Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Perasaan takut ketahuan menguasai diriku. Pintu di dobrak dua kali, tetapi pada dobrakkan ketiga terdengar suamiku keluar dari kamar dan bertanya ada apa pada Desi dan Steven si pria gondrong.
Seketika perasaanku mulai tenang mendengar Mas Rafael keluar dari kamar. Tak berselang lama, terdengar suara ketukan di pintu kamar. “Siapapun di dalam tolong buka pintunya.” Suara khas bariton suamiku terdengar tegas dari luar. Membuatku gugup dan tak tahu harus berbuat apa.
Lima menit kemudian, kembali terdengar ketukan yang lebih kuat disertai dengan ancaman dari suamiku. “ Buka pintunya sekarang atau saya dobrak. Dan jika tidak, saya akan menelepon polisi sekarang,” ujarnya dengan nada mengancam.
Aku yang gemetaran ketakutan, berusaha menguasai diri dan mencoba menepis kegugupanku. Segera kubuka pintu kamar dengan kepala menunduk aku tak berani menatap pria di depanku yang beberapa menit yang lalu tel
Aku menggeliat, mencoba membuka mataku, saat merasakan tanganku hangat dan seperti berada dalam sebuah genggaman. “Aku dimana?” tanyaku memegangi kepala mencoba mengingat-ngingat. Ku edarkan pandanganku ke sekitar, hanya sebuah ranjang pasien tempatku berbaring saat ini, sebuah sofa letter L, sebuah meja kecil serta sebuah nakas.“Kamu sedang di Klinik Pelangi,” ujar lelaki yang masih menggenggam tanganku itu.“Kenapa aku di sini, Mas?” tanyaku bingung dan menarik tanganku dari genggamannya.“Hati-hati, nanti tangan kamu berdarah,” ujarnya mengingatkanku.Kulihat di tanganku terpasang selang infus. Batinku bertanya-tanya ada apa gerangan kenapa tanganku sampai terpasangi infus, apakah aku pingsan semalam? Seingatku, kemarin aku difitnah Desi kepada suamiku jika aku ada hubungan dengan Steven.Mas Rafael yang mengerti kebingunganku, menarik nafas sejenak sebelum menjelaskan padaku apa yang telah terjad
Keadaanku mulai membaik, setelah tiga hari rawat inap di klinik. Hari ini rencananya aku akan pulang ke rumah. Tampak wajah sumringah suamiku yang tersenyum manis padaku setelah selesai membereskan barang yang akan kami bawa pulang. “Kita mau langsung pulang, atau kamu mau keliling kota dulu?” tanya Mas Rafael kala kami berdua sudah masuk ke dalam mobil rush hitamnya. “Aku mau pulang ke rumah papa mama dulu. Aku sudah rindu.” Terlihat raut wajahnya sekilas murung mendengar permintaanku, sebelum akhirnya dia menanggapinya. “Kita makan sate padang dulu, Mas sudah lapar. Siapa tahu setelahnya kamu mau berubah pikiran untuk tidak ke rumah papa mama dulu sementara,” tawarnya padaku sambil memasangiku savety belt. Tak lama setelahnya, mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Pikiranku menjelajah ke mana-mana, bagaimana bila nanti aku hamil dari hasil kejadian malam itu? Akan sulit bagiku untuk menggugat cerai bila ternyata
“Horee ...” ujar Jay kegirangan.“Kita pergi sekarang?” tanya Mas Rafael sembari memberiku senyum termanisnya.“Kemana?”“Beli es krim,”“Hmm,” ujarku sambil membuka-buka aplikasi facebook-ku.Tak lama kemudian sup jagung jamurnya sudah masak, dan Bik Ijah menghidangkannya di hadapanku.“Silahkan, Non,” ujarnya seraya membereskan sisa makanan Jay yang berserakkan di meja.Saat aku tengah menyesap kuah sup jamurnya, Mas Rafael tiba-tiba memecahkan keheningan suasana dengan mengajakku berbicara.“Dek, apa kamu sudah baikkan?“Hmm,” jawabku tak acuh padanya.“Kamu gak keberatan kan, bila Bik Ijah kembali bekerja di sini?” tanyanya hati-hati padaku.“Aku sih gak keberatan, asal gak memunculkan masalah baru aja nanti antara Desi, aku dan kamu,” jawabku retoris pada suamiku.“Karena kondi
Pagi ini Vika mau datang ke rumahku, rencananya dia akan bermalam selama dua hari. Beruntung Mas Rafael mengerti dan dia sendiri yang memintaku untuk mengajak Vika menemaniku selama masa pemulihan dengan kondisi kesehatanku yang masih belum sepenuhnya stabil. Tujuannya juga sebenarnya menginginkan aku mengajak Vika agar aku tidak terlalu merasa bosan dan sepi di rumah.Setelah menghabiskan sarapanku tadi, aku rebahan sebentar di kamar sambil menonton drama korea. Tepatnya jam 10 terdengar suara ketukan di pintu, pertanda di luar ada orang. Segera aku menuju pintu dan membukakannya, karena aku berpikir bahwa Vikalah yang datang. Mataku membelalak melihat yang datang ternyata Steven bersama dengan Jay. Sekitar dua menit kami mematung, tanpa suara dan saling menatap dengan pikiran masing-masing sebelum akhirnya Jay memecah keheningan dengan meraih tangan kananku untuk salim.“Ante Ayena, Papa Lapael uda pulang?” Jay bertanya padaku dengan bahasa cadelnya.
