"Gimana, Mas?" tanya Ambar sekali lagi setelah aku mendiamkannya. "Ketemu Hasna?" "Kenapa? Keberatan?" tanyanya lagi sembari melotot padaku. "Nggak kok. Kata siapa?" "Ya sudah, kalau gitu, nanti sore ajak aku ketemu sama Hasna." "Tapi aku nggak punya nomornya, Mbar," ucapku sambil beralasan. Karena tak mungkin aku menjemput Hasna ke rumah Dodi, bisa-bisa aku dicambuk sama dia dikira menggoda istri mudanya. "Ya sudah, nanti aku cari caranya dulu supaya dia bisa keluar." "Nggak perlu. Kata Meri tadi, rumahnya nggak jauh dari rumahnya dia." "Kamu kemarin melihatnya?" "Jelas! Matamu hampir copot begitu," ucap Ambar seraya mempraktekkan bagaimana tatapanku pada Husna. Aku terkekeh, kemudian berhenti setelah menyadari jika tatapan Ambar padaku kini berubah. "Jadi, kamu sudah nggak marah?" "Kata siapa? Tetap saja aku marah! Sekali lagi kamu kaya gitu, jangan harap aku bakal memaafkan. Dan aku akan meminta penjelasan pada Hasna. Jika penjelasannya berbeda denganmu, maka siap-siap
Pov FIRA Setelah semua masalah kemarin beres, kami pun berkemas untuk pulang karena sudah seminggu kami di sini. Kemarin, aku sempat menemui Pak Dodi lagi untuk melunasi hutang Mas Helmi. Sebenarnya aku tak tega melihatnya dililit hutang begitu, namun bagaimana lagi? Kalau aku menunjukkan rasa kasihan terus menerus, yang ada malah ia semakin melunjak. Aku pun tak memberitahu siapapun, kecuali Mas Lian karena ia yang mengantarku, sementara Athaya kutitipkan bersama Kak Ratih. "Sudah siap semua?" tanya supir kami, Mas Surya, Mas Lian, dan juga Mas Cahyo. "Sudah, bawakan ke mobil ya," ucap Kak Ratih pada anak lelakinya. Aku pun mandi sebentar, lalu bersiap. Entah kenapa, tiba-tiba perasaanku tak enak begitu saja. Namun aku halau, karena ingin berpikir positif. Setelah semua dirasa siap, kami pun berpamitan pada tetangga, terutama Mbok Wati. Beliau orang tua kedua, menurutku. "Hati-hati ya, Neng." "Iya, Mbok. Titip rumah, ya? Kalau ada apa-apa, kabari." "Pasti." Akhirnya kami pu
Aku hendak menghampiri Riska yang sedang membetulkan bajunya, namun tanganku dicengkeram oleh Mbak Imah. "Tunggu dulu. Lihat gimana reaksi Lian." Kami memang berada di belokan yang mau ke rumah, itu sebabnya tak terlalu kelihatan. Kulihat Riska berjalan masuk dan berdiri di emperan bengkel. "Mau ngapain lagi, ulet keket itu," ucapku. "Sabar, Fir. Kita lihat dulu, Lian selama ini diem karena ada kamu, atau memang karena males sama dia. Betul nggak, Kak Ratih?" ucap Mbak Imah sambil menyenggol lengan Kak Ratih. "Ish, ribet kalian itu. Udah ah, aku mau masuk aja. Laper, nih." "Helmi!" Mas Helmi langsung mengurungkan niatnya begitu melihat kedua mata Mbak Imah melotot lebar. Aku pun terkekeh dibuatnya. Aku fokus lagi melihat ke depan. Kulihat Mas Lian keluar dari bengkel dan menghampiri Riska. Hampir saja aku teriak, kalau Kak Ratih tak membekap mulutku. Bagaimana aku tak berteriak? Di depan sana, Riska dengan gaya centilnya malah memegang lengan suamiku. Ish, rasanya aku tak rela!
