Baju keduanya sudah basah oleh air satu gelas yang tumpah ke sana ke sini. Jika kupikir lagi, apa maksudnya Mbak Diah merebut gelas yang ada di tangan Mbak Ira. Lebih efektif lagi jika dia membiarkan Mbak Ira meminum air itu lalu dia sendiri mengambil gelas dan minum seperti semestinya. Jadinya mereka tidak perlu membuang waktu dengan memperebutkan gelas tersebut. Oh iya, aku tidak boleh lupa. Keduanya adalah orang licik dan serakah yang sama-sama ingin menang sendiri. Jika selama ini mereka berkolaborasi untuk mengerjaiku, kini saatnya mereka bersitegang satu sama lain. Prang!Aksi keduanya berhenti ketika gelas tersebut jatuh berantakan. Pecahan kacanya kemana-mana hingga keduanya spontan mundur. Mbak Ira yang berada di dekat meja makan, tak sadar melangkah seketika dan membentur meja lalu terjatuh miring hingga kepalanya mengenai kursi. Sementara Mbak Diah yang berdiri di dekat kulkas mundur dan membentur kulkas. Ia pun terjatuh seperti halnya Mbak Ira. Naasnya, pas bunga yang be
"Jangan dulu menyalahkan aku, Mbak. Kondisinya tadi Mbak Diah sudah kepedesan, jadi aku buru-buru membuat minuman sehingga tidak aku lihat isinya. Yang kubaca hanya tulisan ditutupnya saja." Meski disengaja, aku harus tetap memberikan alasan yang masuk akal."Sudah, sudah! Tidak ada gunanya terus berdebat. Nurma, sekarang bikinin teh manis yang asli pakai gula, nggak pakai lama!" Mbak Diah melerai perdebatan kami, setelah itu dia pun keluar dari dapur. Sepertinya menuju ruang tengah kembali."Buatkan aku sekalian!" Mbak Ira pun menyusul Mbak Diah, "Jangan lupa bersihkan beling gelas dan air itu," lanjutnya sambil berlalu.Aku menjatuhkan bahu karena ujung-ujungnya aku juga yang kena imbasnya. Segera kubuatkan teh manis dengan gula asli untuk dua kakak iparku. Setelah itu aku membersihkan air dan pecahan gelas yang memenuhi ruang makan. Rencana untuk menggeledah kamar Mbak Ira hari ini gagal lagi lantaran Mbak Diah datang. ***Selepas maghrib, Nisa merajuk minta pulang. Anak itu beral
"Sayang, kok kamu naik taksi? Ke mana suamimu?" Mbak Ira bergegas menghampiri anak perempuannya itu.Namun bukannya menjawab, Rani malah menangis sambil memeluk Mamanya. "Ada apa, Sayang?" Mbak Ira melonggarkan pelukannya hingga terlihat wajah Rani yang sembab dan ...."Apa ini?!" Pekik Mbak Ira sambil mengusap sudut bibir anak sulungnya."Aw! Sakit, Ma!""Iya, tapi kenapa?" Mbak Ira bertanya dengan suara tinggi. Panik.Rani kembali terisak, bahunya bahkan sampai terguncang. "Ya sudah, kita masuk aja, ya." Mbak Ira merangkul bahu Rani kemudian membawanya masuk ke rumah tanpa menghiraukan trolly bag yang teronggok di halaman."Mentang-mentang ada aku, trolly bag ini diabaikan." Aku bergumam sambil menghampiri benda itu lalu menyeretnya ke dalam rumah setelah mengajak Nisa ikut serta. Di dalam rumah, Mbak Ira sedang duduk berdampingan dengan Rani. Gadis itu masih terus sesenggukan. Setelah meletakkan trolly bag, aku pun tak lantas keluar. Sedikit kepo pada apa yang terjadi dengan Ran
Keadaan Rani sebenarnya belum stabil anak itu masih sering melamun sendiri, tapi karena tuntutan ia pun pergi bekerja. Entah apa yang terjadi dalam rumah tangganya, aku tidak tahu secara detail. Yang jelas Rani adalah korban kekerasan dalam rumah tangga. Ngeri sekali, padahal rumah tangga mereka masih dalam hitungan hari. Aku sempat menguping beberapa kali pembicaraan Rani dan Mbak Ira saat dia baru ada di sini. Wajahnya yang lebam itu membuat Rani tidak masuk kerja beberapa hari mungkin karena ia malu. Saat itu Rani mengatakan kalau karakter Andre, suaminya berubah 100% dari ketika mereka masih pacaran. Andre yang dulu lemah lembut dan bucin berubah menjadi temperamen setelah menikah. Dia pun kerap pulang larut dengan mulut bau alkohol. Pagi ini kulihat Rani belum bersiap untuk pergi bekerja, ia masih bermalas-malasan di kamarnya. Itu kutahu karena Mbak Ira menyuruhku mengantarkan air hangat ke kamar Rani. Wajahnya pun pucat dan berantakan."Kamu sakit, Ran?" tanyaku sambil menyodor
Tapi sepertinya Mbak Ira tidak jadi berangkat, sebab terdengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Karena penasaran aku pun berlari ke balkon. Benar saja, sebuah mobil yang tak kukenal terparkir di sana. Tapi mobil siapa? Sebelumnya aku tidak pernah melihat mobil tersebut. Ah, mungkin itu mobil temannya Mbak Ira yang datang menjemput atau salah satu kerabatnya yang datang bertamu."Ada apa Bi?" tanya Rani ketika melihat aku tergesa-gesa ke balkon."Eum ... itu. Sepertinya ada yang datang.""Mas Andre, bukan?" tanya Rani lagi, panik. Iya sampai bangkit dari posisi semula yang berbaring."Nggak tahu juga, mobilnya nggak aku kenal.""Bibi lihat ke bawah, kalau Mas Andre yang datang tolong bilang akunya nggak ada.""Loh, kenapa?""Aku sudah nggak mau bertemu dengan pria itu. Dia penipu dan suka main tangan.""Kalau terus menghindar seperti ini, masalahnya tidak akan selesai-selesai, Ran."Tempo hari ketika Andre datang, Rani juga tidak mau menemuinya. Padahal katanya saat itu Andre dat
Aku pun segera membantu Reno meminum obat. Setelah itu naik ke lantai atas menemui Rani. Namun baru saja akan menaiki tangga, Mbak Ira menyerobot langkahku. Bahkan hampir saja aku terjatuh karena tersenggol olehnya. Setengah berlari Mba Ira pun menaiki anak tangga. Karena penasaran, aku pun aku pun bergegas mengikutinya. Wanita itu sedang membuka kunci ruang kerja dengan terburu-buru pula. Berlaga tidak ingin kepo, aku pun segera memasuki kamar Rani."Belum sarapan juga?" tanyaku ketika melihat bubur di atas nakas masih utuh."Nanti aja deh, aku belum selera. Siapa yang datang?""Tamunya Mama.""Tamu siapa? Bibi kenal?""Tidak.""Wanita atau laki-laki?""Dua orang laki-laki.""Siapa, ya?"Bersamaan dengan itu terdengar itu ruangan kerja Bang Usman ditutup. Sepertinya terburu-buru karena menimbulkan suara yang gaduh. "Mau sarapan sekarang?" Karena tidak fokus aku malah bertanya ulang."Nanti aja. Tadi 'kan sudah nanya.""Ah iya, Bibi lupa."Karena Rani masih malas di atas tempat tidur
Perlahan kuputar anak kunci dan segera masuk ruangan dengan langkah perlahan. Aku yakin surat wasiat itu ada di ruangan ini. Ruangan ini cukup luas, membuatku bingung harus mulai mencari dari mana. Sementara waktuku terbatas. Kalau Reno sih, aman, tidak mungkin dia tiba-tiba berada di ruangan ini, lantaran anak itu belum bisa berjalan dengan normal. Sementara Nisa aman di lantai bawah, semua pintu sudah kukunci. Kalaupun ia mencariku pasti akan dimulai dengan memanggil namaku.Yang sangat kukhawatirkan adalah Rani, bagaimana kalau gadis itu tiba-tiba bangun dan masuk ke ruangan ini. Mudah-mudahan dia anteng bermalas-malasan.Ada beberapa barang yang dicurigai tempat menyimpan surat wasiat itu. Diantaranya satu buah lemari dengan tiga buah pintu, laci yang berada di meja kerja, juga satu buah nakas di sudut ruangan.Aku memulai dari laci meja kerja saja. Ada empat laci besar yang terdapat di sisi kiri meja. Kutarik yang paling atas dan ternyata tidak dikunci. Satu persatu kubuka dan k
Hening."Nisa, Sayang?""Di sini." Terdengar suara Reno yang menyahut dari kamarnya. Ternyata Nisa sedang asyik menonton kartun di kamar Reno. "Nisa pindah ke sini?" "Tadi aku nyariin Umi, tapi kata Mas Reno di sini saja nonton kartun," jawab Nisa pelan."Ya sudah, enggak apa-apa. Nisa di sini saja, ya."Setelah itu aku pun melanjutkan langkah ke dapur lalu tiga menit kemudian kembali ke kamarnya Rani dengan segelas teh hangat. Rani hanya meneguk sedikit lalu kembali berbaring. Orang ngidam memang seperti itu, apalagi kalau kebetulan ada yang memanjakan jadi tambah manja.Setelah Rani kembali rebahan, aku pun berpamitan dengan alasan mau melanjutkan mencuci piring. Padahal aku kembali ke ruang kerja Bang Usman. Dengan langkah cepat karena tidak ingin membuang waktu, aku pun segera menuju nangkas tempat di mana tadi kutemukan surat wasiat itu dan belum sempat kubaca.[Sudah, Dek?] Satu pesan masuk dari Mas Fikri.[Belum, Mas. Barusan Rani memanggilku dan aku membuatkan teh hangat dul
Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Diah terus memaksa, meskipun aku sudah menolak. Bahkan mobilnya tidak bergeser satu senti pun. Karena tak enak, juga khawatir ia curiga, akhirnya aku masuk mobil."Mbak Ira sebenarnya mau ke mana, sih?" tanya Diah ketika aku sudah duduk di sampingnya dan mobil pun melaju."Mau ke depan," jawabku singkat."Iya orang jalan itu pasti ke depan, kalau ke belakang itu namanya mundur. Dari tadi ditanya, jawabnya ke depan mulu." Diah terdengar kesal. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal, bingung juga apakah harus terus terang pada Diah bahwa aku akan melihat rumah kontrakan atau diam saja."Aku mau melihat rumah kontrakan." Akhirnya aku memilih untuk jujur."Jadi sudah dapat?" tanya Diah datar."Belum sih, semalam aku coba nyari-nyari di media sosial dan ada beberapa yang sepertinya sesuai dengan keinginan. Jadi rencananya hari ini mau lihat-lihat dulu.""Kalau begitu sekalian aku anterin saja, biar nanti kalau Mbak Ira pindah aku jadi tahu tempat tinggal kalian."Aku menoleh, me
Aku tidak berani menoleh hingga go-jek yang membawaku berhenti di depan rumah Halim. Kutahu mobil pria itu terus mengikutiku dan melesat setelah memastikan aku sampai pada tujuan.Mas Usman tengah tertidur ketika aku masuk ruangan. Letak ponselnya pun berubah, aku yakin mereka berkomunikasi lagi ketika aku pergi tadi. Sakit kembali kurasakan, tapi mereka juga pasti lebih tersiksa menahan rindu. Sambil menunggu Mas Usman bangun aku mulai mencari-cari rumah kontrakan yang murah dan dan bagus. Tak kalah penting juga lokasinya tidak jauh dari sini. Tak lupa aku juga mengecek saldo yang tadi ditransfer oleh Anjas. Ternyata jumlahnya lumayan besar. Dia bilang ini dua kali lipat dari harga mobil itu. Aku sendiri tidak paham berapa harga mobil tersebut. Kalau dibilang tidak enak, jujur saja aku tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Anjas. Meskipun akadnya jual beli, tapi itu lebih banyak dari harga seharusnya. Saat ini memang aku sangat membutuhkan uang itu minimal Aku punya tempat tin
Aku kembali mengernyit, pasalnya aku tidak tahu di mana letak pabrik itu. Apakah dekat dengan tempat tinggalku atau jauh. Aku juga sedang berpikir kalau aku bolak-balik sayang uang untuk ongkosnya ditambah lagi waktu yang terbuang."Tempatnya masih dekat sini, kamu juga tidak akan kehilangan banyak waktu untuk bolak-balik." Anjas seperti yang mengerti apa yang sedang aku pikirkan. Tapi benar juga, untuk kedepannya Aku bingung dengan biaya hidup kami. Jika aku tidak menerima tawaran ini, maka aku harus mencari pekerjaan lain. Pada akhirnya sekarang memang aku yang harus mencari nafkah. Lagi pula, jika bekerja pada orang lain, belum tentu bisa mendapatkan keringanan seperti ini."Baiklah, aku terima tawaran kamu." Aku sudah memutuskan dan mengatakannya setelah selesai makan. Pertimbangannya adalah, Anjas itu temanku, dia sudah memberi keringanan dan aku bisa bernegosiasi sama dia. Baik itu masalah pekerjaan ataupun uang."Oke, kamu tidak perlu membicarakannya dulu dengan suamimu."Aku t
Aku memejamkan mata sambil menjerit. Dalam pikiranku, motor itu pasti tertabrak oleh mobilku. Baru setelah itu aku sempat menginjak rem hingga roda pun berhenti berputar. Aku membuang nafas kasar sambil menajamkan pandangan ke depan. Tidak ada motor yang tergeletak di depanku, apa mungkin motor itu berada di bawah mobil. Karena panik aku keluar dan langsung melihat ke kolong, namun tidak ada apa-apa. Sementara klakson yang berasal dari mobil di belakangku terus-menerus berbunyi."Nyari apa, Bu?" tanya seorang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan."Barusan saya lihat ada motor nyelonong keluar dari gang. Saya tidak sempat menginjak rem, saya kira motor itu tertabrak." Aku masih sedikit menunduk memperhatikan bawah mobil."Oh, motor barusan yang dikendarai anak-anak? Itu udah lari, Bu. Dia tancap gas, sempat kami teriaki juga. Untung saja dia tancap gas, kalau nggak dia pasti kena bemper mobil Ibu," ujar Abang itu sambil memperagakan dengan tangannya.Aku membuang napas le
Tak lama kemudian sebuah foto muncul dan aku sontak terbelalak. Bukan foto Rani yang dikirim oleh kontak ini, melainkan poto seorang wanita bersama seorang anak kecil. Dan sepertinya wajah ini familiar di mataku, tapi siapa?Astaga! Ini 'kan Zara bersama anaknya yang bernama Zidan. Zara yang kutemui mondar-mandir di depan ruang perawatan Mas Usman tempo hari. Saat itu dia bercerita kalau Zidan ingin bertemu dengan Papanya yang sudah meninggal dan dulu dirawat di ruangan Mas Usman. Lalu ... ini apa?Jangan-jangan cerita Zara itu bohong, dia hanya mencari alasan supaya tidak ketahuan. Apa mungkin Zara dan Mas Usman ada hubungan dan anak itu .... Tiba-tiba pikiran buruk memenuhi kepalaku. Dia memanggil Mas Usman dengan sebutan Papa. Aku merasa tubuhku jadi ringan untuk saja tidak sampai hilang kesadaran. Astaga! Kenapa aku bisa tertipu oleh perempuan lugu seperti Zara. Aku membuang napas perlahan lalu mengusap dada. Aku harus tetap tenang dan mengorek informasi dari Zara sendiri.Kuberi
Setelah memarkir mobil di halaman rumah utama, aku bergegas menuju bagian belakang bangunan ini, di mana Mas Usman pasti tengah menungguku. Ponselnya sudah bisa menyala, tadi sebelum aku pergi dia mencoba menggunakannya ternyata bisa dengan tangan kiri. Aku memintanya untuk menghubungiku jika Mas Usman ada keperluan mendesak. Tapi sampai aku selesai bertemu dengan Anjas, Mas Usman tidak ada menelepon. Itu artinya dia baik-baik saja di sini.Pintu ruangan tempat kami tinggal masih tertutup rapi, persis seperti tadi saat kutinggalkan. Itu artinya tidak ada orang yang masuk ke sini setelah aku pergi. Namun sesaat sebelum aku membuka kunci, aku mendengar suara dari dalam. Suaranya Mas Usman, sepertinya dia sedang meneleponku. Lama kutunggu, tidak ada panggilan masuk ke ponselku. Karena penasaran, aku menajamkan pendengaran. Tapi Mas Usman sepertinya tengah berbincang walau dengan suara tidak jelas. Tapi dengan siapa? Walau penasaran aku tidak buru-buru membuka pintu, malah aku tempelkan