Selena"Tidak! Selena tidak akan pernah rujuk dengan pria egois sepertimu!"Dari luar, terdengar umi berteriak sangat keras. Padahal, beliau tidak pernah berbicara seperti itu.Bergegas aku mendekat ke arah pintu dan melihat siapa yang memancing amarah umi sampai seperti itu. Kedua tanganku terkepal ketika melihat Mas Nizam. Untuk apa malam-malam di ada di sini?"Enggak mungkin! Dia pasti mau rujuk denganku," tegas Mas Nizam yakin.Segera aku membuka pintu dan melipat kedua tangan di dada. "Aku tidak mau rujuk!" teriakku lantang.Semua orang yang ada di luar langsung melihat ke arah sini, tetapi aku masih berdiri kokoh dengan tatapan tajam ke arah Mas Nizam. Sungguh pria yang tidak tahu malu dan tidak bisa menjaga harkat dan martabat istrinya sendiri."Pergilah dari sini, Mas, karena aku tidak akan pernah mau kembali padaku," tegasku lagi."Enggak, kamu pasti mau kembali padaku!" teriaknya penuh percaya diri.Karena emosi, umi mendekat padanya. "Mas Nizam," tanyanya lembut, tetapi mar
Selena"Aku ke sini mau memperingatkan wanita yang tidak tahu malu yang sukanya menggoda suami orang lain," ucapnya lantang.Aku yakin suaranya itu terdengar ke beberapa tetangga dan sekarang mereka sedang bersiap-siap untuk ke sini. Apalagi ada beberapa orang yang memang suka bergosip dan suka membesar-besarkan masalah.Duh, Siska. Kalau ngomong gak pernah lihat ke diri sendiri dulu. Padahal dia yang begitu, tetapi malah lempar batu sembunyi tangan."Apa?" Rania terbahak-bahak ketika mendengar perkataan Siska. "Kebalik. Ada juga Lo yang merebut suami Selena sampai Naya enggak punya seorang ayah. Dasar teman enggak ada akhlak, Lo!"Kali ini Rania benar-benar emosi dan aku juga demikian. Hanya saja sekarang belum waktunya untukku bicara, biarkan Rania mengungkapkan kekesalannya dulu. Aku yakin Umi juga mau bicara. Siska sudah menebar kebencian kepada beberapa orang. Jadi, wajar saja kalau dia sekarang bukan hanya dijauhi, tetapi dimusuhi.Kita memang tidak boleh membenci makhluk Allah
"Wah, denger aku mau ke sini, ternyata langsung membuat hatimu panas, ya. Padahal di Jakarta banyak tempat hiburan yang enggak kalah jauh dari tempat ini," celetukku sambil melihat Siska dari atas sampai bawah.Sekarang dia bahkan tidak menggunakan kerudung dan pakaiannya benar-benar sangar terbuka. Jauh dengan Siska yang dulu. Meski tidak menutup aurat secara sempurna, tetapi tidak separah sekarang."Kau!" Siska mengarahkan telunjuknya sambil menatapku dengan penuh amarah.Padahal, aku hanya menyapa dengan bahasa yang lembut, tetapi dia sudah marah seperti sekarang dan mengeluarkan suara yang keras hingga membuat kita menjadi pusat perhatian.Mas Nizam dan Mama yang ada di sampingnya menatapku lekat. Kaget mungkin karena melihatku menutup aurat dan ini adalah kali pertama."Kamu Selena?" tanya Mas Nizam sambil membulatkan mata."Selena, kamu pakai gamis dan jilbab?" Mama mertua terlihat lebih syok lagi."Iya, Ma. Sama seperti yang Umi katakan, aku akan menutup aurat kalau suamiku mem
Nizam"Mama enggak mau punya menantu seperti itu. Mama mau Selena kembali." Mama kembali berteriak setelah sadarkan diri. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apalagi anak ustazah Nurjanah secara terang-terangan melamar Selena untuk menjadi istrinya."Nizam, lakukan sesuatu!" Mama kembali mengguncang tubuhku. "Rebut dia selagi janur kuning belum melengkung!""Istighfar, Ma, istighfar," bisikku di telinganya.Dari sejak kejadian di hari itu, mama menjadi suka berteriak dan memanggil nama Selena. Yah, aku sendiri tidak ingin kehilangan dia, tetapi apalah dayaku yang sama sekali tidak bisa melakukan apa pun. Sekarang di antara kita sudah tidak ada hubungan apa pun lagi."Kamu adalah pria yang tidak becus menjaga istri, Nizam. Mama sungguh kecewa sama kamu yang tidak bisa menjadi suami siap siaga," makinya lagi dan selama beberapa hari ini mama selalu mengeluarkan kata-kata kasar.Meskipun demikian, aku masih tetap mengucap syukur karena mama masih menahan emosinya ketika ber
NizamHari-hari terlah berlalu, tanpa terasa kini sudah waktunya lagi aku datang ke pernikahan yang bahkan tidak aku inginkan. Karena bukan hanya cinta yang masih ada dalam dada, juga ketidakrelaan melihatnya bersanding dengan pria lain."Ikhlas enggak ikhlas, kamu tetap garis merelakannya, Zam." Papa masuk begitu saja ke kamarku yang pintunya memang sudah terbuka. "Mungkin ini sudah takdir yang Allah siapkan untukmu."Aku membenarkan kata-katanya dengan memberikan sedikit anggukan kepala. "Yang Papa herankan, kenapa dia masih belum juga melahirkan? Bukankah seharusnya bulan ini?" tanyanya lagi dan aku juga mempunyai pertanyaan yang sama."Entahlah, Pa. Aku juga bingung, enggak tahu apa yang harus dilakukan." Aku duduk di samping papa sambil menatap layar ponsel yang memperlihatkan foto sebelum pernikahan Selena dan Hanif.Mereka berfoto secara terpisah dengan Naya berada di pangkuannya. Meski duduk mereka tidak berdekatan, tetap saja ada ada luka yang menjalar di tubuhku seakan aku
"Kamu yakin suamimu setia padamu?" tanya sahabatku, Rania. Dia adalah temanku ketika aku masih bekerja di salah satu pabrik yang ada di Sukabumi, Jawa Barat. Sekarang dia merantau ke Jakarta agar mendapatakan gaji yang lebih besar.Saat ini kita sedang makan di restoran yang mahal dan aku sendiri yang meminta Rania untuk datang karena sudah lama kita tidak bertemu. Jujur saja, aku sebenarnya sangat terkejut dengan pertanyaannya. Secara garis besar, dia juga sudah tahu Mas Nizam, suamiku, dia sangat setia dan baik hati.Dia tidak akan berani melukai hati orang, apalagi aku, istrinya sendiri. Aku yakin itu."Tentu saja. Bukankah kamu lebih tahu tentang hal ini setelah aku?" Aku tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana yang sudah menegang."Aku tahu kamu sangat percaya pada suamimu, tapi aku tidak," ucapnya lagi membuatku sangat terkejut.Jelas-jelas dia tahu semuanya, tapi kenapa harus berbohong?"Sudahlah, Rania. Aku cukup bahagia dengan pernikahan ini, jadi aku tidak mau menyiramka
Namaku Selena Selly, sama sekali tidak ada nama keislamannya. Aku bahkan belum bisa berjilbab seperti orang-orang yang tidak pernah dilepas selain di rumah.Ketika menikah denganku, Mas Nizam memintaku untuk memakai jilbab dan pakaian yang lebih tertutup, tapi aku belum bisa. Rasanya masih berat dan sangat gerah. Paling aku hanya menggunakannya kalau ada pengajian. Kalau hal lain, aku tidak bisa.Enam tahun yang lalu, kita bertemu di sebuah restoran. Saat itu dompet Mas Nizam ketinggalan di rumah dan dia tidak memegang uang kas. Aku yang duduk tidak jauh darinya menawarkan diri dan dia pun menerimanya.Waktu itu Mas Nizam berjanji akan segera mengganti uangku, tapi ternyata setiap bertemu denganku, Mas Nizam malah selalu tidak membawa dompet ketika bertemu denganku.Tidak lama dari itu, kita menjadi dekat, lalu memutuskan untuk menikah. Hingga sekarang, aku tidak pernah mendengar Mas Nizam berbicara kasar atau bertingkah aneh.Baru sekarang aku curiga padanya setelah membaca pesan dar
Panggilan pun tersambung kepada Nisa, satu-satunya temanku yang sekarang tinggal di Bogor."Nis, ini aku Selena. Apa kamu sedang ada di rumah yang di Bogor?" tanyaku tidak sabar."Tentu. Sekarang rumahku hanya ini. Kenapa?" "Apa dari tempat tinggalmu dekat dengan pembangunan pabrik yang aku bicarakan kemarin?""Enggak ada, Sel. Kalau kata suamiku, tidak ada pembangunan proyek baru, paling renovasi," jawabnya membuat kecurigaanku semakin bertambah. "Kalau tidak percaya, besok kamu ke sini saja, aku bawa kamu jalan-jalan, dan makan di tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang luar. Terutama orang Jakarta.""Malam ini, apa bisa kamu menemani aku dan anakku jalan-jalan?""Apa? Kenapa harus malam ini? Apa kamu tidak tahu sekarang sudah jam berapa? Perjalanan ke sini memakan waktu satu jam lebih kalau lewat tol, kalau tidak tentu kamu akan sampai tengah malam." Nisa bertanya dengan kaget."Aku ada keperluan, Nis, dan sangat darurat. Apa benar tidak bisa?""Aku bilang suamiku dulu," putusny
NizamHari-hari terlah berlalu, tanpa terasa kini sudah waktunya lagi aku datang ke pernikahan yang bahkan tidak aku inginkan. Karena bukan hanya cinta yang masih ada dalam dada, juga ketidakrelaan melihatnya bersanding dengan pria lain."Ikhlas enggak ikhlas, kamu tetap garis merelakannya, Zam." Papa masuk begitu saja ke kamarku yang pintunya memang sudah terbuka. "Mungkin ini sudah takdir yang Allah siapkan untukmu."Aku membenarkan kata-katanya dengan memberikan sedikit anggukan kepala. "Yang Papa herankan, kenapa dia masih belum juga melahirkan? Bukankah seharusnya bulan ini?" tanyanya lagi dan aku juga mempunyai pertanyaan yang sama."Entahlah, Pa. Aku juga bingung, enggak tahu apa yang harus dilakukan." Aku duduk di samping papa sambil menatap layar ponsel yang memperlihatkan foto sebelum pernikahan Selena dan Hanif.Mereka berfoto secara terpisah dengan Naya berada di pangkuannya. Meski duduk mereka tidak berdekatan, tetap saja ada ada luka yang menjalar di tubuhku seakan aku
Nizam"Mama enggak mau punya menantu seperti itu. Mama mau Selena kembali." Mama kembali berteriak setelah sadarkan diri. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apalagi anak ustazah Nurjanah secara terang-terangan melamar Selena untuk menjadi istrinya."Nizam, lakukan sesuatu!" Mama kembali mengguncang tubuhku. "Rebut dia selagi janur kuning belum melengkung!""Istighfar, Ma, istighfar," bisikku di telinganya.Dari sejak kejadian di hari itu, mama menjadi suka berteriak dan memanggil nama Selena. Yah, aku sendiri tidak ingin kehilangan dia, tetapi apalah dayaku yang sama sekali tidak bisa melakukan apa pun. Sekarang di antara kita sudah tidak ada hubungan apa pun lagi."Kamu adalah pria yang tidak becus menjaga istri, Nizam. Mama sungguh kecewa sama kamu yang tidak bisa menjadi suami siap siaga," makinya lagi dan selama beberapa hari ini mama selalu mengeluarkan kata-kata kasar.Meskipun demikian, aku masih tetap mengucap syukur karena mama masih menahan emosinya ketika ber
"Wah, denger aku mau ke sini, ternyata langsung membuat hatimu panas, ya. Padahal di Jakarta banyak tempat hiburan yang enggak kalah jauh dari tempat ini," celetukku sambil melihat Siska dari atas sampai bawah.Sekarang dia bahkan tidak menggunakan kerudung dan pakaiannya benar-benar sangar terbuka. Jauh dengan Siska yang dulu. Meski tidak menutup aurat secara sempurna, tetapi tidak separah sekarang."Kau!" Siska mengarahkan telunjuknya sambil menatapku dengan penuh amarah.Padahal, aku hanya menyapa dengan bahasa yang lembut, tetapi dia sudah marah seperti sekarang dan mengeluarkan suara yang keras hingga membuat kita menjadi pusat perhatian.Mas Nizam dan Mama yang ada di sampingnya menatapku lekat. Kaget mungkin karena melihatku menutup aurat dan ini adalah kali pertama."Kamu Selena?" tanya Mas Nizam sambil membulatkan mata."Selena, kamu pakai gamis dan jilbab?" Mama mertua terlihat lebih syok lagi."Iya, Ma. Sama seperti yang Umi katakan, aku akan menutup aurat kalau suamiku mem
Selena"Aku ke sini mau memperingatkan wanita yang tidak tahu malu yang sukanya menggoda suami orang lain," ucapnya lantang.Aku yakin suaranya itu terdengar ke beberapa tetangga dan sekarang mereka sedang bersiap-siap untuk ke sini. Apalagi ada beberapa orang yang memang suka bergosip dan suka membesar-besarkan masalah.Duh, Siska. Kalau ngomong gak pernah lihat ke diri sendiri dulu. Padahal dia yang begitu, tetapi malah lempar batu sembunyi tangan."Apa?" Rania terbahak-bahak ketika mendengar perkataan Siska. "Kebalik. Ada juga Lo yang merebut suami Selena sampai Naya enggak punya seorang ayah. Dasar teman enggak ada akhlak, Lo!"Kali ini Rania benar-benar emosi dan aku juga demikian. Hanya saja sekarang belum waktunya untukku bicara, biarkan Rania mengungkapkan kekesalannya dulu. Aku yakin Umi juga mau bicara. Siska sudah menebar kebencian kepada beberapa orang. Jadi, wajar saja kalau dia sekarang bukan hanya dijauhi, tetapi dimusuhi.Kita memang tidak boleh membenci makhluk Allah
Selena"Tidak! Selena tidak akan pernah rujuk dengan pria egois sepertimu!"Dari luar, terdengar umi berteriak sangat keras. Padahal, beliau tidak pernah berbicara seperti itu.Bergegas aku mendekat ke arah pintu dan melihat siapa yang memancing amarah umi sampai seperti itu. Kedua tanganku terkepal ketika melihat Mas Nizam. Untuk apa malam-malam di ada di sini?"Enggak mungkin! Dia pasti mau rujuk denganku," tegas Mas Nizam yakin.Segera aku membuka pintu dan melipat kedua tangan di dada. "Aku tidak mau rujuk!" teriakku lantang.Semua orang yang ada di luar langsung melihat ke arah sini, tetapi aku masih berdiri kokoh dengan tatapan tajam ke arah Mas Nizam. Sungguh pria yang tidak tahu malu dan tidak bisa menjaga harkat dan martabat istrinya sendiri."Pergilah dari sini, Mas, karena aku tidak akan pernah mau kembali padaku," tegasku lagi."Enggak, kamu pasti mau kembali padaku!" teriaknya penuh percaya diri.Karena emosi, umi mendekat padanya. "Mas Nizam," tanyanya lembut, tetapi mar
Nizam"Hari ini Mama benar-benar kehilangan muka." Mama mulai menggerutu setelah masuk ke mobil dan tepat duduk di sampingku. "Lagi pula kenapa kamu mengatakan semuanya tadi?""Aku tidak mau menjadi pembohong, Ma." Aku berucap lirih."Tetap saja harusnya kamu bisa menjaga mulut kamu itu. Walau bagaimanapun Siska adalah istrimu, dia adalah bagian dari hidupmu," bentaknya, tetapi aku tetap bergeming.Entah sejak kapan mama berubah menjadi orang yang menilai segala sesuatu dari penampilannya, yang jelas aku tidak suka mama seperti ini. Ditambah sikapnya terhadap Siska dan Selena sangar jauh berbeda.Padahal, jelas-jelas yang sejak dulu menjadi istriku adalah Selena, bukan Siska. Membuatku marah saja."Ma, Selena sudah menikah denganku selama enam tahun. Sementara Siska ... kita baru menikah beberapa bulan, tetapi dia sudah hamil." Aku berucap pelan karena takut emosi mama akan kembali meluap.Memang benar, hanya aku dan papa yang paling tahu seperti apa sikap wanita yang tengah duduk di
