"Kamu ini di kamar ngapain sih, Wi? Lama banget, semua orang nungguin kamu!" tutur mama mertua Dewi yang sedikit sewot. "Maaf, Ma. Dewi tadi coba menghubungi Mas Veri.""Terus?" tanya Anis dan juga Mama bersamaan. Kedua wanita itu benar-benar penasaran dengan keberadaan Veri. "Nggak dijawab, Ma. Dewi juga sudah kirim pesan. Namun juga nggak dibales. Sebenarnya ada apa sih, Pak?" Dewi berjalan menghampiri mereka bersama ibunya. Lalu menjatuhkan bobot tubuh mereka di sofa berdekatan dengan Mama Mertua. Ibu Dewi mencoba menyapa sang besan dengan senyum tipis lalu menunduk. Dan terlihat Mama mertuanya tidak membalas senyumannya, Mama justru terkesan tidak suka dengan keberadaan besan yang tengah duduk di sampingnya.Pandangan Dewi kini beralih dari Pak RT kemudian kepada Bapak mertuanya. Lagi-lagi beliau hanya diam. Justru terkesan menunduk, ada sesuatu yang Bapak sembunyikan. Tapi apa?"Pak Rt, kami berangkat dulu. Sudah banyak warga yang menunggu dan juga bersiap." Tiba-tiba salah sa
"Tunggu Ibu kalau begitu, Nduk. Ayo, Lek kamu juga harus ikut!""Iya, Yu." Akhirnya mereka berjalan menuju rumah Bu Dian. Lek Tarno dan juga Ibu terlihat gelisah. Sedangkan Dewi berjalan santai tanpa tahu sebenarnya apa yang akan mereka perlihatkan padanya. "Bukan siapa-siapa, Bu. Dia cuma tetangga yang rumahnya bercat kuning itu. Sebentar lagi kita juga sampai." Langkah mereka memang tidak terlalu cepat seperti Pak RT maupun warga lain. Dewi sengaja berjalan lambat karena memang sedikit capek setelah perjalanan pulang dari rumah Ibu.Beruntung besok masih libur. Jadi kesempatan untuk bangun agak siang.. "Masih muda ya, Nduk?""Ya nggak lah, Bu. Bu Dian itu sudah cukup umur. Ya kira-kira umurnya empat puluhan lebih. Empat puluh tigaan lah. Sudah tua, dia kan sudah punya cucu. Sudah dipanggil nenek.""Nenek? Kalau sama Ibu?""Ya beda lah, Bu. Ibu kan pakaiannya tertutup, badan ibu juga kecil. Kalau Bu Dian itu masih seksi, dia suka pake daster kalau di rumah. Pokoknya Bu Dian itu m
"Jawab Mas! Jangan diam saja seperti ini. Lawan mereka yang merendahkanmu!" ucap Dewi dengan berteriak lantang. Lagi-lagi Veri hanya diam saja. Dia menunduk. Lalu terdengar kata keluar dari mulutnya pelan."Maafkan aku, Wi." "Mas Veri nggak salah! Yang salah warga ini semua! Mereka nggak beradab!" ucap Dewi masih dengan pembelaan pada Veri."Dasar perempuan edyan, nggak waras. Selingkuh sama bocah ingusan. Eh, apa kamu nggak mikir Veri itu punya anak kecil. Bisa-bisanya kamu Embat dia! Astagfirullahaladzim!" ucap salah satu warga membuat netra Dewi beralih padanya.Apa maksudnya? Apa maksud ucapannya baru saja? Apakah Veri selingkuh dibelakang Dewi?Mata.Dewi membulat sempurna. Pendengarannya sengaja ia pertajam agar terdengar jelas semua ucapan para warga."Dewi … Dewi. Kamu itu beg* atau bod*h. Bisa-bisanya dikadali sama suamimu sendiri. Suamimu itu batu saja digerebek warga, sedang ninu-ninu sama Dian. Dan kamu masih membela dia?""Mbak Dewi suami model buaya buntung kok dibela.
