Amartya membuka matanya dan merasakan pusing yang hebat. Kepalanya serasa dipukul oleh seratus palu di saat yang bersamaan membuat Amartya yang baru membuka kedua matanya tidak sanggup bangkit dari tidurnya.
Butuh waktu sekitar setengah jam bagi Amartya untuk bangkit dari tidurnya dan duduk di pinggir ranjangnya.
Apa yang terjadi padaku kemarin?
Amartya berusaha mengingat – ingat apa yang dilakukannya kemarin hingga kepalanya terasa begitu menyakitkan. Beberapa penggalan ingatan secara samar mulai muncul di dalam kepala Amartya.
Sial. . . Lain kali, aku harus menjauhkan diriku dari minuman keras. Atau setidaknya aku hanya akan minum beberapa gelas saja.
Amartya mengumpat kesal kepada kebodohan dirinya sendiri.
Tok. . . tok. . .
Suara ketukan pintu membuyarkan pikiran Amartya yang sedang kesal kepada dirinya sendiri. Dengan segenap kekuatannya, Amartya mengeluarkan suaranya berta
Rajendra menatap Eesha dengan tatapan tidak percaya.“Jadi. . . Bundamu sudah menceritakan hal itu kepadamu?”Eesha menganggukkan kepalanya sembari membersihkan mulutnya dengan tisu ketika kotak makanan di hadapannya telah habis dilahap. Eesha mengambil kopi yang dibawakan Rajendra untuknya dan meminumnya sebelum memberikan penjelasan kepada Rajendra yang memberikan tatapan tidak percaya ke arahnya.“Bunda sudah memberitahukan hal itu kepadaku, Paman. Karena suatu alasan akhirnya Bunda mengungkapkan kisah cinta masa lalu kepadaku semalam. . .”“Lalu bagaimana menurutmu, Eesha?”“Apanya yang bagaimana, Paman?” Eesha menatap heran ke arah Rajendra.“Kisah masa lalu Bundamu. . . bagaimana menurutmu?”“Aku hanya bisa mengatakan bahwa nasib pria bernama Varron Arvind adalah tragis. Karena tindakan beberapa orang di masa lalu yang men
Ravindra bergegaspergi meninggalkan Eila, Ibu Eesha di depan rumahnya setelah baru saja mengantarkan Ibu Eesha dari rumah sakit tempat bunda Eesha menjalani perawatan. Sama seperti sebelumnya, Eila menjaga dan menemani Ishya di siang hari sedangkan Eesha menemani Ishya di rumah sakit di malam hari. Karena itulah setiap pagi dan malam hari, Amartya bertugas mengantarkan Eila pulang dan pergi dari rumah sakit ke rumahnya mengingat usia Eila yang sudah jauh dari kata muda lagi.Tugas tambahan ini diberikan oleh Amartya, Tuannya yang sangat menyayangi keluarga kecil yang hanya berisi tiga wanita di dalamnya. Tiga wanita yang mengalami kejadian pahit yang sama di masa lalu.Begitu menerima panggilan yang sama seperti malam sebelumnya, Ravindra dengan tergesa – gesa berpamitan kepada Eila dan segera menginjak pedal gas mobil kerjanya menuju lokasi dari orang yang baru saja memanggilnya. Dan begitu sampai di lokasi, pemandangan yang sama dilihat oleh R
Pagi hari, Rajendra sudah menerima banyak panggilan pada ponsel miliknya. Beberapa panggilan penting yang tidak bisa ditolak membuat Rajendra yang masih dalam keadaan mengantuk berat, mau tidak mau bangkit dari tidurnya. Dengan mata yang masih setengah tertutup, Rajendra membersihkan dirinya dalam waktu singkat dan mengambil pakaian bersih yang mampu diraih oleh tangannya dalam waktu singkat. Dalam waktu kurang dari satu jam, Rajendra sudah berada di lokasi TKP. “Apa yang terjadi?” tanya Rajendra kepada salah satu bawahannya. “Selamat pagi, Pak. . .” bawahan itu memberikan salam kepada atasannya. “Tadi pagi, kami menerima panggilan yang mengatakan ada penemuan mayat di sekitar jalanan ini.” “Kondisinya?” Rajendra bertanya dengan singkat. “Sama seperti korban sebelumnya.” “Perkiraan waktu kematiannya?” “Diperkirakan pukul 8 malam hingga pukul 12 malam. . .” Rajendra memasang peli
“Jadi. . . kamu memberiku tanda khusus?” tanya Nanda yang tidak percaya dengan apa yang baru saja Eesha ucapkan padanya. Eesha menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Ya, aku memberimu tanda. . .” Nanda hendak tersenyum namun dengan cepat menyembunyikan senyumannya dan justru memasang ekspresi heran di wajahnya. “Kamu memberiku tanda di mana tidak semua gadis bisa melihatnya. . .bagaimana mereka bisa tahu bahwa aku adalah kekasihmu?” Tanpa mengucapkan apapun sebagai jawabannya, Eesha dengan cepat merangkul lengan Nanda dan memeluknya dan sedikit tersipu malu. “Apakah seperti ini cukup?” Melihat lengannya dirangkul oleh Eesha, Nanda yang sempat menyembunyikan senyumannya kini tidak bisa lagi menahan senyuman di wajahnya. “Baiklah. . . baiklah, Nona yang cantik ini menang. Tanda yang kamu berikan sudah lebih dari cukup. . .” Nanda tertawa kecil menahan dirinya yang tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan Ee
Pemandangan laut yang biru dan suara ombak terlihat dan terdengar oleh Eesha.Siapa yang sangka keinginan lama di masa lalu butuh dua puluh tahun lamanya agar terwujud. . . Suara pintu terbuka terdengar oleh Eesha. Dengan segera Eesha menolehkan kepalanya dan mendapati pintu mobil tempatnya duduk sudah terbuka. Nanda sudah berdiri di depannya dengan mengulurkan tangan ke arah Eesha.“Kamu tidak ingin turun dari mobil?” tanya Nanda.Eesha melepas safety beltnya dan tersenyum melihat Nanda, “Tentu saja aku ingin turun dari mobil.”“Kukira kamu tidak suka dengan laut. . .”Eesha kemudian mengulurkan tangannya di atas tangan Nanda. Dengan dibantu oleh Nanda, Eesha turun dari mobil.Setelah menutup pintu mobil, Nanda mengajak Eesha berjalan ke dekat air laut yang datang tanpa melepaskan genggaman tangannya di tangan Eesha.“Kenapa kamu m
Setelahhampir seharian bermain dengan Eesha, Nanda mengantarkan Eesha kembali ke rumahnya dengan selamat. Begitu sampai di depan rumahnya, awalnya Eesha berniat untuk membawa Nanda masuk ke dalam rumahnya dan mengenalkan dirinya kepada dua ibu Eesha secara resmi sebagai kekasih Eesha. Tapi, Nanda menolak dengan alasan lamanya hubungan di antara mereka yang masih belum lama.Setelah berhasil membujuk Eesha, Nanda kemudian menginjak pedal gas mobilnya dan melaju meninggalkan Eesha yang menatap kepergiannya di depan rumah Eesha. Nanda mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang lumayan kencang menuju kembali ke cafe tempatnya bekerja.Begitu tiba di cafe, Nanda sudah disambut oleh beberapa penggemarnya yang merupakan pelanggan tetap di cafe tempatnya bekerja. Tidak butuh waktu lama, Nanda langsung bersiap – siap menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikannya untuk menghibur pengunjung cafe yang sudah menunggu kehadirannya.Nanda mengambil g
Nanda menggaruk kepalanya lagi dan tersenyum, “Kami adalah teman baik, kami berteman selama sepuluh tahun. Karena hubungan kami, dia memberiku pekerjaan ini. Semua staf di sini adalah teman, awalnya.” “Aku bisa melihatnya, hubungan kalian terlihat cukup baik.” Nanda kemudian berjalan ke mesin pembuat kopi di meja di dekat pintu ruangan tempatnya berada, “Paman ingin minum sesuatu?” “Black coffee. . .” Dalam waktu lima menit, Nanda telah menyiapkan dua gelas minuman dan memberikan salah satunya kepada Rajendra. “Kopi hitam untuk Paman.” Nanda mengambil kursi di depan Rajendra dan duduk di hadapan Rajendra. Sembari meminum minumannya, Nanda bertanya kepada Rajendra, “Jadi ada apa Paman datang menemuiku?” “Ini soal Eesha. . .” Rajendra baru saja menyebutkan nama Eesha dan belum menyelesaikan kalimatnya. Dengan cepat, Nanda memotong kalimat Rajendra. Raut wajah Nanda yang tadinya santai kini berubah menj
Rajendra tiba di kantornya dan melihat semua anak buahnya sedang sibuk menyusun dan memilah semua data yang diperintahkan oleh dirinya.“Bagaimana?” tanya Rajendra kepada asistennya yang sedang sibuk menyusun ulang semua data yang ada.“Mohon maaf, Pak. Karena permintaan Bapak yang sedikit mendadak, kami semua sedang menyusun ulang dan mengumpulkan semua bukti permintaan Bapak. Masing – masing dari kami masih mengumpulkan lagi semua rekaman cctv yang berhubungan dengan korban. Kami juga mulai memeriksa ulang, data panggilan di ponsel korban selama sebulan sebelum korban ditemukan tewas.”“Aku mengerti. . . permintaanku ini pasti menyulitkan semuanya. Tapi. . . ini harus dilakukan. Bisakah kamu ikut ke ruanganku sebentar?”Asisten Rajendra meletakkan semua bahan penyelidikannya dan mengikuti Rajendra masuk ke ruangannya.“Ada apa, Pak?”tanya asisten Rajendra ke
Eesha dan Rajendra yang mendengarkan ucapan Nanda berharap hati Ravindra dapat tersentuh dan menghentikan niatnya untuk membunuh Nanda. Namun ucapan Nanda sepertinya tidak menyentuh hati Ravindra seperti harapan Eesha dan Rajendra. “Kau berbohong padaku, Kiran!” Ravindra meraih pisau miliknya yang sempat terlempar dan langsung mengarahkannya ke leher Nanda. “Kau bohong!”“Aaaaaaaaaaa” teriak Eesha melihat pisau yang mengarah ke leher Kiran dan perlahan melukai leher Kiran. Dalam waktu singkat, cairan berwarna merah kemudian mengalir dari leher Kiran dan membuat Eesha semakin histeris ketakutan. “Ravindra, stop!”“Berhenti Ravindra!” Rajendra yang tadinya sudah menurunkan pistol miliknya kemudian mengarahkan pistol miliknya kembali ke arah Ravindra dan menarik pengaman pada pistol miliknya. Rajendra kini sudah bersiap menarik pelatuk pistolnya dan bersiap
Dengan tubuh yang masih dalam keadaan lemah karena obat bius dari Ravindra, Eesha mencoba bangkit dari kursi rodanya dan menjauh dari Nanda dan Ravindra – sesuai dengan perintah Rajendra. Dengan susah payah, Eesha akhirnya bisa berjalan menjauh. Sementara di sisi lain, Nanda dan Ravindra masih terus memukul satu sama lain dan berpindah-pindah tempat dengan sehingga membuat Rajendra yang ingin menjatuhkan Ravindra berulang kali merasa ragu karena takut adalah Nanda. “Paman, jangan menembak!” Eesha berteriak kepada Rajendra sembari berlari ke arah Rajendr
“Jadi semua yang kamu lakukan, semua pembunuhan itu karena Amartya?” tanya Rajendra tidak percaya. “Apa hubungan Amartya dengan pembunuhan-pembunuhan yang kamu lakukan? Kenapa Amartya, anak yang polos itu kamu jadikan alasan untuk pembunuhanmu itu?” Ravindra tersenyum sembari mendorong kursi roda di mana Eesha masih tidak sadarkan diri dan membawanya duduk di dekatnya. “Karena Tuanku itu terlalu polos, Tuanku hanya melihat Eesha seorang saja. Meski tahu Eesha hanya akan menunggu Kiran kembali, Tuanku masih setia untuk berada di sisi Eesha – sama seperti yang aku lakukan untuk ayah angkatku. Dan wanita-wanita yang jadi korbanku itu adalah wanita yang tidak tahu malu dan berusaha untuk membuat Tuanku berpaling. Aku benci dengan penganggu seperti mereka.”Rajendra menganga mendengar penjelasan di balik alasan pembunuhan yang dilakukan oleh Ravindra.“Kau benar-benar tidak bisa dipercaya. Alasa
"Di mana Eesha?" teriak Rajendra.“Paman benar-benar tidak sabaran sekali,” balas Ravindra. “Tidakkah Paman tidak melihat pertemuan mengharukan antara aku dan Kiran?”Rajendra terkejut mendengar ucapan Ravindra. Dia seperti orang yang berbeda. Ravindra yang selama ini saya kenal sebagai asisten Amartya adalah orang yang diam, penurut dan tidak banyak bicara. Tapi Ravindra yang sekarang berdiri di hadapanku terasa seperti orang yang b
“Sandera??” Rajendra yang terkejut mendengar penjelasan Nanda, nyaris saja membuat dirinya bersama dengan Nanda celaka. Tanpa sadar, Rajendra menginjak pedal rem dan membuat mobilnya berhenti dengan tiba-tiba.“Apa yang Paman lakukan?” teriak Nanda yang terkejut dan nyaris saja membenturkan kepalanya ke dashbor mobil milik Rajendra. Nanda langsung menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat bagian belakang mobil. Nanda langsung menghela napas lega, begitu menyadari jika di belakang mobil milik Rajendra tidak ada kendaraan lain. “Syukurlah di belakang jalanan sedang sepi, kalau tidak kita bi-““Ya, aku tahu. Tindakan tadi bisa menyebabkan kecelakaan beruntun karena tiba-tiba menginjak pedal rem dan membuat mobil berhenti tanpa aba-aba.” Rajendra mengusap keringat dingin di keningnya sembari menginjak pedal gas mobilnya lagi. Mobil melaju lagi dengan sedikit perlahan. “Maaf
Percakapan penting antara dirinya dan Nanda kemudian terhenti ketika Rajendra bersama dengan Nanda tiba di sebuah gudang di pinggiran kota. Gudang yang terbengkalai dan berkesan telah terabaikan selama beberapa tahun menjadi lokasi yang pas dan ideal bagi pembunuh yang terkenal dengan nama Hujan Merah.Bersama dengan Nanda, Rajendra kemudian merilis tempat yang ada di gudang itu. Rajendra bahkan memeriksa bagian luar gudang itu, untuk menemukan kemungkinan ada tempat lain yang tidak terlihat yang bisa menjadi tempat persembunyian hujan merah yang tersembunyi Eesha.