“Hai Bi, “ sapa Vika pada Bik Ijah yang tengah menghidangkan makan siang di meja makan.“Kapan Bi Ijah balik ke sini?” tanya Vika setengah berbisik padaku.“Semingguan kayaknya, soalnya dia udah di sini saat aku balik dari klinik.”Vika hanya manggut-manggut sambil mencomot sepotong ayam goreng yang telah disajikan oleh Bik Ijah.“Silahkan, Non,” ucap Bik Ijah mempersilakan kami untuk mencicipi masakannya.“Ayok kita makan, sebelum makanannya dingin, mumpung masih hangat,” ajakku pada Vika sambil mengesap kuah bakso dalam mangkuk supku.Aku tertawa kecil melihat Vika yang makan begitu lahapnya.“Desi mana, Bik?” tanyaku pada Bik Ijah yang tengah sibuk mencuci piring-piring kotor.“Kurang tahu, Non. Barangkali lagi jalan sama temannya.” Jiwa kepoku tidak puas mendengar jawaban Bik Ijah. Selesai makan aku mengajak Vika untuk sejenak bersantai-sant
Terdengar suara ketukan di pintu kamar tamu yang aku dan Vika tempati. Ketukan yang sangat kasar dan berturut. Kulihat Vika masih terlelap dalam tidur sorenya dengan suara dengkuran halus yang keluar dari hidungnya. Dengan malas kubuka pintu kamar tamu dan terlihat Desi sedang berdiri sambil berkacak pinggang padaku.“Hei wanita tak tahu diri, gak usah sok belagu ya kamu di sini. Sudah seperti nyonya besar saja. Main ajak nginap teman segala lagi di sini. Kamu pikir ini rumah kamu, hah?” ucap Desi marah padaku.Aku hanya tersenyum sinis menatapnya, tak menggubris ucapannya. Vika terbangun dan mendekati kami. Melihat Vika mendekat membuat Desi makin murka.“Hei kamu, gak usah jadi ikutan jadi benalu ya di sini, secepatnya kemasi barangmu dan pergi dari sini!!” teriak Desi marah sambil menunjuk pintu, mengisyaratkan agar Vika segera pergi dari rumah suamiku.Aku hanya berdecak kesal padanya, tanpa menggubris perkataannya, aku segera
30 menit berlalu setelah aku menelepon Mas Rafael, ponselku kembali berdering. Tertera nama suamiku di layar lewat aplikasi berlogo hijau itu. Segera kuangkat, tak lama kemudian terdengar suara di seberang sana.“Ada yang agak lebih susah dapatnya gak?” ucapnya dengan kesal dengan napas memburu.“Maksud Mas, apa?” tanyaku berpura-pura bingung.“Ya, pesananmu itu, terdengar aneh, dan sudah nyari di restoran yang dekat dengan kantor mas tapi gak ada, aneh-aneh saja!” gerutunya lagi.Vika cekikikan mendengar suara Mas Rafael yang menggerutu kesal di telepon. Aku sengaja memberi speaker, biar kami berdua bisa mendengar bagaimana reaksinya dan usahanya mencari dan membeli beberapa daftar pesanan makanan yang telah kukirim padanya setengah jam yang lalu. Aku pun ikutan cekikikan dengan menahan tawa dengan telapak tangan sebelah kananku. Ada sedikit perasaan puas telah mengerjainya sore ini.“Ya, diusahain lah, Ma
Untuk beberapa saat hening, aku dan Vika terdiam, terhanyut dengan pikiran masing-masing, sambil memandangi ikan-ikan koi yang tengah asyik berenang ke sana kemari. Tiba-tiba Bik Ijah datang memanggilku.“Non Alena!!”Aku mengalihkan pandanganku melihat ke arah Bik Ijah yang tengah berdiri di pintu penghubung antara taman dan dapur itu.“Ya, Bi, ada apa?”“Non, Tuan Rafael sudah pulang, Non Alena dipanggil sama Tuan Rafael.”“Oh, baiklah, ayok Vika,” ajakku pada Vika sembari beranjak meninggalkan taman menuju ruang makan, tempat dimana suamiku tengah menungguku.“Alena, tapi aku malas ketemu suami kamu, aku tunggu di kamar saja yah,” ujar Vika mengelak untuk bertemu dengan Mas Rafael.“Baiklah,”Vika berlalu langsung menuju kamar tempat dia menginap, sementara aku langsung duduk di hadapan Mas Rafael yang tengah duduk di meja makan.“Ini pesana