkap vampir paruh waktu di depanku tengah menatap sekumpulan gadis-gadis bercelana pendek di seberang tempat kami duduk. Gadis-gadis yang sebagian besar mengenakan atasan minim itu cekikikan saat sadar Saga mengawasi mereka.“Yang benar saja.” Saga mendengus ke atas minuman mirip es selasih warna hijau di bawah hidungnya. “Cewek-cewek itu kira aku sedang mengagumi mereka atau bagaimana. Pakaian mereka kekurangan bahan.”Aku tertawa. “Kau ini kolot sekali, Saga. Berapa sih umurmu?”Saga cemberut. “Aku baru berumur satu tahun!”Hampir saja aku menyemburkan cairan espreso susu ke mukanya.“Jangan bila
Selama delapan belas tahun hidup, tak pernah aku merasa seberkeringat ini saat berada di dalam mobil dengan AC menyala. Telapak tanganku sangat lembab dan licin hingga meremas-remas tangan terasa begitu mudah. Aku bernapas dengan berat, seakan oksigen pelan-pelan tersedot keluar dari mobil. Kecemasan dan kekhawatiranku bertambah satu persen setiap detiknya. Aku bahkan tak berani menoleh ke kursi pengemudi di sampingku. Suasana di kendaraan pribadi ini tak lebih baik. Rasanya seolah ada bom rahasia yang siap diledakkan kapan saja. Tubuhku yang terasa dingin di dalam dan panas di luar sama sekali tak membantu. Benar-benar waktu yang tidak tepat untuk masuk angin. Untuk kesejuta kalinya dalam beberapa menit ini, hatiku meneriakkan segala jenis makian untuk Saga si vampir bodoh sepanjang masa, yang kini punya situasi hampir sama sepertiku. Setelah sisa motor Saga dinaikkan ke mobil patroli dan kami digiring masuk ke kendaraan tersebut, kami dibawa ke kantor polisi. Kami pada intinya m
Pikiranku campur aduk. Seperti memasukkan segala jenis minuman ke dalam satu teko air putih; rasanya sungguh tak keruan.Aku memikirkan bagaimana perasaan orang tua kandungku sesaat sebelum mereka menghadapi ajal. Aku memikirkan bagaimanakah hidupku seandainya mereka masih ada.Akankah semua tetap sama? Akankah aku tetap dibatasi? Akankah semua bisa menjadi mudah?Apa yang salah dari menjadi hidup?Air mataku menitik, saat kerinduan ganjil akan keberadaan orang tua kandungku yang entah siapa memenuhi benak. Aku merasa sakit hati kepada sang pembunuh yang telah tega merenggut orang yang seharusnya menjadi panutan dalam hidupku.Dadaku terasa sesak. Pandanganku terus-terusan kabur saking banyaknya air mata yang keluar. Aku menangis dalam diam, mencoba sangat keras agar tak terisak-isak seperti hilang akal.Namun, pada kenyataannya, aku hampir hilang akal.Ibu—ibu angkatku—berkali-kali tampak ingin menenangkanku, tapi bahu in
Seekor babi hutan tampak menyeruduki semak belukar yang meranggas di bawah pepohonan liar. Dari atas pohon sini, aku bisa melihat moncong hewan dengan nama lain celeng itu dengan jelas saat ia mengendus-endus serampangan.Aku mendesah sambil memeluk dahan di sampingku. Enaknya jadi celeng. Mereka tak perlu memusingkan para vampir yang akan mengejarnya sampai ujung neraka sekali pun.Aku terdiam, lalu menghela napas lelah.“Maafkan aku, Leng,” aku bergumam sendiri. “Aku terlalu iri padamu. Kau pasti pernah dikejar-kejar vampir juga gara-gara mereka butuh darahmu … atau tidak?”Aku menatap langit cerah dari balik kanopi pohon. Babi di bawahku tertatih-tatih pergi saat tak menemukan apa-apa di balik daun-daun kering. Langkah empat kakinya menimbulkan bunyi kersak; meningkahi ocehan monyet dan kicau burung di sekitarku.Beberapa hari ini semangat hidupku jadi agak berkurang. Setelah meninggalkan rumah Kakek, aku dan Ibu t