“Apa Paman tidak percaya padaku?” tanya Nanda yang tidak lain adalah Kiran.Rajendra menggelengkan kepalanya dengan ragu. “Jika kamu membicarakan hal ini kepada orang lain, mungkin orang lain tidak akan percaya pada ucapanmu, Nanda. Ah tidak, haruskah aku memanggilmu dengan nama Kiran sekarang?”“Untuk saat ini, tolong panggil dengan nama Nanda saja, Paman. Akan lebih baik jika beberapa orang tidak mengetahui identitasku yang sebenarnya.”“Kenapa?” tanya Rajendra tidak percaya untuk kedua kalinya. “Setelah dua puluh tahun lamanya menghilang, harusnya kamu kembali ke rumah Eila dan Eesha. Setelah dua puluh tahun lamanya terpisah, harusnya kamu kembali ke tempat di mana keluargamu menunggu. Kenapa kamu justru berada di sini dan menyembunyikan identitasmu dari orang-orang yang menunggu kepulanganmu selama dua puluh tahun lamanya?”Nanda menundukk
Setelah melakukan pencarian selama dua jam lamanya dan tidak menemukan hasil, Rajendra terpaksa mengambil keputusan untuk memberitahukan kabar buruk ini kepada keluarga Eesha: Ishya, Eila dan Amartya. Dalam perjalanan menuju ke rumah Ishya dan Eila, Rajendra kemudian melewati cafe di mana Nanda sedang bekerja. Rajendra yang tahu hubungan yang dimiliki Eesha dan Nanda, kemudian menghentikan mobilnya dan berniat untuk memberitahukan kabar buruk yang menimpa Eesha kepada Nanda lebih dulu.“Nanda. . .” Rajendra langsung menyapa Nanda ketika masuk ke cafe di mana Nanda bekerja.“Ah, Pak Rajendra.” Nanda membalas sapaan Rajendra. “Apa yang membawa Bapak datang kemari?”“Bisakah aku minta waktumu sebentar, Nanda?” Rajendra berbicara dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Tentu. Tentu saja. Mari kemari.”Nanda kemudian mena
“Dia tidak ingin mengakui bahwa dirinya adalah Kiran. Kiran menyembunyikan identitasnya dan bertindak seolah tidak mengenaliku, Paman.”“Kenapa begitu? Kamu tidak bertanya pada Kiran kenapa dia melakukan hal itu? Selama dua puluh tahun ini, ke mana saja Kiran? Kenapa tidak pulang ke rumah dan menemui ibunya?”“Aku tidak bisa bertanya padanya, Paman. Aku tahu dengan baik sifat Kiran. Ketika dia tidak ingin bilang maka dia tidak akan bilang. Kiran adalah anak yang seperti itu, Paman. Aku menduga hal ini ada hubungannya dengan Hujan Merah yang muncul setelah dua puluh tahun lamanya menghilang.”“Katakan pada Paman, di mana Kiran sekarang! Biar Paman yang bertanya langsung pada Kiran. Paman adalah detektif di kepolisian, Paman akan menjamin nyawa Kiran, jika sesuatu yang buruk bisa saja menimpa dirinya. . .”Eesha menggelengkan kepalanya dengan sedikit ragu.