"Makanya, kalau nggak mau jadi bahan gosip mereka, nggak usah betingkah." "Siapa yang betingkah sih, Yang? Orang Riska ke sini sendiri, kok. Aku nggak mungkin lah, nolak pelanggan." "Pelanggan tapi nggak bayar!" ucapku, lalu keluar kamar, hendak mengambil Athaya di rumah Mbak Ambar, karena kata Ibu, tadi di bawa oleh Kak Ratih saat aku dan Mas Lian di kamar menuju rumah Mbak Ambar. Ketika di teras, aku terkejut melihat Riska masih di sini, bahkan duduk di teras warungku. Kuambil napas banyak, lalu menghampirinya. "Ada apa lagi?" "Aku bukan orang miskin, jadi mau bayar ongkos isi angin tadi. Nih," ucapnya sambil memberikan uang pada Mas Lian, padahal jelas-jelas aku yang lebih dekat dengan tempatnya berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil merebut uang itu dan meminta Mas Cahyo untuk menutup bengkel Mas Lian. Bener-bener si Riska, gak ada malunya meski ada aku, istri sahnya Mas Lian. "Yang, kamu jangan cemburu gitu, dong! Aku sama Riska itu nggak ada apa-apa. Masa kamu marah-marah
Mbak Ambar menatap Mas Helmi, "Iya, sama Papa." Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari tatapan kakak iparku itu. Setelah berpamitan, mobil mulai melaju. Tangis Naura terus terdengar. Wajar, ia baru berusia sepuluh tahun dan juga begitu dimanja oleh Mbak Ambar, sehingga pasti sangat kehilangan. "Emangnya, jadwal Ambar lahiran, kapan, Hel?" tanya Mbak Imah. "Dua mingguan lagi, Mbak. Mungkin, dia masih takut apa-apanya sendiri, jadi mau lahiran di rumah Mama. Padahal dia sudah punya pengalaman. Tapi ya sudah lah, nggak papa, toh cuma dua mingguan ini. Nanti bisa ke sana pas Ambar mau melahirkan.""Lagian bukan kamu ikut ke sana, Hel," ucap Bu Romlah, entah kapan ia ada di sini. "Saya kan kerja, Bu. Kalau nggak kerja dan di sana cuma nganggur, ya ga enak. Meski mertua saya nggak kaya Bu Romlah, tetep aja ga enak, toh?" "Loh, memangnya saya kenapa?" tanya Bu Romlah. "Cerewet, bawel, tukang gosip!" jawab kami bersamaan lalu masuk ke dalam rumahku. --Pagi hari. Aku sedang sibuk
"Nggak, Mas, aku cuma nanya doang kok." "Awas macem-macem." "Perasaan dulu yang ngejar kamu, Fir, kok sekarang yang bucin malah Mas Lian?" "Mau tau rahasianya?" "Iya, apa?" tanya Fitri sambil mencondongkan badannya demi mendengarkan jawabanku. Namun justru itu yang membuatku menahan tawa. "Pesonaku." "Njiiir!" Pletak! Aku malah dijitak oleh Fitri.--Esok hari. Aku mengantar Naura berangkat sekolah. Ia masih terlihat lemas, mungkin karena efek berjauhan dengan ibunya. "Apa kamu nggak curiga, kok Mbak Ambar tega ninggalin anaknya?" "Astaghfirullah, Fitri! Kalau mau gabung, panggil dulu, kek, jangan asal ngomong aja. Kaget!"Fitri hanya nyengir saja, namun aku kepikiran dengan kata-katanya. Benar, kenapa Mbak Ambar tega meninggalkan Naura? Apa benar, sekolah menjadi alasan utama, atau ada alasan yang lainnya? "Kenapa? Baru kepikiran?" Aku mengangguk, lalu membenarkan topi yang dikenakan oleh Aya. Cuaca sedang panas, jam setengah tujuh pagi saja matahari sudah menunjukkan si
"Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si
Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su