"Apa?" tanya Nayla dengan nada sinis.
"Aku punya berita bagus untukmu.""Kalau nggak menarik dan menguntungkan, jangan berani untuk melanjutkan!"Aku mendelik malas."Ayolah, Nay! Sabar dikit kenapa sih?""Yaudah."Aku menjeda kalimat sebentar untuk memilih kalimat yang pantas kuucapkan."Ainu sudah menyiapkan berkas dan besok akan aku ajukan pada pengadilan.""Hah, serius?" tanya Nayla dengan antusias."Ya.""Rasha tahu?""Ainun aka merahasiakan ini sampai surat panggilan dari pengadilan terbit."Kudengan tawa puas dari Nayla. Aku yakin dia akan menyusun rencana jahatnya lagi. Sebisa mungkin aku akan mencegah jika itu melukai Ainun."Aku harus apa agar prosesnya cepat?"Aku mulai menjelaskan padanya bahwa jika ingin mempercepat proses perceraian maka lihak tergugat atau pihak tergugat bahkan keduanya tidak pernah hadir dalam sidang perceraian. Tiga kali"Maaf, aku telat," ucap Ainun. Aku tersenyum simpul menanggapinya. Saat ini kami hanya berdua. Sinta tak bisa ikut menemani kami karena suaminya Yuda mengajaknya berlibur bersama. "Naura nggak ikut?" tanyaku basa-basi. "Dia kutitipkan di rumah neneknya. Mama rindu sama cucunya.""Oh gitu."Ainun kemudian menyerahkan sebuah map berwarna kuning. Kuraaih map itu lalu membukanya. Beberapa lembar dokumen yanhg kubutuhkan untuk proses pengajuan. Mataku menelisik setiap lembar berkas yang ada di tanganku."Gimana?""Lengkap."Dia tersenyum simpul. "Hari ini aku akan mengajukan ke pengadilan. Selanjutnya kamu tinggal tunggu surat panggilan dari pengadilan untuk sidang perceraian kalian."Ainun mengangguk paham. Kami kembali terdiam dengaan pikiran masing-masing. "Ai, setelah proses perceraian ini selesai, apa rencana kamu selanjutnya?"Ainun mengalihkan pandangan ke luar. Pandaangannya berubah sendu. "Aku akan kembali ke ka
"Ai, ini surat undangan dari Pengadilan Agama. Beberapa hari lagi sidang pertama akan dimulai."Aku menyodorkan amplop berwarna putih pada Ainun. Perlahan tangannya meraih amplop yang tergeletak di atas meja. Matanya berembun. Mungkin ada luka yang masih menganga. Aku paham itu. "Satu minggu dari sekarang ya jadwalnya?" Aku mengangguk. "Untuk mas Rasha?""Kamu yakin akan menyerahkan sendiri. Padahal aku bisa mengirimnya ke kantor Rasha."Ainun menggeleng seraya tersenyum lembut. "Aku nggak apa-apa. Nggak baik rasanya mengirim ke kantor. Aku nggak mau surat itu menjadi rumor di kantornya."Aku terdiam. Sungguh wanita yang baik. "Aku maunya pisah baik-baik. Kalau perlu nggak ada yang tahu di luar sana. Ini masalah rumah tangga.""Kamu baik banget.""Aku hanya tidak ingin mempermalukan ayah dari putriku."Aku tersenyum. Dia yang sudah disakiti dengan luka yang dipendam, tak ada drama menyakiti lawan dan pasangan, dia juga y
"Kita nggak bisa menunggu sebentar?""Kenapa?"Aku berusaha memutar otak memikirkan kalimat apa yang pas untuk kujadikan alasan. Bella adalah tipe wanita yang tak suka jika keinginannya tidak dituruti. Jika hal itu terjadi maka dia akan berusaha melakukan segala cara agar keinginannya terwujud. Ini semua salah papa yang malah menjodohkanku dengan anak sahabat lamanya. Padahal aku bisa mencarinya sendiri."Sayang!""Pokoknya aku nggak bisa dalam waktu dekat!" jawabku seraya mematikan sambungan telpon secara sepihak. Aku tak peduli lagi apa yang tengah dipikirkannya. Juga tak peduli papa akan marah aku sudha mengabaikan Bella. Dari awal aku sama sekali tak menyetujui perjodohan ini. Aku tahu watak Si Princess itu. Bersamanya bukannya bikin nyaman malah jadi eneg. Kulempar asal ponsel kemudian beranjak menuju kamar mandi. Aku butuh sesuatu yang bisa menyegarkan pikiran. *"Pagi, Mister Perpect!" Panggil Marvel. Ya, di kantor i
Semenjak sidang pertama dibuka, sidang ke dua dan ke tiga tetap saja sama. Rasha tidak memenuhi panggilan sidang sehingga harta yang sesuai dengan perjanjian pranikah dan hak asuh anak dimenangkan oleh Ainun."Alhamdulillah selesai juga akhirnya," lirih Ainun. "Ciye, janda baru," goda Sinta. "Ini mah janda high class," belaku. Sinta mengerucutkan bibirnya. "Iya deh, iya, yang dibela. Aku mah nggak."Kami berdua tertawa. Sinta memang seperti itu, kadang dewasa kadang seperti anak kecil. "Eh, rayain dong, kebebasannya," usuk Sinta. Aku melirik ke arah Ainun berharap dia menyetujui usulan sahabatnya. "Eum, tapi kan Naura —"Sinta mendelik malas. "Please, deh, Ai. Kamu baru aja terbebas. Harusnya dirayain. Kan Naura bareng mantan mertua kamu."Ainun menoleh ke arahku. Aku tak tahu mau menjawab apa. Hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban. "Ya, sudah. Tapi, Raffa ikut kan?"Bagai dibawa terbang oleh para peri, hatiku melaya
