"Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.
Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar.
"Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.
Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku.
"Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan.
***
"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.
Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini karena hati, bukan semata untuk pelengkap sempurnanya sandiwara yang sedang dia mainkan.
Gawai dalam tasku bergetar, kulepaskan tanganku dari genggaman Bara dan meraih benda pipih itu. Sebuah pesan masuk dengan nama Ibu. Pikiranku kembali kalut, takut pesan yang dikirim Ibu adalah kabar buruk. Entah kenapa semenjak Langit di-opname, aku sering parno sendiri, mungkin itu terjadi karena kecemasanku yang berlebihan.
Setelah menghirup napas panjang, kubuka pesan itu dengan dada yang berdebar.
“Rencananya Langit akan dioperasi nanti malam!”
Deg ... ada rasa bahagia membaca pesan dari Ibu, namun di balik semua itu aku juga khawatir, mengingat tubuh mungil anakku akan dibedah dengan alat-alat operasi.
"Tuhan ... lancarkan semuanya, kuatkan anakku dan berilah dia kesembuhan," lirih kuberdoa dalam hati.
Aku termenung, hingga Bara mengambil gawai dalam genggamanku, ingin rasanya aku merebutnya kembali, namun tidak mungkin, bisa-bisa kami jadi bahan tontonan dan Bara akan malu karena tingkahku.
Bara langsung menyimpan gawaiku dalam kantong jas yang dia kenakan. Kemudian mengambil tanganku lagi dan kembali menggenggamnya.
Ya, apalagi yang bisa kulakukan selain menyerah.
Seperti sebelumnya, aku tak pernah menyimak pembicaraan Bara dengan teman-temannya, aku lebih memilih menyibukkan pikiranku sendiri.
"Ya sudah, kami pamit dulu. Sampai jumpa lain waktu," ucap Bara mengakhiri pertemuan mereka.
"Ayo, Sayang." Bara memberi isyarat padaku untuk segera berdiri.
"Terima kasih atas waktunya," ucap laki-laki berambut ikal yang pada awal pertemuan kami membahas tentang Sesil. Wanita yang katanya lebih memilih kakak Bara karena lebih mapan.
"Terima kasih juga untuk jamuannya," sahut bara.
***
Bara melepaskan rangkulannya dan membukakan pintu mobil untukku.
"Lain kali, jangan sibukkan dirimu saat bersamaku!" tegur Bara padaku saat dia sudah duduk di bangku kemudi.
"Tapi aku juga punya urusan!" tegasku.
"Sepenting apa?"
"Lebih penting dari semuanya!"
"Oh, ya? Apa lebih penting dari seratus lima puluh juta yang kuberikan?"
Aku tak bisa bicara apa-apa lagi, karena memang Langit jauh lebih berarti jika dibandingkan dengan apa pun. Walau bantuan Bara juga sangat berarti, karena berkat bantuannyalah aku bisa membayar biaya operasi Langit.
"Tak bisa menjawab?" tanya Bara.
Bara merogoh kantongnya dan mengeluarkan gawaiku dari sana, tanpa diduga dia menyalakannya. Bergegas aku berusaha untuk merampasnya, tapi sayang, gerakan Bara lebih cepat. Dia mengangkat gawai itu tinggi-tinggi sehingga aku kesulitan untuk menjangkaunya.
"Aku ingin tahu, apa sebenarnya yang lebih penting melebihi uang yang kuberikan."
"Bara! Kembalikan! Itu privasiku!"
"Tidak sebelum aku melihatnya."
Gawaiku kembali berbunyi, menandakan ada pesan baru masuk lagi.
"Bara!" Karena kesal setengah berdiri aku mencoba merebut gawaiku. Sempitnya mobil membatasi ruang gerak, hingga tak sengaja tubuhku ambruk menimpa Bara.
Kami sama-sama terdiam entah dalam waktu berapa detik saat bibir kami saling bersentuhan. Mataku melotot, pun dengan Bara.
