Mengesampingkan rasa maluku pada Bara, ada suatu kebahagiaan yang menyeruak di hati, mengingat sebentar lagi anakku--Langit akan segera dioperasi. Semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada putra semata wayangku itu.
Senyuman tak pernah henti membingkai wajahku selama perjalanan kembali menuju ke rumah sakit. Tak sabar rasanya untuk segera membagi kebahagiaan ini dengan Ibu, juga Langit.
Bulan sabit di langit tampak tersenyum, seakan turut merasakan kebahagiaanku, pun dengan hamparan bintang yang berlomba mengedipkan sinarnya seperti sedang menggodaku. Seumur hidup, belum pernah aku merasakan kebahagiaan yang teramat seperti ini.
Kutepikan motor sejenak ketika melewati penjual pecel lele, memesan dua porsi untuk kumakan bersama Ibu dan Langit. Selembar uang seratus ribuan yang sengaja kusisihkan akhirnya kubelanjakan juga.
Langit pasti senang sekali jika aku datang dengan membawakan makanan favoritnya. Meskipun makanannya masih dijaga pihak rumah sakit, setidaknya nanti dia bisa mencicipinya sedikit.
Dengan penuh semangat kembali kupacu motorku, senyumanku semakin merekah sempurna melihat sebuah kantong yang berisi dua kotak pecel lele yang tergantung.
***
"Assalamualaikum ...." Aku membuka pintu ruangan tempat di mana Langit dirawat.
Tak ada sahutan. Ternyata nenek dan cucunya itu sudah tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing.
Aku mendekat, menatap bergantian pada wajah-wajah yang membuatku tegar dan selalu menjadi asupan semangat bagiku selama ini, hingga mampu bertahan. Karena yakin dengan cinta dari mereka, aku pasti bisa menghadapi masalah, sebesar dan seberat apa pun itu.
Mataku diselimuti mendung pekat, dan perlahan tetesan itu mengalir membentuk anak sungai di pipi.
Ibu terlihat membuka mata, mungkin dia sadar aku datang. Begitulah Ibu, wanita terhebat dan terkuat yang menjadi teladanku. Cepat-cepat kuusap air mataku karena tak ingin beliau melihatnya. Tidurnya tak pernah nyenyak, apalagi semenjak Langit sakit.
"Laras? Kamu sudah pulang, Sayang? Tapi, kenapa bajumu berbeda? Perasaan tadi kamu nggak pakai baju ini." Ibu mengamati penampilanku dengan mata yang belum terbuka dengan sempurna.
Ya Tuhan, bisa-bisanya aku lupa mengganti pakaian. Aku merutuki kecerobohanku.
"Ini baju Zara, Bu, tadi dia ngajak aku datang ke pesta," kilahku. Ibu ... maafkan aku, aku terpaksa berbohong padamu. Bagaimana mungkin aku mengatakan yang sejujurnya.
"Oh, iya, tadi Laras beli pecel lele. Yuk kita makan. Udah lama sekali rasanya kita tidak makan pecel lele," ucapku mengalihkan pembicaraan.
"Kamu dapat uang dari mana? Kalau ada rezeki berhematlah untuk biaya pengobatan Langit."
"Ibu tenang saja, dan satu lagi, Laras punya kabar gembira." Aku mengajak Ibu untuk duduk.
"Apa?" tanyanya tak sabaran.
"Langit akan segera dioperasi." Air mataku mengalir begitu saja ketika mengatakan hal itu pada beliau. Begitu juga dengan Ibu, beliau ternganga dan langsung menutup mulutnya, ekspresi kaget sangat kental di wajahnya, dan bendungannya pun jebol, aliran sungai dari matanya membanjir.
"Kamu dapat uang dari mana, Nak?" tanyanya sambil terisak dan berurai air mata.
"Aku pinjam dari bos, Bu, dan bisa dicicil selama aku bekerja." Lagi ... aku terpaksa kembali membohongi Ibu.
Aku menghambur ke dalam pelukannya, tetapi kali ini berbaur air mata kebahagiaan, tidak seperti hari-hari kemarin yang penuh kesenduan.
"Semoga Langit segera pulih kembali," lirih Ibu dalam pelukanku.
"Aamiin ...." Itu juga keinginanku, karena tak sanggup rasanya melihat berbagai alat yang melekat di tubuh Langit.
"Ma ...." Bergegas aku menghampiri Langit saat mendengar lirih suaranya memanggilku.
"Iya, Sayang," sahutku, kubelai rambutnya dan kucium setiap inci wajahnya.
Langit tersenyum, tangannya terulur meraih pipiku dan mengusapnya. Kusambar tangan mungil itu dan mengecupnya. "Kamu akan segera pulih, Sayang," bisikku.
Langit tersenyum, "Terima kasih, Ma. Langit sayang Mama." Tangisku semakin menjadi saat kalimat itu keluar dari mulutnya, meskipun itu bukan kali pertama Langit mengucapkannya.
"Sayang ... tadi mama beli pecel lele, kamu mau?" tanyaku.
Langit menggeleng, "Kata dokter nggak boleh, Ma. Bolehnya cuma makan makanan yang diberikan suster."
"Sedikit?" tawarku, karena aku yakin Langit juga pasti ingin mencicipinya.
"No, Mama, Langit mau sembuh!" tegasnya.
Jika Langit sudah bicara seperti itu aku tak bisa apa-apa lagi.
"Cucu nenek pintar." Ibu mendekat dan memeluk cucu satu-satunya itu. Kami bertiga saling berpeluk dalam haru.
Akhirnya aku dan Ibu memutuskan menunggu hingga Langit tertidur kembali untuk memakan pecel lele.
***
"Baik, Bu, saya akan segera melaporkan pada dokter kalau Ibu sudah membayar administrasinya. Agar dokter bisa segera bertindak, dan semoga Dek Langit secepatnya kembali pulih," ucap petugas administrasi ketika aku membayar biaya operasi Langit.
"Terima kasih, Mbak." Aku tak sabar lagi mendengar keputusan dokter, semoga semuanya berjalan lancar.
Aku kembali ke ruangan Langit, dan bersiap untuk segera berangkat ke kafe. Beberapa lembar pakaian sengaja kubawa ke rumah sakit, agar aku tidak terlalu kerepotan untuk bolak-balik ke rumah.
"Sayang ... sabar, ya, dokter sedang mempersiapkan operasimu.” Kuhampiri Langit yang tengah dibacakan cerita oleh Ibu.
"Iya, Mama." Langit ... dia selalu bersemangat dan itulah salah satu yang menjadi sumber kekuatanku. Apalagi melihat senyumannya, meskipun wajah Langit persis seperti ayahnya, namun hal itu tak lantas membuatku tidak menyukainya. Tidak seperti ayahnya yang begitu kubenci, kebencianku pada ayah Langit sudah mendarah daging rasanya. Meskipun sudah sekian tahun tak bertemu, rasa benci itu masih enggan beranjak. Namun, di sisi lain ada sebuah hikmah yang kuambil dari pertemuanku dengan laki-laki tak bertanggung jawab itu, yaitu hadirnya Langit dalam kehidupanku.
Gawaiku yang terletak dalam tas merah yang diberikan Tika dan Miranda tadi malam berbunyi. Aku beranjak menuju sofa, tempat di mana tas itu terletak.
"Bara?" gumamku ketika nama laki-laki yang baru kukenal semalam itu terpampang di sana.
Aku melangkah keluar, menjauh dari Ibu dan Langit agar mereka tak mendengar perbincanganku dengan Bara.
"Cepat datang ke tempat semalam!" titahnya, bahkan aku belum sempat bicara apa-apa.
"Tapi saya harus bekerja," protesku, karena dalam perjanjian dia tidak melarangku untuk bekerja.
"Lima belas menit dari sekarang!" Terkadang orang kaya memang semena-mena. Lalu, bagaimana mungkin dia memberiku waktu hanya lima belas menit saja. Kalau jalanan lancar mungkin aku bisa sampai sebelum waktu yang dia tetapkan, tapi jika macet? Apa dia tidak memikirkan itu? umpatku.
Bergegas aku pamit pada Ibu dan juga Langit, tak lupa kupeluk dan kucium kedua malaikatku itu sebelum keluar.
***
Akhirnya ... aku sampai juga di hotel, tempat di mana Bara menungguku. Entah dia memang tinggal di sana atau hanya sekadar menjadikannya sebagai tempat pertemuan kami. Aku tak perlu pikirkan hal itu.
Tiga orang petugas resepsionis menganggukkan kepalanya saat aku melewati mereka, meski tergesa masih kusempatkan untuk melemparkan senyuman pada mereka.
Napasku ngos-ngosan ketika sampai di depan pintu kamar Bara. Baru saja tanganku terangkat untuk mengetuk pintu, pintu sudah terlebih dahulu terbuka, sepertinya laki-laki ini punya ilmu telepati sehingga tahu kalau aku sudah tiba.
Dia menatap sengit pada tanganku yang masih terangkat, cepat-cepat aku menurunkannya.
"Masuk!" titahnya. Dasar laki-laki, tak bisakah dia berbasa-basi sedikit saja.
"Pilih pakaian yang cocok untukmu, sudah saya siapkan di lemari. Nanti Tika dan Miranda akan ke sini untuk membantumu." Singkat, tepat dan jelas.
Tanpa bicara aku segera berlalu menuju ke lemari yang terletak di dekat tempat tidur. Lemari berukuran hampir sama tinggi dengan loteng dan ukiran naga di puncaknya.
Aku membuka lemari itu dan melihat beberapa lembar gaun sudah tergantung di sana. Saat tengah asyik melihat satu per satu, aku dikejutkan oleh suara deheman Bara, saat aku menoleh ke belakang ternyata laki-laki bertubuh tinggi tegap itu sudah berada tepat di belakangku.
Matanya tajam menatap padaku, membuat aku menjadi ngeri dan seketika membuatku mundur beberapa langkah hingga tubuhku terbentur lemari.
Selangkah dia maju dan semakin mendekat padaku, sedangkan tatapannya masih fokus tak berkedip.
Apa yang akan dilakukan laki-laki ini? batinku, tiba-tiba aku merasa ngeri dan gemetaran.
Bara maju selangkah lagi, sedangkan aku sudah tak bisa mundur barang seinci pun, posisiku benar-benar sudah tersudut.
Tangan Bara terulur, refleks aku menyingkirkannya. Namun, nahas, aku jadi hilang keseimbangan dan oleng. Agar tidak terjatuh, tanganku mencari tempat berpegang, tanpa kuduga ternyata tanganku berpegangan pada tangan Bara. Entah karena kaget atau posisinya yang tidak siap, laki-laki itu ambruk dan tanpa sengaja menindihku, hingga kami berdua terpuruk ke dalam lemari. Dan satu lagi kesialanku, di waktu yang bersamaan Miranda dan Tika muncul. Dua orang yang membantu urusan penampilanku itu ternganga melihat keadaan kami yang sangat ... entahlah, susah kuungkapkan dengan kata-kata, dan aku sangat yakin siapa pun yang melihat kami dalam kondisi seperti itu, pasti berpikir yang tidak-tidak.
Bergegas kudorong tubuhnya. Entah dapat kekuatan dari mana, sehingga dengan sekali dorong tubuh Bara terpental dan kembali terjungkal di lantai."Aduh ...." Bara mengerang.Tika dan Miranda segera membantu Bara berdiri."Ma-maaf, saya tak sengaja," ucapku sembari menunduk, tak kuat menantang tatapannya yang tajam.Bara mengibaskan tangannya di udara, "Segera bersiap! Kalian berdua bantu dia!" perintahnya sambil memutar langkah. Tangannya mengelus-elus bokongnya yang kesakitan."Ada apa?" Miranda mendekat padaku dan berbisik."Hah? Entahlah," sahutku, karena aku bingung bagaimana menjelaskannya.Serentak Tika dan Miranda menggelengkan kepala dan tersenyum. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiran mereka."Ya sudah ... ayo, segera bersiap!" Tika berjalan ke lemari dan membantuku memilih baju, sedangkan Miranda mempersiapkan peralatan make-up. "Bara siapa?" Iseng kutanya pada Tika yang sedang memegang satu gaun di masing-masing tangannya."Nona belum kenal siapa dia?" Wanita berkulit
Bara keluar dari mobil, kemudian berputar dan membukakan pintu untukku, tangannya terulur bak seorang pangeran menyambut permaisurinya.Aku tak bergeming."Come on," ucapnya.Dengan ragu kusambut uluran tangannya. Bara menggenggamnya dan sedikit meremasnya."Sepertinya kamu kedinginan," ucap Bara. Dia semakin mendempetkan tubuhnya padaku saat kami berjalan masuk ke dalam kafe.Ya, aku memang kedinginan, karena darahku rasanya seakan berhenti mengalir."Rileks, jangan tegang begitu," bisiknya di ubun-ubunku.Di tengah-tengah kafe aku melihat ada sekumpulan orang, salah satu dari mereka melambaikan tangannya ke arah kami seakan memberi isyarat."Santai, jangan lupa tersenyum dan ingat jangan banyak bicara. Tetaplah berada di sampingku dan jangan pernah lepaskan genggamanku, karena apa yang kau lihat nanti bukanlah kejadian yang sebenarnya. Bisa saja mereka tersenyum di depanmu, tetapi mencibir di belakang, bisa saja mereka baik di depanmu, namun punya rencana lain di belakangmu. Paham?
"Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar."Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku."Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan. ***"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini
Saat otakku masih mencerna apa yang terjadi, mobil Bara sudah melaju."Ternyata dia benar-benar ingin ke sini," batinku setelah mobil mewah tersebut berhenti di sebuah bangunan putih tiga tingkat, tempat di mana Langit dirawat."Ayo, turun!" ucap Bara sembari membuka sabuk pengamannya."Tunggu!" Aku mencekal tangan Bara ketika dia hendak meraih parsel buah dan kantong yang dia letakkan di kursi belakang.Bara menatap pada tanganku yang mencekal tangannya."Maaf, aku tidak bermaksud lancang." Bergegas kulepaskan peganganku pada tangannya."Tidak apa-apa, sepertinya kau sudah punya kemajuan, yaitu menyentuhku, it's not bad, aku suka itu.""Bukan seperti itu, tetapi aku mohon ... kalau kau mau bertemu dengan anakku, tolong jangan bicarakan kebenaran antara kita pada ibuku nanti. Aku mohon. Aku tidak ingin beliau tahu kalau ... kalau anaknya sekarang adalah seorang wanita bayaran." Aku tertunduk, entah kenapa saat mengingat hal itu hatiku merasa tersentil, meskipun sejauh ini perlakuan Ba
Bara membiarkanku terisak, entah sudah berapa banyak air mataku yang keluar."Laras ... berhentilah! Kau mengotori bajuku!" Aku tersentak. Ya Tuhan ... bisa-bisanya aku nyaman dalam pelukan laki-laki menyebalkan ini.Bergegas aku menarik diri, pandangan mataku langsung tertuju pada bagian dada Bara yang sudah basah karena air mataku, juga ada sedikit lendir di sana, setelah aku perhatikan, sepertinya itu ingus. Cepat-cepat aku mengambil sapu tangan dalam tasku dan membersihkan ingus yang menempel di dada Bara. Sebelum dia menyadarinya.Aku pindah duduk ke samping Ibu, Bara menyusulku kemudian dan ikut menghempaskan tubuhnya di sebelahku.Ibu tampak gelisah, dia tampak memejamkan mata dan berkali-kali mengusap wajahnya."Bu?" Kuraih jemari Ibu dan menggenggamnya, berusaha memberikan ketenangan padanya, padahal sebenarnya jiwaku juga diimpit ketegangan."Langit pasti kuat, Langit anak yang kuat," ucapku.Ibu menatapku, menganggukkan kepalanya dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Ya,
Kusandarkan kepalaku ke dinding sembari memejamkan mata, dalam hati tak henti berdoa untuk keselamatan Langit.Aku merasakan sentuhan tangan Bara di tengkukku dan membawa kepalaku agar bersandar di bahunya. "Begini akan membuatmu lebih nyaman," ucapnya. Pandangan kami bertemu saat aku mendongakkan kepala.Aku berusaha untuk bangkit. Namun, Bara menahannya.Ya, Bara memang benar, sepertinya disaat-saat seperti ini aku memang membutuhkan bahu untukku bersandar dan membagi beban, tetapi sayang ... ah, sudahlah, aku tak mau menyalahkan takdir. Takdirlah yang mengharuskanku seperti ini, dan takdir jugalah yang menjadikanku wanita yang kuat. Buktinya sampai sekarang aku masih bisa berdiri tegap, meski tanpa tempat untuk berbagi.Lelah ... tak munafik, jiwaku berangsur lelah, kembali aku merasa nyaman bersandar pada pundak laki-laki yang baru kukenal itu. Kupejamkan mataku, menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran di dada yang semakin bertalu hebat membayangkan akan ada saya
"Beberapa hari yang lalu aku sudah menemanimu, sekarang giliran kamu yang menemaniku di sini." Bara beringsut dan merebahkan kepalanya di pahaku.Aku sedikit kaget karena perlakuannya, sedangkan laki-laki berhidung mancung itu dengan santainya memejamkan mata."Bara.""Diamlah, aku hanya ingin istirahat sebentar." Bara menimpali ucapanku yang mau memprotesnya.Aku menghela napas panjang, aku pikir Bara butuh jasaku untuk menemaninya menemui seseorang, ternyata malah hanya untuk dijadikan bantal.Dalam pangkuanku Bara terlihat sangat damai, sepertinya dia sudah tertidur pulas. Kupatut-patut laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan hari itu. Fisiknya nyaris sempurna, jika aku bandingkan dia tak kalah ganteng dengan para aktor di televisi, selain itu dia juga sangat mapan, seharusnya dia bisa mendapatkan wanita mana saja untuk dijadikan pasangannya. Malah memilih untuk menyewaku? Aneh ....Sementara menunggu sang tuan tidur, untuk menghilangkan rasa suntuk kuputar musik di gawaiku dan
"Pegangan yang kuat agar nanti kau tidak diterbangkan angin!"Makjleep ... selalu seperti itu, Bara selalu berhasil membuatku menjadi istimewa dan seketika mematahkannya.Mendengar ucapan Bara, sontak aku memperhatikan tubuhku. Apa aku terlalu kurus sampai-sampai angin akan menerbangkanku jika aku tidak berpegang kuat-kuat?"Sudah ... jangan terlalu diperhatikan, tubuhmu yang tipis itu tidak akan berubah meskipun kau menatapnya lama-lama."Benar-benar mengesalkan sekali laki-laki ini. Ingin rasanya kutampol mulutnya yang semena-mena mencibirku itu.Karena kesal, aku menarik tanganku yang masih melingkar di pinggangnya. Agar laki-laki angkuh itu bisa melihat kalau aku tidak terlalu kurus dan angin tak akan dengan mudah menerbangkanku seperti yang dia katakan. Namun, baru saja tanganku terlepas dari pinggangnya, Bara kembali menarik tanganku dengan cepat, sehingga tubuhku ikut-ikutan membentur tubuh tegapnya yang terbungkus jaket kulit."Jangan pernah membantah! Lakukan saja apa yang ku
Aku tertegun, mataku tak berkedip menatap Bara sembari mencerna ucapannya dan juga tentang apa yang dia lakukan padaku barusan."Besok pagi-pagi kita akan ke rumah sakit, aku sudah berjanji akan mengantar Langit pulang. Sekarang istirahatlah, hari sudah sangat larut." Baru kali ini Bara bicara lembut dan enak di dengar padaku. Tak ada ucapan keangkuhan dan nada keras.Bara meraih lenganku, membawaku kembali menuju ke tempat tidur. Aku yang seakan terhipnotis olehnya hanya menurut saja."Istirahatlah," ucapnya setelah mendudukkanku, kemudian dia mengambil bantal dan guling lalu beranjak menuju sofa dan membaringkan tubuhnya di sana."Bara? Apa itu benar-benar dia? Atau aku sedang bermimpi?" batinku.Dari tempat tidur aku memperhatikan Bara yang sudah memejamkan matanya dengan tangan bersedekap di dada.Kucubit lenganku, memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. Sakit ... sepertinya ini memang nyata.Kuirik jam kecil di atas nakas, ternyata sudah lewat tengah malam, pantas saja kalau
"Tetaplah di sini sampai kau merasa lebih baik!" ucap Bara sambil melangkah keluar dan menutup pintu.Aku yang tak mengerti hanya bisa menganggukkan kepala.Dingin air yang menggenang di dalam bathtub langsung menusuk ke setiap pori-poriku, menembus kulit, hingga menusuk ke tulang.Sensasi yang tadi kurasakan berangsur mereda. Namun, sedikit kewarasanku masih berpikir kenapa Bara malah merendamku dengan air dingin, padahal hari sudah mulai larut.Entah sudah berapa lama aku berendam, tubuhku mulai terasa menggigil, aku berusaha bangkit. Sayangnya gaun yang kukenakan membuatku kesulitan untuk keluar dari bathtub yang penuh air itu.Disaat bersamaan, pintu terbuka dari luar, di sana Bara berdiri dengan masih memakai pakaiannya yang tadi, hanya saja beberapa kancing di bagian atas kemejanya sudah terbuka, lengan bajunya juga sudah tersingsing hingga batas siku.Di ambang pintu Bara berdiri sambil menatapku yang masih berendam."Apa kamu sudah baikkan?" tanyanya."Aku kedinginan. Kenapa k
Aku menatap kotak kecil dalam genggamanku, bayangan benda berkilau itu melintas di benakku yang disusul dengan ucapan Bara. Apa dia benar memberikan ini untukku? Bukankah tadii dia bilang akan memberikannya pada wanita yang dia sukai. Aku menggeleng, Bara pasti salah bicara.Kubawa kembali kotak itu ke kamar Langit dan menyimpannya dalam tas, biar nanti malam saja kuberikan padanya, pikirku."Om Bara baik, ya, Ma," ucap Langit saat aku kembali duduk di sampingnya."Iya, Sayang," sahutku sambil membelai rambutnya."Seandainya papa Langit sebaik Om Bara ...."Langit tidak melanjutkan ucapannya, dia menarik napas dalam seakan melepaskan rasa sesak yang bersarang di sana. Sepertinya Langit merindukan sosok seorang ayah, dan itu sangat wajar, mengingat sudah sekian lama sosok itu menghilang dari kehidupannya.Ibu yang sedari tadi duduk di sofa mendekat dan membawa Langit ke dalam pelukannya."Langit sabar, ya, Sayang, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih indah untuk Langit," ucap wani
Meski aku tak tahu pasti ke mana arah pembicaraan Bara, namun entah kenapa rasanya ada makna yang begitu dalam di sana.Hening ... kami sama-sama diam entah beberapa saat, seakan tenggelam dengan pikiran masing-masing."Ayo, kita cari sarapan!" ucap Bara sambil berdiri."Di luar masih hujan." Pandanganku beralih ke kaca jendela.Bara mengikuti arah pandanganku, kemudian kembali menghempaskan tubuhnya di ranjang dan merebahkan badannya di sana dengan kaki yang menjuntai ke lantai."Seandainya kemarin kamu bawa mobil, kita tak akan terjebak di sini," sesalku.Tak ada jawaban apa pun dari Bara, dia tampak memejamkan matanya. Bulu matanya yang lentik saling beradu, alisnya yang tebal memberikan pesona tersendiri saat dia terpejam. Tak sadar aku menatapnya dalam."Jangan menatapku terlalu lama, nanti kamu bisa jatuh cinta dan takkan mudah untuk melupakanku!"Aku tersentak, lagi ... Bara memergokiku seperti maling yang ketahuan.Meski kuakui Bara termasuk ke dalam kriteria laki-laki idaman,
Bergegas aku bangkit, tetapi Bara malah menarik tanganku hingga aku kembali terjerembap di dadanya."Jangan pura-pura shock, aku tahu kau pasti menikmatinya, bukan?"Aku kembali bangkit, tetapi tangan kekar Bara menahan tubuhku dengan kuat."Bicara apa kamu? Jangan ngelantur!" elakku dengan posisi kepala masih berada di dada bidang milik Bara. Aku bisa mendengar detak jantungnya secara langsung. Hangat tubuhnya terasa di pipiku."Singkirkan tanganmu! Aku mau ke kamar mandi!""Sebentar lagi. Salahmu sendiri, kamu yang membuat aturan kamu juga yang melanggarnya. Kamu yang memberi batas antara kita, kamu juga yang melewatinya."Aku mendengus kesal, merutuki kecerobohanku, memang aku kalau sudah tidur suka lupa dengan keadaan.Tak ada gunanya untuk memberontak, kubiarkan Bara menahan tubuhku. Detak jantung dengan deru napasku saling berpacu dalam dekapan tangan kokohnya.Setelah beberapa saat Bara mulai melonggarkan pelukannya, aku mengambil kesempatan untuk segera bangkit."Tunggu!" Lagi
Dengan mata terpejam aku menikmatinya, dan ini untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, semenjak aku bercerai dari Denis.Bara mengakhirinya saat napasku tersengal, dia melepaskannya. Namun, tatapan matanya masih tertuju lurus pada manikku.Aku memejamkan mataku dan membuang napas berat, tak seharusnya aku terjerat dalam permainan Bara. Karena aku tahu semua itu hanyalah kepura-puraan semata.Aku melangkah meninggalkan Bara di bibir pantai, duduk di bawah payung besar sambil menatap pada matahari yang hampir tenggelam seutuhnya.Ya, aku dan Bara seperti jingga senja yang disisakan matahari itu, indahnya hanya sebentar saja, sebelum malam datang dan merubahnya menjadi hitam pekat. Jadi, tak ada alasan untukku terbuai dengan keindahan sesaat itu. Kami hanya dua orang yang kebetulan bertemu, sejenak bercerita, kemudian sama-sama kembali melangkah, berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.Jingga senja mulai berubah mendung kelabu, langit yang semula cerah berangsur ditutupi
"Pegangan yang kuat agar nanti kau tidak diterbangkan angin!"Makjleep ... selalu seperti itu, Bara selalu berhasil membuatku menjadi istimewa dan seketika mematahkannya.Mendengar ucapan Bara, sontak aku memperhatikan tubuhku. Apa aku terlalu kurus sampai-sampai angin akan menerbangkanku jika aku tidak berpegang kuat-kuat?"Sudah ... jangan terlalu diperhatikan, tubuhmu yang tipis itu tidak akan berubah meskipun kau menatapnya lama-lama."Benar-benar mengesalkan sekali laki-laki ini. Ingin rasanya kutampol mulutnya yang semena-mena mencibirku itu.Karena kesal, aku menarik tanganku yang masih melingkar di pinggangnya. Agar laki-laki angkuh itu bisa melihat kalau aku tidak terlalu kurus dan angin tak akan dengan mudah menerbangkanku seperti yang dia katakan. Namun, baru saja tanganku terlepas dari pinggangnya, Bara kembali menarik tanganku dengan cepat, sehingga tubuhku ikut-ikutan membentur tubuh tegapnya yang terbungkus jaket kulit."Jangan pernah membantah! Lakukan saja apa yang ku
"Beberapa hari yang lalu aku sudah menemanimu, sekarang giliran kamu yang menemaniku di sini." Bara beringsut dan merebahkan kepalanya di pahaku.Aku sedikit kaget karena perlakuannya, sedangkan laki-laki berhidung mancung itu dengan santainya memejamkan mata."Bara.""Diamlah, aku hanya ingin istirahat sebentar." Bara menimpali ucapanku yang mau memprotesnya.Aku menghela napas panjang, aku pikir Bara butuh jasaku untuk menemaninya menemui seseorang, ternyata malah hanya untuk dijadikan bantal.Dalam pangkuanku Bara terlihat sangat damai, sepertinya dia sudah tertidur pulas. Kupatut-patut laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan hari itu. Fisiknya nyaris sempurna, jika aku bandingkan dia tak kalah ganteng dengan para aktor di televisi, selain itu dia juga sangat mapan, seharusnya dia bisa mendapatkan wanita mana saja untuk dijadikan pasangannya. Malah memilih untuk menyewaku? Aneh ....Sementara menunggu sang tuan tidur, untuk menghilangkan rasa suntuk kuputar musik di gawaiku dan
Kusandarkan kepalaku ke dinding sembari memejamkan mata, dalam hati tak henti berdoa untuk keselamatan Langit.Aku merasakan sentuhan tangan Bara di tengkukku dan membawa kepalaku agar bersandar di bahunya. "Begini akan membuatmu lebih nyaman," ucapnya. Pandangan kami bertemu saat aku mendongakkan kepala.Aku berusaha untuk bangkit. Namun, Bara menahannya.Ya, Bara memang benar, sepertinya disaat-saat seperti ini aku memang membutuhkan bahu untukku bersandar dan membagi beban, tetapi sayang ... ah, sudahlah, aku tak mau menyalahkan takdir. Takdirlah yang mengharuskanku seperti ini, dan takdir jugalah yang menjadikanku wanita yang kuat. Buktinya sampai sekarang aku masih bisa berdiri tegap, meski tanpa tempat untuk berbagi.Lelah ... tak munafik, jiwaku berangsur lelah, kembali aku merasa nyaman bersandar pada pundak laki-laki yang baru kukenal itu. Kupejamkan mataku, menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran di dada yang semakin bertalu hebat membayangkan akan ada saya