Aku menggeleng, meskipun nggak munafik, ada rasa ingin menenggaknya. "Dih, kenapa? Tobat, lu?" "Hehehe, ya gitu." "Jadi ustaz lu sekarang?" "Nggak harus jadi ustadz kali," jawabku. "Hahaha." "Kok lu udah keluar sih?" tanyaku ke si Dono."Gue cuma jadi saksi doang." "Kok bisa?" "Ya gitu deh, udah ah males bahas itu. Gue nyesel banget jadinya."Kami pun mengobrol banyak hal, hingga akhirnya aku tergoda lagi pada minuman itu. Ah, pers*tan! Keluargaku saja masih terus menaruh curiga, untuk apa aku benar-benar berubah? "Bini lu masih sama, kan?" tanya Aris. "Ya sama, lah. Masa iya beda?" "Ya kali, dia nggak mau hidup sama lu gara-gara kebanyakan masalah." Bug! Kutinju wajahnya dengan sekuat tenaga. Padahal, aku tak pernah menghina mereka, tapi kenapa mereka seakan mudah untuk menghinaku. Adu tinju pun tak terelakkan, hingga akhirnya aku tersungkir ke tanah. Emang dasarnya teman tak tahu diri, bukannya melerai malah justru menyoraki kami bak sedang adu ayam. "Ya Allah, Helmi,
"Maksud kamu apa, Mbar?" "Aku tadi lihat, loh, tatapan kamu ke Hasna. Kaya yang rindu. Kalian, mantan dulunya?" "Apa, sih? Jangan mengada-ada. Punya kamu doang aja aku udah pusing," ucapku kesal. "Oh, jadi aku bikin kamu pusing?" Aku menghela napas panjang. Nggak ada benarnya kalau begini terus. Kutatap wajahnya, dan memegang tangannya. "Maafkan aku, ya?" "Ish! Jawab dulu, kalian ada hubungan apa?" "Nggak ada apa-apa. Kenapa jadi curigaan gitu, sih?" "Ya abisnya, kamu itu aneh." "Dulu, dia cuma temen pas di tongkrongan. Selebihnya, aku gak ada urusan apa-apa sama dia," jawabku pada akhirnya. Tentu saja dengan berbohong. "Bener?" "Iya, Mbar. Masa aku bohong?" Ambar pun memelukku. "Aku cuma takut kamu macam-macam, Mas. Ingat, aku lagi hamil anak kita berdua." "Ya berdua, Mbar. Emang kamu bisa hamil sendirian?" tanyaku. "Maaaas!" "Hush! Jangan berisik! Nanti dikira ngapa-ngapain!" "Emang, kamu nggak mau ngapa-ngapain, Mas?" Aku tersenyum. Sepertinya ini kode dari Ambar.
"Kasihan dia, Hel," ucap Aldo sambil menghampiriku yang sudah lebih dulu keluar, sementara Ambar dan Meri masih di dalam, sibuk membungkus oleh-oleh, katanya. "Kenapa?" tanyaku. "Anak itu, bapaknya nggak tanggung jawab banget. Katanya sih, udah punya bini, tapi masih aja nyolek Hasna. Namanya Hasna, Hel." Aku tertegun langsung. Jadi, Dika tumbuh dengan rumor tersebut? Bapak kandungnya bukan karena tak bertanggung jawab, namun karena terpaksa meninggalkan mereka demi keluarga sahnya."Sekarang malah jadi bini kedua. Mana lagi hamil. Bini pertamanya kerja di luar negri. Nggak kebayang sih pas nanti pulang, tahu-tahu suaminya udah nikah lagi." Jadi, Hasna hanya dijadikan istri kedua? Kukira, Dodi memang sudah bercerai dari Siti, istri pertamanya, karena memang itulah berita yang tersebar dulu. Ternyata, bukan bercerai, melainkan Siti pergi merantau. Pantas saja, Hasna bisa bebas berada di rumah suaminya itu. Ada rasa geram saat mendengarnya barusan. Namun, aku bisa apa? Aku bukan la
Plak! Kurasakan pipiku memanas akibat tamparan Ambar, wajahnya memerah karena marah padaku. Melihatnya, aku menjadi takut. "Tega kamu, Mas? Aku hamil kaya gini, kamu malah nikah lagi? Siapa orangnya, hah? Anaknya Bu Romlah? Anaknya Bu Roni? Yang mana?" tanyanya seraya berteriak menyebutkan nama tetangga kami di kampung. Wajar jika ia berpikir begitu karena selama hampir dua tahun ini kami tinggal di kampung. Sehingga ia hanya memikirkan orang-orang di sana. "Bukan, Mbar," jawabku. "Lalu siapa?" Aku ngeri sendiri mendengar suara Ambar. Terlebih, Fira dan Mbak Imah sudah berada di depan pintu sambil mengetuk pintu. "Jangan keras-keras dong, Mbar. Nanti bisa habis aku sama Mbak Imah kalau begini," ucapku seraya merayunya. "Biarin saja Mbak Imah tahu. Biar mereka tahu, kalau kamu punya istri lagi, Mas!""Apaaa?" Aku menunduk saat mereka berdua memaksa masuk ke dalam kamar kami. Aku jadi menyesal, sudah berusaha jujur padanya. "Siapa, Mas?" tanya Ambar sekali lagi. Ekor mataku mel
[Nongkrong, gak?] [Gak. Gue lagi ada masalah sama bini.] [Justru karena ada masalah, makanya nongkrong sini. Ada si Juleha, janda baru tapi semoknya minta ampun.] [Nggak ah, Don.] [Cobain dulu sini nongkrong. Lu kan udah lama nggak ketemu teman yang lain. Jangan sombong.] Tak kubalas pesan si Dono tadi. Jika pergi, bukannya selesai masalah, malah tambah lagi masalahnya. --Sore hari esokannya. Ambar masih mendiamkanku, sementara yang lain sedang pergi ke luar. Saat duduk di teras, datang Mbok Wati mengantarkan makanan dalam mangkok. "Mbok sudah lama pengen masakin ini buat kamu, Hel, akhirnya kesampaian juga." "Makasih, Mbok," ucapku sambil menyeruput kuah sayur asem buatan Mbok Wati. Daripada ibu, dulu Mbok Wati lah yang selalu bersedia kumintai tolong memasak. Rasa masakannya enak, selain itu orangnya juga baik. Di saat Ibu sedang terg*la-g*la bersama pria lain, Mbok Wati dengan sigap membantu di rumah. Mulai dari mencuci, hingga memasak. Sementara nyapu dan ngepel adalah
"Gimana, Mas?" tanya Ambar sekali lagi setelah aku mendiamkannya. "Ketemu Hasna?" "Kenapa? Keberatan?" tanyanya lagi sembari melotot padaku. "Nggak kok. Kata siapa?" "Ya sudah, kalau gitu, nanti sore ajak aku ketemu sama Hasna." "Tapi aku nggak punya nomornya, Mbar," ucapku sambil beralasan. Karena tak mungkin aku menjemput Hasna ke rumah Dodi, bisa-bisa aku dicambuk sama dia dikira menggoda istri mudanya. "Ya sudah, nanti aku cari caranya dulu supaya dia bisa keluar." "Nggak perlu. Kata Meri tadi, rumahnya nggak jauh dari rumahnya dia." "Kamu kemarin melihatnya?" "Jelas! Matamu hampir copot begitu," ucap Ambar seraya mempraktekkan bagaimana tatapanku pada Husna. Aku terkekeh, kemudian berhenti setelah menyadari jika tatapan Ambar padaku kini berubah. "Jadi, kamu sudah nggak marah?" "Kata siapa? Tetap saja aku marah! Sekali lagi kamu kaya gitu, jangan harap aku bakal memaafkan. Dan aku akan meminta penjelasan pada Hasna. Jika penjelasannya berbeda denganmu, maka siap-siap
Pov FIRA Setelah semua masalah kemarin beres, kami pun berkemas untuk pulang karena sudah seminggu kami di sini. Kemarin, aku sempat menemui Pak Dodi lagi untuk melunasi hutang Mas Helmi. Sebenarnya aku tak tega melihatnya dililit hutang begitu, namun bagaimana lagi? Kalau aku menunjukkan rasa kasihan terus menerus, yang ada malah ia semakin melunjak. Aku pun tak memberitahu siapapun, kecuali Mas Lian karena ia yang mengantarku, sementara Athaya kutitipkan bersama Kak Ratih. "Sudah siap semua?" tanya supir kami, Mas Surya, Mas Lian, dan juga Mas Cahyo. "Sudah, bawakan ke mobil ya," ucap Kak Ratih pada anak lelakinya. Aku pun mandi sebentar, lalu bersiap. Entah kenapa, tiba-tiba perasaanku tak enak begitu saja. Namun aku halau, karena ingin berpikir positif. Setelah semua dirasa siap, kami pun berpamitan pada tetangga, terutama Mbok Wati. Beliau orang tua kedua, menurutku. "Hati-hati ya, Neng." "Iya, Mbok. Titip rumah, ya? Kalau ada apa-apa, kabari." "Pasti." Akhirnya kami pu
Aku hendak menghampiri Riska yang sedang membetulkan bajunya, namun tanganku dicengkeram oleh Mbak Imah. "Tunggu dulu. Lihat gimana reaksi Lian." Kami memang berada di belokan yang mau ke rumah, itu sebabnya tak terlalu kelihatan. Kulihat Riska berjalan masuk dan berdiri di emperan bengkel. "Mau ngapain lagi, ulet keket itu," ucapku. "Sabar, Fir. Kita lihat dulu, Lian selama ini diem karena ada kamu, atau memang karena males sama dia. Betul nggak, Kak Ratih?" ucap Mbak Imah sambil menyenggol lengan Kak Ratih. "Ish, ribet kalian itu. Udah ah, aku mau masuk aja. Laper, nih." "Helmi!" Mas Helmi langsung mengurungkan niatnya begitu melihat kedua mata Mbak Imah melotot lebar. Aku pun terkekeh dibuatnya. Aku fokus lagi melihat ke depan. Kulihat Mas Lian keluar dari bengkel dan menghampiri Riska. Hampir saja aku teriak, kalau Kak Ratih tak membekap mulutku. Bagaimana aku tak berteriak? Di depan sana, Riska dengan gaya centilnya malah memegang lengan suamiku. Ish, rasanya aku tak rela!