RAJA terduduk di sofa lusuh, seraya menatap penuh tanya amplop berwarna cokelat yang saat ini ada di pangkuannya. Ada debaran yang tak wajar di dalam sana, saat akan membukanya. Sungguh, entah apa isi di dalam amplop yang tebal ini, hingga membuat keringat dinginnya merebak keluar.
Raja tercengung, tangannya bergetar ketika menemukan sepucuk surat dan juga uang di dalam amplop tersebut. Uang yang jumlahnya tidaklah sedikit, sehingga berkali-kali netranya mengerjap tak percaya.
Raja meletakkan uang tersebut di atas meja. Kemudian, tanpa buang waktu, ia membuka surat dan membacanya.
"Hai katak ....
Kenapa kau bersembunyi? Kau tahu? Aku jadi sulit untuk menemukanmu. Tapi, bukan Wolf, jika aku tak bisa menemukan keberadaanmu saat ini.
“Dari postur tubuh tegap yang kulihat kemarin, aku rasa dia itu cowok, Py.”Di tengah jadwal kosong pelajaran, Always tak ingin membuang waktu seorang diri hanya dengan mendengarkan musik saja. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya kepada Happy. Oleh sebab itu, saat ini ia duduk di samping cewek itu, dan telah menceritakan semua, perihal seseorang yang diduga adalah Wolf, yang ditemuinya kemarin siang.Happy yang sedari tadi mendengarkan cerita Awes, mengernyit bingung. Bukankah Wolf yang diceritakan oleh Arvin dan cowok di hadapannya itu, ialah seorang cewek? Tapi, kenapa Awes malah bilang jika Wolf adalah cowok?“Kamu yakin, Wes, kalau orang itu cowok?” tanyanya, meyakinkan sekali lagi si cowok hitam manis itu.Awes mengangguk mantap. Ia begitu yakin jika kedua netranya tak pernah salah dalam menilai seseorang. Pun, ia yakin bahwa Wolf yang dilihatnya pada kamera CCTV, ialah seorang cewek. Bukankah selama in
"Pada waktunya, kebenaran akan terungkap, walau hanya menyisakan gelora lara yang mendekap. Pun, alam raya diciptakan dengan keseimbangan yang dinamis, hingga akan ada pelampiasan yang bisa dilakukan atas tiap-tiap perbuatan." Wolf¤¤¤¤“Jadi, maksud kamu, Wolf ... punya komunitas?” tanya Awes tak percaya, yang hanya dianggukan saja oleh Happy.Namun, tak lama kemudian, kedua manik mata Awes menangkap orang yang ditunggunya keluar dari pintu gerbang sekolah SMU Juara. Kali ini, Awes melihat sebuah kardus besar yang diikat pada jok belakang sepeda motor orang itu. Ia menduga bahwa sang pemilik motor telah meninggalkan benda tersebut, sehingga memilih kembali ke sekolah untuk mengambilnya.Tanpa buang waktu, Awes segera berlari m
ALWAYS mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan lambat, saat memasuki sebuah komplek perumahan elit yang berada di daerah Menteng, Jakarta. Tujuannya, ialah mencari alamat yang tertera pada kartu nama yang diberikan oleh Leo kemarin.Kini, Awes celingukan, merasa tak asing dengan daerah perumahan ini. “Sepertinya aku pernah melewati jalan ini deh, Py,” beritahunya kepada Happy.“Kamu yakin, Wes?”Awes melenggut. “Iya. Seingat aku, aku pernah mengantar customer-ku ke daerah sini.”Happy pun hanya menganggukkan kepala. Kemudian, mereka berdua kembali fokus untuk mencari nomor rumah yang akan dituju. Terlalu sepi, sehingga mereka tak bisa menemukan seseorang untuk ditanyai. Pun, jalan dua arah yang cukup lebar, membuat mereka kesulitan untuk mencari.Happy menolehkan kepalanya ke kanan, ketika netranya tak sengaja melihat seseorang yang dikenalinya. Ia mengerutkan ken
“Kamu Always, kan?”Awes menoleh ke arah tangga yang ada di samping kanan, ketika kedua telinganya mendengar suara seorang wanita yang memanggil namanya. Kini, netranya mendapati wanita itu yang sedang menuruni anak-anak tangga dengan cukup hati-hati.Wanita itu tersenyum, dan berjalan ke arah Awes saat telah menginjakkan kakinya di lantai dasar. Sedangkan Awes, mengerutkan keningnya samar. Ia merasa pernah berjumpa dengan wanita tersebut. Tapi … siapa dan di mana?Kini, Awes berusaha untuk mengingat, hingga benaknya berhasil menembus batas waktu beberapa bulan yang lalu, di mana dirinya tengah menjemput salah seorang customer-nya yang sedang hamil.“Dengan Mbak Shasa?” tanya Awes kepada seorang wanita yang sedang hamil di depannya.
“Orang munafik selalu ingin tampak tak bersalah, selalu suka memutar balikkan keadaan, selalu ingin tampak seolah-olah bermaksud baik. Dan tak pernah ingin menghadapinya ketika berurusan dengan s
Lima bulan sebelumnyaDi dalam kamar nun luas, dengan dominasi cat berwarna putih, Wolf duduk di depan meja belajar, seraya memainkan sebuah bolpen yang terselip di antara jari-jemarinya. Ia tengah menatap selembar kertas yang berisikan tiga nama korban, yang sengaja diberi nama ‘My Pets’. Pasalnya, memang seluruh korbannya adalah seorang manusia yang memiliki sifat yang sama seperti binatang, yang saat ini telah dianggapnya sebagai hewan peliharaan.Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka tak sedikit pun mau saling menghargai atau berbagi dengan satu sama lainnya. Bukankah, binatang saja yang tak memiliki akal dan pikiran, mau saling berbagi? Lantas, kenapa mereka para manusia yang dikarunia akal sehat malah tak memiliki hati nurani?Wolf tersenyum. Sudah ada dua nama yang ditandai dengan ceklis di samping nama para korbannya. “Arvin? Kenapa aku bisa lupa untuk memberikanmu sebuah julukan dan pesan? K
HARI ini mendung, sedikit berangin. Awes terduduk di kursi terdepan yang merupakan milik Yoga. Satu-satunya kursi yang sudah lama tak berpenghuni, semenjak ditinggal pergi oleh sang pemiliknya.Awes menopang kepala dengan tangan kiri, seraya menatap gumpalan awan berwarna kelabu. Tak ada rasa sedih, amarah, maupun sebuah letupan emosi. Hanya rasa hampa yang saat ini menemani. Ia merenung dan mengingat kembali kebersamaan dengan kedua sahabatnya. Hingga, tak sadar jika sebuah senyum telah terbit di sudut bibir, ketika mengingat kenangan indah itu.Berbeda halnya dengan Happy yang berada di seberang kiri Awes, cewek itu tampak begitu gusar. Hampir beberapa menit ia menunggu panggilannya terangkat. Sayangnya, sama sekali tak ada tanda suara dari Arvin yang mengangkat panggilannya. Apakah sesuatu telah terjadi kepada Arvin, hingga cowok itu tak mengangkat panggilan darinya? Mendadak, Happy merasa takut sendiri.P
Satu bulan sebelum penangkapanDi depan meja belajarnya, jari-jemari Arvin tengah menari-nari indah di atas secarik kertas. Sebuah pesan akan rahasia besar yang selama ini ditutupi, akhirnya akan disampaikannya melalui surat yang akan diberikan oleh sang Burung Surga.Hai, apa kabarnya Burung Surgaku?Burung surga atau burung cendrawasih adalah julukan yang pantas untuk
Dua Tahun Kemudian“Hai, mata raishuu.” (Ya, sampai bertemu minggu depan)“Hai, arigatou gozaimasu,” (Ya, terimakasih banyak) sahut seluruh mahasiswa kepada sensei yang telah memberikan ilmunya kepada mereka. Setelah itu, para mahasiswa pun segera merapikan buku-buku mereka, dan memasukkannya ke dalam tas.Begitu pula Arvin, cowok itu memasukkan semua buku-buku yang bertuliskan huruf campuran antara Kanji dan Hiragana pada sampul, yang berserakan di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Setelah itu, segera beranjak dari duduknya dan melangkahkan kedua kakinya keluar kelas.Setengah berlari, Arvin menyusuri koridor Kampus yang masih ramai oleh para Mahasiswanya. Sekilas, ia menilik ke arah arloji di pergelangan tangannya. Masih ada waktu satu jam untuk b
DI TERAS sebuah rumah mewah bak istana. Berjejer tiga buah motor sport ninja dengan bermacam-macam warna, seperti: merah, hitam dan biru. Pun, sebuah nomor plat unik tertempel pada motor ninja berwarna biru. Sebuah plat nomor yang bertuliskan B 390 LU.Beralih dari sana, di sebuah kamar nan luas. Puluhan miniatur sepeda motor balap tampak tersimpan rapi pada dua rak lemari dengan kaca yang melapisi. Pun, sebuah jaket berwarna hitam dengan lambang Wolf tergantung pada lemari pakaian yang terletak di sebelah kanannya. Sedangkan, sang pemilik benda-benda tersebut terduduk di atas lantai yang beralaskan karpet rasfur berbulu tebal, sembari menonton tayangan berita di TV.“Sungguh, sekarang saya menyesal. Akibat perbuatan saya pula, kini karir Mamah berada
“Tuhan tengah menghukummu dengan kacaunya perasaan. Tuhan juga tengah menghukummu, dengan berbagai cobaan. Dan, mungkin ini adalah hukuman yang pantas untukmu jadikan perubahan.”¤¤¤¤
