"Jawab Mas! Jangan diam saja seperti ini. Lawan mereka yang merendahkanmu!" ucap Dewi dengan berteriak lantang. Lagi-lagi Veri hanya diam saja. Dia menunduk. Lalu terdengar kata keluar dari mulutnya pelan.
"Maafkan aku, Wi." "Mas Veri nggak salah! Yang salah warga ini semua! Mereka nggak beradab!" ucap Dewi masih dengan pembelaan pada Veri."Dasar perempuan edyan, nggak waras. Selingkuh sama bocah ingusan. Eh, apa kamu nggak mikir Veri itu punya anak kecil. Bisa-bisanya kamu Embat dia! Astagfirullahaladzim!" ucap salah satu warga membuat netra Dewi beralih padanya.Apa maksudnya? Apa maksud ucapannya baru saja? Apakah Veri selingkuh dibelakang Dewi?Mata.Dewi membulat sempurna. Pendengarannya sengaja ia pertajam agar terdengar jelas semua ucapan para warga."Dewi … Dewi. Kamu itu beg* atau bod*h. Bisa-bisanya dikadali sama suamimu sendiri. Suamimu itu batu saja digerebek warga, sedang ninu-ninu sama Dian. Dan kamu masih membela dia?""Mbak Dewi suami model buaya buntung kok dibela. Dia itu sudah mengkhianati Mbak Dewi. Kenapa masih dibela?" Para tetangga akhirnya sahut menyahut. Ucapan mereka benar-benar membuat Dewi terbelalak dengan kenyataan yang sebenarnya."Astagfirullahaladzim, Veri apa benar yang diucapkan Bapak-bapak itu?" tanya Ibu sembari menarik sarung yang dipakai Veri asal-asalan. Akhirnya Dewi memperhatikan Veri dengan seksama. Memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Rambutnya acak-acakan sedangkan wajahnya keluar darah dari mana saja. Semakin membuat Dewi marah ketika melihat bagian bawah Veri terlihat tanpa celana atau apapun itu. Jika saja tidak ada sarung yang menutupinya mungkin miliknya yang menjijikan itu terlihat jelas.Astagfirullahaladzim, berarti Dewi sedari tadi menangis meraung-raung membela lelaki bej*t yang sedang bermain api dibelakangnya? Bukan main. Benar-benar manusia menjijikan.Setelah itu netra Dewi beralih pada wanita yang tengah berdiri tak jauh dari kami yang tengah bersimpuh di lantai. Rambutnya juga terlihat acak-acakan hanya sehelai kain jarik yang menutupi tubuh polosnya.Terlihat dia menutupi pepaya miliknya yang bergelayut tak beraturan dengan tangan didepan. Menambah kemurkaan Dewi menjadi lebih berapi-api."Allahu Akbar," ucap Dewi lantang. Lalu wanita itu menghampiri wanita yang bernama Dian itu setengah berlari. Ditarik rambutnya ke kanan dan ke kiri. Terlihat dia hanya pasrah saja tak mau berbalik menyerang. Entah mengapa Dewi menjadi begitu kuat ketika amarah memuncak. "Astagfirullahaladzim, eling Nduk … eling … Ya Allah!" (Eling=inget) Ibu segera menarik lengan Dewi menjauhi wanita laknat itu bersama dengan Ibu-ibu yang lain. Ibu-ibu yang ternyata sudah berkumpul di halaman rumah Dian. "Sabar Dewi, jangan seperti ini." ucap salah satu warga. Sedangkan Dewi masih menjambak rambut Dian tanpa ampun. Semakin lama Dewi menjauhi Dian. Wanita itu terlihat menangis tergugu."Biada* kamu! B*jin*an kamu, mat* saja kau wanita murah**!" Wanita itu aku maki dengan kata-kata kotor. Amarah Dewi benar-benar sudah di ubun-ubun. Dewi yang awalnya membela mati-matian Veri kini justru berbalik menyerang Dian.Nafasnya terengah-engah. Kini air mata yang tadi menetes tiba-tiba saja sudah mengering berubah menjadi amarah tak terkendali. Kini giliran Veri, lelaki yang tak berdaya setelah dikeroyok itu kini mendapat tamparan keras dari Dewi.Plak ….Tangan Dewi mendarat tepat di pipi Veri sebelah kanan. Tamparan tangan sekuat tenaga olehnya meninggalkan bekas merah di pipi penuh luka."Kurang aj*r, lelaki biad*b!" Segera Dewi dijauhkan dari Veri oleh entah siapapun itu. Yang pasti jika ia bisa, ia sudah membun*h lelaki yang dua tahun ini membersamai.Dewi semakin tak terkendali. Ketika mengetahui kebenaran bahwa lelaki yang sedari tadi dia bela mati-matian ternyata tidak lebih dari seorang yang menjijikan di matanya sekarang ini.Andai saja tak ada Ibu dan juga para warga. Mungkin dia sudah membu*uh lelaki dan perempuan itu menjadi satu liang lahat. Mana mungkin ada istri yang bisa mengendalikan amarahnya. Mengendalikan kekecewaannya ketika mengetahui suami yang amat dicintai berani bermain api di belakangnya. Terlebih Dewi selama ini tidak pernah berpikir seburuk itu pada lelaki yang dianggapnya baik.Karena selama dua tahun mereka mengarungi bahtera rumah tangga tak ada yang salah di mata Dewi. Veri selalu bisa memanjakan Dewi dengan baik. Selalu perhatian dengan wanita berambut sebahu itu. Veri adalah lelaki yang perhatian dengannya dan juga putri semata wayang mereka. Selalu menjadi suami yang siaga dan juga peduli pada keluarga.Tapi ternyata semua perlakuannya hanya menutupi kebusukan perilakunya. Dewi saat ini benar-benar kecewa dan juga marah. Andai saja Dewi melihat penggerebekan itu terjadi. Menyaksikan dua manusia yang berselimut nafsu bina*ng. Entah apa yang akan dilakukannya?Astaga, entah dimana akal pikiran mereka hingga jam masih menunjukan angka sembilan tepat sudah berbuat maksiat. Apakah mereka sudah tidak bisa mengendalikan nafsu? Ya Tuhan, akan mendapatkan ganjaran seperti apa manusia seperti ini?"Kita arak mereka keliling komplek! Biar tau rasa!" Beberapa warga juga ikut marah dengan tingkah kedua insan tak bermoral itu. Berharap mereka mendapatkan hukuman yang setimpal. Apalagi bisa membuat mereka malu. "Tenang, saya harap warga bisa mengendalikan emosi!" tutur Pak RT dengan tenang meskipun dia tahu bahwa warga yang sedang dihadapinya tak ada satupun yang tenang. Kedua tangannya diangkat keatas. Memberikan pertanda bahwa semua warga harus bisa mengendalikan amarahnya. Pak RT adalah satu-satunya manusia yang harus berusaha tenang. Agar Veri dan juga Dian tidak mat* ditangan mereka."Tenang bagaimana tho Pak RT? Lha wong manusia model begini kok dibela! Seharusnya mereka ini di cambuk sampai mat* sekalian, menjijikan!" "Sabar … sabar Bapak-bapak. Kita akan adakan sidang. Sekarang biarkan mereka ini berpakaian lengkap dulu. Mereka ini juga manusia seperti kita."Beberapa warga masih terdengar kasak-kusuk dibelakang. Salah satu warga mengambilkan pakaian mereka lalu melemparnya. Veri dengan cepat menyambar pakaiannya yang berserakan di tanah. Entah apakah dia masih mempunyai rasa malu atau tidak? "Ganti disini aja, gak usah ditutup-tutupi memangnya masih punya malu?!" Salah satu warga berteriak. Dian berniat pergi ke dalam rumah namun tak sempat dia melangkah salah satu warga sudah mendorongnya. Tidak membiarkannya pergi dari tempatnya berdiri. Sedangkan Veri dengan cepat memakai semua pakaiannya.Dian pun akhirnya memakai pakaian yang ditanggalkannya dihadapan banyak mata. Wanita itu benar-benar dibuat malu."Wanita sudah tua, sudah memiliki cucu masih bersikap tak bermoral. Benar-benar tak punya malu!" Terdengar bisikan demi bisikan dari para warga yang ternyata sudah berkumpul semua. Entah kapan mereka datang yang pasti semua warga komplek itu sudah berkumpul menjadi satu di halaman rumah Dian.Dewi, wanita yang tadi menangis meraung-raung kini terlihat menjadi garang. Kedua tangannya diapit Ibu Fatimah, Ibu kandungnya yang tadi menemani. Dan juga salah satu tetangga, terlihat jelas sang Ibu menangis, kecewa mengetahui akan kebej*tan menantunya"Sekarang sebaiknya bubar! Kita pulang ke rumah masing-masing! Kita akan sidang besok saja. Tidak mungkin kita sidang sekarang.""Huuu," sahut para warga. Semua tidak terima dengan keputusan Pak RT. Terlalu bertele-tele. "Sekarang saja Pak RT. Kalau besok keburu melahirkan! Hahaha." Semua warga tertawa bersamaan. "Sudah-sudah sebaiknya Bapak dan juga Ibu pulang ke rumah masing-masing. Karena takutnya anak-anak kita mendengarkan keributan ini. Tidak baik untuk mereka ke depannya. Saya harap kalian bisa mengerti!" pinta Pak RT kepada warga. Akhirnya dengan terpaksa semua warga membubarkan diri. Begitu juga dengan Dewi. Dia pergi begitu saja bersama Fatimah dan juga Lek Tarno yang entah kapan sudah berada di belakang mereka. Meninggalkan Veri sendiri tanpa ada yang membantunya berjalan. Veri berjalan sendiri dengan tergopoh-gopoh menuju rumah. Menunduk tak berani mengangkat wajahnya sedikitpun. Sedangkan Dewi terlihat tidak memperdulikan lelaki yang masih sah menjadi suaminya itu. W
'Allahu Akbar, andai saja dia bukan Ibu mertuaku, mungkin sudah kusumpal mulutnya.' Dewi bermonolog dalam hati.Apakah Halimah tidak mempunyai hati nurani? Atau justru hatinya sudah tertutup oleh set*n? Anak menantu yang dikhianati justru disalahkan atas tingkah anak lelakinya. Andai Dewi bisa memilih, dia lebih memilih tinggal di rumah. Mengasuh Arum dan juga mengurus suami. Tapi ekonomi yang membuatnya harus tetap bekerja. Jika Dewi hanya mengandalkan gaji suaminya. Mana mungkin mereka sudah memiliki motor dan juga bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.Padahal semua kebutuhan bulanan sudah dicukupi oleh Dewi. Tak lupa dia juga membeli beras. Jika uang Veri habis, dia tak segan-segan meminjam uang pada Dewi dengan dalil membeli kuota. Lelaki macam apa itu, mengandalkan uang milik istri. Padahal jika dalam Islam uang suami adalah uang istri dan uang istri adalah uang istri itu sendiri. Kecuali jika si istri dengan ikhlas memberikannya. Berbeda lagi urusannya. Kehidupan Dewi dan Veri
Tok … tok … tok."Dewi, buka pintunya. Kita harus bicara." Dewi membuka matanya setelah mendengar seseorang mengetuk pintu dan memintanya membuka. Matanya mengerjap menjernihkan pandangan. Mata Dewi sembab karena semalam tak henti-hentinya menangis. Luka yang ditorehkan Veri begitu dalam. Entah apakah dia mampu bertahan setelah penggerebekan semalam.Beruntung hari ini Dewi libur. Sehingga dia tak perlu pergi meninggalkan Arum. Tapi jika nanti dia sudah bekerja, bagaimana dengan Arum. Halimah yang selama ini menjaga Arum terang-terangan membela Veri yang berbuat salah. Dewi sungguh malang nasibmu.Ceklek ….Dibuka pintu kamar dengan perlahan. Dewi berjalan gontai duduk di sisi ranjang."Wi, maafkan aku. Aku khilaf, aku janji tidak akan mengkhianatimu lagi."Dewi tersenyum getir. Semudah itu dia memohon. Sedangkan hati Dewi sudah terlanjur sakit hati."Sudahlah, Mas. Kita lihat saja nanti.""Dian itu merayuku, dia terus saja datang padaku. Percayalah, lelaki mana yang tidak tergoda ji
"Sayur …." Suara cempreng Mpok Indun terdengar dari luar. Memang jam pagi begini akan ada banyak tukang sayur yang berkeliling. Tapi kalau masih pagi seperti ini hanya Mpok Indunlah yang baru datang.Dewi tak kunjung keluar dari kamar. Mungkin dia masih malas dengan seluruh keluarga ini. Hingga akhirnya terlihat Halimah keluar dari pintu dapur berniat membeli sayur."Mpok, tahu sama tempe sepuluh ribu, cabe juga sama sayur ini." Rentetan sayur langsung dipilih Halimah tanpa memperdulikan bisikan para tetangga. Halimah memang seperti itu, dia mertua yang bermuka dua. Ketika anaknya belum digrebek warga dia selalu baik di depan Dewi meskipun pada kenyataannya Halimah selalu membicarakan menantunya itu dibelakang. Tapi saat ini sikapnya yang sebenarnya benar-benar terlihat jelas. Dengan menyalahkan Dewi sebagai pemicu Veri berselingkuh. Bukankah itu aneh? Atau justru tak wajar? Ah, memikirkan wanita satu ini benar-benar harus ekstra sabar. Padahal semua tetangga yang juga berada di s
Veri nampak tidak sabar akan menemui sang kekasih malam ini. Hari yang begitu cerah secerah senyum yang selalu mengembang di bibirnya."Wi, sebelum ke rumah Ibu, siapkan dulu ya seragam kerja Mas dan juga sepatu." ucap Veri sembari menyeruput kopi."Iya, Mas. Nanti Dewi nginep di rumah Ibu dua hari ya? Dewi sudah lama Ndak nginep di sana. Lagian besok Dewi juga libur, Mas.""Iya, terserah kamu saja.""Mas Veri Ndak mau nganter Dewi?""Eh, Anu. Mas mau pergi dulu. Ada acara, mau jenguk Imam. Dia kan habis operasi," jawab Veri gelagapan. Karena memang dia sedang menyembunyikan sesuatu pada sang Istri. Dewi tak menaruh curiga sedikitpun. Apapun yang diucapkan suaminya Dewi percaya begitu saja. Karena Dewi yakin Veri tidak akan berbuat macam-macam. Dewi memang istri yang baik. Di tengah kesibukannya bekerja dia tetap mengurus keperluan suaminya dan juga anaknya dengan baik. Dewi juga tidak pelit dengan penghasilan yang ia dapat. Dia membeli banyak perabot rumah tangga untuk membantu Ha
##bab 10"Astaga kenapa bisa begini?!" ucap Halimah dalam hati. Ketika Pak RT menemuinya dan juga suaminya dirumah. Membicarakan bahwa sang anak akan di grebek oleh warga di rumah Dian. Meskipun awalnya wanita itu membantah tuduhan yang diberikan kepada putra sulungnya. Tapi akhirnya Halimah diam, ketika Pak RT memberikan bukti dengan memperlihatkan sebuah video."Astagfirullahaladzim." Satu kata yang keluar dari mulut kedua orang tersebut yakni Andi dan juga Halimah."Nis … Nis," teriak Halimah pada anak keduanya. "Apa sih, Ma? Teriak-teriak?" Anis datang dengan langkah gontai sembari mengacak-acak rambutnya yang tidak terlalu panjang. Tangannya turun dan segera membenahi tingkahnya ketika melihat Pak RT tengah duduk di ruang tamu. Anis pun berjalan menghampiri sang Mama menanyakan ada perlu apa ia hingga dipanggil. "Ada apa sih, Ma? Kok ada Pak RT disini?" tanya Anis berbisik di telinga Halimah."Telepon Mbak Dewi. Suruh dia pulang sekarang!""Kenapa? Kan baru tadi pagi Mbak Dewi
"Tapi bukan salah saya sepenuhnya! Istrimu lah yang menggoda saya," sahut Veri tak mau kalah."Apa? Menggoda kamu? Apa Ndak salah? Siapa yang datang setiap hari Kamis? Siapa yang datang sebelum pergi bekerja? Siapa yang datang setelah pulang bekerja? Siapa yang lebih dulu telepon malam-malam? Saya punya bukti, semua bukti ada ditangan saya. Saya ini yang korban, korban lelaki bejat seperti kamu!" ucap Dian dengan mata berapi-api. Dadanya naik turun menahan amarah.Duar ….Seketika Veri terkejut ketika mendengar Dian membuka semuanya."Sebanyak itu, Mas? Kamu benar-benar menjijikan!" Semua orang tersenyum kecut mendengar ucapan Dian dan juga ucapan Dewi baru saja. Veri pun tak menyangkal hanya bisa diam karena tidak ada satu orang pun yang membela. Sedangkan lelaki yang bergelar bapak itu juga hanya diam. Sesekali menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan. Mungkin dia sadar jika sang anak memang bejat."Astagfirullahaladzim, bakar saja hidup-hidup manusia model seperti ini? Sudah
POV DewiAmarahku ikut memuncak ketika banyak orang berkata kasar pada Mas Veri. Terang saja dia begitu percaya dirinya berkata baru sekali. Padahal banyak saksi yang sudah mengetahui hubungan mereka berjalan selama setahun. Ya Tuhan, kemana saja aku selama ini hingga tak tahu jika Mas Veri bermain api dibelakangku. Aku memutuskan pergi dari tempat sidang. Dadaku sesak terasa nyeri dalam ulu hati. Meskipun sebenarnya sidang belumlah selesai. Aku juga tak menghiraukan jika nanti Mas Veri harus membayar denda sebesar lima belas juta. Satu juta saja mungkin dia tak punya apalagi sebesar itu. "Ibu." Aku berteriak memanggil Ibu ketika melihat sosoknya sudah berdiri diambang pintu. Mungkin sang besan tidak mempersilahkan dia masuk terbukti dia hanya berdiri tanpa duduk menghilangkan lelah selama perjalanan datang kemari.Ah, mertuaku ini juga begitu aneh. Dia tidak mau mengakui kesalahan putranya justru terkesan menyalahkan semuanya padaku."Nduk Wi, ayo pulang! Ndak usah tinggal di sini!
"Kamu libur hari ini, Wi?" tanya Bayu yang tengah duduk sembari menyisir rambut Nathan."Iya, Mas. Kebetulan libur tiga hari. Tanggal merah, nanti Dewi ikut ke pasar ya?""Arum gimana?""Biar Arum sama Ibu di rumah. Sudah, kalian pergi saja!""Assalamualaikum." Terdengar salam dari luar rumah. Dewi bergegas keluar, berniat mencari tahu siapa yang datang."Waalaikumsalam, siapa ya?" tanya Dewi spontan. Setelah melihat seseorang yang tak ia kenal. "Saya Udin teman Bayu. Bayu nya ada, Mbak?" tanya lelaki itu dengan sopan.Bayu yang mendengar suara Udin, segera bergegas keluar. Menyapa lelaki yang pernah ia tolong hingga membuatnya menjadi sekarang ini."Udin? Kemana aja kamu?" tanya Bayu segera menjabat tangan teman semasa sekolah itu."Maaf, ada beberapa masalah jadi nggak sempet ngabari!""Iya, waktu itu aku sempat ke rumahmu tapi malah di usir sama pembantu?""Pembantu? Rumah yang dulu itu sudah aku jual! Mungkin itu penghuni barunya.""Ow, ya sudah silahkan duduk dulu. Ada perlu apa
"Apa yang aku takutkan terjadi, andai kamu mau jujur sama Dewi, Bu. Semua tidak akan seperti ini.' Dewi bermonolog dalam hati."Bu Romlah, ada apa? Apakah semuanya tidak bisa dibicarakan baik-baik? Maaf, bukan bermaksud lancang. Tetapi kami sedang ada tamu," ucap Dewi sembari mengalihkan pandangannya kepada keluarga Danu.Fatimah menunduk, dia tidak berani berkata banyak. Sedangkan Romlah menghela napas panjang. Lalu membuangnya perlahan. Ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan."Fatimah, kenapa kamu tidak membayar hutangmu!" Nada bicara Romlah sudah di bisa ditebak, marah luar biasa."Maaf, Bu. Saya belum ada uang!""Terus kalau kamu nggak ada uang, kamu nggak bayar begitu?! Ada uang atau tidak itu bukan urusanku. Yang penting kamu bayar hutangmu, sini mana uangnya!"Fatimah masih diam tak menjawab. Dewi hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus bagaimana? Uang tabungannya sudah habis diberikan pada Bayu. Kini hanya tinggal beberapa lembar uang lima puluhan ribu. Itup
"Punya, Wi. Ibu masih punya uang tabungan, meskipun sedikit. Tapi lumayan bisa buat nambah-nambah modal Bayu.""Kamu harus semangat, Mas. Memastikan kalau usahamu bakalan sukses. Lihat, Ibu sudah mengorbankan uang tabungannya untuk modal kamu!""Siap, Wi. Mas mu ini semangat banget. Karena sekitaran sini kan belum ada yang jualan bakso. Semoga kedepannya lancar, dan juga laris manis. Amin," tutur Bayu panjang lebar. Semua orang mengamini doa Bayu. Barang belanjaan dibawa ke dapur. Setelah gerobak datang, Bayu segera membereskan kursi yang ada di teras. Menggantinya dengan gerobak lalu menyiapkan segala sesuatu nya di dapur. Meracik bumbu dan juga membuat bulatan-bulatan bakso yang siap di jual. Bayu pandai meracik bumbu. Dengan telaten dia menghaluskan bawang putih, merica dan juga garam. Tak lupa ia berikan penyedap rasa. Ada beberapa bumbu rahasia lain supaya bakso milik Bayu berbeda dengan bakso yang di jual. Sebuah langkah besar yang diambil Bayu. Berharap ada kebahagiaan di uj
"Iya, Ibumu pinjem duit sama Bu Romlah. Kamu tahu kan Bu Romlah? Kalau pinjem duit sama dia biasanya bunganya nyekek leher," tutur Riris panjang lebar. Dewi hanya diam saja. Menerawang jauh, memikirkan Fatimah, kenapa meminjam uang pada Romlah tidak memberi tahu Dewi? Apakah Fatimah tidak tahu bagaimana resikonya jika meminjam uang pada wanita itu.Wanita licik dan juga picik. Disaat memberikan uang, penuh dengan senyuman dan juga pujian. Andai terlambat membayar satu hari saja, lidahnya bak pisau yang tajam. Yang mampu membunuh tanpa menyentuh. "Wi, aku pulang dulu ya! Titip ini buat Arum," ucap Veri sembari menyerahkan amplop pada Dewi."Wah, duit itu?" tanya Riris yang melihat sekilas amplop berwarna putih itu.Tak ada seorang pun menjawab pertanyaan Riris. Veri yang cukup terganggu dengan kehadiran Riris pun langsung berpamitan. Meninggalkan Dewi yang masih diliputi rasa penasaran."Wi, berapa itu duitnya?" Riris kembali bertanya. Matanya tak lepas dari amplop. Dewi masih diam,
"Bay, kamu bilang istrimu pulang kampung. Ada urusan, terus kata Riris kemarin apa?" tanya Fatimah dengan nada bicara sedikit menggebu."Maafkan, Bayu. Bayu nggak bermaksud buat berbohong sama Ibu. Hanya saja, Bayu bingung bagaimana ngomongnya sama Ibu, Bayu takut!""Astagfirullahaladzim, Bayu. Ibu ini Ibu kandungmu. Sudah sewajarnya kalau kamu cerita sama Ibu. Terus, apa yang dikatakan Bulek mu itu bener? Kalau Ika pergi sama pria?""Bayu nggak tahu, Bu. Andai saja benar adanya. Itu alasan yang masuk akal agar aku bisa berpisah dengannya.""Astagfirullahaladzim, Bayu. Kamu ini lelaki, Nak. Kamu ini kepala keluarga, jangan seperti itu. Kamu akan bertanggung jawab kelak di akhirat. Ibu lihat kamu nggak ada perjuangannya, merubah Ika?"Bayu menunduk. Fatimah memperhatikan anak lelakinya itu dengan seksama. "Apa perlu Ibu jual rumah ini buat kamu usaha lagi?""Jual rumah?" tanya Dewi yang tiba-tiba sudah diambang pintu. Entah kapan Dewi sudah pulang, hingga mereka tidak mendengar suara
"Anis, hamil." Halimah menunduk begitu pula Veri. Ada rasa malu dan juga bersalah pastinya. Keluarga yang mereka bangga-banggakan dulu ternyata berujung kepahitan."Insyaallah, kami akan datang," jawab Fatimah dengan senyum mengembang.Tak ada tanggapan yang berarti mengenai kehamilan Anis. Bukan suatu hal yan perlu mereka urusi. "Wi, kamu belum menikah?" tanya Veri setelah cukup lama terdiam. Dewi hanya menggeleng. "Jika aku bercerai dengan Dian, maukah kau kembali kepadaku lagi?""Astagfirullahaladzim, jadi Mas Veri kesini mau minta saja balik lagi sama kamu?! Jangan harap, Mas. Aku nggak akan pernah kembali, biarkan masa lalu menjadi masa lalu. Tapi tak ada niat sedikitpun untuk mengulang.""Tapi, Wi.""Mas, kalau niatmu kesini minta aku kembali lagi, mending kamu pulang saja!" Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Tak berapa lama ada sebuah mobil Pajero berwarna putih berhenti di pekarangan rumah. Semua orang yang ada di ruangan itu sontak menoleh ke luar."Siapa itu, Ba
Setelah pertengkaran tempo hari. Ika tak kunjung pulang ke rumah. Entah kemana dia pergi? "Yu, kamu nggak nyari istrimu? Rumah tangga itu pasti ada pasang surutnya, wajar. Tapi apa kamu mau menyerah begitu saja?" tanya Fatimah yang tengah duduk di kursi yang ada di dapur."Nathan, kamu belajar ya di kamar. Papa mau bicara dulu sama Nenek!""Iya, Pa," jawab Nathan.Setelah Nathan pergi ke kamar. Bayu kembali melanjutkan pembicaraannya dengan Fatimah, dia tidak ingin jika Nathan mendengar masalah antara papa dan juga mamanya."Bayu, sudah nggak bisa mikir lagi, Bu! Bayu sudah berusaha merubah Ika, namun sayang, Ika terlalu keras kepala!""Tapi, Mas. Apa kamu nggak kasihan sama Ibu? Kalau Mas Bayu bercerai, apa kata tetangga mengenai keluarga kita? Aku sudah gagal berumah tangga, jangan sampai Mas Bayu juga demikian," sahut Dewi. Ia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi dekat dengan Fatimah. Tangannya sibuk mengaduk teh yang baru saja ia seduh."Maafkan, Bayu. Bu, Bayu …." Bayu menghentik
"Dewi? Ini Dewi kan?" Seketika Dewi dan juga Juleha terdiam. Mata mereka saling menatap lalu memperhatikan lelaki yang tengah menghampiri."I-iya saya Dewi, Bapak …." Dewi tak melanjutkan ucapannya. Takut jika dugaannya salah."Aku Danu. Masak lupa sama man- mantan," ucap Danu dengan senyuman menggoda.Dewi hanya menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Sembari tersenyum menutupi malu. "Cie, disamperin mantan." Juleha menggoda. "Apa kabar?" tanya Danu pada Dewi. "Alhamdulilah, baik. Kabar kamu sendiri gimana?""Alhamdulilah, kabar baik. Kamu kerja disini juga?"" Iya, dilihat dari penampilannya sepertinya kamu orang kantor ya?" Dewi memperhatikan dengan seksama pria yang ada di hadapannya saat ini. Pria ini begitu berbeda, lebih bersih, tampan dan juga mempesona. Uluh … uluh … bisa CLBK kalau begini."Iya, aku bagian administrasi. Boleh minta nomer nggak?""Boleh saja, apa sih yang enggak buat mantan terindah. Hi hi, mana ponsel kamu, Wi?" Juleha menepuk tangan Dewi lalu meminta
Dewi masih sibuk memoles bedak pada wajahnya. Sedangkan Arum sudah bangun, ia sedang sibuk bermain boneka di atas ranjang."Arum sayang, Ibu kerja ya. Cari uang buat Arum, nanti kalau Ibu pulang Arum pengen dibawain apa?"Gadis kecil itu hanya nyengir, lalu memukul-mukul boneka yang berada disamping dan juga berada di depannya.Tak berapa lama pintu kamar terbuka, Dewi menoleh, mencari tahu siapa yang datang."Maaf, Wi.""Nggak papa masuk saja, Bu!" pinta Dewi pada wanita tua itu."Wi, kamu pacaran sama Joko?" Entah mengapa tidak ada angin tidak ada hujan Fatimah langsung bertanya. Memastikan kebenaran berita itu pada putrinya."Ibu, dapat informasi itu dari mana? Bulek Riris?"Fatimah terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. "Ibu tahu sendiri gimana Bulek, mana mungkin Dewi dekat dengan lelaki sampai Ibu tidak tahu! Ibu, untuk saat ini Dewi pengen fokus sama Arum dan juga Ibu. Jadi Ibu nggak perlu mikirin yang lain." Dewi menghampiri Fatimah, memeluknya bersamaan