Hawa sejuk pegunungan terasa olehku dan para warga yang ikut mencari seseorang yang sedang melakukan ritual di dalam gunung, yang dengan teganya ingin mengorbankan seseorang yang ditemukan oleh Mang Uha dan Mang Dadang.
Mereka menganggap, ini sudah masuk ke arah kriminal. Dan mereka tidak mau, reputasi Kampung Sepuh yang sudah jelek di mata masyarakat diluar kampung kini bertambah. Akibat tragedi percobaan pembunuhan yang terjadi di dalam gunung.
Memang kasus-kasus seperti ini pasti ada, mereka juga tidak menyangkal akan hal itu. Karena sebuah tuntutan tumbal akibat perjanjian dengan para makhluk dengan manusia dengan segala keperluannya untuk bisa menjadi apapun yang mereka inginkan dalam waktu yang sanga
INFO SAYA MASIH MENCOBA UNTUK UPLOAD, MESKIPUN SAYA MASIH HARUS BERISTIRAHAT JADI APABILA SAYA MASIH BELUM KONSISTEN UPLOAD (MUNGKIN BISA 1 ATAU 2 BAB SEHARINYA) MOHON DI MAKLUMI KARENA MASIH BELUM PULIH SEPENUHNYA TERIMA KASIH
Suasana sore hari di Kampung Sepuh tampak ramai dengan orang-orang yang baru pulang ke sawah seperti biasanya. Meskipun sekarang tampaknya agak sedikit sepi, dikarenakan ada beberapa warga yang berangkat ke Gunung Sepuh untuk mencari sesuatu. Sehingga hanya sebagian orang saja yang kini terlihat melintasi warung pada sore itu, dan beberapa dari mereka datang ke warung dan membeli segala keperluan untuk mereka pakai di rumah ketika malam tiba. Biasanya orang-orang yang pulang dari sawah membeli kopi sachet ataupun rokok yang akan mereka nikmati di dalam rumah mereka pada malam hari. Malah terkadang, mereka juga membeli jajanan anak-anak untuk sekedar oleh-oleh bagi anak-anak mereka yang menunggu orang tuanya pulang dari sawah dan ladang pada sore itu. “Siapa itu bu? Pacarnya si Ujang ya? ” Kata Petani yang sedang
Darah merah seketika keluar dari perut sebelah kiri Ibu, Baju nya yang panjang kini terlihat memerah. Ibu berusaha menahan rasa sakit dengan menahan luka tusukan itu dengan tangannya, meskipun lukanya tidak henti-hentinya mengalir hingga membasahi tangannya. Tubuhnya seketika terjatuh ke tanah di depan warung, dengan darah yang mengalir hingga membasahi tanah yang ada di depan warung. Icha seketika berdiri dari duduknya dan menghampiri Ibu sambil berteriak dan menangis melihat Ibu yang tergeletak di tanah. Vito yang tadinya berlari dari kebun depan warung kini hanya terdiam dengan tangan yang bergetar hebat. Bagaimana tidak, entah mengapa, dia seperti tersadarkan pada sore itu. Karena yang dia tusuk bukanl
Brak “IBUUUUU!” Aku berteriak sekuat tenaga ketika aku memasuki rumah di sore itu. Dan terlihat, Ibu masih terbaring tidak sadarkan diri di tengah rumah, tubuhnya yang terluka kini sudah ditutup oleh perban. Namun masih terlihat warna merah yang merembes dari perban yang di menutupi badannya. Ibu kini tidak sadarkan diri, matanya yang masih tertutup dan hanya terdengar detak jantung yang masih berdetak. Tidak ada respon dari Ibu ketika aku berteriak dari luar rumah sambil berlari, aku tidak peduli dengan rumahku yang kini kotor karena sendal yang belum sempat aku lepas dari luar rumah. Para warga, terutama Ibu-Ibu yang menemani ibuku hanya bisa terdiam melihatku yang kini menangis meratapi
Icha hanya terdiam di dekat dapur ketika Ibu menghembuskan nafas terakhirnya di dekatku, sebuah perasaan bersalah muncul di dalam dirinya saat ini. Sebuah kesalahan yang membuatnya harus melihat seseorang yang membantunya dan merawatnya ketika dia tidak sadar, harus meregang nyawa di depan matanya seperti hal nya Budi yang harus meninggal dengan cara mengenaskan di Gunung Sepuh. Apalagi, Icha adalah orang yang pertama kali menyetujui ketika Vito mengajak mereka mendaki bersama Vito untuk pertama kalinya. Dan Icha juga yang membujuk Budi untuk bisa ikut serta dengan alasan untuk bisa menjadikan pendakian itu menjadi bahan untuk podcastnya nanti ketika mereka kembali ke kota. “Ini semua salahku hingga seperti ini, Budi, si Ibu warung. Semuanya kehilangan nyawa karena ku.”
Terdengar suara-suara langkah kaki dari orang-orang berjalan dengan tergesa-gesa, Mereka berjalan tanpa ada satu orang pun yang berbicara satu sama lain. Meskipun gelapnya malam menemani mereka saat mereka berjalan. Namun sepertinya mereka tidak peduli lagi dengan perjanjian yang mengikat mereka malam itu, karena ada sesuatu hal yang lebih penting yang harus mereka dengan segera. Awalnya mereka takut untuk keluar pada malam hari, namun setelah semua yang menyaksikan Ibu menghembuskan nafas terakhirnya memberitahukan kepada seluruh warga atas apa yang terjadi dengan mendatangi rumah mereka satu persatu. Akhirnya, pada malam itu, hampir semua warga yang sudah menutup rumah dan jendelanya rapat-rapat, kini memaksakan diri untuk keluar rumah. Dan menghampiri rumahku lagi dengan keadaan duka. Suasana di rumah pun mend
Tiang-tiang gapura itu sudah terlihat usang tiang-tiangnya sudah berkarat, dan tulisan di atasnya sudah tidak jelas terlihat karena cat yang luntur, dan warna putih di atasnya pun sudah terlihat menguning. Rombongan itu kemudian melewati gapura, dan melihat tanah pemakaman yang membentang luas, disana terlihat banyak makam dari beberapa generasi, terlihat dari jenis makamnya dari yang memakai batu sebagai dinding makam, hingga makam yang sudah dilapisi oleh keramik di sekeliling makamnya. Rombongan itu kemudian belok ke salah satu sudut pemakaman itu. Disana terdapat salah satu makam dengan dinding batu dan pohon yang tumbuh di atas makamnya. Terlihat tulisan dengan tanggal lahir dan tanggal meninggal yang terlihat usang dan sedikit muncul lumut di ujungnya. Dan disebelahnya ada makam kosong yang sudah digali, untuk tempat peristirahatan Ibu yang terakhir.
Malam di Kampung Sepuh yang tadinya ramai kini sepi kembali, perlahan-lahan para warga berangkat untuk mengantarkan jenazah Ibu. Kini kembali pulang ke rumahnya masing-masing, mereka kembali menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat dengan kesedihan yang mendalam di malam itu. Para warga kini mencoba beristirahat kembali sambil menunggu pagi tiba. Meskipun, kebanyakan dari mereka sepertinya hanya berdiam diri di tengah rumah, sambil merokok atau mendengarkan radio yang menyala sepanjang malam. Sambil memikirkan seseorang yang kini tidak bisa mereka temui di esok hari, seseorang yang seringkali menyapa mereka ketika mereka melewati warung di pagi hari. Tidak ada rasa takut yang dirasakan oleh para warga pada malam itu ketika mereka berada di dalam rumah, rasa kesedihan mereka atas kehilangan seseorang yang mereka hormati lebih besar daripada rasa takut ak
Suara itu terdengar sangat keras, suara kemarahan dari sesosok makhluk yang kehilangan tuannya. Sima yang dari tadi menghilang ketika proses pemakaman Ibu, ternyata meluapkan amarahnya di Gunung Sepuh. Sehingga, ketika aku datang ke Gunung Sepuh ini, tidak ada tanda-tanda makhluk yang datang untuk sekedar mengejekku atau mengikutiku dari belakang. Semuanya menghilang dikarenakan Sima memasuki Gunung Sepuh sendirian. Entah apa yang Sima lakukan, namun sepertinya tujuan kami sama. Mencari sosok makhluk yang menjadi penyebab hilangnya nyawa Ibu pada sore itu. Jujur saja, Sima tidak bisa langsung membunuh Vito atas apa yang dia lakukan kepada Ibu. Apalagi dengan banyaknya manusia yang mengelilinginya pada saat itu. Sehingga ketika kejadian