Malam ini kuputuskan untuk mengakhiri permainan ini. Aku tidak ingin terlibat lagi dengan apapun rencana Nayla. Bayangan Ainun yang selalu menghantuiku membuatku ingin segera mengakhiri semua inu. Ainun, wanita yang dikhianati suaminya, tidak mungkin aku melukainya lagi. "Halo, Nay.""Jangan menelfonku tanpa memberitahu dulu!"Aku tidak peduli. Aku harus menyelesaikan semua ini. "Aku nggak bisa melanjutkan rencanamu. Tugasku sudah selesai.""Maksud kamu?""Aku sudah putuskan untuk berhenti kerjasama."Nayla terdengar mendecih. Aku tahu dia pasti sangat marah dengan keputusanku. "Jangan bilang kamu sudah jatuh cinta sama wanita itu.""Ya, itu benar. Dan aku akan melindunginya.""Tidak! Itu tidak sesuai dengan perjanjian kita!" bisiknya tapi masih bisa ku dengar. "Memang bukan itu perjanjiannya. Tapi dalam hal ini aku berhak untuk jatuh cinta kan? Dan aku benar-bemar menyukainya. Bukan untuk misi tapi untuk masa depanku."
"Pak, wanita itu datang lagi," ucap Rina. Aku mendengus kesal."Apa kurang arahan yang aku sampaikan kemarin? Buat alasan apa saja agar dia tidak masuk ke ruangan ini!" tegasku. "Tapi, Pak —"Aku mengangkat tangan ke udara. Rina berlalu meninggalkanku. Kuembuskan napas kasar. Dia benar-benar membuatku gila. Untuk apa dia ke sini?Aku memutuskan melanjutkan pekerjaanku. Akan tetapi, baru saja tangan ini hendak menyentuh keyboard, pintu kembali diketuk. "Masuk!"Rina muncul di balik pintu. "Ada apa lagi?" geramku."Maaf, Pak. Tapi, sepertinya bapak harus keluar sendiri. Wanita itu mengamuk di luar, Pak," ucapnya takut. Aku menggeram. Tangan ini mengepal. Rina buru-buru keluar tanpa permisi. Aku melangkah keluar dengan terburu-buru. Malas rasanya berurusan dengan wanita itu lagi. Saat langkahku tiba di depan resepsionis, mata ini menangkap sosok yang sangat menyebalkan. Nayla."Keluar juga akhirnya," sinisnya. Ak
"Lusa saya akan berangkat ke Bandung. Tolong aturnulang jadwal pertemuan saya dengan klien!" titahku pada Rina. "Tapi, Pak, bukannya bapak harus perjalanan bisnis dulu?"Aku mengernyit. Ku perhatikan kalender yang menempel di atas meja kerja. "Oh, God!" desisku sembari menepuk kening ini. Bagaimana aku bisa lupa? Aku dilema jadinya antara memilih perjalanan bisnis atau segera menyusul Ainun. Tapi, keduanya sangat penting."Bagaimana, Pak? Atau aku harus menjadwalkan ulang perjalanan bisnisnya?"Aku menggeleng kuat. "Tidak perlu. Kalau dijadwalkan ulang, bisa jadi mereka akan mbatalakan kerjasama. Punya calon mitra seperti Tuan Aldo begitu susah didapat."Rina memgangguk kemudian meninggalkan aku setelah kuijinkan untuk meninggalkan ruangan ini.Selain berprofesi sebagai pengacara, aku juga memiliki bisnis sampingan. Bisnis properti import yang bekerja sama langsung dengan Tuan Aldo. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu asli Indon
Hari ini aku melakukan perjalanan ke Swiss bersama dua rekanku. Zacky dan Leo.Sepanjang perjalanan aku begitu gundah. Aku tak berhenti memikirkan bagaimana Rasha akan membujuk mantan istrinya."Pak, Tuan Aldo sudah menuju ke sini."Aku segera mempersiapkan bahan yang akan dipresentasekan.Sepuluh menit berlalu, seorang lelaki gagah dan tampak berwibawa memasuki restoran tempat kami janjian. Tuan Aldo datang bersama istrinya-Jane."Selamat pagi, Pak Raffa. Senang bertemu dengan anda.""Selamat pagi, Tuan Aldo dan Nyonya Jane."Kami kemudian saling berjabat tangan lalu duduk di kursi masing-masing."Lama juga ya kita tidak bertemu?" Aku tersenyum seraya mengangguk. "Hampir satu tahun.""Bagaimana kabar Om?" tanyanya. "Papa baik-baik aja.""Aku pikir kamu akan membawa pasangan ke sini sekaligus berlibur. Atau .... Kamu tinggalkan dia di hotel?"Aku menggeleng. "Aku masih betah sendiri.""Atau aku carikan gadis Eropa?
Senyumku mengembang saat pesawat mendarat selamat di bandara Internasional Soekarno Hatta. Langkahku sengaja kuperlebar agar bisa segera sampai di rumah. Setelah melakukan perjalanan tiga puluh menit dari bandara menuju apartemen, aku segera membersihkan diri. Rencanaya besok lagi aku akan bertandang ke Bandung untuk menemui Ainun.Baru saja ingin mengabari Ainun besok pagi aku akan menyusulnya, tiba-tiba bel berbunyi. Langkahku gontai menuju pintu."Kamu pulang kok nggak ngabarin?" protes Bella. Tanpa menunggu jawaban dariku dia langsung menghambur memelukku. Aku yang terbiasa dengan sikap Ainun spontan mendorong Bella.Matanya membulat sempurna saat tubuhnya jatuh ke lantai. "Kamu kok malah dorong aku sih?!"Aku hanya berdiri mematung melihatnya yang kesusahan bangun karena high heelsnya terlalu tinggi. "Bantuin dong!"Tanganku perlahan terulur membantunya untuk bangun. Bella langsung saja masuk ke dalam apartemenku tanpa
Aku pulang dengan perasaan yang berkecamuk. Hati ini tentu sangat sakit diperlakukan seperti itu.Ini semua karena papa. Dia terlalu berambisi untuk urusan bisnis. Padahal, banyak investor yang lebih baik dari pada keluarga Om Bagaskara."Papa mana, Ma?" tanyaku saat tiba di rumah. "Papa lagi di ruang kerja. Ada apa?"Aku tak sempat untuk menjawab pertanyaan mama. Langkahku kuperlebar agar segera bertemu dengan Papa. "Pa, Raffa ingim bicara."Lelaki yang sudah berumur enam puluh tahun itu hanya melirikku sekilas lalu melanjutkan kegiatannya membaca koran. Aku duduk tepat di depannya. Papa masih memilih diam. Begitulah watak papa, dia sangat irit bicara dan egois. "Pa, Raffa tidak ingin melanjutkan hubungan bisnis dengan Om Bagaskara.""Kenapa?" tanya Papa tanpa menoleh sedikitpun. "Pa, Om Bagaskara itu terlalu sembong. Angkuh. Dia sudah menginjak-injak harga diri Raffa," ucapku yang sedang tersulut emosi. Papa melipat koran yang
"Jadi, bagaimana, Abah? Apa Raffa diizinkan suatu hari nanti untuk menjaga Ainun? Saya siap menunggu.""Tidak!"Aku dan Abah sontak menoleh ke arah pintu. Wajahku berubah pias seketika saat menyadari siapa yang datang.Bella? Abah mempersilahkan ke duanya masuk. Hal itu membuatku semakin dilanda kecemasan luar biasa. Aku tahu watak Bella. Bagaimana jika dia menyakiti Ainun juga?"B-Bella?""Maaf, Abah, Rasha baru sampai."Rasha mencium takzim tangan abah kemudian duduk di samping Ainun berjarak beberapa centimeter. Hal itu membuatku dilanda cemburu.Sememjak kehadiran Bella aku terus merasa gelisah. Alu takut dia berbuat hal yang tak diinginkan. "Maaf, kedatanganku mendadak. Kenalkan saya Bella-calon istri Raffa."Aku tersentaknsaat Bella tanpa basa-basi mengakui statusnya. "Bella!" tegurku.Bella menoleh ke arahku dengan tatapan penuh amarah. "Kenapa? Kamu kaget aku datang menyusul?"Aku memilih bungkam. Bella me
Setelah kejadian kemarin, aku kembali menemui Ainun. Kali ini, tujuanku adalah untuk berpamitan padanya. Aku tahu, sangat berat melepas cinta yang semakin bersemi di dalam hati. Namun, ala daya, semua di luar kuasaku. "Ai, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku cuma bisa berharap kamu mau memaafkan semua kesalahanku."Ainun hanya diam menatapku. Desiran di dalam hati ini tak pernah berubah. Masih saja sama untuk orang yang sama."Aku berani bersumpah atas nama Allah. Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu. Bahkan aku sudah berjanji sama diri sendiri untuk bahagiakan kamu. Namun, mungkin kita bukanlah sepasang nama yang tertulis di kitab lauhul mahfudz."Air mata ini untuk yang pertama kalinya jatuh. Seumur hidupku, Ainun adalah wanita setelah mama yang berhasil membuatku begitu rapuh. Kupandangi wajah teduhnya. Kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Ah, senyuman itu. "Aku sudah maafin kamu, Raffa. Tapi, maaf, aku nggak bisa menerima kamu di d
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak