Tanpa berpikir panjang, aku berlari dan masuk kedalam peron, meninggalkan kartu identitas meskipun sebenarnya itu dilarang. Lebih baik aku mencegah ibunya daripada mengejar Mentari. Aku langsung mencari wanita yang tadi di peluk Mentari. Terlihat olehku, beliau sedang duduk di kursi tunggu. Sepertinya kereta yang lima menit lagi berangkat bukan kereta yang akan beliau tumpangi. "Permisi, Bu," sapaku. Wanita dengan yang melahirkan istriku itu mengangkat wajahnya menatapku. "Iya," sahutnya pendek. "Boleh saya duduk disini?" Aku berkata sambil menatap kearah bangku kosong di sampingnya. "Oh iya, silahkan nak," sahutnya ramah. Aku segera menghempaskan pantatku diatas kursi, lalu menata hati dan pikiran agar berbicara dengan lancar. "Keretanya belum datang, Bu?" tanyaku membuka percakapan dan berbasa-basi."Setelah kereta ini jalan, baru kereta ibu datang," jawabnya. Aku mengangguk kepala mendengar jawabannya. "Ada banyak waktu untuk menjelaskan sekaligus membujuk ibu mertuaku ini
"Aku rindu," bisik Mas Bagas di telingaku. Saat aku sedang memijit pinggangnya tiba-tiba saja dia berbalik dan menatap sendu padaku. Menarik tubuhku hingga aku terjatuh di atas dadanya dan lalu dia membisikkan kalimat kata itu. Rasa yang sama seperti yang aku rasakan, aku juga rindu padanya meskipun rasa kecewa dan marah juga menguasai hati. Apa lagi dengan semua yang sudah dilakukan hari ini di kantor, lalu fakta tentang ibu yang ada di rumah ini. Juga bagaimana ibu terlihat perhatian pada Mas Bagas, tentu saja membuatku diam-diam luluh juga. "Jangan macam-macam yaa mas! aku belum sepenuhnya memaafkanmu. Aku ini wanita pendendam, kau tahu." Aku berkata sambil menarik tubuhku dari atas dadanya yang terbuka. Tidak bisa aku pungkiri jika tubuhku juga menginginkan dekapannya, tapi aku sedang berhalangan. Tidak mungkin kan jika sampai kebablasan. Begitulah wanita, padahal tubuh dan hatinya ingin namun kadang mulutnya berucap lain."Iya, maaf," sahutnya dengan nada memelas. "Tapi mas
"Jangan apa, sayang? tanya Mas Bagas sambil mengecup keningku, lalu merebahkan tubuhnya di sampingku. "Kamu mikir apa hayo? Aku kan hanya mau mengajakmu tidur di ranjang," ledeknya. Mas Bagas memiringkan tubuhnya menghadap padaku, bukan salahku jika aku berpikir yang macam-macam. Bagaimana tidak, dia memperlakukan diriku seperti itu tadi. "Kamu kan lagi berhalangan, masa mau melakukan itu. Dasar mesum," ledeknya lagi, kali ini jarinya menjentik jidatku. "Enak saja bilang aku mesum. Kamu itu yang mesum, Mas," sahutku tak mau kalah. Melihatku yang tidak mau mengalah, Mas Bagas hanya diam dan tersenyum padaku. "Kenapa senyum-senyum?" tanyaku galak."I love you," sahutnya. Kali ini aku yang salah tingkah, bukannya mendebatku malah mengatakan cinta. Akhirnya aku memilih diam dan memejamkan mata. "Tidurlah, besok kita harus menelpon kedua orang tuaku dan bersiap-siap pulang ke kampung." Mas Bagas berkata sambil mendekapku dalam pelukannya.Akhirnya kami tidur bersama lagi setelah be
"Gak enak sama Ibu dan Bulek, Mas. Masa pagi-pagi dikamar terus," ucapku sembari berjalan mundur menjauhi Mas Bagas. "Bilang aja mau istirahat, kan capek setelah menyetir semalaman. Pasti mereka mengerti, tenang saja," sahut Mas Bagas, langkah kakinya semakin mendekat padaku. "Tapi kan tadi suruh sarapan dulu sebelum istirahat," ujarku beralasan. "Istirahat dulu baru sarapan, biar makannya tambah banyak," timpalnya tidak mau kalah. "Tok ... tok, tok! Nduk, mau sarapan apa jadi jalan-jalan dulu." Ketukan pintu dan panggilan dari Ibu membuat langkah Mas Bagas yang kian dekat denganku terhenti. "Mau jalan-jalan dulu, Bu!" Sahutku berteriak. Aku menjulurkan lidah untuk meledek suamiku, lantas berjalan menuju ke arah pintu. "Awas nanti kamu ya," bisik Mas Bagas saat aku melewatinya.Aku segera membuka pintu kamar dan terlihat Ibu sudah berada di depan pintu kamar kami."Kalau jalan-jalan nggak usah lama-lama, cepat pulang, sarapan terus kalau mau istirahat saja. Soalnya hari ini aka