RAJA mematut diri di depan cermin. Menyisir rambut hitam pekat, lalu memberikannya sedikit pomade. Ia tersenyum, melihat tatanan rambutnya yang saat ini telah tampak rapi. Kemudian, ia langsung mengambil jaket berwarna biru bertuliskan ‘Ojolali’ yang disangkutkan pada dinding, dan juga tas selempang hitam kecil. Setelah itu, melangkahkan kedua kakinya keluar kamar. Untuk mengawali minggu pagi, dengan mengais rezeki.“Ja! Jangan lupa matikan TV kalau mau berangkat! Mamah masih di dapur. Kemarin, mamah jenguk papah di penjara. Papah minta dimasakkan ayam goreng,” beritahu Renata dengan setengah berteriak, seraya menggoreng ayam yang telah dibumbuinya.Raja menutup pintu kamarnya. Ia menggeleng, ketika melihat TV di ruang tamu yang masih menyala tanpa ada seseorang yang menontonnya. Pemborosan. Itulah yang terpikirkan di benaknya saat ini. Ditambah lagi, acara tentang gosip selebriti yang sedang tayang, membuatnya berdecak keci
Satu bulan sebelum penangkapanDi depan meja belajarnya, jari-jemari Arvin tengah menari-nari indah di atas secarik kertas. Sebuah pesan akan rahasia besar yang selama ini ditutupi, akhirnya akan disampaikannya melalui surat yang akan diberikan oleh sang Burung Surga.Hai, apa kabarnya Burung Surgaku?Burung surga atau burung cendrawasih adalah julukan yang pantas untuk
HARI ini mendung, sedikit berangin. Awes terduduk di kursi terdepan yang merupakan milik Yoga. Satu-satunya kursi yang sudah lama tak berpenghuni, semenjak ditinggal pergi oleh sang pemiliknya.Awes menopang kepala dengan tangan kiri, seraya menatap gumpalan awan berwarna kelabu. Tak ada rasa sedih, amarah, maupun sebuah letupan emosi. Hanya rasa hampa yang saat ini menemani. Ia merenung dan mengingat kembali kebersamaan dengan kedua sahabatnya. Hingga, tak sadar jika sebuah senyum telah terbit di sudut bibir, ketika mengingat kenangan indah itu.Berbeda halnya dengan Happy yang berada di seberang kiri Awes, cewek itu tampak begitu gusar. Hampir beberapa menit ia menunggu panggilannya terangkat. Sayangnya, sama sekali tak ada tanda suara dari Arvin yang mengangkat panggilannya. Apakah sesuatu telah terjadi kepada Arvin, hingga cowok itu tak mengangkat panggilan darinya? Mendadak, Happy merasa takut sendiri.P
Lima bulan sebelumnyaDi dalam kamar nun luas, dengan dominasi cat berwarna putih, Wolf duduk di depan meja belajar, seraya memainkan sebuah bolpen yang terselip di antara jari-jemarinya. Ia tengah menatap selembar kertas yang berisikan tiga nama korban, yang sengaja diberi nama ‘My Pets’. Pasalnya, memang seluruh korbannya adalah seorang manusia yang memiliki sifat yang sama seperti binatang, yang saat ini telah dianggapnya sebagai hewan peliharaan.Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka tak sedikit pun mau saling menghargai atau berbagi dengan satu sama lainnya. Bukankah, binatang saja yang tak memiliki akal dan pikiran, mau saling berbagi? Lantas, kenapa mereka para manusia yang dikarunia akal sehat malah tak memiliki hati nurani?Wolf tersenyum. Sudah ada dua nama yang ditandai dengan ceklis di samping nama para korbannya. “Arvin? Kenapa aku bisa lupa untuk memberikanmu sebuah julukan dan pesan? K
“Orang munafik selalu ingin tampak tak bersalah, selalu suka memutar balikkan keadaan, selalu ingin tampak seolah-olah bermaksud baik. Dan tak pernah ingin menghadapinya ketika berurusan dengan s
“Kamu Always, kan?”Awes menoleh ke arah tangga yang ada di samping kanan, ketika kedua telinganya mendengar suara seorang wanita yang memanggil namanya. Kini, netranya mendapati wanita itu yang sedang menuruni anak-anak tangga dengan cukup hati-hati.Wanita itu tersenyum, dan berjalan ke arah Awes saat telah menginjakkan kakinya di lantai dasar. Sedangkan Awes, mengerutkan keningnya samar. Ia merasa pernah berjumpa dengan wanita tersebut. Tapi … siapa dan di mana?Kini, Awes berusaha untuk mengingat, hingga benaknya berhasil menembus batas waktu beberapa bulan yang lalu, di mana dirinya tengah menjemput salah seorang customer-nya yang sedang hamil.“Dengan Mbak Shasa?” tanya Awes kepada seorang wanita yang sedang hamil di depannya.