"Mereka sudah masuk ke dalam perangkap," ucapku pada seseorang di ujung telpon.
Terdengar embusan napas berat. "Ya, sudah. Lakukan rencanamu. Ingat, jangan menyakiti istrinya!"Aku berdecik kesal. "Itu urusanku, Fa! Kamu diam saja di sana!"Aku mematikan sambungan telpon dengan perasaan yang kesal.Raffa menyebalkan sekali. Bisa-bisanya dia melarangku untuk menyakiti Ainun. Dia harus merasakan sakitnya dicampakkan."Aku harus mulai menjalankan rencanaku. Susuk ini sudah berfungsi. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini," gumamku.Aku berjalan menuju pintu kemudian mengintip di balik daun pintu. Tampak Rasha dan Ainun begitu mesra.Aku geram dibuatnya. Dadaku terbakar api cemburu yang luar biasa."Aku harus cepat bertindak!"Aku membuka tas pakaian yang sejak tadi kubawa. Meskipun aku berencana bunuh diri, tapi pakaian harus sedia.Kubentangkan kimono berbahan tipis dengan belahan dadaSemenjak kedatangan segerombolan ibu-ibu tukang gosip itu, aku jadi stres dibuatnya. Bisa-bisanya dia dengan tanpa berdosa mau mengusirku. Mereka belum tahu saja dia sedang berhadapan dengan siapa. Nayla tidak akan pernah kalah. Hari ini Ainun tampak baik padaku. Biasanya dia akan menyuruhku mengurus diri sendiri tanpa peduli apakah aku lapar atau tidak. Namun, hari ini berbeda. Dia bahkan dengan senang hati membiarkanku jus lemon. Tak ada rasa curiga bahwa dia akan berbuat jahat. Toh, selama tinggal di sini, dia tak pernah melakukan hal jahat padaku. Satu gelas jus lemon habis tak bersisa. Namun, ada rasa keanehan yang kualami. Kepalaku mendadak berat, pandanganku buram hingga gelap. Setelah itu aku tak tahu karena tubuhku semakin melemah. Mataku mengerjai menangkap cahaya yang begitu terang. Berusaha memfokuskan pandangan yang masih memburam. Saat mata bisa menangkap jelas gambar yang ada di depan, aku tersentak saat menyadari suas
Semakin hari semakin aku menguasai Rasha. Raga memang milik Ainun, tapi soal hati? Dia sudah perlahan berpaling padaku.Aku selalu berusaha menjadi simpanan yang mengerti akan kegundahan hatinya. Padahal, tanpa dia sadari justru itu menjadi senjataku untuk merebutnya sepenuhnya dengan leluasa."Sha, kapan dinas di luar kota?" Tanyaku melalui sambungan telepon."Mungkin tiga hari lagi," jawabnya datar."Oh, gitu. Pulang dinas, mampir ya." Rasha terdiam tanpa membalas permintaanku. Ada apa? Apa dia takut lagi untuk mengkhianati istrinya? "Kenapa? Kamu takut lagi?" Tanyaku. "Nanti aja ya. Kalau keseringan ketemu, Ainun akan curiga. Lagian aku sudah mengkhianati istriku terlalu dalam. Dia istri yang sangat mencintaiku. Aku tidak mung —""STOP!" Aku mengatur napas yang sudah mulai tak beraturan. Tanganku mengepal kuat. "Kamu tahu kan, aku paling nggak suka kamu memuji istrimu di depanku."
"Sha, aku hamil," ucapku seraya menyodorkan hasil test pack dengan garis dua terpampang nyata. Jangan tanya kenapa aku yang tak memiliki rahim bisa hamil. Alat itu adalah bekas seorang ibu hamil yang kubeli untuk menjebak Rasha tentunya. Rasha menerima alat itu dengan tangan gemetar. Wajahnya mendadak pias. Aku tertawa di dalam hati. Rasha terduduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong ke depan. Aku tahu apa yang dia tengah pikirkan saat ini. "Sha, kamu tidak akan berpikir untuk meninggalkanku kan?" Tanyaku. Dia masih terdiam sembari memijit kepalanya. "Sha, aku percaya kamu nggak akan meninggalkanku," ucapku seraya bergelayut manja di lengannya. Rasha terus saja terdiam membuatku menyunggingkan senyum kemenangan. "Sha, kapan kamu akan menikahi ku?""Nay, beri aku waktu."Aku menggeleng tegas. Memberi waktu katanya? Sekali aku melangkah, aku tak ingin menyiapkan setiap detik yang berh
"Aku sudah masuk ke dalam rumahnya. Tinggal terus menjalankan rencana kita.""Pergerakanmu cepat juga," puji Raffa. Aku tersenyum miring. "Aku sudah bilang kan? Bukan hal sulit untuk menaklukkan Rasha.""Lalu, apa rencanaku selanjutnya?"Aku mendudukkan diri di sofa. Saat ini keadaan rumah sepi. Rasha berangkat kerja sedangkan aku tak tahu kemana wanita itu pergi. "Mengusir ratu di rumah ini."Terdengar embusan napas berat dari seberang. Aku tahu Raffa pasti tak setuju akan hal ini. Selalu saja begitu. Kenal saja tidak. Kenapa dia begitu kekeh ingin seolah melindungi Ainun?"Ya, sudah terserah kamu saja. Aku mau masuk ke ruang persidangan dulu."*Hari kujalani dan tak pernah lepas dari pertengkaran kecil di antara kami. Aku yang tak ingin diperintah sesuka hati oleh wanita itu begitu pun dengan dia. Alasan hamil adalah caraku untuk membela diri. Hingga Rasha pun turun tangan saat
POV Raffa. "Sial!" Umpatku. Berulang kali aku memukul setir. Rasa penyesalan itu kembali menyeruak saat kulihat sendiri seperti apa sosok Ainun. Rasa kasihan muncul seketika. Bagaimana mungkin aku tega menyakiti wanita sebaik dia?Aku menyesal mengikuti kemauan Nayla. Aku tak menyangka jika sosok Ainun jauh dari ekspestasiku. Kupikir Ainun adalah wanita yang sekeras Nayla, ternyata sosok ya begitu lembut. "Bunda, Naura mau makan es krim," pinta seorang anak kecil yang kuyakini itu adalah buah hati Rasha."Naura kan lagi sakit, Sayang," tolaknya lembut. "Tapi, Naura pengen."Ainun mensejajarkan tubuhnya pada anak perempuan yang bernama Naura. Senyumnya begitu hangat khas seorang ibu pada anaknya. "Naura sayang bunda kan?" Naura mengangguk. "Kalau Naura sakit, bunda sedih," ucapnya seraya memasang mimik bak orang yang begitu terluka. Tapi, aku melihatnya berbeda. Dia tetap cantik.
"Ya, Nayla adalah mantan istriku," ucapku lagi menegaskan apa yang mereka dengar. Mungkin bagi mereka ini adalah suatu kebetulan. Tapi, ini adalah bagian dari rencana Nayla. Hanya saja aku tidak berpihak pada Nayla. Aku ingin melindungi wanita ini."Dan aku kenal siapa suamimu. Dulu, kami satu kampus hanya beda fakultas. Aku pikir mereka adalah sahabat, ternyata diam-diam Rasha menaruh hati pada Nayla.""Aku tidak tahu apa-apa saat itu menjalin hubungan dengan Nayla. Andai aku tahu Rasha saat itu juga suka, aku tidak akan merebut Nayla darinya.""Kami menjalin hubungan cukup lama tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa Nayla dijodohkan. Itu penuturannya. Tanpa mau mencari tahu, aku menyetujui ide Nayla untuk membawanya pergi. Dan akhirnya menikah."Aku sengaja berbohong tentang membawa Nayla di hari pernikahannya. Itu semua permintaan Nayla. Padahal hari itu aku sedang di ruang sidang. Ainun dan Sinta terus menyimak ceritaku hingga
"Bagaimana, Ai?" tanyaku melalui sambungan telepon. "Sesuai dengan rencana. Mas Rasha sangat murka. Tapi, ada satu hal yang di luar perkiraan kita."Aku mengernyit, "Apa itu?""Mas Rasha sudah menjatuhkan talak pada Nayla."Aku mengembuskan napas pelan. "Benar-benar di luar rencana.""Padahal aku hanya ingin memberi pelajaran pada Nayla juga ingin membuat Mas Rasha menyesal. Bukan berniat memisahkan.""Kenapa? Bukannya itu lebih baik lagi?""Tidak, Fa. Aku ikhlas melepaskan Mas Rasha untuk dia."Aku tahu Ainun tidak akan setega itu. Entah hatinya terbuat dari apa. Dia tak menuntut banyak bahkan tidak berniat menghancurkan lawannya lebih dalam."Mungkin itu sudah jalannya, Ai. Sekarang saatnya kita harus fokus pada rencana selanjutnya.""Aku sudah menyiapkan semua."Aku tersenyum. Di dalam hati ini aku sudah bertekad untuk membantunya terlepas dari masalah yang terus menimpan
"Apa?" tanya Nayla dengan nada sinis. "Aku punya berita bagus untukmu.""Kalau nggak menarik dan menguntungkan, jangan berani untuk melanjutkan!"Aku mendelik malas. "Ayolah, Nay! Sabar dikit kenapa sih?""Yaudah."Aku menjeda kalimat sebentar untuk memilih kalimat yang pantas kuucapkan. "Ainu sudah menyiapkan berkas dan besok akan aku ajukan pada pengadilan.""Hah, serius?" tanya Nayla dengan antusias. "Ya.""Rasha tahu?""Ainun aka merahasiakan ini sampai surat panggilan dari pengadilan terbit."Kudengan tawa puas dari Nayla. Aku yakin dia akan menyusun rencana jahatnya lagi. Sebisa mungkin aku akan mencegah jika itu melukai Ainun."Aku harus apa agar prosesnya cepat?"Aku mulai menjelaskan padanya bahwa jika ingin mempercepat proses perceraian maka lihak tergugat atau pihak tergugat bahkan keduanya tidak pernah hadir dalam sidang perceraian. Tiga kali
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak