“Horee ...” ujar Jay kegirangan.
“Kita pergi sekarang?” tanya Mas Rafael sembari memberiku senyum termanisnya.
“Kemana?”
“Beli es krim,”
“Hmm,” ujarku sambil membuka-buka aplikasi facebook-ku.
Tak lama kemudian sup jagung jamurnya sudah masak, dan Bik Ijah menghidangkannya di hadapanku.
“Silahkan, Non,” ujarnya seraya membereskan sisa makanan Jay yang berserakkan di meja.
Saat aku tengah menyesap kuah sup jamurnya, Mas Rafael tiba-tiba memecahkan keheningan suasana dengan mengajakku berbicara.
“Dek, apa kamu sudah baikkan?
“Hmm,” jawabku tak acuh padanya.
“Kamu gak keberatan kan, bila Bik Ijah kembali bekerja di sini?” tanyanya hati-hati padaku.
“Aku sih gak keberatan, asal gak memunculkan masalah baru aja nanti antara Desi, aku dan kamu,” jawabku retoris pada suamiku.
“Karena kondi
Pagi ini Vika mau datang ke rumahku, rencananya dia akan bermalam selama dua hari. Beruntung Mas Rafael mengerti dan dia sendiri yang memintaku untuk mengajak Vika menemaniku selama masa pemulihan dengan kondisi kesehatanku yang masih belum sepenuhnya stabil. Tujuannya juga sebenarnya menginginkan aku mengajak Vika agar aku tidak terlalu merasa bosan dan sepi di rumah.Setelah menghabiskan sarapanku tadi, aku rebahan sebentar di kamar sambil menonton drama korea. Tepatnya jam 10 terdengar suara ketukan di pintu, pertanda di luar ada orang. Segera aku menuju pintu dan membukakannya, karena aku berpikir bahwa Vikalah yang datang. Mataku membelalak melihat yang datang ternyata Steven bersama dengan Jay. Sekitar dua menit kami mematung, tanpa suara dan saling menatap dengan pikiran masing-masing sebelum akhirnya Jay memecah keheningan dengan meraih tangan kananku untuk salim.“Ante Ayena, Papa Lapael uda pulang?” Jay bertanya padaku dengan bahasa cadelnya.
“Hai Bi, “ sapa Vika pada Bik Ijah yang tengah menghidangkan makan siang di meja makan.“Kapan Bi Ijah balik ke sini?” tanya Vika setengah berbisik padaku.“Semingguan kayaknya, soalnya dia udah di sini saat aku balik dari klinik.”Vika hanya manggut-manggut sambil mencomot sepotong ayam goreng yang telah disajikan oleh Bik Ijah.“Silahkan, Non,” ucap Bik Ijah mempersilakan kami untuk mencicipi masakannya.“Ayok kita makan, sebelum makanannya dingin, mumpung masih hangat,” ajakku pada Vika sambil mengesap kuah bakso dalam mangkuk supku.Aku tertawa kecil melihat Vika yang makan begitu lahapnya.“Desi mana, Bik?” tanyaku pada Bik Ijah yang tengah sibuk mencuci piring-piring kotor.“Kurang tahu, Non. Barangkali lagi jalan sama temannya.” Jiwa kepoku tidak puas mendengar jawaban Bik Ijah. Selesai makan aku mengajak Vika untuk sejenak bersantai-sant
Terdengar suara ketukan di pintu kamar tamu yang aku dan Vika tempati. Ketukan yang sangat kasar dan berturut. Kulihat Vika masih terlelap dalam tidur sorenya dengan suara dengkuran halus yang keluar dari hidungnya. Dengan malas kubuka pintu kamar tamu dan terlihat Desi sedang berdiri sambil berkacak pinggang padaku.“Hei wanita tak tahu diri, gak usah sok belagu ya kamu di sini. Sudah seperti nyonya besar saja. Main ajak nginap teman segala lagi di sini. Kamu pikir ini rumah kamu, hah?” ucap Desi marah padaku.Aku hanya tersenyum sinis menatapnya, tak menggubris ucapannya. Vika terbangun dan mendekati kami. Melihat Vika mendekat membuat Desi makin murka.“Hei kamu, gak usah jadi ikutan jadi benalu ya di sini, secepatnya kemasi barangmu dan pergi dari sini!!” teriak Desi marah sambil menunjuk pintu, mengisyaratkan agar Vika segera pergi dari rumah suamiku.Aku hanya berdecak kesal padanya, tanpa menggubris perkataannya, aku segera
30 menit berlalu setelah aku menelepon Mas Rafael, ponselku kembali berdering. Tertera nama suamiku di layar lewat aplikasi berlogo hijau itu. Segera kuangkat, tak lama kemudian terdengar suara di seberang sana.“Ada yang agak lebih susah dapatnya gak?” ucapnya dengan kesal dengan napas memburu.“Maksud Mas, apa?” tanyaku berpura-pura bingung.“Ya, pesananmu itu, terdengar aneh, dan sudah nyari di restoran yang dekat dengan kantor mas tapi gak ada, aneh-aneh saja!” gerutunya lagi.Vika cekikikan mendengar suara Mas Rafael yang menggerutu kesal di telepon. Aku sengaja memberi speaker, biar kami berdua bisa mendengar bagaimana reaksinya dan usahanya mencari dan membeli beberapa daftar pesanan makanan yang telah kukirim padanya setengah jam yang lalu. Aku pun ikutan cekikikan dengan menahan tawa dengan telapak tangan sebelah kananku. Ada sedikit perasaan puas telah mengerjainya sore ini.“Ya, diusahain lah, Ma
Untuk beberapa saat hening, aku dan Vika terdiam, terhanyut dengan pikiran masing-masing, sambil memandangi ikan-ikan koi yang tengah asyik berenang ke sana kemari. Tiba-tiba Bik Ijah datang memanggilku.“Non Alena!!”Aku mengalihkan pandanganku melihat ke arah Bik Ijah yang tengah berdiri di pintu penghubung antara taman dan dapur itu.“Ya, Bi, ada apa?”“Non, Tuan Rafael sudah pulang, Non Alena dipanggil sama Tuan Rafael.”“Oh, baiklah, ayok Vika,” ajakku pada Vika sembari beranjak meninggalkan taman menuju ruang makan, tempat dimana suamiku tengah menungguku.“Alena, tapi aku malas ketemu suami kamu, aku tunggu di kamar saja yah,” ujar Vika mengelak untuk bertemu dengan Mas Rafael.“Baiklah,”Vika berlalu langsung menuju kamar tempat dia menginap, sementara aku langsung duduk di hadapan Mas Rafael yang tengah duduk di meja makan.“Ini pesana
Siang ini Jay pulang sekolah dijemput oleh Steven. Ketika keduanya memasuki rumah membuat perasaan curiga dan penasaranku muncul. Jika diperhatikan dengan seksama keduanya sangat mirip bagai pinang dibelah dua. Hanya kelihatannya Jay adalah versi kecil dari Steven. Untuk mengobati rasa penasaranku, aku berencana untuk melakukan tes DNA Jay dan suamiku apakah benar bahwa Jay adalah anaknya dari hasil hubungannya dengan Desi di masa lalu.Satu jam setelah mengantar Jay, Steven pamitan untuk pulang ke tempatnya. Hatiku tak tahan untuk menanyai masa lalu dan hubungannya dengan Desi.“Steven ...!” panggilku tatkala Steven hendak keluar rumah. Dia membalikkan badan melihat ke arahku.“Ya?” ucapnya.“Em, Aku mau nanya sesuatu,” kataku berusaha menahan diri, agar bicaraku tak membuatnya curiga.“Apa itu?” tanyanya sambil berjalan dan mengambil kursi tepat di hadapanku.“E–ehm, mau nanya aja
Malam ini suamiku agak lama pulang karena lembur seperti katanya tadi saat meneleponnya, aku memilih untuk tidur duluan tanpa menunggunya, sementara di luar angin kencang, dan suara petir yang bersahut-sahutan dengan air hujan yang jatuh tak mengenal waktu dan tempat tersebut.Aku terus mencoba memejamkan mataku meski terasa susah karena perasaan takut dengan suasana hujan yang terasa mencekam, apalagi tak lama setelahnya lampu ikut-ikutan padam, sungguh membuat keadaan tampak semakin menyeramkan.Saat kantuk mulai menjalari diriku, mataku mulai terasa berat. Barang lima menit aku mulai terltidur, terdengar suara ketukan di depan pintu kamar kami. Seperti yang bermimpi, terdengar seperti suara Mas Rafael.“Alena, Lena ... buka pintunya.”Aku membuka mata, dan masih bergeming, rasanya berat sekali menggerakkan tubuhku untuk sekedar berjalan dan membukakan pintu untuknya.Aku masih mengucek-ngucek mata ketika teleponku berdering. Telepon
Entah apa yang membuat hatiku agak sedikit bahagia hari ini. Kupoles makeup tipis di wajahku. Kelihatan natural seperti tidak memakai apa-apa. Ya, gayaku memang begitu adanya. Aku tersenyum mengamati wajahku di cermin, berjanji pada hatiku untuk menemukan titik terang antara Jay, Rafael, Steven dan Desi. Segera aku mengambil tasku, kuperiksa semua isinya apakah masih aman, terlebih-lebih sampel DNA Mas Rafael dan Jay yang telah kuambil itu. Hari ini aku berencana akan pergi ke laboratorium pelangi ditemani oleh Vika. “Mas, aku mau keluar dulu ya, mau jalan sama Vika,” ujarku pada suamiku yang tengah mandi di kamar mandi Tiba-tiba Mas Rafael membuka pintu kamar mandi, aku tersentak kaget melihatnya tidak memakai apa-apa. Spontan aku menutup wajah dengan kedua tangan. “Loh, kenapa kamu takut, bukannya kamu udah lihat semuanya?” godanya padaku. Tak kusahut ucapannya. Aku membalikkan badan dan meninggalkannya. “Aku mau keluar bareng Vika, mau refreshing.” Aku setengah berteriak mengat