Entah aku harus bersikap apa sekarang. Bahagia atau justru sebaliknya. Ada rasa yang menyesakkan semenjak kepergian Raffa. Aku mengembuskan napas yang terasa sesak di dalam dada. Pandanganku menerawang jauh mengingat bagaimana kedekatan kami. "Nun." Aku menoleh.Seseorang memanggil namaku. Suara yang begitu kukenal. Senyum terpatri dari wajahnya. Sosok yang selama ini yang kucintai juga yang tak kuinginkan kehadirannya.Panggilan itu sudah lama tak kudengar darinya. Dulu jika dia memanggilku, aku akan segera berlari memeluknya begitu erat. Sekarang semuanya sudah berbeda. Aku hanya bisa terpaku di tempat. "Iya, Mas."Mas Rasha mendekat. Matanya tak mau lepas dari wajahku. "Mas mau minta maaf.""Untuk?""Untuk semua perlakuan dari mas. Untuk sakit yang mas torehkan."Aku membuang wajah. Mataku kembali berkaca. Sebisa mungkin ku normalkan deguban jantung yang semakin terasa."Aku sudah maafkan, Mas. Semua sudah berlalu."
"Neng."Aku masih memilih membenamkan wajah di bantal. "Kenapa atuh?" tegur Umi. Aku hanya memilih diam. Tak mungkin rasanya umi akan melihat kerapuhanku saat ini. Tangannya membelai lembut kepalaku yang terbalut kain. "Kamu teh, masih mencintai mantan suami?" tanya Umi lembut. Aku masih memilih bungkam. Rasa sesak di dalam dada semakin menyiksa.Perlahan aku bangun lalu tidur di atas pangkuan orang yang telah melahirkanku ke dunia. "Umi, kenapa dia harus kembali?"Umi masih terdiam, tangannya masih aktif membelai rambutku. "Neng sudah berusaha untuk melupakan dia, semuanya hancur saat dia kembali, Umi. Neng harus apa?" tanyaku disertai isak tangis. "Kamu harus bisa melupakan dia. Untuk apa mengingat jika itu memyakitkan?""Sulit, Umi.""Neng teh harus bisa."Aku terdiam saat menyadari bahwa umi sudah tak mengharapkan kami untuk bisa bersama kembali.Aku sadar, orang tua mana yang bisa menerima kembali seseoran
"Teteh?" Tegur seseorang saat aku hendak memilih sayuran."Aisyah?"Perempuan dengan tampilan syar'i itu tersenyum hangat. Aisyah lalu mendekat ke arahku. "Sendirian aja?""Nggak. Ada si Bagas di sana nungguin.""Kamu sendiri gimana? Nggak sama mertua atau Fariz?"Aisyah tersenyum. Kali ini senyumnya sangat berbeda. "Bunda dan Aa lagi pergi. Aisyah nggak tahu mereka kemana."Aku hanya mengangguk sembari memilih sayuran yang akan kuolah. "Mang, bayam satu ikat, bawang putih tiga siung, bawang merah setangah kilo, cabe dan tomat masing-masing sekilo ya!"Mang Asep hanya mengangguk, tangannya sibuk memilih daftar belanjaan yang kusebut. Kupandangi lekat wajah Aisyah yang terlihat semakin tirus. Belum lagi rautnya begitu pucat."Kamu sakit?" tanyaku penasaran.Aisyah menggeleng lemah. " Mungkin karena kecapean aja, Teh.""Kalau kecapean ya istirahat atuh."Aisyah hanya bisa tersenyum. "Ini, Neng!""Berapa, Man
"Hanya itu?" tanyaku. Aisyah mengangguk samar. Kepalanya menunduk seketika. Aku tahu apa yang tengah dirasakan oleh Aisyah. Semua wanita juga ingin merasakan namanya menjadi seorang ibu. Kehadiran buah hati adalah dambaan para orang tua. Lantas bagaimana jika.Allah belum berkehendak?Tak dipungkiri bahwa fenomena menantu yang belum memberikan mereka cucu akan meenjadi bulan-bulanan keluarga. Pihak istri adalah korban yang laling tersakiti. Bagi mereka jika seorang wanita yang sudah lama menikah dan belum memberikan mereka keturunan maka dianggap tak berguna. Sungguh miris dan itulah kenyataan yang ada. Harusnya mereka mensupportnya bukan malah menjatuhkan."Anak adalah rejeki dari yang Kuasa. Kita sebagai hamba hanya bisa berdo'a dan ikhtiar. Allah tahu kapan waktu terbaik untuk hamba-Nya.""Tapi, Teh, aku selamanya nggak akan pernah bisa memberikan Bunda seorang cucu," lirihnya. Aku mengernyit tak mengerti maksud dari Aisyah. "Aku
Tiga hari telah berlalu dan Aisyah masih dirawat di rumah sakit. Hari ini aku berencana menjenguknya.Menurut informasi yang kudapat, Aisyah sekarang dipindahkan di ruang perawatan. Aku bersyukur, dia bisa kembali sadar. "Umi, Abah, Neng mau ijin jenguk Aisyah, ya?""Neng ke sana mau sama siapa? Abah nggak bisa antar soalnya abah dan umi mau ke rumah keluarga.""Neng bisa ke sana sendiri. Kalau Naura mau ikut sama abah dan Umi, juga boleh. Di rumah sakit anak kecil dilarang masuk."Abah mendekati cucu semata wayangnya. "Nayra ikut kakek dan nenek ya? Bunda mau ke rumah sakit dulu," bujuk Abah. "Siapa yang sakit?""Tante Aisyah, Sayang."Wajah Naura berubah mendung. Aku tahu dia pasti sedih.Aisyah adalah teman mainnya selama ini dan benar saja, selama Naura di sini, mereka tidak pernah lagi bertemu. "Naura ikut, Bunda," rengeknya. Aku berjongkok mensejajarkan tubuh kami. "Sayang, kamu tidak boleh ikut. Di rumah sakit itu
"Aisyah mohon, Teh. Aa adalah cinta sejati teteh. Sebelum waktuku tiba, aku ingin melihat Aa bahagia," pintanya. Aku menggeleng pelan. Ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa aku menikahi seorang lelaki yang istrinya tengah menunggu waktunya? Aku tidak setega itu. Terlebih aku yakin Fariz akan menentang keras permohonan istrinya."Maaf, Aisyah, teteh nggak bisa.""Aisyah mohon, aku ingin pergi dengan tenang," ucapnya di sela isak tangis. Aku terdiam. Dilema melanda. Kulihat wajah kurus Aisyah begitu terluka. Aku pun tak tahu, dia terluka karena merasa waktunya sebentar atau memikirkan harus rela berbagi suami. "Maaf, Aisyah. Permintaanmu terlalu berat.""Aisyah mengerti. Teteh bisa pikirkan kembali. Tapi, aku mohon, teteh bisa mengabulkan permintaanku."Kami kembali sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Sungguh, ini di luar dugaanku. *"Neng, kunaon melamun teh?" tanya Umi. "Nggak apa-apa, Umi."Umi men
Pov. Fariz"Aa, adek ingin dimadu."Tubuhku membeku seketika saat Aisyah-istriku melontarkan permintaan yang membuatku diam seketika. Tubuhku menegang. Tangan yang tengah memegang sendok mendadak kaku. Pandangan kami bertemu. Kami saling diam satu sama lain. Air mata mengalir begitu saja membasahi wajah kurus dan pucat istriku. Ya, Aisyah sakit. Sudah terhitung beberapa bulan ini kondisinya semakin menurun. Jangankan berat badan, bahkan rambutnya perlahan menipis. Kami sudah berikhtiar untuk melakukan berbagai macam pengobatan. Akan tetapi, penyakit ganas itu seolah ingin merenggut dia dari sisiku. Tak terhitung sudah berapa kali kami keluar masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Namun, hasilnya sesuai dengan penjelasan dokter."Melakukan kemoterapi memang untuk melunakkan virus yang menggerogoti tubuh istri bapak. Tapi, kelemahannya adalah imunnya bisa saja perlahan menurun. Tandanya itu seperti penurunan kekuatan otot, berat b
[Ai, aku ingin bertemu]Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Aku tertegun sejenak membaca isi pesannya. Untuk apa Fariz ingin ketemu?[Tapi, bagaimana dengan Aisyah?][Ini atas dasar keinginan Aisyah.]Deg. Apa karena hal itu? Tentang ingin dimadu. Ragu ingin membalas apalagi mengiyakan. Aku dilema harus bagaimana. Sebuah panggilan masuk membuatku semakin kalap. [Aku mohon demi Aisyah]Kembali pesan singkat masuk. Kutarik napas dalam kemudian segera membalasnya. [Baiklah. Di mana?] [Di rumahmu biar nggak ada fitnah.]Aku menyetujuinya. Kuhampiri Abah yang sedang menonton dengan Naura. "Abah, Neng mau ngomong."Abahnyang sedang asyik menonton dengan cucunya kemudian menoleh."Kenapa, Nak?""Fariz mau bertamu ke rumah, Bah."Alis abah mengernyit. Aku tahu abah pasti terkejut. "Ini permintaan Aisyah katanya."Abah merubah posisi duduknya. Naura yang sejak tadi asyik menonton menoleh ke arahku.
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak