Sapuan lembut dari indera pengecapnya membuat tubuhku kehilangan setengah kesadaran. Aku hanya bisa pasrah menerima sentuhan-sentuhannya. Meskipun dulu kami sering melakukannya, tapi kali ini terasa berbeda. Aku merasakan cinta dalam setiap sentuhan itu. "Bolehkah aku melakukannya?" tanyanya, kedua tangannya membingkai wajahku setelah ciuman panas kami tadi. Aku tidak menjawab, hanya kembali memeluknya dengan erat. Menyembunyikan wajahku yang memerah di dadanya. Aku harap dia sudah tahu dengan jawabanku. "Jawablah, iya atau tidak," bisiknya di telingaku. Jika aku harus menjawabnya, aku bisa gila karena malu. Kenapa dia tidak faham dengan bahasa tubuhku, haruskan aku mengatakan kata "iya". "Jawablah, Mentari," ucapnya lagi. Tidak mau menjawab, aku memilih untuk membuka kancing bajunya. Kaos yang dia gunakan memang berkerah dan berkancing. Setelah terbuka aku mendaratkan kecupan didadanya yang bidang, hingga suaranya merdu menyebut namaku. Tanpa menunggu lama lagi, lelaki yang su
Aku masih terdiam dan memainkan jari-jari tanganku."Jawab, Mentari. Mbak sudah menganggapmu seperti adik sendiri, dan tidak ingin kamu salah jalan. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan padamu."Mbak Aira begitu peduli padaku, dia tidak tahu seperti apa kehidupanku sebelum bekerja disini. Wanita itu selalu berpikir jika aku perempuan baik-baik dan polos. "Sebenarnya kami sudah menikah, mbak," ucapku pelan. "Hah?!"Mbak Aira tampak kaget dengan pernyataanku. Seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, aku dan mas Bagas sudah menikah," ucapku lagi. Kali ini dengan suara yang lebih jelas. "Ting!" Lift berbunyi, lantas berhenti. Pintu terbuka, artinya kami sudah sampai di lantai yang kami tuju. Tempat dimana kami bekerja. "Kamu berhutang penjelasan padaku, dan harus kamu jelaskan nanti saat makan siang," ucapnya saat kami keluar dari dalam lift. Mbak Aira memang begitu perhatian padaku, seakan-akan aku memiliki kakak perempuannya yang tidak aku mi
"Sepertinya aku tidak perlu memperpanjang sewa kostan bulan ini," ucapku disela-sela kantuk yang mulai melanda. Aku sudah setengah sadar dengan tubuh berbalut gaun tidur tipis, setelah sebelumnya membersihkan diri sekedarnya dikamar mandi. Entah kapan suamiku itu membeli baju yang tidak menutup dengan sempurna bagian tubuhku ini. Lelaki itu menyuruhku menemaninya di rumah ini tapi ternyata tidak sekedar menemani, tentunya dengan melakukan hal-hal yang ingin dia lakukan. Aku lupa jika kami baru saja menikah, sah melakukan apa saja setelah berbulan-bulan lamanya Mas Bagas mungkin menahan diri. Tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan saat ada aku di sampingnya. "Sudah pasti," sahut Mas Bagas, tangannya melingkar di pinggangku, memeluk erat tubuhku dari belakang.Kami tidur dalam satu selimut yang sama seperti layaknya pasangan suami istri. "Tapi kamar kost itu harus di perpanjang kontraknya Minggu ini," gumamku. Meskipun aku mengantuk tapi masih bisa berbicara samar-sama
"Maaf Pak, saya tidak mengingat pernah bertemu dengan anda," sahutku. "Bagaimana jika aku menyebut kota Jogja dan hotel," ucap pria yang konon katanya berusia empat puluh tahun itu. "Deg!" jantungku langsung berpacu. Ini adalah pria yang menolongku dari amukan Ibu Ayu waktu itu. Dulu aku melihatnya lebih muda dari ini, ah itu sudah berlalu bertahun-tahun lamanya. Selain itu aku juga tidak terlalu memperhatikannya, siapa sangka usianya sudah kepala empat. Lalu sekarang aku bertemu dengannya disini, ditempat kerjaku. Apa yang akan beliau pikirkan sekarang. Ah masa bodoh, anak muda yang mencinta suami orang sekarang banyak. Wanita muda yang berpacaran dengan suami orang, seperti jamur di musim hujan. Aku harap Pak Arya menganggapku saat itu juga gadis muda yang mencinta suami orang lain, bukan simpanan seorang pengusaha. "Terimakasih Pak, sudah menolong saya waktu itu." Aku berkata sambil sedikit membungkukkan badan. "Tidak masalah, waktu itu aku seperti melihat seorang gadis muda
Mataku terus menatap kearah jam dinding yang berada di kamar sambil mengeringkan rambutku, sedangkan Mas Bagas aku minta untuk membuat sarapan. Roti tawar dioles margarin dan ditaburi coklat meses, pesanku padanya tadi. Kami kesiangan, lebih tepatnya aku yang akan kesiangan karena Mas Bagas bisa kapan saja datang ke tempat kerjanya sesuka hati. Tadi setelah salat subuh, suamiku itu mengajakku melakukan begituan. Dia bilang jika tidak malam maka pagi pun jadi, dan aku tidak bisa menolaknya. "Udah selesai mas?" tanyaku.Saat ini aku sudah pergi ke dapur, melihat pekerjaan suamiku. "Sudah," sahutnya sambil memperlihatkan beberapa potong roti diatas piring. "Kamu ganti baju dulu, udah aku siapin diatas tempat tidur. Biar ini dimasukkan ke dalam kotak makan, kita sarapan sambil jalan saja." "Sarapan sambil jalan?" tanyanya mengulang perkataanku. "Iya, udah siang sayang," sahutku. "Apa tadi kamu bilang?" Mas Bagas urung pergi ke kamar malah balik dan memelukku yang sedang sibuk menca
"Tunggu ya, mas akan segera kesana." Bukan jawaban atas pertanyaanku yang keluar dari bibir lelaki yang ada di seberang telepon sana tapi perkataan lain. "Iya.""Mungkin agak lama, karena tadi Mas pikir kamu akan pulang malam lagi jadi sekarang belum siap-siap berangkat," ucapnya lagi."Iya." Aku kembali menjawabnya dengan pendek.Aku memilih untuk tetap menunggunya di depan hotel malas kembali ke dalam untuk sekedar duduk di lobinya. Tiga puluh menit berlalu menunggu, aku disapa oleh Pak Arya yang entah kenapa beliau keluar dari kamar hotelnya. Kamu belum pulang Mentari?" tanyanya."Mau saya antar?" ucapnya menawarkan diri."Tidak perlu, Pak. Terrima kasih saya sedang menunggu jemputan.""Siapa yang menjemput?""Suami saya," jawabku jujur apa adanya."Masyaallah, ternyata kamu sudah menikah saya pikir kamu belum menikah.""Saya sudah menikah, Pak. Tapi belum lama ini dan teman-teman di kantor memang hanya beberapa saja yang tahu, hanya teman dekat karena kami belum sempat mengadak
Dengan tergesa-gesa, aku segera berangkat ke stasiun untuk menjemput ibu. Ibu datang dengan menaiki kereta malam, dimana kereta itu akan sampai sebelum subuh. Tadi beliau menelponku dan mengatakan sudah sampai, tapi aku masih asyik tertidur dalam dekapan Mas Bagas. "Tunggu disana yaa Bu, jangan keluar. Riri segera datang," pesanku sebelum menutup sambungan telepon. "Mas antar aja ya, masih malam begini khawatir kalau harus jalan sendiri," ucap mas Bagas menawarkan diri."Ini udah subuh tenang saja aku akan kasih kabar jika sudah sampai."Kukecup singkat suamiku sebelum berangkat, untung saja semalam aku sempat membersihkan diri jadi tadi aku hanya cukup mencuci muka, berwudhu, salat dan berangkat. Taksi online yang aku pesan sudah menungguku di depan halaman. Aku segera naik kendaraan roda empat tersebut, lalu mobil yang aku tumpangi meluncur menuju tempat di mana ibu berada. Sesampainya di stasiun, ibu menungguku dengan setia di depan pintu keluar seperti yang aku minta. Sebelum
