Bergegas kudorong tubuhnya. Entah dapat kekuatan dari mana, sehingga dengan sekali dorong tubuh Bara terpental dan kembali terjungkal di lantai.
"Aduh ...." Bara mengerang.
Tika dan Miranda segera membantu Bara berdiri.
"Ma-maaf, saya tak sengaja," ucapku sembari menunduk, tak kuat menantang tatapannya yang tajam.
Bara mengibaskan tangannya di udara, "Segera bersiap! Kalian berdua bantu dia!" perintahnya sambil memutar langkah. Tangannya mengelus-elus bokongnya yang kesakitan.
"Ada apa?" Miranda mendekat padaku dan berbisik.
"Hah? Entahlah," sahutku, karena aku bingung bagaimana menjelaskannya.
Serentak Tika dan Miranda menggelengkan kepala dan tersenyum. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiran mereka.
"Ya sudah ... ayo, segera bersiap!" Tika berjalan ke lemari dan membantuku memilih baju, sedangkan Miranda mempersiapkan peralatan make-up.
"Bara siapa?" Iseng kutanya pada Tika yang sedang memegang satu gaun di masing-masing tangannya.
"Nona belum kenal siapa dia?" Wanita berkulit kuning langsat itu mengerutkan keningnya.
Aku menggeleng pelan.
"Belum kenal tapi, kok ...."
"Hei, cepatlah! Jangan mengobrol, nanti Tuan Bara marah karena menunggu terlalu lama." Miranda menimpali.
"Nona, kamu suka yang mana? Ini atau ini?" tanya Tika sambil memperagakan dua buah gaun padaku, satu berwarna peach dan satunya lagi berwarna maroon. Di mataku keduanya tampak bagus.
"Terserahlah, aku tak paham."
Miranda mendekat, memperhatikan dua buah gaun itu dengan saksama dan menunjuk gaun berwarna maroon, "Yang ini simpel, tetapi aku yakin kalau Nona Laras yang memakainya pasti akan terlihat anggun."
Aku menghirup napas dalam mendengar panggilan yang mereka sematkan padaku, sungguh rasanya aku tidak cocok dengan panggilan itu.
"Apa aku bisa minta tolong?" tanyaku menatap mereka bergantian.
"Tentu!" sahut Miranda, "Apa yang harus kami lakukan?"
"Jangan panggil aku nona! Cukup panggil Laras saja!"
Serentak mereka menggeleng, "Tidak mungkin, kami tidak siap ditegur apalagi sampai dipecat oleh Tuan Bara," ucap Tika.
"Ya, sudah ... ayo kita mulai!" Miranda menyerahkan baju berwarna maroon padaku agar aku segera berganti pakaian.
***
"Perfect." Miranda tersenyum puas setelah meletakkan lipstik kembali ke dalam koper kecil yang dia bawa.
"Ayo kita lihat penampilanmu hari ini!" Tika menggandengku menuju sebuah cermin besar yang terpasang di lemari.
"Terima kasih," ucapku sembari memutar badan ke kiri dan ke kanan.
"Pakai ini agar semakin wah." Sebuah tas kecil berwarna silver diberikan Miranda padaku, juga sepasang high heels berwarna senada. Entah ke mana lagi Bara akan membawaku hari ini sampai-sampai aku harus berdandan secetar ini.
"Silakan temui sang pangeran yang sudah menunggu," ucap Tika.
"Terima kasih karena sudah membantuku.” Kupeluk mereka satu per satu, rasanya aku mendapatkan dua sahabat lagi setelah bertemu dengan mereka.
"Sudah selesai?" Aku melepaskan pelukanku dari Miranda ketika mendengar suara berat milik Bara.
"Ya," sahutku singkat.
***
Saat melewati lorong, Bara memperlambat jalannya, sehingga kami berdampingan, padahal awalnya aku tertinggal beberapa langkah di belakangnya.
Aku seperti merasakan sengatan listrik ketika Bara menautkan jemari kami, seketika tubuhku terasa dingin dan berkeringat saat telapak tanganku bersentuhan dengan telapak tangannya.
"Santai," ucapnya cuek tanpa menoleh.
Tidak hanya sampai di sana, ketika melewati meja resepsionis saat kami baru keluar dari lift, Bara bahkan merangkulku. Dari jarak yang sangat dekat aku bisa menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya. Meski jantung bertabuh hebat, namun sekuat tenaga kucoba untuk menenangkannya, dan ternyata itu tak mudah.
Beberapa karyawan hotel menunduk hormat pada Bara ketika kami melewati mereka. Aneh, kenapa mereka terlihat begitu menyegani Bara, sedangkan aku perhatikan itu tidak terjadi pada pengunjung lainnya yang keluar masuk. Sedangkan Bara hanya menganggukkan kepala tanpa senyuman. Ah, sepertinya laki-laki ini terlalu kaku.
Seperti yang dilakukannya semalam, Bara membukakan pintu mobilnya untukku.
"Bersikaplah biasa saja! Jangan tegang, anggap kalau aku benar-benar kekasihmu!" ucap Bara sambil menatap dalam mataku.
Seketika wajahku terasa dijalari rasa hangat begitu kalimat itu keluar dari mulut Bara.
"Apa kita harus melakukan hal yang dilakukan sepasang kekasih agar kau terbiasa?"
Belum lagi hilang rasa hangat yang menyerang wajahku, kini Bara sudah menyulutnya lagi.
Diam ... hening ... bingung, respons atau jawaban apa yang harus kuberikan.
Bara memutar tubuhnya sedikit agar berhadapan denganku, tanpa diduga satu kecupan dia daratkan di keningku.
"Belajarlah untuk terbiasa," ucapnya sambil mengelus pipiku.
Aku merutuki diriku yang hanya bisa terdiam saat Bara melakukan itu, sepertinya aku sudah terhipnotis dengan tatapannya sehingga tubuhku menerima apa pun yang dia lakukan.
Kesadaranku mulai muncul saat Bara melajukan mobilnya. Aku mengusap wajahku yang masih terasa hangat dan memperbaiki posisi dudukku.
***
Mobil berhenti di sebuah kafe, tapi berbeda dengan kafe tempatku bekerja, kafe ini terlihat sangat mewah dan elite.
"Ingat pesanku, bersikaplah seolah kalau kita memang sepasang kekasih!" Bara mengingatkanku lagi.
"Baik," sahutku.
"Coba buktikan!"
Keningku berkerut mendengar ucapan Bara, "Maksudnya?"
"Coba lakukan sesuatu padaku seperti yang dilakukan sepasang kekasih!"
Aku paham apa yang dimaksud Bara, tapi tetap saja aku tak bisa melakukannya, karena bagiku Bara tetaplah orang asing yang belum kukenal, bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu layaknya sepasang kekasih.
Bara melepas sabuk pengamannya, kemudian sabuk pengamanku, aku tersandar ke sandaran kursi saat dia melepaskan pengaitnya.
Napasku tertahan dengan jantung yang berdegup semakin kencang saat nyaris tak ada jarak di antara kami. Bara kembali menatapku, tak ingin terhipnotis lagi aku memalingkan wajah ke jendela.
"Bagaimana kau bisa terbiasa dengan peranmu? Menatapku saja kamu tak sanggup. Padahal aku sudah memberikan bayaranmu di awal,” cetus Bara tanpa mengubah posisinya.
"Ya sudah, kalau kau memang tak bisa ... kembalikan saja uang yang sudah kuberikan semalam. Belum habis ‘kan?”
Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Kalau Bara membatalkan kerja samanya denganku bagaimana nasib Langit? Lagi pula uang itu sudah kubayarkan pada rumah sakit.
Tanganku mencekal lengan Bara saat dia hendak menarik dirinya, karena mengingat keadaan Langit membuatku punya keberanian untuk menatap lekat mata laki-laki itu.
Kubingkai wajahnya, mengesampingkan rasa malu kukecup singkat bibirnya yang berwarna merah alami.
Bara terdiam tak berkedip, kemudian tersenyum, "Good job," ucapnya sembari menyunggingkan senyuman. Sedangkan aku? Aku merasa tubuhku mengecil. Jika bukan demi Langit, aku takkan mau terlihat seperti wanita murahan begini.
Bergegas kudorong tubuhnya. Entah dapat kekuatan dari mana, sehingga dengan sekali dorong tubuh Bara terpental dan kembali terjungkal di lantai.
"Aduh ...." Bara mengerang.
Tika dan Miranda segera membantu Bara berdiri.
"Ma-maaf, saya tak sengaja," ucapku sembari menunduk, tak kuat menantang tatapannya yang tajam.
Bara mengibaskan tangannya di udara, "Segera bersiap! Kalian berdua bantu dia!" perintahnya sambil memutar langkah. Tangannya mengelus-elus bokongnya yang kesakitan.
"Ada apa?" Miranda mendekat padaku dan berbisik.
"Hah? Entahlah," sahutku, karena aku bingung bagaimana menjelaskannya.
Serentak Tika dan Miranda menggelengkan kepala dan tersenyum. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiran mereka.
"Ya sudah ... ayo, segera bersiap!" Tika berjalan ke lemari dan membantuku memilih baju, sedangkan Miranda mempersiapkan peralatan make-up.
"Bara siapa?" Iseng kutanya pada Tika yang sedang memegang satu gaun di masing-masing tangannya.
"Nona belum kenal siapa dia?" Wanita berkulit kuning langsat itu mengerutkan keningnya.
Aku menggeleng pelan.
"Belum kenal tapi, kok ...."
"Hei, cepatlah! Jangan mengobrol, nanti Tuan Bara marah karena menunggu terlalu lama." Miranda menimpali.
"Nona, kamu suka yang mana? Ini atau ini?" tanya Tika sambil memperagakan dua buah gaun padaku, satu berwarna peach dan satunya lagi berwarna maroon. Di mataku keduanya tampak bagus.
"Terserahlah, aku tak paham."
Miranda mendekat, memperhatikan dua buah gaun itu dengan saksama dan menunjuk gaun berwarna maroon, "Yang ini simpel, tetapi aku yakin kalau Nona Laras yang memakainya pasti akan terlihat anggun."
Aku menghirup napas dalam mendengar panggilan yang mereka sematkan padaku, sungguh rasanya aku tidak cocok dengan panggilan itu.
"Apa aku bisa minta tolong?" tanyaku menatap mereka bergantian.
"Tentu!" sahut Miranda, "Apa yang harus kami lakukan?"
"Jangan panggil aku nona! Cukup panggil Laras saja!"
Serentak mereka menggeleng, "Tidak mungkin, kami tidak siap ditegur apalagi sampai dipecat oleh Tuan Bara," ucap Tika.
"Ya, sudah ... ayo kita mulai!" Miranda menyerahkan baju berwarna maroon padaku agar aku segera berganti pakaian.
***
"Perfect." Miranda tersenyum puas setelah meletakkan lipstik kembali ke dalam koper kecil yang dia bawa.
"Ayo kita lihat penampilanmu hari ini!" Tika menggandengku menuju sebuah cermin besar yang terpasang di lemari.
"Terima kasih," ucapku sembari memutar badan ke kiri dan ke kanan.
"Pakai ini agar semakin wah." Sebuah tas kecil berwarna silver diberikan Miranda padaku, juga sepasang high heels berwarna senada. Entah ke mana lagi Bara akan membawaku hari ini sampai-sampai aku harus berdandan secetar ini.
"Silakan temui sang pangeran yang sudah menunggu," ucap Tika.
"Terima kasih karena sudah membantuku.” Kupeluk mereka satu per satu, rasanya aku mendapatkan dua sahabat lagi setelah bertemu dengan mereka.
"Sudah selesai?" Aku melepaskan pelukanku dari Miranda ketika mendengar suara berat milik Bara.
"Ya," sahutku singkat.
***
Saat melewati lorong, Bara memperlambat jalannya, sehingga kami berdampingan, padahal awalnya aku tertinggal beberapa langkah di belakangnya.
Aku seperti merasakan sengatan listrik ketika Bara menautkan jemari kami, seketika tubuhku terasa dingin dan berkeringat saat telapak tanganku bersentuhan dengan telapak tangannya.
"Santai," ucapnya cuek tanpa menoleh.
Tidak hanya sampai di sana, ketika melewati meja resepsionis saat kami baru keluar dari lift, Bara bahkan merangkulku. Dari jarak yang sangat dekat aku bisa menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya. Meski jantung bertabuh hebat, namun sekuat tenaga kucoba untuk menenangkannya, dan ternyata itu tak mudah.
Beberapa karyawan hotel menunduk hormat pada Bara ketika kami melewati mereka. Aneh, kenapa mereka terlihat begitu menyegani Bara, sedangkan aku perhatikan itu tidak terjadi pada pengunjung lainnya yang keluar masuk. Sedangkan Bara hanya menganggukkan kepala tanpa senyuman. Ah, sepertinya laki-laki ini terlalu kaku.
Seperti yang dilakukannya semalam, Bara membukakan pintu mobilnya untukku.
"Bersikaplah biasa saja! Jangan tegang, anggap kalau aku benar-benar kekasihmu!" ucap Bara sambil menatap dalam mataku.
Seketika wajahku terasa dijalari rasa hangat begitu kalimat itu keluar dari mulut Bara.
"Apa kita harus melakukan hal yang dilakukan sepasang kekasih agar kau terbiasa?"
Belum lagi hilang rasa hangat yang menyerang wajahku, kini Bara sudah menyulutnya lagi.
Diam ... hening ... bingung, respons atau jawaban apa yang harus kuberikan.
Bara memutar tubuhnya sedikit agar berhadapan denganku, tanpa diduga satu kecupan dia daratkan di keningku.
"Belajarlah untuk terbiasa," ucapnya sambil mengelus pipiku.
Aku merutuki diriku yang hanya bisa terdiam saat Bara melakukan itu, sepertinya aku sudah terhipnotis dengan tatapannya sehingga tubuhku menerima apa pun yang dia lakukan.
Kesadaranku mulai muncul saat Bara melajukan mobilnya. Aku mengusap wajahku yang masih terasa hangat dan memperbaiki posisi dudukku.
***
Mobil berhenti di sebuah kafe, tapi berbeda dengan kafe tempatku bekerja, kafe ini terlihat sangat mewah dan elite.
"Ingat pesanku, bersikaplah seolah kalau kita memang sepasang kekasih!" Bara mengingatkanku lagi.
"Baik," sahutku.
"Coba buktikan!"
Keningku berkerut mendengar ucapan Bara, "Maksudnya?"
"Coba lakukan sesuatu padaku seperti yang dilakukan sepasang kekasih!"
Aku paham apa yang dimaksud Bara, tapi tetap saja aku tak bisa melakukannya, karena bagiku Bara tetaplah orang asing yang belum kukenal, bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu layaknya sepasang kekasih.
Bara melepas sabuk pengamannya, kemudian sabuk pengamanku, aku tersandar ke sandaran kursi saat dia melepaskan pengaitnya.
Napasku tertahan dengan jantung yang berdegup semakin kencang saat nyaris tak ada jarak di antara kami. Bara kembali menatapku, tak ingin terhipnotis lagi aku memalingkan wajah ke jendela.
"Bagaimana kau bisa terbiasa dengan peranmu? Menatapku saja kamu tak sanggup. Padahal aku sudah memberikan bayaranmu di awal,” cetus Bara tanpa mengubah posisinya.
"Ya sudah, kalau kau memang tak bisa ... kembalikan saja uang yang sudah kuberikan semalam. Belum habis ‘kan?”
Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Kalau Bara membatalkan kerja samanya denganku bagaimana nasib Langit? Lagi pula uang itu sudah kubayarkan pada rumah sakit.
Tanganku mencekal lengan Bara saat dia hendak menarik dirinya, karena mengingat keadaan Langit membuatku punya keberanian untuk menatap lekat mata laki-laki itu.
Kubingkai wajahnya, mengesampingkan rasa malu kukecup singkat bibirnya yang berwarna merah alami.
Bara terdiam tak berkedip, kemudian tersenyum, "Good job," ucapnya sembari menyunggingkan senyuman. Sedangkan aku? Aku merasa tubuhku mengecil. Jika bukan demi Langit, aku takkan mau terlihat seperti wanita murahan begini.
Bara keluar dari mobil, kemudian berputar dan membukakan pintu untukku, tangannya terulur bak seorang pangeran menyambut permaisurinya.Aku tak bergeming."Come on," ucapnya.Dengan ragu kusambut uluran tangannya. Bara menggenggamnya dan sedikit meremasnya."Sepertinya kamu kedinginan," ucap Bara. Dia semakin mendempetkan tubuhnya padaku saat kami berjalan masuk ke dalam kafe.Ya, aku memang kedinginan, karena darahku rasanya seakan berhenti mengalir."Rileks, jangan tegang begitu," bisiknya di ubun-ubunku.Di tengah-tengah kafe aku melihat ada sekumpulan orang, salah satu dari mereka melambaikan tangannya ke arah kami seakan memberi isyarat."Santai, jangan lupa tersenyum dan ingat jangan banyak bicara. Tetaplah berada di sampingku dan jangan pernah lepaskan genggamanku, karena apa yang kau lihat nanti bukanlah kejadian yang sebenarnya. Bisa saja mereka tersenyum di depanmu, tetapi mencibir di belakang, bisa saja mereka baik di depanmu, namun punya rencana lain di belakangmu. Paham?
"Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar."Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku."Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan. ***"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini
Saat otakku masih mencerna apa yang terjadi, mobil Bara sudah melaju."Ternyata dia benar-benar ingin ke sini," batinku setelah mobil mewah tersebut berhenti di sebuah bangunan putih tiga tingkat, tempat di mana Langit dirawat."Ayo, turun!" ucap Bara sembari membuka sabuk pengamannya."Tunggu!" Aku mencekal tangan Bara ketika dia hendak meraih parsel buah dan kantong yang dia letakkan di kursi belakang.Bara menatap pada tanganku yang mencekal tangannya."Maaf, aku tidak bermaksud lancang." Bergegas kulepaskan peganganku pada tangannya."Tidak apa-apa, sepertinya kau sudah punya kemajuan, yaitu menyentuhku, it's not bad, aku suka itu.""Bukan seperti itu, tetapi aku mohon ... kalau kau mau bertemu dengan anakku, tolong jangan bicarakan kebenaran antara kita pada ibuku nanti. Aku mohon. Aku tidak ingin beliau tahu kalau ... kalau anaknya sekarang adalah seorang wanita bayaran." Aku tertunduk, entah kenapa saat mengingat hal itu hatiku merasa tersentil, meskipun sejauh ini perlakuan Ba
Bara membiarkanku terisak, entah sudah berapa banyak air mataku yang keluar."Laras ... berhentilah! Kau mengotori bajuku!" Aku tersentak. Ya Tuhan ... bisa-bisanya aku nyaman dalam pelukan laki-laki menyebalkan ini.Bergegas aku menarik diri, pandangan mataku langsung tertuju pada bagian dada Bara yang sudah basah karena air mataku, juga ada sedikit lendir di sana, setelah aku perhatikan, sepertinya itu ingus. Cepat-cepat aku mengambil sapu tangan dalam tasku dan membersihkan ingus yang menempel di dada Bara. Sebelum dia menyadarinya.Aku pindah duduk ke samping Ibu, Bara menyusulku kemudian dan ikut menghempaskan tubuhnya di sebelahku.Ibu tampak gelisah, dia tampak memejamkan mata dan berkali-kali mengusap wajahnya."Bu?" Kuraih jemari Ibu dan menggenggamnya, berusaha memberikan ketenangan padanya, padahal sebenarnya jiwaku juga diimpit ketegangan."Langit pasti kuat, Langit anak yang kuat," ucapku.Ibu menatapku, menganggukkan kepalanya dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Ya,
Kusandarkan kepalaku ke dinding sembari memejamkan mata, dalam hati tak henti berdoa untuk keselamatan Langit.Aku merasakan sentuhan tangan Bara di tengkukku dan membawa kepalaku agar bersandar di bahunya. "Begini akan membuatmu lebih nyaman," ucapnya. Pandangan kami bertemu saat aku mendongakkan kepala.Aku berusaha untuk bangkit. Namun, Bara menahannya.Ya, Bara memang benar, sepertinya disaat-saat seperti ini aku memang membutuhkan bahu untukku bersandar dan membagi beban, tetapi sayang ... ah, sudahlah, aku tak mau menyalahkan takdir. Takdirlah yang mengharuskanku seperti ini, dan takdir jugalah yang menjadikanku wanita yang kuat. Buktinya sampai sekarang aku masih bisa berdiri tegap, meski tanpa tempat untuk berbagi.Lelah ... tak munafik, jiwaku berangsur lelah, kembali aku merasa nyaman bersandar pada pundak laki-laki yang baru kukenal itu. Kupejamkan mataku, menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran di dada yang semakin bertalu hebat membayangkan akan ada saya
"Beberapa hari yang lalu aku sudah menemanimu, sekarang giliran kamu yang menemaniku di sini." Bara beringsut dan merebahkan kepalanya di pahaku.Aku sedikit kaget karena perlakuannya, sedangkan laki-laki berhidung mancung itu dengan santainya memejamkan mata."Bara.""Diamlah, aku hanya ingin istirahat sebentar." Bara menimpali ucapanku yang mau memprotesnya.Aku menghela napas panjang, aku pikir Bara butuh jasaku untuk menemaninya menemui seseorang, ternyata malah hanya untuk dijadikan bantal.Dalam pangkuanku Bara terlihat sangat damai, sepertinya dia sudah tertidur pulas. Kupatut-patut laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan hari itu. Fisiknya nyaris sempurna, jika aku bandingkan dia tak kalah ganteng dengan para aktor di televisi, selain itu dia juga sangat mapan, seharusnya dia bisa mendapatkan wanita mana saja untuk dijadikan pasangannya. Malah memilih untuk menyewaku? Aneh ....Sementara menunggu sang tuan tidur, untuk menghilangkan rasa suntuk kuputar musik di gawaiku dan
"Pegangan yang kuat agar nanti kau tidak diterbangkan angin!"Makjleep ... selalu seperti itu, Bara selalu berhasil membuatku menjadi istimewa dan seketika mematahkannya.Mendengar ucapan Bara, sontak aku memperhatikan tubuhku. Apa aku terlalu kurus sampai-sampai angin akan menerbangkanku jika aku tidak berpegang kuat-kuat?"Sudah ... jangan terlalu diperhatikan, tubuhmu yang tipis itu tidak akan berubah meskipun kau menatapnya lama-lama."Benar-benar mengesalkan sekali laki-laki ini. Ingin rasanya kutampol mulutnya yang semena-mena mencibirku itu.Karena kesal, aku menarik tanganku yang masih melingkar di pinggangnya. Agar laki-laki angkuh itu bisa melihat kalau aku tidak terlalu kurus dan angin tak akan dengan mudah menerbangkanku seperti yang dia katakan. Namun, baru saja tanganku terlepas dari pinggangnya, Bara kembali menarik tanganku dengan cepat, sehingga tubuhku ikut-ikutan membentur tubuh tegapnya yang terbungkus jaket kulit."Jangan pernah membantah! Lakukan saja apa yang ku
Dengan mata terpejam aku menikmatinya, dan ini untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, semenjak aku bercerai dari Denis.Bara mengakhirinya saat napasku tersengal, dia melepaskannya. Namun, tatapan matanya masih tertuju lurus pada manikku.Aku memejamkan mataku dan membuang napas berat, tak seharusnya aku terjerat dalam permainan Bara. Karena aku tahu semua itu hanyalah kepura-puraan semata.Aku melangkah meninggalkan Bara di bibir pantai, duduk di bawah payung besar sambil menatap pada matahari yang hampir tenggelam seutuhnya.Ya, aku dan Bara seperti jingga senja yang disisakan matahari itu, indahnya hanya sebentar saja, sebelum malam datang dan merubahnya menjadi hitam pekat. Jadi, tak ada alasan untukku terbuai dengan keindahan sesaat itu. Kami hanya dua orang yang kebetulan bertemu, sejenak bercerita, kemudian sama-sama kembali melangkah, berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.Jingga senja mulai berubah mendung kelabu, langit yang semula cerah berangsur ditutupi
Aku tertegun, mataku tak berkedip menatap Bara sembari mencerna ucapannya dan juga tentang apa yang dia lakukan padaku barusan."Besok pagi-pagi kita akan ke rumah sakit, aku sudah berjanji akan mengantar Langit pulang. Sekarang istirahatlah, hari sudah sangat larut." Baru kali ini Bara bicara lembut dan enak di dengar padaku. Tak ada ucapan keangkuhan dan nada keras.Bara meraih lenganku, membawaku kembali menuju ke tempat tidur. Aku yang seakan terhipnotis olehnya hanya menurut saja."Istirahatlah," ucapnya setelah mendudukkanku, kemudian dia mengambil bantal dan guling lalu beranjak menuju sofa dan membaringkan tubuhnya di sana."Bara? Apa itu benar-benar dia? Atau aku sedang bermimpi?" batinku.Dari tempat tidur aku memperhatikan Bara yang sudah memejamkan matanya dengan tangan bersedekap di dada.Kucubit lenganku, memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. Sakit ... sepertinya ini memang nyata.Kuirik jam kecil di atas nakas, ternyata sudah lewat tengah malam, pantas saja kalau
"Tetaplah di sini sampai kau merasa lebih baik!" ucap Bara sambil melangkah keluar dan menutup pintu.Aku yang tak mengerti hanya bisa menganggukkan kepala.Dingin air yang menggenang di dalam bathtub langsung menusuk ke setiap pori-poriku, menembus kulit, hingga menusuk ke tulang.Sensasi yang tadi kurasakan berangsur mereda. Namun, sedikit kewarasanku masih berpikir kenapa Bara malah merendamku dengan air dingin, padahal hari sudah mulai larut.Entah sudah berapa lama aku berendam, tubuhku mulai terasa menggigil, aku berusaha bangkit. Sayangnya gaun yang kukenakan membuatku kesulitan untuk keluar dari bathtub yang penuh air itu.Disaat bersamaan, pintu terbuka dari luar, di sana Bara berdiri dengan masih memakai pakaiannya yang tadi, hanya saja beberapa kancing di bagian atas kemejanya sudah terbuka, lengan bajunya juga sudah tersingsing hingga batas siku.Di ambang pintu Bara berdiri sambil menatapku yang masih berendam."Apa kamu sudah baikkan?" tanyanya."Aku kedinginan. Kenapa k
Aku menatap kotak kecil dalam genggamanku, bayangan benda berkilau itu melintas di benakku yang disusul dengan ucapan Bara. Apa dia benar memberikan ini untukku? Bukankah tadii dia bilang akan memberikannya pada wanita yang dia sukai. Aku menggeleng, Bara pasti salah bicara.Kubawa kembali kotak itu ke kamar Langit dan menyimpannya dalam tas, biar nanti malam saja kuberikan padanya, pikirku."Om Bara baik, ya, Ma," ucap Langit saat aku kembali duduk di sampingnya."Iya, Sayang," sahutku sambil membelai rambutnya."Seandainya papa Langit sebaik Om Bara ...."Langit tidak melanjutkan ucapannya, dia menarik napas dalam seakan melepaskan rasa sesak yang bersarang di sana. Sepertinya Langit merindukan sosok seorang ayah, dan itu sangat wajar, mengingat sudah sekian lama sosok itu menghilang dari kehidupannya.Ibu yang sedari tadi duduk di sofa mendekat dan membawa Langit ke dalam pelukannya."Langit sabar, ya, Sayang, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih indah untuk Langit," ucap wani
Meski aku tak tahu pasti ke mana arah pembicaraan Bara, namun entah kenapa rasanya ada makna yang begitu dalam di sana.Hening ... kami sama-sama diam entah beberapa saat, seakan tenggelam dengan pikiran masing-masing."Ayo, kita cari sarapan!" ucap Bara sambil berdiri."Di luar masih hujan." Pandanganku beralih ke kaca jendela.Bara mengikuti arah pandanganku, kemudian kembali menghempaskan tubuhnya di ranjang dan merebahkan badannya di sana dengan kaki yang menjuntai ke lantai."Seandainya kemarin kamu bawa mobil, kita tak akan terjebak di sini," sesalku.Tak ada jawaban apa pun dari Bara, dia tampak memejamkan matanya. Bulu matanya yang lentik saling beradu, alisnya yang tebal memberikan pesona tersendiri saat dia terpejam. Tak sadar aku menatapnya dalam."Jangan menatapku terlalu lama, nanti kamu bisa jatuh cinta dan takkan mudah untuk melupakanku!"Aku tersentak, lagi ... Bara memergokiku seperti maling yang ketahuan.Meski kuakui Bara termasuk ke dalam kriteria laki-laki idaman,
Bergegas aku bangkit, tetapi Bara malah menarik tanganku hingga aku kembali terjerembap di dadanya."Jangan pura-pura shock, aku tahu kau pasti menikmatinya, bukan?"Aku kembali bangkit, tetapi tangan kekar Bara menahan tubuhku dengan kuat."Bicara apa kamu? Jangan ngelantur!" elakku dengan posisi kepala masih berada di dada bidang milik Bara. Aku bisa mendengar detak jantungnya secara langsung. Hangat tubuhnya terasa di pipiku."Singkirkan tanganmu! Aku mau ke kamar mandi!""Sebentar lagi. Salahmu sendiri, kamu yang membuat aturan kamu juga yang melanggarnya. Kamu yang memberi batas antara kita, kamu juga yang melewatinya."Aku mendengus kesal, merutuki kecerobohanku, memang aku kalau sudah tidur suka lupa dengan keadaan.Tak ada gunanya untuk memberontak, kubiarkan Bara menahan tubuhku. Detak jantung dengan deru napasku saling berpacu dalam dekapan tangan kokohnya.Setelah beberapa saat Bara mulai melonggarkan pelukannya, aku mengambil kesempatan untuk segera bangkit."Tunggu!" Lagi
Dengan mata terpejam aku menikmatinya, dan ini untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, semenjak aku bercerai dari Denis.Bara mengakhirinya saat napasku tersengal, dia melepaskannya. Namun, tatapan matanya masih tertuju lurus pada manikku.Aku memejamkan mataku dan membuang napas berat, tak seharusnya aku terjerat dalam permainan Bara. Karena aku tahu semua itu hanyalah kepura-puraan semata.Aku melangkah meninggalkan Bara di bibir pantai, duduk di bawah payung besar sambil menatap pada matahari yang hampir tenggelam seutuhnya.Ya, aku dan Bara seperti jingga senja yang disisakan matahari itu, indahnya hanya sebentar saja, sebelum malam datang dan merubahnya menjadi hitam pekat. Jadi, tak ada alasan untukku terbuai dengan keindahan sesaat itu. Kami hanya dua orang yang kebetulan bertemu, sejenak bercerita, kemudian sama-sama kembali melangkah, berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.Jingga senja mulai berubah mendung kelabu, langit yang semula cerah berangsur ditutupi
"Pegangan yang kuat agar nanti kau tidak diterbangkan angin!"Makjleep ... selalu seperti itu, Bara selalu berhasil membuatku menjadi istimewa dan seketika mematahkannya.Mendengar ucapan Bara, sontak aku memperhatikan tubuhku. Apa aku terlalu kurus sampai-sampai angin akan menerbangkanku jika aku tidak berpegang kuat-kuat?"Sudah ... jangan terlalu diperhatikan, tubuhmu yang tipis itu tidak akan berubah meskipun kau menatapnya lama-lama."Benar-benar mengesalkan sekali laki-laki ini. Ingin rasanya kutampol mulutnya yang semena-mena mencibirku itu.Karena kesal, aku menarik tanganku yang masih melingkar di pinggangnya. Agar laki-laki angkuh itu bisa melihat kalau aku tidak terlalu kurus dan angin tak akan dengan mudah menerbangkanku seperti yang dia katakan. Namun, baru saja tanganku terlepas dari pinggangnya, Bara kembali menarik tanganku dengan cepat, sehingga tubuhku ikut-ikutan membentur tubuh tegapnya yang terbungkus jaket kulit."Jangan pernah membantah! Lakukan saja apa yang ku
"Beberapa hari yang lalu aku sudah menemanimu, sekarang giliran kamu yang menemaniku di sini." Bara beringsut dan merebahkan kepalanya di pahaku.Aku sedikit kaget karena perlakuannya, sedangkan laki-laki berhidung mancung itu dengan santainya memejamkan mata."Bara.""Diamlah, aku hanya ingin istirahat sebentar." Bara menimpali ucapanku yang mau memprotesnya.Aku menghela napas panjang, aku pikir Bara butuh jasaku untuk menemaninya menemui seseorang, ternyata malah hanya untuk dijadikan bantal.Dalam pangkuanku Bara terlihat sangat damai, sepertinya dia sudah tertidur pulas. Kupatut-patut laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan hari itu. Fisiknya nyaris sempurna, jika aku bandingkan dia tak kalah ganteng dengan para aktor di televisi, selain itu dia juga sangat mapan, seharusnya dia bisa mendapatkan wanita mana saja untuk dijadikan pasangannya. Malah memilih untuk menyewaku? Aneh ....Sementara menunggu sang tuan tidur, untuk menghilangkan rasa suntuk kuputar musik di gawaiku dan
Kusandarkan kepalaku ke dinding sembari memejamkan mata, dalam hati tak henti berdoa untuk keselamatan Langit.Aku merasakan sentuhan tangan Bara di tengkukku dan membawa kepalaku agar bersandar di bahunya. "Begini akan membuatmu lebih nyaman," ucapnya. Pandangan kami bertemu saat aku mendongakkan kepala.Aku berusaha untuk bangkit. Namun, Bara menahannya.Ya, Bara memang benar, sepertinya disaat-saat seperti ini aku memang membutuhkan bahu untukku bersandar dan membagi beban, tetapi sayang ... ah, sudahlah, aku tak mau menyalahkan takdir. Takdirlah yang mengharuskanku seperti ini, dan takdir jugalah yang menjadikanku wanita yang kuat. Buktinya sampai sekarang aku masih bisa berdiri tegap, meski tanpa tempat untuk berbagi.Lelah ... tak munafik, jiwaku berangsur lelah, kembali aku merasa nyaman bersandar pada pundak laki-laki yang baru kukenal itu. Kupejamkan mataku, menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran di dada yang semakin bertalu hebat membayangkan akan ada saya