"Maaf, aku tak sengaja!" Kumenarik diri dan memperbaiki posisi duduk.
"Kamu mencurinya," ucap Bara sambil mengusap bibirnya.
"Aku sudah bilang kalau aku tak sengaja!"
"Sengaja pun juga tak apa," timpal Bara.
Sungguh, malu sekali rasanya.
"Anakmu sakit?" tanya Bara. Akhirnya dia tahu juga.
"Kamu sudah punya anak?" tanyanya lagi.
Akhirnya Bara mengetahui semuanya.
"Lalu, apa nanti kata suamimu kalau kamu terikat kontrak dan kerja sama denganku? Kamu tahu, kan, dalam perjanjian tak ada batasan jamnya? Kau harus siap bekerja kapan pun aku membutuhkanmu!"
Sepertinya, inilah saat yang tepat untukku mengatakan pada Bara, mungkin sudah waktunya dia mengetahui semuanya.
"Ya, aku memang sudah punya anak. Dia sedang sakit dan nanti malam akan dioperasi." terangku.
"Lalu? Ayahnya? Apa dia tidak keberatan dengan ...."
"Kami sudah bercerai empat tahun yang lalu. Laki-laki yang di toilet tadi adalah ayahnya. Ini adalah kali pertama kami bertemu lagi setelah sekian tahun," jelasku tanpa ada yang aku tutup-tutupi.
"Jadi?"
"Ya, aku adalah orang tua tunggal."
Sejenak Bara menatapku, "Jadi uang itu untuk biaya operasi anakmu?"
Aku mengangguk, tanpa aba-aba mataku mengembun dan diselimuti kabut pekat.
Bara memberikan gawaiku kembali, kemudian melajukan mobilnya.
"Jangan menangis. Aku tak suka wanita yang lemah!" Selembar tisu dia berikan padaku.
"Maaf," lirihku dan langsung menghapus bulir bening yang jatuh.
***
"Kita mau ke mana? Aku harus kembali ke hotel untuk berganti pakaian, karena aku harus bekerja," protesku ketika mobil melaju bukan ke arah hotel.
"Berhentilah bekerja. Apa uang yang kuberi masih kurang? Kalau iya, nanti aku akan menambahkannya," ucap Bara tanpa menoleh.
"Mungkin kau punya banyak uang, dan uangmu takkan pernah habisnya. Tetapi aku punya tanggung jawab yang harus kukerjakan."
"Aku tidak suka dibantah! Apa kau lupa, kau juga memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kewajibanmu terhadapku?"
"Tapi ini tidak termasuk ke dalam perjanjian!"
"Nanti akan kutambahkan."
Benar-benar dia. Ternyata selain suka memerintah, laki-laki ini juga memiliki sifat suka berdebat, semena-mena dan berprinsip kalau dia selalu benar.
Hening ... aku lebih memilih diam karena yakin takkan menang melawannya. Terserah dia saja, daripada nanti dia membatalkan kesepakatan kami dan meminta uangnya untuk dikembalikan.
Bara menepikan mobilnya di sebuah toko mainan. Meski hati bertanya-tanya, tetapi aku enggan untuk menanyakannya.
"Tunggu di sini! Jangan berpikir untuk kabur!" ucapnya sebelum keluar dari mobil. Kemudian berjalan menuju toko itu dan masuk ke dalamnya.
Tak lama kemudian Bara keluar dari toko mainan dengan menenteng sebuah kantong, lalu dia beranjak menuju kios buah yang kebetulan letaknya berdampingan dengan toko mainan tersebut. Kemudian kembali lagi ke mobil, satu tangannya menenteng kantong dan satunya lagi memegang parsel buah.
"Katakan di rumah sakit mana anakmu dirawat?” tanya Bara setelah meletakkan parsel buah dan kantong yang dibawanya di kursi belakang.
Aku ternganga mendengar pertanyaannya, jangan-jangan dia membeli semua ini karena dia ingin mengunjungi Langit.
"Katakan di rumah sakit mana anakmu di rawat?" Dia mengulanginya lagi.
Tanpa sadar mulutku menyebutkan alamatnya begitu saja.
"Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.
Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar.
"Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.
Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku.
"Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan.
***
"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.
Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini karena hati, bukan semata untuk pelengkap sempurnanya sandiwara yang sedang dia mainkan.
Gawai dalam tasku bergetar, kulepaskan tanganku dari genggaman Bara dan meraih benda pipih itu. Sebuah pesan masuk dengan nama Ibu. Pikiranku kembali kalut, takut pesan yang dikirim Ibu adalah kabar buruk. Entah kenapa semenjak Langit di-opname, aku sering parno sendiri, mungkin itu terjadi karena kecemasanku yang berlebihan.
Setelah menghirup napas panjang, kubuka pesan itu dengan dada yang berdebar.
“Rencananya Langit akan dioperasi nanti malam!”
Deg ... ada rasa bahagia membaca pesan dari Ibu, namun di balik semua itu aku juga khawatir, mengingat tubuh mungil anakku akan dibedah dengan alat-alat operasi.
"Tuhan ... lancarkan semuanya, kuatkan anakku dan berilah dia kesembuhan," lirih kuberdoa dalam hati.
Aku termenung, hingga Bara mengambil gawai dalam genggamanku, ingin rasanya aku merebutnya kembali, namun tidak mungkin, bisa-bisa kami jadi bahan tontonan dan Bara akan malu karena tingkahku.
Bara langsung menyimpan gawaiku dalam kantong jas yang dia kenakan. Kemudian mengambil tanganku lagi dan kembali menggenggamnya.
Ya, apalagi yang bisa kulakukan selain menyerah.
Seperti sebelumnya, aku tak pernah menyimak pembicaraan Bara dengan teman-temannya, aku lebih memilih menyibukkan pikiranku sendiri.
"Ya sudah, kami pamit dulu. Sampai jumpa lain waktu," ucap Bara mengakhiri pertemuan mereka.
"Ayo, Sayang." Bara memberi isyarat padaku untuk segera berdiri.
"Terima kasih atas waktunya," ucap laki-laki berambut ikal yang pada awal pertemuan kami membahas tentang Sesil. Wanita yang katanya lebih memilih kakak Bara karena lebih mapan.
"Terima kasih juga untuk jamuannya," sahut bara.
***
Bara melepaskan rangkulannya dan membukakan pintu mobil untukku.
"Lain kali, jangan sibukkan dirimu saat bersamaku!" tegur Bara padaku saat dia sudah duduk di bangku kemudi.
"Tapi aku juga punya urusan!" tegasku.
"Sepenting apa?"
"Lebih penting dari semuanya!"
"Oh, ya? Apa lebih penting dari seratus lima puluh juta yang kuberikan?"
Aku tak bisa bicara apa-apa lagi, karena memang Langit jauh lebih berarti jika dibandingkan dengan apa pun. Walau bantuan Bara juga sangat berarti, karena berkat bantuannyalah aku bisa membayar biaya operasi Langit.
"Tak bisa menjawab?" tanya Bara.
Bara merogoh kantongnya dan mengeluarkan gawaiku dari sana, tanpa diduga dia menyalakannya. Bergegas aku berusaha untuk merampasnya, tapi sayang, gerakan Bara lebih cepat. Dia mengangkat gawai itu tinggi-tinggi sehingga aku kesulitan untuk menjangkaunya.
"Aku ingin tahu, apa sebenarnya yang lebih penting melebihi uang yang kuberikan."
"Bara! Kembalikan! Itu privasiku!"
"Tidak sebelum aku melihatnya."
Gawaiku kembali berbunyi, menandakan ada pesan baru masuk lagi.
"Bara!" Karena kesal setengah berdiri aku mencoba merebut gawaiku. Sempitnya mobil membatasi ruang gerak, hingga tak sengaja tubuhku ambruk menimpa Bara.
Kami sama-sama terdiam entah dalam waktu berapa detik saat bibir kami saling bersentuhan. Mataku melotot, pun dengan Bara.
"Maaf, aku tak sengaja!" Kumenarik diri dan memperbaiki posisi duduk.
"Kamu mencurinya," ucap Bara sambil mengusap bibirnya.
"Aku sudah bilang kalau aku tak sengaja!"
"Sengaja pun juga tak apa," timpal Bara.
Sungguh, malu sekali rasanya.
"Anakmu sakit?" tanya Bara. Akhirnya dia tahu juga.
"Kamu sudah punya anak?" tanyanya lagi.
Akhirnya Bara mengetahui semuanya.
"Lalu, apa nanti kata suamimu kalau kamu terikat kontrak dan kerja sama denganku? Kamu tahu, kan, dalam perjanjian tak ada batasan jamnya? Kau harus siap bekerja kapan pun aku membutuhkanmu!"
Sepertinya, inilah saat yang tepat untukku mengatakan pada Bara, mungkin sudah waktunya dia mengetahui semuanya.
"Ya, aku memang sudah punya anak. Dia sedang sakit dan nanti malam akan dioperasi." terangku.
"Lalu? Ayahnya? Apa dia tidak keberatan dengan ...."
"Kami sudah bercerai empat tahun yang lalu. Laki-laki yang di toilet tadi adalah ayahnya. Ini adalah kali pertama kami bertemu lagi setelah sekian tahun," jelasku tanpa ada yang aku tutup-tutupi.
"Jadi?"
"Ya, aku adalah orang tua tunggal."
Sejenak Bara menatapku, "Jadi uang itu untuk biaya operasi anakmu?"
Aku mengangguk, tanpa aba-aba mataku mengembun dan diselimuti kabut pekat.
Bara memberikan gawaiku kembali, kemudian melajukan mobilnya.
"Jangan menangis. Aku tak suka wanita yang lemah!" Selembar tisu dia berikan padaku.
"Maaf," lirihku dan langsung menghapus bulir bening yang jatuh.
***
"Kita mau ke mana? Aku harus kembali ke hotel untuk berganti pakaian, karena aku harus bekerja," protesku ketika mobil melaju bukan ke arah hotel.
"Berhentilah bekerja. Apa uang yang kuberi masih kurang? Kalau iya, nanti aku akan menambahkannya," ucap Bara tanpa menoleh.
"Mungkin kau punya banyak uang, dan uangmu takkan pernah habisnya. Tetapi aku punya tanggung jawab yang harus kukerjakan."
"Aku tidak suka dibantah! Apa kau lupa, kau juga memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kewajibanmu terhadapku?"
"Tapi ini tidak termasuk ke dalam perjanjian!"
"Nanti akan kutambahkan."
Benar-benar dia. Ternyata selain suka memerintah, laki-laki ini juga memiliki sifat suka berdebat, semena-mena dan berprinsip kalau dia selalu benar.
Hening ... aku lebih memilih diam karena yakin takkan menang melawannya. Terserah dia saja, daripada nanti dia membatalkan kesepakatan kami dan meminta uangnya untuk dikembalikan.
Bara menepikan mobilnya di sebuah toko mainan. Meski hati bertanya-tanya, tetapi aku enggan untuk menanyakannya.
"Tunggu di sini! Jangan berpikir untuk kabur!" ucapnya sebelum keluar dari mobil. Kemudian berjalan menuju toko itu dan masuk ke dalamnya.
Tak lama kemudian Bara keluar dari toko mainan dengan menenteng sebuah kantong, lalu dia beranjak menuju kios buah yang kebetulan letaknya berdampingan dengan toko mainan tersebut. Kemudian kembali lagi ke mobil, satu tangannya menenteng kantong dan satunya lagi memegang parsel buah.