Pikiran pertama yang muncul di benakku adalah: lari! Namun, pikiran itu tercipta setelah kira-kira dua puluh detik lebih lama dari yang seharusnya. Jadi, sepersekian detik sebelum aku memutuskan untuk lari, pemuda itu sudah menghempaskan punggungku ke salah satu batang pohon yang menjulang. Aku berdengap ngeri saat pemuda itu mengunci tubuhku di antara lengannya, menghalangiku untuk kabur. Kucoba untuk mengabaikan aroma tubuhnya yang mirip lemon segar. Tiba-tiba, ia mengendus-endus leherku seperti yang Saga pernah lakukan waktu itu. Pemuda di depanku mengerutkan kening. Ia membiarkan kedua taringnya bersembunyi lagi. Matanya tetap hitam; tak berubah sama sekali. Berbeda dengan Saga. Kedua tangan pemuda itu jatuh ke samping tubuhnya; tak lagi mengurungku seperti semula. Ia mundur selangkah, bersedekap, lalu mengamatiku dari atas ke bawah. “Kukira kau vampir yang mau macam-macam di wilayah kami.” Aku mengerjap. Suaranya dalam, mengingatkanku dengan suara Kang Yeosang dari ATEEZ; gru
Serigala itu menerkamku hingga tubuhku jatuh dan terhempas ke lantai hutan. Namun, cuma itu. Serigala itu mendengking senang dan segera menyingkir dari hadapanku seraya melompat-lompat kecil seperti anak anjing. Seandainya aku punya riwayat penyakit jantung, aku pasti sudah bertemu malaikat tampan yang siap menghukumku di neraka. Kutatap Justin dari bawah. “Apa-apaan itu tadi?!” Aku berdiri dalam satu helaan ringan. Namun, hal selanjutnya yang terjadi membuatku menyesal telah berdiri. Aku berharap masih terkapar di tanah. Kalau bisa pingsan sekalian. Serigala hitam di hadapanku menguap seperti kabut kelabu tebal di pagi hari yang dingin. Tak sampai lima detik, serigala berkabut itu digantikan dengan sesosok pemuda lain sebaya Justin yang berdiri sambil berkacak pinggang. Ia cengar-cengir memandang Justin dan aku. Aku bisa dibilang telah menampar otot lengan Justin dan membuat telapak tanganku panas sendiri. “Dia siapa?” bisikku pada Justin. “Dia cuma sulap, 'kan?” Justin menatap
Saat Hugo meninggalkan aku sendiri di gua, aku kembali berbaring di ranjang batu dengan matras tipis dan selimut apak itu. Mataku nyalang menatap langit-langit gua dengan pikiran kacau dan tak menentu.Pikiran dan memoriku terasa sejernih kristal, mulai dari masa kecil hingga masa kini. Kurang dari sebulan, aku telah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda dengan aku yang sebelumnya: dingin, kejam, tak berperasaan, jahat. Dalam kurun waktu itu pula aku telah membunuh seseorang yang sepertinya sangat aku sayangi sebelumnya: ibuku.Mataku mengerjap-ngerjap. Ada tirai basah yang menutupi mataku, mengaburkan pandanganku untuk beberapa saat. Tenggorokanku tercekat, seakan aku sedang menahan tangis yang jika dikeluarkan akan mampu membuatku seperti anak kecil yang meraung-raung. Namun, ada satu perasaan lain yang menahan semua perasaanku itu.Ketidakpedulian.Aku sedih, terpukul, terkejut akan fakta bahwa dulunya aku hanyalah gadis biasa yang tidak akan mamp
Aku akhirnya terbangun.Aku megap-megap menghirup udara dan tersentak hingga tubuhku setengah bangkit dari tempatku terbaring. Aku terengah-engah, menjatuhkan diri lagi di atas bantal dan memejamkan mata untuk sesaat. Kepalaku begitu pusing, seperti berputar-putar.Aku mulai merasa sudah gila.Semua kilas balik yang kualami tadi benar-benar menguras kewarasanku. Kenapa aku harus mengalami pengalaman orang lain? Tidak hanya sekadar menyaksikan kenangan seperti sebelumnya, namun aku benar-benar mengalaminya; setiap pikiran dan perbuatan mereka, setiap detail yang seharusnya tidak aku tahu.Kenapa?Semua ini membawaku pada sebuah pemikiran yang segera saja kuenyahkan jauh-jauh. Aku tak perlu memikirkan itu lagi jika itu hanya akan membuat otakku menjadi sakit.Aku membuka mata dan mengawasi atap ruangan yang tengah kutiduri. Atap itu seperti bukan atap rumah, tapi … aku terbangun dengan mendadak dan pandanganku seketika menggelap. Aku me
Aku merasa takut karena aku tampaknya mulai terbiasa dengan sensasi tarik-menarik visi ini. Sampai kapan ini akan berlanjut?_________________________Gadis itu menguap. Siapa yang tidak akan bosan jika kau duduk berjam-jam di dalam mobil tanpa kegiatan yang berarti, seperti tidur, misalnya? Ia sudah melempar buku fiksi kesukaannya ke dalam tas, setelah hampir satu jam memelototi benda itu dengan antusiasme yang makin lama makin menghilang. Ia tidak tahu kenapa kemampuannya dalam menewaskan diri di mana dan kapan pun tiba-tiba meluruh. Di saat-saat seperti inilah kejengkelan nyaris membuatnya frustasi; nyaris. Seberapa jauh sebenarnya jarak yang ditempuh untuk mencapai sekolah asrama sialan itu? Satu tahun, mungkin.Ini benar-benar menyebalkan!Aria melirik lelaki berusia empat puluhan tahun yang duduk di balik kemudi dengan sinis. Ia yakin pantat Pak Baga sudah hampir melepuh. Aria sendiri sudah berganti pose duduk setidaknya seju
Pikiranku terbang ke suatu tempat sementara kegelapan itu masih mencoba menggerayangiku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tidak bisa. Mendadak sebuah visi muncul di benakku.Kukira aku sedang tertidur, tapi ternyata tidak. Aku terbangun. Aku tidak tahu apakah aku kini sedang bermimpi, masih di dalam halusinasi akibat perbuatan Reksa, atau bahkan sudah sadar dan entah bagaimana menjadi gila.Aku merasakan tubuhku terbaring di atas tempat tidur. Terbaring … begitu saja. Mataku bergerak menatap dinding ruangan yang tampaknya terbuat dari papan.Aku merasakan sedikit kepanikan karena aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Kucoba untuk bernapas dengan hembusan teratur dan memejamkan mata; berkata pada diri sendiri bahwa ini bukanlah apa-apa, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, mendadak detak jantungku meningkat, bagaikan palu yang bertalu-talu, memukul paku yang terlalu bebal untuk menembus sebuah papan. Perasaan ini bukan perasa
Aku tanpa sadar telah mundur beberapa langkah saat Reksa si iblis berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Udara panas bagaikan memenuhi kamar dan membuat napasku menjadi sesak. Namun, aku bisa menahan rasa panas itu, meski tetap saja aku kewalahan untuk menarik oksigen dari hidungku.Sosok iblis itu berwarna merah kehitaman, secara harfiah menyala-nyala bagaikan jilatan api. Kedua matanya berbeda warna; yang satu hitam dan yang lain merah. Yang membuatku cukup terkejut adalah kepala dan tinggi tubuhnya.Iblis dalam bayanganku adalah sosok serba merah atau serba berapi dengan kepala plontos dan dua tanduk kecil, serta bertubuh besar dan sangat tinggi. Namun, iblis di depanku ini tidak botak, melainkan berambut gondrong seperti rambut genderuwo pada umumnya. Meskipun ia masih sesuai bayanganku, yaitu menyala-nyala, tapi ia tidak sangat tinggi atau sangat besar. Tinggi dan besar tubuh iblis itu kurang lebih sama saja seperti para pemain basket.Reksa si iblis menc