Hingga jam sebelas malam, Mas Bagas tak kunjung kembali ke kamar. Aku mulai mengantuk dan sekaligus gelisah, apa saja yang mereka bicarakan hingga selarut ini. Kenapa juga Ibu tidak berusaha memanggil menantunya itu.Dalam kegelisahan, akhirnya aku tertidur juga setelah sebelumnya mengganti lampu kamar dengan lampu tidur yang lebih redup. Apalagi dalam perjalanan kami kemarin aku juga tidak tidur, sampai di rumah hanya tidur sebentar saat siang hari, lalu malam acara langsung diadakan. Tentu saja membuat tubuhku meminta haknya untuk beristirahat. ***Sebuah kecupan kurasakan di pundakku, di sertai hembusan nafas menerpa leherku. Apakah aku mulai bermimpi buruk lagi, mimpi yang kadang suka menganggu tiduriku. Mimpi digagahi oleh suami ibuku. Kali ini aku tidak akan membiarkan dia menyentuhku dalam mimpi sekalipun. Aku mendorong dengan kuat tubuh yang ada disampingku. "Bruukk! Aduh!" Suara benturan dan teriakan itu begitu nyata menyapa indera pendengaranku. Bahkan aku mengenali suar
Kami menghabiskan waktu cutiku dikampung halamanku. Mas Bagas menemaniku mengulang memori-memori indah dan menghapus memori buruk tentang tanah kelahiranku ini. Pergi ke sekolah tempatku belajar dulu, walaupun hanya berhenti pinggir jalannya tanpa keluar dari mobil. Melihat siswa siswi yang berseragam putih abu-abu dari kejauhan, menikmati tawa mereka bersama teman-temannya. Tawa yang tidak aku dapati pada diriku di tahun-tahun terakhir sekolah karena masalah dirumah yang menimpaku. Pergi ke sawah melihat orang yang memanen padi, hanya sekedar untuk ikut merasakan sarapan di saung bersama para petani. Makan diantara hamparan padi yang menguning sambil menikmati aroma batang padi yang ditebang. Memberikan perhatian-perhatian kecil padaku selama di kampung halaman, seakan-akan memberitahu pada tetangga jika kami menikah secara wajar, bukan karena sebuah kecelakaan atau hamil duluan. "Berapa lama Mas Bagas mengenal Mentari sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah?" tanya Mbak Yuni,
"Maafkan aku Nay, semua terjadi dengan sangat cepat. Bahkan aku tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Waktu kami pergi bersama itulah terjadinya pernikahan kami. Pernikahan yang tidak kami duga sebelumnya." Aku menceritakan semuanya pada sahabatku itu. Bagaimana bisa kami menikah, lalu akhirnya memutuskan pulang kampung. Tapi aku tidak menceritakan jika Mas Bagas pernah mengabaikan diriku. "Maafkan aku, Nay. Aku tidak bermaksud untuk tidak mengingat dan tidak menganggapmu saat aku bahagia," ucapku mengakhiri ceritaku. Nayla menatap kearahku, diam tidak berkata apa-apa. Aku menatap sekilas padanya lalu menunduk karena rasa bersalah. Tiba-tiba tawa Nayla pecah, memenuhi ruangan kamarnya yang tidak begitu lebar. Aku sampai kebingungan dengannya, tadi marah sekarang malah ketawa-tawa. "Yaa ampun, Ri. Kamu lucu banget kalau ketakutan dan merasa bersalah seperti itu. Aku hanya bercanda, mana mungkin aku akan marah dan membencimu. Aku memang kecewa, tapi untuk marah tidak bisa. Aku ikut s
