Share

Bab 68

Penulis: Jingga Rinjani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-16 14:55:35

Aku menggeleng, meskipun nggak munafik, ada rasa ingin menenggaknya.

"Dih, kenapa? Tobat, lu?"

"Hehehe, ya gitu."

"Jadi ustaz lu sekarang?"

"Nggak harus jadi ustadz kali," jawabku.

"Hahaha."

"Kok lu udah keluar sih?" tanyaku ke si Dono.

"Gue cuma jadi saksi doang."

"Kok bisa?"

"Ya gitu deh, udah ah males bahas itu. Gue nyesel banget jadinya."

Kami pun mengobrol banyak hal, hingga akhirnya aku tergoda lagi pada minuman itu. Ah, pers*tan! Keluargaku saja masih terus menaruh curiga, untuk apa aku benar-benar berubah?

"Bini lu masih sama, kan?" tanya Aris.

"Ya sama, lah. Masa iya beda?"

"Ya kali, dia nggak mau hidup sama lu gara-gara kebanyakan masalah."

Bug!

Kutinju wajahnya dengan sekuat tenaga. Padahal, aku tak pernah menghina mereka, tapi kenapa mereka seakan mudah untuk menghinaku.

Adu tinju pun tak terelakkan, hingga akhirnya aku tersungkir ke tanah. Emang dasarnya teman tak tahu diri, bukannya melerai malah justru menyoraki kami bak sedang adu ayam.

"Ya Allah, Helmi,
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 69

    "Maksud kamu apa, Mbar?" "Aku tadi lihat, loh, tatapan kamu ke Hasna. Kaya yang rindu. Kalian, mantan dulunya?" "Apa, sih? Jangan mengada-ada. Punya kamu doang aja aku udah pusing," ucapku kesal. "Oh, jadi aku bikin kamu pusing?" Aku menghela napas panjang. Nggak ada benarnya kalau begini terus. Kutatap wajahnya, dan memegang tangannya. "Maafkan aku, ya?" "Ish! Jawab dulu, kalian ada hubungan apa?" "Nggak ada apa-apa. Kenapa jadi curigaan gitu, sih?" "Ya abisnya, kamu itu aneh." "Dulu, dia cuma temen pas di tongkrongan. Selebihnya, aku gak ada urusan apa-apa sama dia," jawabku pada akhirnya. Tentu saja dengan berbohong. "Bener?" "Iya, Mbar. Masa aku bohong?" Ambar pun memelukku. "Aku cuma takut kamu macam-macam, Mas. Ingat, aku lagi hamil anak kita berdua." "Ya berdua, Mbar. Emang kamu bisa hamil sendirian?" tanyaku. "Maaaas!" "Hush! Jangan berisik! Nanti dikira ngapa-ngapain!" "Emang, kamu nggak mau ngapa-ngapain, Mas?" Aku tersenyum. Sepertinya ini kode dari Ambar.

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 70

    "Kasihan dia, Hel," ucap Aldo sambil menghampiriku yang sudah lebih dulu keluar, sementara Ambar dan Meri masih di dalam, sibuk membungkus oleh-oleh, katanya. "Kenapa?" tanyaku. "Anak itu, bapaknya nggak tanggung jawab banget. Katanya sih, udah punya bini, tapi masih aja nyolek Hasna. Namanya Hasna, Hel." Aku tertegun langsung. Jadi, Dika tumbuh dengan rumor tersebut? Bapak kandungnya bukan karena tak bertanggung jawab, namun karena terpaksa meninggalkan mereka demi keluarga sahnya."Sekarang malah jadi bini kedua. Mana lagi hamil. Bini pertamanya kerja di luar negri. Nggak kebayang sih pas nanti pulang, tahu-tahu suaminya udah nikah lagi." Jadi, Hasna hanya dijadikan istri kedua? Kukira, Dodi memang sudah bercerai dari Siti, istri pertamanya, karena memang itulah berita yang tersebar dulu. Ternyata, bukan bercerai, melainkan Siti pergi merantau. Pantas saja, Hasna bisa bebas berada di rumah suaminya itu. Ada rasa geram saat mendengarnya barusan. Namun, aku bisa apa? Aku bukan la

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 71

    Plak! Kurasakan pipiku memanas akibat tamparan Ambar, wajahnya memerah karena marah padaku. Melihatnya, aku menjadi takut. "Tega kamu, Mas? Aku hamil kaya gini, kamu malah nikah lagi? Siapa orangnya, hah? Anaknya Bu Romlah? Anaknya Bu Roni? Yang mana?" tanyanya seraya berteriak menyebutkan nama tetangga kami di kampung. Wajar jika ia berpikir begitu karena selama hampir dua tahun ini kami tinggal di kampung. Sehingga ia hanya memikirkan orang-orang di sana. "Bukan, Mbar," jawabku. "Lalu siapa?" Aku ngeri sendiri mendengar suara Ambar. Terlebih, Fira dan Mbak Imah sudah berada di depan pintu sambil mengetuk pintu. "Jangan keras-keras dong, Mbar. Nanti bisa habis aku sama Mbak Imah kalau begini," ucapku seraya merayunya. "Biarin saja Mbak Imah tahu. Biar mereka tahu, kalau kamu punya istri lagi, Mas!""Apaaa?" Aku menunduk saat mereka berdua memaksa masuk ke dalam kamar kami. Aku jadi menyesal, sudah berusaha jujur padanya. "Siapa, Mas?" tanya Ambar sekali lagi. Ekor mataku mel

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 72

    [Nongkrong, gak?] [Gak. Gue lagi ada masalah sama bini.] [Justru karena ada masalah, makanya nongkrong sini. Ada si Juleha, janda baru tapi semoknya minta ampun.] [Nggak ah, Don.] [Cobain dulu sini nongkrong. Lu kan udah lama nggak ketemu teman yang lain. Jangan sombong.] Tak kubalas pesan si Dono tadi. Jika pergi, bukannya selesai masalah, malah tambah lagi masalahnya. --Sore hari esokannya. Ambar masih mendiamkanku, sementara yang lain sedang pergi ke luar. Saat duduk di teras, datang Mbok Wati mengantarkan makanan dalam mangkok. "Mbok sudah lama pengen masakin ini buat kamu, Hel, akhirnya kesampaian juga." "Makasih, Mbok," ucapku sambil menyeruput kuah sayur asem buatan Mbok Wati. Daripada ibu, dulu Mbok Wati lah yang selalu bersedia kumintai tolong memasak. Rasa masakannya enak, selain itu orangnya juga baik. Di saat Ibu sedang terg*la-g*la bersama pria lain, Mbok Wati dengan sigap membantu di rumah. Mulai dari mencuci, hingga memasak. Sementara nyapu dan ngepel adalah

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 73

    "Gimana, Mas?" tanya Ambar sekali lagi setelah aku mendiamkannya. "Ketemu Hasna?" "Kenapa? Keberatan?" tanyanya lagi sembari melotot padaku. "Nggak kok. Kata siapa?" "Ya sudah, kalau gitu, nanti sore ajak aku ketemu sama Hasna." "Tapi aku nggak punya nomornya, Mbar," ucapku sambil beralasan. Karena tak mungkin aku menjemput Hasna ke rumah Dodi, bisa-bisa aku dicambuk sama dia dikira menggoda istri mudanya. "Ya sudah, nanti aku cari caranya dulu supaya dia bisa keluar." "Nggak perlu. Kata Meri tadi, rumahnya nggak jauh dari rumahnya dia." "Kamu kemarin melihatnya?" "Jelas! Matamu hampir copot begitu," ucap Ambar seraya mempraktekkan bagaimana tatapanku pada Husna. Aku terkekeh, kemudian berhenti setelah menyadari jika tatapan Ambar padaku kini berubah. "Jadi, kamu sudah nggak marah?" "Kata siapa? Tetap saja aku marah! Sekali lagi kamu kaya gitu, jangan harap aku bakal memaafkan. Dan aku akan meminta penjelasan pada Hasna. Jika penjelasannya berbeda denganmu, maka siap-siap

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 74

    Pov FIRA Setelah semua masalah kemarin beres, kami pun berkemas untuk pulang karena sudah seminggu kami di sini. Kemarin, aku sempat menemui Pak Dodi lagi untuk melunasi hutang Mas Helmi. Sebenarnya aku tak tega melihatnya dililit hutang begitu, namun bagaimana lagi? Kalau aku menunjukkan rasa kasihan terus menerus, yang ada malah ia semakin melunjak. Aku pun tak memberitahu siapapun, kecuali Mas Lian karena ia yang mengantarku, sementara Athaya kutitipkan bersama Kak Ratih. "Sudah siap semua?" tanya supir kami, Mas Surya, Mas Lian, dan juga Mas Cahyo. "Sudah, bawakan ke mobil ya," ucap Kak Ratih pada anak lelakinya. Aku pun mandi sebentar, lalu bersiap. Entah kenapa, tiba-tiba perasaanku tak enak begitu saja. Namun aku halau, karena ingin berpikir positif. Setelah semua dirasa siap, kami pun berpamitan pada tetangga, terutama Mbok Wati. Beliau orang tua kedua, menurutku. "Hati-hati ya, Neng." "Iya, Mbok. Titip rumah, ya? Kalau ada apa-apa, kabari." "Pasti." Akhirnya kami pu

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 75

    Aku hendak menghampiri Riska yang sedang membetulkan bajunya, namun tanganku dicengkeram oleh Mbak Imah. "Tunggu dulu. Lihat gimana reaksi Lian." Kami memang berada di belokan yang mau ke rumah, itu sebabnya tak terlalu kelihatan. Kulihat Riska berjalan masuk dan berdiri di emperan bengkel. "Mau ngapain lagi, ulet keket itu," ucapku. "Sabar, Fir. Kita lihat dulu, Lian selama ini diem karena ada kamu, atau memang karena males sama dia. Betul nggak, Kak Ratih?" ucap Mbak Imah sambil menyenggol lengan Kak Ratih. "Ish, ribet kalian itu. Udah ah, aku mau masuk aja. Laper, nih." "Helmi!" Mas Helmi langsung mengurungkan niatnya begitu melihat kedua mata Mbak Imah melotot lebar. Aku pun terkekeh dibuatnya. Aku fokus lagi melihat ke depan. Kulihat Mas Lian keluar dari bengkel dan menghampiri Riska. Hampir saja aku teriak, kalau Kak Ratih tak membekap mulutku. Bagaimana aku tak berteriak? Di depan sana, Riska dengan gaya centilnya malah memegang lengan suamiku. Ish, rasanya aku tak rela!

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 76

    "Makanya, kalau nggak mau jadi bahan gosip mereka, nggak usah betingkah." "Siapa yang betingkah sih, Yang? Orang Riska ke sini sendiri, kok. Aku nggak mungkin lah, nolak pelanggan." "Pelanggan tapi nggak bayar!" ucapku, lalu keluar kamar, hendak mengambil Athaya di rumah Mbak Ambar, karena kata Ibu, tadi di bawa oleh Kak Ratih saat aku dan Mas Lian di kamar menuju rumah Mbak Ambar. Ketika di teras, aku terkejut melihat Riska masih di sini, bahkan duduk di teras warungku. Kuambil napas banyak, lalu menghampirinya. "Ada apa lagi?" "Aku bukan orang miskin, jadi mau bayar ongkos isi angin tadi. Nih," ucapnya sambil memberikan uang pada Mas Lian, padahal jelas-jelas aku yang lebih dekat dengan tempatnya berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil merebut uang itu dan meminta Mas Cahyo untuk menutup bengkel Mas Lian. Bener-bener si Riska, gak ada malunya meski ada aku, istri sahnya Mas Lian. "Yang, kamu jangan cemburu gitu, dong! Aku sama Riska itu nggak ada apa-apa. Masa kamu marah-marah