"Sekarang sebaiknya bubar! Kita pulang ke rumah masing-masing! Kita akan sidang besok saja. Tidak mungkin kita sidang sekarang.""Huuu," sahut para warga. Semua tidak terima dengan keputusan Pak RT. Terlalu bertele-tele. "Sekarang saja Pak RT. Kalau besok keburu melahirkan! Hahaha." Semua warga tertawa bersamaan. "Sudah-sudah sebaiknya Bapak dan juga Ibu pulang ke rumah masing-masing. Karena takutnya anak-anak kita mendengarkan keributan ini. Tidak baik untuk mereka ke depannya. Saya harap kalian bisa mengerti!" pinta Pak RT kepada warga. Akhirnya dengan terpaksa semua warga membubarkan diri. Begitu juga dengan Dewi. Dia pergi begitu saja bersama Fatimah dan juga Lek Tarno yang entah kapan sudah berada di belakang mereka. Meninggalkan Veri sendiri tanpa ada yang membantunya berjalan. Veri berjalan sendiri dengan tergopoh-gopoh menuju rumah. Menunduk tak berani mengangkat wajahnya sedikitpun. Sedangkan Dewi terlihat tidak memperdulikan lelaki yang masih sah menjadi suaminya itu. W
'Allahu Akbar, andai saja dia bukan Ibu mertuaku, mungkin sudah kusumpal mulutnya.' Dewi bermonolog dalam hati.Apakah Halimah tidak mempunyai hati nurani? Atau justru hatinya sudah tertutup oleh set*n? Anak menantu yang dikhianati justru disalahkan atas tingkah anak lelakinya. Andai Dewi bisa memilih, dia lebih memilih tinggal di rumah. Mengasuh Arum dan juga mengurus suami. Tapi ekonomi yang membuatnya harus tetap bekerja. Jika Dewi hanya mengandalkan gaji suaminya. Mana mungkin mereka sudah memiliki motor dan juga bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.Padahal semua kebutuhan bulanan sudah dicukupi oleh Dewi. Tak lupa dia juga membeli beras. Jika uang Veri habis, dia tak segan-segan meminjam uang pada Dewi dengan dalil membeli kuota. Lelaki macam apa itu, mengandalkan uang milik istri. Padahal jika dalam Islam uang suami adalah uang istri dan uang istri adalah uang istri itu sendiri. Kecuali jika si istri dengan ikhlas memberikannya. Berbeda lagi urusannya. Kehidupan Dewi dan Veri
Tok … tok … tok."Dewi, buka pintunya. Kita harus bicara." Dewi membuka matanya setelah mendengar seseorang mengetuk pintu dan memintanya membuka. Matanya mengerjap menjernihkan pandangan. Mata Dewi sembab karena semalam tak henti-hentinya menangis. Luka yang ditorehkan Veri begitu dalam. Entah apakah dia mampu bertahan setelah penggerebekan semalam.Beruntung hari ini Dewi libur. Sehingga dia tak perlu pergi meninggalkan Arum. Tapi jika nanti dia sudah bekerja, bagaimana dengan Arum. Halimah yang selama ini menjaga Arum terang-terangan membela Veri yang berbuat salah. Dewi sungguh malang nasibmu.Ceklek ….Dibuka pintu kamar dengan perlahan. Dewi berjalan gontai duduk di sisi ranjang."Wi, maafkan aku. Aku khilaf, aku janji tidak akan mengkhianatimu lagi."Dewi tersenyum getir. Semudah itu dia memohon. Sedangkan hati Dewi sudah terlanjur sakit hati."Sudahlah, Mas. Kita lihat saja nanti.""Dian itu merayuku, dia terus saja datang padaku. Percayalah, lelaki mana yang tidak tergoda ji
"Sayur …." Suara cempreng Mpok Indun terdengar dari luar. Memang jam pagi begini akan ada banyak tukang sayur yang berkeliling. Tapi kalau masih pagi seperti ini hanya Mpok Indunlah yang baru datang.Dewi tak kunjung keluar dari kamar. Mungkin dia masih malas dengan seluruh keluarga ini. Hingga akhirnya terlihat Halimah keluar dari pintu dapur berniat membeli sayur."Mpok, tahu sama tempe sepuluh ribu, cabe juga sama sayur ini." Rentetan sayur langsung dipilih Halimah tanpa memperdulikan bisikan para tetangga. Halimah memang seperti itu, dia mertua yang bermuka dua. Ketika anaknya belum digrebek warga dia selalu baik di depan Dewi meskipun pada kenyataannya Halimah selalu membicarakan menantunya itu dibelakang. Tapi saat ini sikapnya yang sebenarnya benar-benar terlihat jelas. Dengan menyalahkan Dewi sebagai pemicu Veri berselingkuh. Bukankah itu aneh? Atau justru tak wajar? Ah, memikirkan wanita satu ini benar-benar harus ekstra sabar. Padahal semua tetangga yang juga berada di s
Veri nampak tidak sabar akan menemui sang kekasih malam ini. Hari yang begitu cerah secerah senyum yang selalu mengembang di bibirnya."Wi, sebelum ke rumah Ibu, siapkan dulu ya seragam kerja Mas dan juga sepatu." ucap Veri sembari menyeruput kopi."Iya, Mas. Nanti Dewi nginep di rumah Ibu dua hari ya? Dewi sudah lama Ndak nginep di sana. Lagian besok Dewi juga libur, Mas.""Iya, terserah kamu saja.""Mas Veri Ndak mau nganter Dewi?""Eh, Anu. Mas mau pergi dulu. Ada acara, mau jenguk Imam. Dia kan habis operasi," jawab Veri gelagapan. Karena memang dia sedang menyembunyikan sesuatu pada sang Istri. Dewi tak menaruh curiga sedikitpun. Apapun yang diucapkan suaminya Dewi percaya begitu saja. Karena Dewi yakin Veri tidak akan berbuat macam-macam. Dewi memang istri yang baik. Di tengah kesibukannya bekerja dia tetap mengurus keperluan suaminya dan juga anaknya dengan baik. Dewi juga tidak pelit dengan penghasilan yang ia dapat. Dia membeli banyak perabot rumah tangga untuk membantu Ha
"Kamu libur hari ini, Wi?" tanya Bayu yang tengah duduk sembari menyisir rambut Nathan."Iya, Mas. Kebetulan libur tiga hari. Tanggal merah, nanti Dewi ikut ke pasar ya?""Arum gimana?""Biar Arum sama Ibu di rumah. Sudah, kalian pergi saja!""Assalamualaikum." Terdengar salam dari luar rumah. Dewi bergegas keluar, berniat mencari tahu siapa yang datang."Waalaikumsalam, siapa ya?" tanya Dewi spontan. Setelah melihat seseorang yang tak ia kenal. "Saya Udin teman Bayu. Bayu nya ada, Mbak?" tanya lelaki itu dengan sopan.Bayu yang mendengar suara Udin, segera bergegas keluar. Menyapa lelaki yang pernah ia tolong hingga membuatnya menjadi sekarang ini."Udin? Kemana aja kamu?" tanya Bayu segera menjabat tangan teman semasa sekolah itu."Maaf, ada beberapa masalah jadi nggak sempet ngabari!""Iya, waktu itu aku sempat ke rumahmu tapi malah di usir sama pembantu?""Pembantu? Rumah yang dulu itu sudah aku jual! Mungkin itu penghuni barunya.""Ow, ya sudah silahkan duduk dulu. Ada perlu apa
"Apa yang aku takutkan terjadi, andai kamu mau jujur sama Dewi, Bu. Semua tidak akan seperti ini.' Dewi bermonolog dalam hati."Bu Romlah, ada apa? Apakah semuanya tidak bisa dibicarakan baik-baik? Maaf, bukan bermaksud lancang. Tetapi kami sedang ada tamu," ucap Dewi sembari mengalihkan pandangannya kepada keluarga Danu.Fatimah menunduk, dia tidak berani berkata banyak. Sedangkan Romlah menghela napas panjang. Lalu membuangnya perlahan. Ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan."Fatimah, kenapa kamu tidak membayar hutangmu!" Nada bicara Romlah sudah di bisa ditebak, marah luar biasa."Maaf, Bu. Saya belum ada uang!""Terus kalau kamu nggak ada uang, kamu nggak bayar begitu?! Ada uang atau tidak itu bukan urusanku. Yang penting kamu bayar hutangmu, sini mana uangnya!"Fatimah masih diam tak menjawab. Dewi hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus bagaimana? Uang tabungannya sudah habis diberikan pada Bayu. Kini hanya tinggal beberapa lembar uang lima puluhan ribu. Itup
"Punya, Wi. Ibu masih punya uang tabungan, meskipun sedikit. Tapi lumayan bisa buat nambah-nambah modal Bayu.""Kamu harus semangat, Mas. Memastikan kalau usahamu bakalan sukses. Lihat, Ibu sudah mengorbankan uang tabungannya untuk modal kamu!""Siap, Wi. Mas mu ini semangat banget. Karena sekitaran sini kan belum ada yang jualan bakso. Semoga kedepannya lancar, dan juga laris manis. Amin," tutur Bayu panjang lebar. Semua orang mengamini doa Bayu. Barang belanjaan dibawa ke dapur. Setelah gerobak datang, Bayu segera membereskan kursi yang ada di teras. Menggantinya dengan gerobak lalu menyiapkan segala sesuatu nya di dapur. Meracik bumbu dan juga membuat bulatan-bulatan bakso yang siap di jual. Bayu pandai meracik bumbu. Dengan telaten dia menghaluskan bawang putih, merica dan juga garam. Tak lupa ia berikan penyedap rasa. Ada beberapa bumbu rahasia lain supaya bakso milik Bayu berbeda dengan bakso yang di jual. Sebuah langkah besar yang diambil Bayu. Berharap ada kebahagiaan di uj
"Iya, Ibumu pinjem duit sama Bu Romlah. Kamu tahu kan Bu Romlah? Kalau pinjem duit sama dia biasanya bunganya nyekek leher," tutur Riris panjang lebar. Dewi hanya diam saja. Menerawang jauh, memikirkan Fatimah, kenapa meminjam uang pada Romlah tidak memberi tahu Dewi? Apakah Fatimah tidak tahu bagaimana resikonya jika meminjam uang pada wanita itu.Wanita licik dan juga picik. Disaat memberikan uang, penuh dengan senyuman dan juga pujian. Andai terlambat membayar satu hari saja, lidahnya bak pisau yang tajam. Yang mampu membunuh tanpa menyentuh. "Wi, aku pulang dulu ya! Titip ini buat Arum," ucap Veri sembari menyerahkan amplop pada Dewi."Wah, duit itu?" tanya Riris yang melihat sekilas amplop berwarna putih itu.Tak ada seorang pun menjawab pertanyaan Riris. Veri yang cukup terganggu dengan kehadiran Riris pun langsung berpamitan. Meninggalkan Dewi yang masih diliputi rasa penasaran."Wi, berapa itu duitnya?" Riris kembali bertanya. Matanya tak lepas dari amplop. Dewi masih diam,
"Bay, kamu bilang istrimu pulang kampung. Ada urusan, terus kata Riris kemarin apa?" tanya Fatimah dengan nada bicara sedikit menggebu."Maafkan, Bayu. Bayu nggak bermaksud buat berbohong sama Ibu. Hanya saja, Bayu bingung bagaimana ngomongnya sama Ibu, Bayu takut!""Astagfirullahaladzim, Bayu. Ibu ini Ibu kandungmu. Sudah sewajarnya kalau kamu cerita sama Ibu. Terus, apa yang dikatakan Bulek mu itu bener? Kalau Ika pergi sama pria?""Bayu nggak tahu, Bu. Andai saja benar adanya. Itu alasan yang masuk akal agar aku bisa berpisah dengannya.""Astagfirullahaladzim, Bayu. Kamu ini lelaki, Nak. Kamu ini kepala keluarga, jangan seperti itu. Kamu akan bertanggung jawab kelak di akhirat. Ibu lihat kamu nggak ada perjuangannya, merubah Ika?"Bayu menunduk. Fatimah memperhatikan anak lelakinya itu dengan seksama. "Apa perlu Ibu jual rumah ini buat kamu usaha lagi?""Jual rumah?" tanya Dewi yang tiba-tiba sudah diambang pintu. Entah kapan Dewi sudah pulang, hingga mereka tidak mendengar suara
"Anis, hamil." Halimah menunduk begitu pula Veri. Ada rasa malu dan juga bersalah pastinya. Keluarga yang mereka bangga-banggakan dulu ternyata berujung kepahitan."Insyaallah, kami akan datang," jawab Fatimah dengan senyum mengembang.Tak ada tanggapan yang berarti mengenai kehamilan Anis. Bukan suatu hal yan perlu mereka urusi. "Wi, kamu belum menikah?" tanya Veri setelah cukup lama terdiam. Dewi hanya menggeleng. "Jika aku bercerai dengan Dian, maukah kau kembali kepadaku lagi?""Astagfirullahaladzim, jadi Mas Veri kesini mau minta saja balik lagi sama kamu?! Jangan harap, Mas. Aku nggak akan pernah kembali, biarkan masa lalu menjadi masa lalu. Tapi tak ada niat sedikitpun untuk mengulang.""Tapi, Wi.""Mas, kalau niatmu kesini minta aku kembali lagi, mending kamu pulang saja!" Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Tak berapa lama ada sebuah mobil Pajero berwarna putih berhenti di pekarangan rumah. Semua orang yang ada di ruangan itu sontak menoleh ke luar."Siapa itu, Ba