Hari berlalu begitu cepat. Ainun beberapa hari yang lalu memilih pulang kembali ke kampung halamannya. Aku tahu, akan sangat sulit baginya untuk bertemu keluarganya dengan status berbeda. Ponselku berdering menampilkan nama kontak yang membuatku tertekan. Nayla. "Halo, Nay. Ada apa telpon malam-malam begini?"Jujur saja, aku sangat malas berurusan dengannya. "Kita hampir saja ketahuan.""Ketahuan?""Aku bersyukur, Rasha memang sebodoh itu dari dulu." Nayla tertawa keras dan itu membuatku semakin risih dibuatnya. "Aku akan berusaha mencari cara agar harta itu jatuh ke tanganku. Itu semua gara-gara kamu, Raffa!""Aku? Kamu saja yang bodoh tidak mengurusnya sejak awal."Sengaja aku bersikap seolah-olah mendukung segala kemauannya. Itu semua aku lakukan agar Nayla tidak melukai Ainun."Kamu yang bodoh! Kenapa juga kamu menyarankan Ainun untuk mengambil semua hartanya. Lalu aku kebagian apa?!" Bentaknya. "Itu urusan kamu. Ak
Malam ini kuputuskan untuk mengakhiri permainan ini. Aku tidak ingin terlibat lagi dengan apapun rencana Nayla. Bayangan Ainun yang selalu menghantuiku membuatku ingin segera mengakhiri semua inu. Ainun, wanita yang dikhianati suaminya, tidak mungkin aku melukainya lagi. "Halo, Nay.""Jangan menelfonku tanpa memberitahu dulu!"Aku tidak peduli. Aku harus menyelesaikan semua ini. "Aku nggak bisa melanjutkan rencanamu. Tugasku sudah selesai.""Maksud kamu?""Aku sudah putuskan untuk berhenti kerjasama."Nayla terdengar mendecih. Aku tahu dia pasti sangat marah dengan keputusanku. "Jangan bilang kamu sudah jatuh cinta sama wanita itu.""Ya, itu benar. Dan aku akan melindunginya.""Tidak! Itu tidak sesuai dengan perjanjian kita!" bisiknya tapi masih bisa ku dengar. "Memang bukan itu perjanjiannya. Tapi dalam hal ini aku berhak untuk jatuh cinta kan? Dan aku benar-bemar menyukainya. Bukan untuk misi tapi untuk masa depanku."
"Pak, wanita itu datang lagi," ucap Rina. Aku mendengus kesal."Apa kurang arahan yang aku sampaikan kemarin? Buat alasan apa saja agar dia tidak masuk ke ruangan ini!" tegasku. "Tapi, Pak —"Aku mengangkat tangan ke udara. Rina berlalu meninggalkanku. Kuembuskan napas kasar. Dia benar-benar membuatku gila. Untuk apa dia ke sini?Aku memutuskan melanjutkan pekerjaanku. Akan tetapi, baru saja tangan ini hendak menyentuh keyboard, pintu kembali diketuk. "Masuk!"Rina muncul di balik pintu. "Ada apa lagi?" geramku."Maaf, Pak. Tapi, sepertinya bapak harus keluar sendiri. Wanita itu mengamuk di luar, Pak," ucapnya takut. Aku menggeram. Tangan ini mengepal. Rina buru-buru keluar tanpa permisi. Aku melangkah keluar dengan terburu-buru. Malas rasanya berurusan dengan wanita itu lagi. Saat langkahku tiba di depan resepsionis, mata ini menangkap sosok yang sangat menyebalkan. Nayla."Keluar juga akhirnya," sinisnya. Ak
"Lusa saya akan berangkat ke Bandung. Tolong aturnulang jadwal pertemuan saya dengan klien!" titahku pada Rina. "Tapi, Pak, bukannya bapak harus perjalanan bisnis dulu?"Aku mengernyit. Ku perhatikan kalender yang menempel di atas meja kerja. "Oh, God!" desisku sembari menepuk kening ini. Bagaimana aku bisa lupa? Aku dilema jadinya antara memilih perjalanan bisnis atau segera menyusul Ainun. Tapi, keduanya sangat penting."Bagaimana, Pak? Atau aku harus menjadwalkan ulang perjalanan bisnisnya?"Aku menggeleng kuat. "Tidak perlu. Kalau dijadwalkan ulang, bisa jadi mereka akan mbatalakan kerjasama. Punya calon mitra seperti Tuan Aldo begitu susah didapat."Rina memgangguk kemudian meninggalkan aku setelah kuijinkan untuk meninggalkan ruangan ini.Selain berprofesi sebagai pengacara, aku juga memiliki bisnis sampingan. Bisnis properti import yang bekerja sama langsung dengan Tuan Aldo. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu asli Indon
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak