Sesuai kesepakatan kami sebelum hari libur tiba waktu itu, akhirnya kami akan pergi jalan-jalan ke tempat wisata alam dan pegunungan. Menurut pak Bagas jarak yang akan ditempuh tidaklah memakan waktu lama, kurang lebih hanya tiga jam saja. Selain itu akses tol membuat perjalanan jauh lebih singkat. Aku tidak mau ada lagi acara menginap di luar kota seperti dulu. Pak Bagas berjanji jika kami akan pulang sebelum sore menjelang. Aku juga sudah meminta izin pada penjaga kosan akan terlambat pulang mungkin sekitar 30 menit. Hanya untuk berjaga-jaga saja agar aku tidak terkunci di luar seperti dulu.Pagi-pagi sekali kami sudah berangkat, saat matahari belum menampakkan sinarnya, mobil yang kami tumpangi sudah melaju meninggalkan kota. Pak Bagas bilang tempat itu buka jam delapan pagi. Dan kami akan sampai sana pagi-pagi sekali untuk melihat matahari terbit. Awalnya pria itu mengajakku melihat matahari terbenam, tapi aku tidak mau karena takut kemalaman kembali ke rumah. "Apa dulu kamu ser
"Buka pintunya, cepat!" Teriakan kembali terdengar. "Pak, bangun!" Aku menguncang tubuhnya dengan keras. Lelaki yang duduk di sampingku itu bangun dengan kebingungan. "Kenapa?" tanyanya kebingungan. "Kenapa bapak ikutan tertidur," ucapku menyalahkannya. Padahal harusnya dialah yang lebih berhak tidur karena kelelahan menyetir. "Itu diluar rame, dikira kita melakukan hal yang tidak-tidak didalam mobil." Pak Bagas mengusap wajahnya dan merapikan rambutnya, lalu perlahan menurunkannya kaca jendela mobil. "Wah beneran mereka sepasang anak manusia. Bener-benar melakukan perbuatan mesum sepertinya," ucap laki-laki berkopiah hitam. "Tidak pak, tadi kami mau shalat tapi malah ketiduran di dalam mobil," ucap Pak Bagas menjelaskan. "Halah, jangan banyak alasan. Mau shalat kok parkir sejak tadi gak keluar-keluar, saya udah lihat mobil ini dari tadi," ucap pria itu lagi. "Cepat keluar! jangan banyak alasan," teriak yang lain tidak mau kalah. Ketakutan mulai merayap dihatiku, bagaimana
Mau tidak mau, akhirnya kami memutar balik karena tidak bisa lewat tempat itu. "Kenapa hari ini sial banget sih," gumamku pelan. "Apa kamu merasa pernikahan kita termasuk hal yang sial?" tanya Pak Bagas pelan. Seperti ada kekecewaan dalam pertanyaan, apa pria ini kecewa dengan ucapkanku barusan. "Bukan begitu, maksudku kita jadi tidak bisa pulang. Bagaimana ditempat seperti ini akan menemukan penginapan atau hotel. Tidak mungkin kan kita tidur didalam mobil, nanti kalau digrebek lagi kita dinikahkan lagi. Mau berapa kali kita menikah?" Aku berusaha membuat candaan tapi sepertinya perkataanku yang pertama sudah membuatnya kecewa. "Disini mungkin susah mendapatkan tempat menginap, tapi jika kita kebagian kotanya pasti ramai juga seperti di Jakarta. Atau jika tidak, kita bisa cari jalan lain. Meskipun harus berputar-putar pasti ada jalan menuju ke ibukota selain jalan ini," tuturnya panjang lebar. "Tidak perlu pulang malam ini, kita cari saja penginapan sini. Bapak sudah menyetir d
Selepas mandi, aku segera berganti piyama yang tadi sempat kami beli sebelum check in di hotel. Piyama berlengan pendek dengan paduan celana panjang, berbahan katun dengan warna navy menjadi pilihanku saat berbelanja tadi. Kami sudah makan malam sebelum masuk ke hotel ini, jadi sekarang saatnya adalah beristirahat. Namun mataku benar-benar tidak mengantuk, rasa kantukku pergi entah kemana karena memikirkan berbagai hal yang terjadi hari ini. Semuanya terjadi tanpa diduga, dalam sekejap mata, aku sudah menjadi isteri Pak Bagas. Pernikahan kami sah secara agama tapi belum diakui negara. Apakah pernikahan ini akan benar-benar berjalan, atau tidak. Apa selamanya akan seperti ini atau Pak Bagas akan mengesahkan pernikahan kami agar di akui oleh negara. Bagaimana aku akan mengatakan pada ibu tentang semua ini. Berbagai pertanyaan timbul di benakku dan tidak aku temukan jawabannya. "Belum tidur?" tanya Pak Bagas yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu sudah berganti piyama denga
Dering smartphone milikku yang berada di atas meja mengurai pertautan bibir kami. Aku menatap kearah pria yang saat ini menindih tubuhku diatas sofa. "Bisakah kamu mengabaikannya?" bisiknya, tatapan memohon terpancar di matanya. Aku membiarkan benda pipih itu terus berdering hingga mati sendiri. Laki-laki yang sudah menjadi suamiku itu kembali menyatukan bibir kami, namun lagi-lagi suara ponselku mengganggu kami. "Aku angkat dulu, takut penting," ucapku sambil mendorong tubuhnya perlahan. Ah, Nayla. Dia menelponku malam-malam begini, belum terlalu malam juga sih. "Iya, Nay," sapaku. Aku berjalan menuju balkon, membuka pintunya dan menerima telepon disana. Aku tidak mau menganggu Pak Bagas dengan obrolanku. "Kamu di mana? Udah pulang apa belum? Tadi aku lihat berita di daerah sana ada tanah longsor dan hujan lebat kamu bisa pulang kan, tidak terjadi apa-apa denganmu kan?" tanyanya bertubi-tubi. "Nggak Nay aku baik-baik saja," jawabku singkat. "Yaa ampun, aku tanya panjang leba
Pukul satu siang kami akhirnya check out dari hotel tersebut. Aku memang meminta suamiku untuk menginap satu malam saja, karena kami tidak membawa apapun dan memang tidak berniat untuk menginap sebelumnya. Mobil melaju meninggalkan gedung hotel terdekat menuju arah jalan pulang. Sepanjangan perjalanan lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku itu menggenggam tanganku. Dia berkendara perlahan dengan menggunakan satu tangan. 'Mas, gunakan kedua tanganmu agar kita segera sampai dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," ujarku memperingatkan.Iya, akhirnya aku memanggilnya dengan panggilan Mas sekarang. "Iya deh, iya. Doamu buruk banget, padahal kita belum melakukan apa-apa setelah menikah. Masa harus terjadi hal-hal yang buruk," sahutnya sembari melepas genggaman tanganku dan menyetir dengan kedua tangannya."Kamu pulang ke rumah kita saja ya," ucap Mas Bagas tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. "Rumah kita?" tanyaku."Iya rumah yang sudah kamu datangi dan kita sempat meng
Sapuan lembut dari indera pengecapnya membuat tubuhku kehilangan setengah kesadaran. Aku hanya bisa pasrah menerima sentuhan-sentuhannya. Meskipun dulu kami sering melakukannya, tapi kali ini terasa berbeda. Aku merasakan cinta dalam setiap sentuhan itu. "Bolehkah aku melakukannya?" tanyanya, kedua tangannya membingkai wajahku setelah ciuman panas kami tadi. Aku tidak menjawab, hanya kembali memeluknya dengan erat. Menyembunyikan wajahku yang memerah di dadanya. Aku harap dia sudah tahu dengan jawabanku. "Jawablah, iya atau tidak," bisiknya di telingaku. Jika aku harus menjawabnya, aku bisa gila karena malu. Kenapa dia tidak faham dengan bahasa tubuhku, haruskan aku mengatakan kata "iya". "Jawablah, Mentari," ucapnya lagi. Tidak mau menjawab, aku memilih untuk membuka kancing bajunya. Kaos yang dia gunakan memang berkerah dan berkancing. Setelah terbuka aku mendaratkan kecupan didadanya yang bidang, hingga suaranya merdu menyebut namaku. Tanpa menunggu lama lagi, lelaki yang su