Setelah pertengkaran tempo hari. Ika tak kunjung pulang ke rumah. Entah kemana dia pergi? "Yu, kamu nggak nyari istrimu? Rumah tangga itu pasti ada pasang surutnya, wajar. Tapi apa kamu mau menyerah begitu saja?" tanya Fatimah yang tengah duduk di kursi yang ada di dapur."Nathan, kamu belajar ya di kamar. Papa mau bicara dulu sama Nenek!""Iya, Pa," jawab Nathan.Setelah Nathan pergi ke kamar. Bayu kembali melanjutkan pembicaraannya dengan Fatimah, dia tidak ingin jika Nathan mendengar masalah antara papa dan juga mamanya."Bayu, sudah nggak bisa mikir lagi, Bu! Bayu sudah berusaha merubah Ika, namun sayang, Ika terlalu keras kepala!""Tapi, Mas. Apa kamu nggak kasihan sama Ibu? Kalau Mas Bayu bercerai, apa kata tetangga mengenai keluarga kita? Aku sudah gagal berumah tangga, jangan sampai Mas Bayu juga demikian," sahut Dewi. Ia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi dekat dengan Fatimah. Tangannya sibuk mengaduk teh yang baru saja ia seduh."Maafkan, Bayu. Bu, Bayu …." Bayu menghentik
"Dewi? Ini Dewi kan?" Seketika Dewi dan juga Juleha terdiam. Mata mereka saling menatap lalu memperhatikan lelaki yang tengah menghampiri."I-iya saya Dewi, Bapak …." Dewi tak melanjutkan ucapannya. Takut jika dugaannya salah."Aku Danu. Masak lupa sama man- mantan," ucap Danu dengan senyuman menggoda.Dewi hanya menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Sembari tersenyum menutupi malu. "Cie, disamperin mantan." Juleha menggoda. "Apa kabar?" tanya Danu pada Dewi. "Alhamdulilah, baik. Kabar kamu sendiri gimana?""Alhamdulilah, kabar baik. Kamu kerja disini juga?"" Iya, dilihat dari penampilannya sepertinya kamu orang kantor ya?" Dewi memperhatikan dengan seksama pria yang ada di hadapannya saat ini. Pria ini begitu berbeda, lebih bersih, tampan dan juga mempesona. Uluh … uluh … bisa CLBK kalau begini."Iya, aku bagian administrasi. Boleh minta nomer nggak?""Boleh saja, apa sih yang enggak buat mantan terindah. Hi hi, mana ponsel kamu, Wi?" Juleha menepuk tangan Dewi lalu meminta
Dewi masih sibuk memoles bedak pada wajahnya. Sedangkan Arum sudah bangun, ia sedang sibuk bermain boneka di atas ranjang."Arum sayang, Ibu kerja ya. Cari uang buat Arum, nanti kalau Ibu pulang Arum pengen dibawain apa?"Gadis kecil itu hanya nyengir, lalu memukul-mukul boneka yang berada disamping dan juga berada di depannya.Tak berapa lama pintu kamar terbuka, Dewi menoleh, mencari tahu siapa yang datang."Maaf, Wi.""Nggak papa masuk saja, Bu!" pinta Dewi pada wanita tua itu."Wi, kamu pacaran sama Joko?" Entah mengapa tidak ada angin tidak ada hujan Fatimah langsung bertanya. Memastikan kebenaran berita itu pada putrinya."Ibu, dapat informasi itu dari mana? Bulek Riris?"Fatimah terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. "Ibu tahu sendiri gimana Bulek, mana mungkin Dewi dekat dengan lelaki sampai Ibu tidak tahu! Ibu, untuk saat ini Dewi pengen fokus sama Arum dan juga Ibu. Jadi Ibu nggak perlu mikirin yang lain." Dewi menghampiri Fatimah, memeluknya bersamaan