Aku tak tahu apakah aku pernah mengharapkan akan mengalami semua kejadian yang melibatkan makhluk-makhluk mitos seperti vampire dan manusia serigala, tapi yang pasti aku merasa menyesal sudah mengenal dunia ini.Aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri. Siapa aku, di mana aku seharusnya berada, apa aku; pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sangat normal dan mudah, tapi hidupku yang kacau menyulitkan segalanya, bahkan yang paling sepele sekali pun.Aku mencoba tetap sadar dengan memikirkan hal-hal semacam ini di kepalaku, sementara Hugo ….Beberapa dari kalian pasti akan mengira bahwa gerakan Hugo pasti akan sangat terbatas sekali mengingat betapa parah kondisi lengannya. Namun, nyatanya justru sebaliknya.Hugo melesat begitu cepat, tepat setelah aku menggertaknya karena dia berani mengancamku.Ancamannya tidak main-main dan aku sebetulnya tidak terkejut dengan itu, tapi kecepatan gerakannya adalah hal lain. Sesaat sebelumnya ia tampak begitu
“Katakan padaku bahwa memori-memori yang kudapat saat itu tidak benar, Hugo!” aku membentak dengan suara dalam dan bergema; suara wujud serigalaku.Hugo mendengkus seraya mengangkat kedua tangannya, lalu mengangkat bahu. “Kau mau aku mengatakan apa, Barbara? Bahwa itu semua tidak benar dan kau seharusnya tidak mempercayai bocah vampire itu?” ia menyeringai. “Karena aku punya keyakinan yang kuat bahwa kau mulai mempercayai entah apa yang sudah kau alami di dalam bangsal itu.”Emosiku tiba-tiba memuncak dan aku bergerak begitu cepat, lebih cepat dari kedipan mata, menerjang lelaki dengan bekas luka di pipi itu hingga kami menabrak dinding batu kamarku. Kupikir aku berada di atas angin, namun nyatanya Hugo mampu menyerangku balik dengan melemparkan badanku hingga aku terhempas ke atas tempat tidur.Napasku tersentak keluar dengan tajam. Aku mendengar suara kayu dari tempat tidur yang memprotes karena berat tubuhku yang jatuh memb
Aku kembali ke kamar setelah kepergian Saga … siapa pun dia. Aku memeluk diriku sendiri dengan sikap seperti anak kecil yang kehilangan ibunya, atau mungkin akan lebih tepat: kehilangan kewarasan. Aku memegangi kepalaku, lalu berbaring miring, meringkuk seperti anak kecil.Aku mengingat semuanya, tepat setelah kenangan aneh menarikku dari kenyataan saat … setelah aku melukai bahu Saga. Aku mengingat bagaimana Hugo membawaku secara paksa dengan memanfaatkan seorang cowok bernama Arga. Aku ingat bagaimana lelaki dengan bekas luka itu mengancam Arga dengan pistol hingga aku terpaksa ikut dengannya.Aku juga ingat tentang … aku menutup mata, mencoba mengatakan satu kata itu, terasa sangat berat meskipun hanya dalam hati.Dad.Hanya ayah angkat, tapi aku teringat betapa aku menyayangi dia. Lalu, Mom.Aku menangis, benar-benar menangis. Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat hingga kuku-kukuku yang tak terlalu panjang menyakiti tel
Kesakten Vampir Segawon.Kata-kata itu bagaikan memenuhi pandangan Hugo yang tengah membuka buku tua itu, membacanya dengan ketidaksabaran yang semakin melunjak. Ketiga kata itu jika diartikan secara harfiah berarti Kekuatan Sakti Vampir Serigala, atau kekuatan sakti wolvire. Isinya tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang wolvire, dalam hal ini tentu saja wolvire biasa.Emosi Hugo semakin menjadi-jadi saat pada salah satu bagian di buku itu menjelaskan bahwa gigitan wolvire yang dalam bentuk serigala kepada vampir lebih mematikan daripada gigitan atau cakaran wolf-shifter biasanya. Begitu pula sebaliknya, jika wolvire sedang dalam bentuk vampir, maka gigitannya pada wolf-shifter juga akan lebih mematikan dari vampire biasa.Namun, itu tidak berlaku pada wolvire bernama Barbara.Hugo membanting buku tentang wolvire itu ke lantai dengan kuat, merasa sangat marah pada dirinya sendiri dan juga pada gadis istimewa itu. Reksa, sang raja iblis