Aku masih terdiam dan memainkan jari-jari tanganku."Jawab, Mentari. Mbak sudah menganggapmu seperti adik sendiri, dan tidak ingin kamu salah jalan. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan padamu."Mbak Aira begitu peduli padaku, dia tidak tahu seperti apa kehidupanku sebelum bekerja disini. Wanita itu selalu berpikir jika aku perempuan baik-baik dan polos. "Sebenarnya kami sudah menikah, mbak," ucapku pelan. "Hah?!"Mbak Aira tampak kaget dengan pernyataanku. Seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, aku dan mas Bagas sudah menikah," ucapku lagi. Kali ini dengan suara yang lebih jelas. "Ting!" Lift berbunyi, lantas berhenti. Pintu terbuka, artinya kami sudah sampai di lantai yang kami tuju. Tempat dimana kami bekerja. "Kamu berhutang penjelasan padaku, dan harus kamu jelaskan nanti saat makan siang," ucapnya saat kami keluar dari dalam lift. Mbak Aira memang begitu perhatian padaku, seakan-akan aku memiliki kakak perempuannya yang tidak aku mi
"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga
Segera kudorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dia kunci. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mematikan shower yang terus mengguyur tubuhnya. Aku perhatikan sejak tadi dia menggosok bagian tubuhnya yang sama dibawah guyuran air. Tidak ada jawaban darinya, tangannya tetap saja menggosok lehernya dengan kasar hingga kulitnya semakin terlihat memerah. "Kalau mandi kenapa bajunya tidak dibuka?" Lagi, aku bertanya sambil menahan tangannya agar tidak melakukan hal yang sama. "Lepaskan aku, mas! Aku sedang berusaha menghilangkan tanda ini dari tubuhku. Aku membencinya," sahutnya dengan berlinang air mata. Hatiku ikut nyeri melihat bulir bening itu meluncur melewati pipinya tanpa henti. "Mas yang akan membantumu menghilangkannya. Ganti bajumu dengan ini. Kamu sudah terlalu lama dikamar mandi," ucapku sambil meraih jubah mandi yang tergantung tidak jauh dari tempat kami berada. "Ini tidak akan hilang bahkan sampai satu minggu. Bagaimana kamu bisa menghilangkannya, aku benci
POV BagaskaraSiang itu setelah makan siang, aku dan Mentari langsung pergi ke cafe milikku yang di kelola oleh Galang, temanku. Sesampainya disana, Istriku itu pergi lagi ke hotel dengan alasan sakit perut dan mual. Padahal aku hendak mengenalkannya pada Galang. "Nyari siapa sih? kenapa panik begitu?" tanya Galang saat aku keluar lagi dari ruang kerjanya sambil menelpon Mentari dan mencarinya di luar cafe."Kamu lihat tadi wanita yang datang bersamaku? Dia balik lagi ke hotel karena sakit, aku ingin mengantarkannya terlebih dahulu tapi ternyata dia sudah naik taksi," tuturku panjang lebar. "Sudahlah, dia sudah naik taksi. Lagian kan bukan anak kecil, pasti sampai dengan selamat. Banyak yang harus kamu periksa di dalam sana, udah lama banget kamu gak datang kesini," sela Galang.Aku membenarkan perkataan temanku itu, lagi pula Mentari bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Setelah kembali lagi kedalam ruang kerja Galang, temanku itu langsung memberikan setumpuk file yang katany
Pak Galang semakin dekat denganku. Dan seperti kebanyakan lelaki jika menginginkan wanita dengan paksa, dia akan menarik tangannya dan memeluknya. Saat hal itu dilakukan pria itu padaku, dengan refleks yang aku pelajari, kubanting saja tubuhnya yang lebih besar dari badanku. Sepertinya hal yang aku pelajari selama ini memang sangat berguna untuk membela diri, tidak sia-sia aku meluangkan waktu dan uang untuk mempelajarinya. Lelaki dengan kemeja berwarna merah maroon itu terlihat terkejut dengan posisi masih telentang. "Wow, aku tidak menduga kamu bisa melakukannya. Tapi sepertinya ini akan jauh lebih menyenangkan, daripada wanita yang hanya menangis dan pasrah, aku lebih suka wanita yang melawan. Apa kamu juga sekuat itu di ranjang," ucapnya sambil berdiri. "Tadi aku memang tidak siap dengan apa yang akan kamu lakukan karena kupikir kamu seperti wanita pada umumnya. Sepertinya kamu tidak tahu jika menjadi asisten dan supir pribadi tuan Alex itu harus memiliki skill bela diri juga