PoV SelenaTanpa sadar, orang-orang ini sudah duduk di sofa ruang keluarga, dan aku tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ditambah Umi tidak berhenti memelukku. Ustadzah Nurjanah, guru ngaji sekaligus waliku karena Bi Siti enggak pernah datang ke pondok tempatku tumbuh.Padahal, jaraknya sangat dekat dengan rumah, tetapi tetap saja mereka enggan untuk datang. Entah apa alasannya. Yang jelas sejak saat itu aku mulai tahu siapa yang tulus dan yang modus. Anehnya hingga sekarang mereka masih suka meminta uang padaku, tanpa mengingat luka apa saja yang sudah mereka torehkan padaku. Ah, ya, ditambah Siska merebut Mas Nizam dan ayah anakku. Gak itu membuat luka ini semakin melebar."Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang bisa memberikan penjelasan di sini?" tanya Umi sambil melihatku dan mama Mas Nizam bergantian."Naya di mana?" tanyaku pada Nisa ketika sadar dia tidak ada di sini."Di luar, sama Mas Nizam." Nisa menjawab pelan dan hal itu membuat Umi menatapku lekat."Sayang, apa yang se
PoV NizamMama menjatuhkan ponselnya begitu saja. Ketika aku melihat ke arahnya, wajahnya berubah pucat, dan gigi-giginya saling beradu.Aku berjalan santai ke arahnya dan mengambil ponsel yang dijatuhkannya."Ada apa, Ma? Apa ada sesuatu yang buruk?" tanyaku sambil duduk di sampingnya.Mama menatap ke arahku lekat. Lalu, tiba-tiba saja tangannya mencengkram bahuku erat."Apa Selena pernah bilang kalau dia anak Ustazah Nurjanah?" tanyanya dengan wajah depresi.Aku menggeleng pelan. "Dia tidak pernah mengatakan apa pun tentang sesuatu yang beragama, termasuk ustazah, selain memintaku untuk tidak melupakan salat, dan mengucapkan basmalah sebelum melakukan sesuatu," jelasku."Memang kenapa, Ma? Apa ada kabar dari ustazah?" Aku kembali bertanya ketika menyadari raut penyesalan di wajahnya."Anak Ustazah Nurjanah ternyata bukan Siska," ucapnya membuatku ikut terkejut, tetapi tidak seperti mama. Rasa kagetku masih taraf biasanya, "tapi Selena."Aku mematung dengan kedua tangan terkepal sedi
Selena"Lihat aku bawa apa?"Rania tiba-tiba turun dari sebuah mobil mewah yang langsung pergi kembali. Aku ingat betul itu bukan mobil calon suaminya. Apa jangan-jangan dia berselingkuh?"Jangan berpikir yang tidak-tidak, dia itu bosku," ucapnya seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan. "Tadi dia takut aku didekati orang jahat, jadi terus mengikuti aku, lalu kita pergi bersama ke sini."Rania menjelaskan, tetapi tetap saja seperti ada yang aneh. Memangnya ada gitu seorang bos mengantar anak buahnya? Apalagi divisi Rania kecil."Tadi aku ketemu seseorang dan dia memaksa agar aku mau masuk ke dalam mobilnya. Karena takut anak buahnya menjadi korban penculikan setelah yang sudah-sudah, bos terus mengikuti mobil seseorang itu hingga aku masuk ke dalam mobilnya," jelasnya lagi."Siapa?" Aku menatapnya heran, tetapi langsung tersenyum lebar ketika melihat kemasan bakso yang sangat aku kenal.Segera aku pergi ke dapur untuk mengambil beberapa mangkuk sebelum mendengar siapa orang yang dia b