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16

Bab terbaru

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 84

    "Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 83

    "Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 82

    "Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 81

    "Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 80

    Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 79

    "Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 78

    "Nggak, Mas, aku cuma nanya doang kok." "Awas macem-macem." "Perasaan dulu yang ngejar kamu, Fir, kok sekarang yang bucin malah Mas Lian?" "Mau tau rahasianya?" "Iya, apa?" tanya Fitri sambil mencondongkan badannya demi mendengarkan jawabanku. Namun justru itu yang membuatku menahan tawa. "Pesonaku." "Njiiir!" Pletak! Aku malah dijitak oleh Fitri.--Esok hari. Aku mengantar Naura berangkat sekolah. Ia masih terlihat lemas, mungkin karena efek berjauhan dengan ibunya. "Apa kamu nggak curiga, kok Mbak Ambar tega ninggalin anaknya?" "Astaghfirullah, Fitri! Kalau mau gabung, panggil dulu, kek, jangan asal ngomong aja. Kaget!"Fitri hanya nyengir saja, namun aku kepikiran dengan kata-katanya. Benar, kenapa Mbak Ambar tega meninggalkan Naura? Apa benar, sekolah menjadi alasan utama, atau ada alasan yang lainnya? "Kenapa? Baru kepikiran?" Aku mengangguk, lalu membenarkan topi yang dikenakan oleh Aya. Cuaca sedang panas, jam setengah tujuh pagi saja matahari sudah menunjukkan si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 77

    Mbak Ambar menatap Mas Helmi, "Iya, sama Papa." Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari tatapan kakak iparku itu. Setelah berpamitan, mobil mulai melaju. Tangis Naura terus terdengar. Wajar, ia baru berusia sepuluh tahun dan juga begitu dimanja oleh Mbak Ambar, sehingga pasti sangat kehilangan. "Emangnya, jadwal Ambar lahiran, kapan, Hel?" tanya Mbak Imah. "Dua mingguan lagi, Mbak. Mungkin, dia masih takut apa-apanya sendiri, jadi mau lahiran di rumah Mama. Padahal dia sudah punya pengalaman. Tapi ya sudah lah, nggak papa, toh cuma dua mingguan ini. Nanti bisa ke sana pas Ambar mau melahirkan.""Lagian bukan kamu ikut ke sana, Hel," ucap Bu Romlah, entah kapan ia ada di sini. "Saya kan kerja, Bu. Kalau nggak kerja dan di sana cuma nganggur, ya ga enak. Meski mertua saya nggak kaya Bu Romlah, tetep aja ga enak, toh?" "Loh, memangnya saya kenapa?" tanya Bu Romlah. "Cerewet, bawel, tukang gosip!" jawab kami bersamaan lalu masuk ke dalam rumahku. --Pagi hari. Aku sedang sibuk

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 76

    "Makanya, kalau nggak mau jadi bahan gosip mereka, nggak usah betingkah." "Siapa yang betingkah sih, Yang? Orang Riska ke sini sendiri, kok. Aku nggak mungkin lah, nolak pelanggan." "Pelanggan tapi nggak bayar!" ucapku, lalu keluar kamar, hendak mengambil Athaya di rumah Mbak Ambar, karena kata Ibu, tadi di bawa oleh Kak Ratih saat aku dan Mas Lian di kamar menuju rumah Mbak Ambar. Ketika di teras, aku terkejut melihat Riska masih di sini, bahkan duduk di teras warungku. Kuambil napas banyak, lalu menghampirinya. "Ada apa lagi?" "Aku bukan orang miskin, jadi mau bayar ongkos isi angin tadi. Nih," ucapnya sambil memberikan uang pada Mas Lian, padahal jelas-jelas aku yang lebih dekat dengan tempatnya berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil merebut uang itu dan meminta Mas Cahyo untuk menutup bengkel Mas Lian. Bener-bener si Riska, gak ada malunya meski ada aku, istri sahnya Mas Lian. "Yang, kamu jangan cemburu gitu, dong! Aku sama Riska itu nggak ada apa-apa. Masa kamu marah-marah

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status