Pagi-pagi sekali Ibu sudah bangun seperti biasanya jika di kampung. Kepalaku sangat berat karena aku tertidur cukup malam, sehingga aku terbangun dengan kepala denyut-denyut. "Nduk, besok Ibu pulang ya. Ibu tidak betah lama-lama di sini, lagi pula besok kamu kan harus bekerja juga. Hari ini kita bisa jalan-jalan ke manapun yang kamu mau ibu akan menemanimu.""Tapi Bu ...." ucapku menggantung. Harusnya yang terjadi bukanlah hal seperti ini. Seharusnya semalam kami pergi ke tempat Mas Bagas, lalu ibu akan mengetahui segalanya, kemudian hari ini mungkin kami akan jalan-jalan bertiga. Lalu Ibu tidak akan pulang hingga minggu depan kami mengadakan acara syukuran untuk mengundang teman-temanku dan juga karyawan Mas Bagas. Kemudian setelah Ibu pulang, kami akan meminta orang untuk menyiapkan berkas-berkas dari kampung. Berkas yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahan kami di kantor urusan agama kota ini. Hanya mas Bagas yang memiliki kartu keluarga dan juga identitas kota ini, jadi un
"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga
Segera kudorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dia kunci. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mematikan shower yang terus mengguyur tubuhnya. Aku perhatikan sejak tadi dia menggosok bagian tubuhnya yang sama dibawah guyuran air. Tidak ada jawaban darinya, tangannya tetap saja menggosok lehernya dengan kasar hingga kulitnya semakin terlihat memerah. "Kalau mandi kenapa bajunya tidak dibuka?" Lagi, aku bertanya sambil menahan tangannya agar tidak melakukan hal yang sama. "Lepaskan aku, mas! Aku sedang berusaha menghilangkan tanda ini dari tubuhku. Aku membencinya," sahutnya dengan berlinang air mata. Hatiku ikut nyeri melihat bulir bening itu meluncur melewati pipinya tanpa henti. "Mas yang akan membantumu menghilangkannya. Ganti bajumu dengan ini. Kamu sudah terlalu lama dikamar mandi," ucapku sambil meraih jubah mandi yang tergantung tidak jauh dari tempat kami berada. "Ini tidak akan hilang bahkan sampai satu minggu. Bagaimana kamu bisa menghilangkannya, aku benci
POV BagaskaraSiang itu setelah makan siang, aku dan Mentari langsung pergi ke cafe milikku yang di kelola oleh Galang, temanku. Sesampainya disana, Istriku itu pergi lagi ke hotel dengan alasan sakit perut dan mual. Padahal aku hendak mengenalkannya pada Galang. "Nyari siapa sih? kenapa panik begitu?" tanya Galang saat aku keluar lagi dari ruang kerjanya sambil menelpon Mentari dan mencarinya di luar cafe."Kamu lihat tadi wanita yang datang bersamaku? Dia balik lagi ke hotel karena sakit, aku ingin mengantarkannya terlebih dahulu tapi ternyata dia sudah naik taksi," tuturku panjang lebar. "Sudahlah, dia sudah naik taksi. Lagian kan bukan anak kecil, pasti sampai dengan selamat. Banyak yang harus kamu periksa di dalam sana, udah lama banget kamu gak datang kesini," sela Galang.Aku membenarkan perkataan temanku itu, lagi pula Mentari bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Setelah kembali lagi kedalam ruang kerja Galang, temanku itu langsung memberikan setumpuk file yang katany
Pak Galang semakin dekat denganku. Dan seperti kebanyakan lelaki jika menginginkan wanita dengan paksa, dia akan menarik tangannya dan memeluknya. Saat hal itu dilakukan pria itu padaku, dengan refleks yang aku pelajari, kubanting saja tubuhnya yang lebih besar dari badanku. Sepertinya hal yang aku pelajari selama ini memang sangat berguna untuk membela diri, tidak sia-sia aku meluangkan waktu dan uang untuk mempelajarinya. Lelaki dengan kemeja berwarna merah maroon itu terlihat terkejut dengan posisi masih telentang. "Wow, aku tidak menduga kamu bisa melakukannya. Tapi sepertinya ini akan jauh lebih menyenangkan, daripada wanita yang hanya menangis dan pasrah, aku lebih suka wanita yang melawan. Apa kamu juga sekuat itu di ranjang," ucapnya sambil berdiri. "Tadi aku memang tidak siap dengan apa yang akan kamu lakukan karena kupikir kamu seperti wanita pada umumnya. Sepertinya kamu tidak tahu jika menjadi asisten dan supir pribadi tuan Alex itu harus memiliki skill bela diri juga