"Mentari ... Sayang," Panggilan dari Mas Bagas menarikku ke alam nyata.Ah, ternyata tadi aku hanya menghayal saat duduk dipangkuan Mas Bagas dan menggodanya. Mungkinkah suatu saat nanti aku akan berbuat seagresif itu pada suamiku. Mungkin bisa kucoba juga sepertinya. "Ada-ada saja kamu ini Mentari," ucapku dalam hati.Posisiku masih di tengah ruangan tepat di mana tadi aku memikirkan adegan percintaan yang terjadi pertama kali di tempat ini."Kamu melamun?" tanya Mas Bagas menghampiriku. "Hanya mengingat hal-hal yang pernah terjadi disini." "Apa yang paling kamu ingat? Apa saat kita bercinta disini?" tanyanya sambil memelukku dari belakang, menyandarkan dagunya di bahuku.Ah, tahu saja suamiku ini apa yang aku pikirkan. Tapi tentu saja aku tidak akan mengakuinya, walaupun aku lama-lama aku juga bucin padanya tapi tidak akan kutampakkan begitu saja. "Ayo pulang, Mas. Sudah malam nih," ucapku mengalihkan perhatiannya. "Apa kamu tidak rindu padaku? Maksudku, beberapa hari ini kita
"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga
Segera kudorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dia kunci. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mematikan shower yang terus mengguyur tubuhnya. Aku perhatikan sejak tadi dia menggosok bagian tubuhnya yang sama dibawah guyuran air. Tidak ada jawaban darinya, tangannya tetap saja menggosok lehernya dengan kasar hingga kulitnya semakin terlihat memerah. "Kalau mandi kenapa bajunya tidak dibuka?" Lagi, aku bertanya sambil menahan tangannya agar tidak melakukan hal yang sama. "Lepaskan aku, mas! Aku sedang berusaha menghilangkan tanda ini dari tubuhku. Aku membencinya," sahutnya dengan berlinang air mata. Hatiku ikut nyeri melihat bulir bening itu meluncur melewati pipinya tanpa henti. "Mas yang akan membantumu menghilangkannya. Ganti bajumu dengan ini. Kamu sudah terlalu lama dikamar mandi," ucapku sambil meraih jubah mandi yang tergantung tidak jauh dari tempat kami berada. "Ini tidak akan hilang bahkan sampai satu minggu. Bagaimana kamu bisa menghilangkannya, aku benci
POV BagaskaraSiang itu setelah makan siang, aku dan Mentari langsung pergi ke cafe milikku yang di kelola oleh Galang, temanku. Sesampainya disana, Istriku itu pergi lagi ke hotel dengan alasan sakit perut dan mual. Padahal aku hendak mengenalkannya pada Galang. "Nyari siapa sih? kenapa panik begitu?" tanya Galang saat aku keluar lagi dari ruang kerjanya sambil menelpon Mentari dan mencarinya di luar cafe."Kamu lihat tadi wanita yang datang bersamaku? Dia balik lagi ke hotel karena sakit, aku ingin mengantarkannya terlebih dahulu tapi ternyata dia sudah naik taksi," tuturku panjang lebar. "Sudahlah, dia sudah naik taksi. Lagian kan bukan anak kecil, pasti sampai dengan selamat. Banyak yang harus kamu periksa di dalam sana, udah lama banget kamu gak datang kesini," sela Galang.Aku membenarkan perkataan temanku itu, lagi pula Mentari bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Setelah kembali lagi kedalam ruang kerja Galang, temanku itu langsung memberikan setumpuk file yang katany
Pak Galang semakin dekat denganku. Dan seperti kebanyakan lelaki jika menginginkan wanita dengan paksa, dia akan menarik tangannya dan memeluknya. Saat hal itu dilakukan pria itu padaku, dengan refleks yang aku pelajari, kubanting saja tubuhnya yang lebih besar dari badanku. Sepertinya hal yang aku pelajari selama ini memang sangat berguna untuk membela diri, tidak sia-sia aku meluangkan waktu dan uang untuk mempelajarinya. Lelaki dengan kemeja berwarna merah maroon itu terlihat terkejut dengan posisi masih telentang. "Wow, aku tidak menduga kamu bisa melakukannya. Tapi sepertinya ini akan jauh lebih menyenangkan, daripada wanita yang hanya menangis dan pasrah, aku lebih suka wanita yang melawan. Apa kamu juga sekuat itu di ranjang," ucapnya sambil berdiri. "Tadi aku memang tidak siap dengan apa yang akan kamu lakukan karena kupikir kamu seperti wanita pada umumnya. Sepertinya kamu tidak tahu jika menjadi asisten dan supir pribadi tuan Alex itu harus memiliki skill bela diri juga