"Katakan di rumah sakit mana anakmu dirawat?” tanya Bara setelah meletakkan parsel buah dan kantong yang dibawanya di kursi belakang.
Aku ternganga mendengar pertanyaannya, jangan-jangan dia membeli semua ini karena dia ingin mengunjungi Langit.
"Katakan di rumah sakit mana anakmu di rawat?" Dia mengulanginya lagi.
Tanpa sadar mulutku menyebutkan alamatnya begitu saja.
Saat otakku masih mencerna apa yang terjadi, mobil Bara sudah melaju."Ternyata dia benar-benar ingin ke sini," batinku setelah mobil mewah tersebut berhenti di sebuah bangunan putih tiga tingkat, tempat di mana Langit dirawat."Ayo, turun!" ucap Bara sembari membuka sabuk pengamannya."Tunggu!" Aku mencekal tangan Bara ketika dia hendak meraih parsel buah dan kantong yang dia letakkan di kursi belakang.Bara menatap pada tanganku yang mencekal tangannya."Maaf, aku tidak bermaksud lancang." Bergegas kulepaskan peganganku pada tangannya."Tidak apa-apa, sepertinya kau sudah punya kemajuan, yaitu menyentuhku, it's not bad, aku suka itu.""Bukan seperti itu, tetapi aku mohon ... kalau kau mau bertemu dengan anakku, tolong jangan bicarakan kebenaran antara kita pada ibuku nanti. Aku mohon. Aku tidak ingin beliau tahu kalau ... kalau anaknya sekarang adalah seorang wanita bayaran." Aku tertunduk, entah kenapa saat mengingat hal itu hatiku merasa tersentil, meskipun sejauh ini perlakuan Ba
Bara membiarkanku terisak, entah sudah berapa banyak air mataku yang keluar."Laras ... berhentilah! Kau mengotori bajuku!" Aku tersentak. Ya Tuhan ... bisa-bisanya aku nyaman dalam pelukan laki-laki menyebalkan ini.Bergegas aku menarik diri, pandangan mataku langsung tertuju pada bagian dada Bara yang sudah basah karena air mataku, juga ada sedikit lendir di sana, setelah aku perhatikan, sepertinya itu ingus. Cepat-cepat aku mengambil sapu tangan dalam tasku dan membersihkan ingus yang menempel di dada Bara. Sebelum dia menyadarinya.Aku pindah duduk ke samping Ibu, Bara menyusulku kemudian dan ikut menghempaskan tubuhnya di sebelahku.Ibu tampak gelisah, dia tampak memejamkan mata dan berkali-kali mengusap wajahnya."Bu?" Kuraih jemari Ibu dan menggenggamnya, berusaha memberikan ketenangan padanya, padahal sebenarnya jiwaku juga diimpit ketegangan."Langit pasti kuat, Langit anak yang kuat," ucapku.Ibu menatapku, menganggukkan kepalanya dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Ya,
Kusandarkan kepalaku ke dinding sembari memejamkan mata, dalam hati tak henti berdoa untuk keselamatan Langit.Aku merasakan sentuhan tangan Bara di tengkukku dan membawa kepalaku agar bersandar di bahunya. "Begini akan membuatmu lebih nyaman," ucapnya. Pandangan kami bertemu saat aku mendongakkan kepala.Aku berusaha untuk bangkit. Namun, Bara menahannya.Ya, Bara memang benar, sepertinya disaat-saat seperti ini aku memang membutuhkan bahu untukku bersandar dan membagi beban, tetapi sayang ... ah, sudahlah, aku tak mau menyalahkan takdir. Takdirlah yang mengharuskanku seperti ini, dan takdir jugalah yang menjadikanku wanita yang kuat. Buktinya sampai sekarang aku masih bisa berdiri tegap, meski tanpa tempat untuk berbagi.Lelah ... tak munafik, jiwaku berangsur lelah, kembali aku merasa nyaman bersandar pada pundak laki-laki yang baru kukenal itu. Kupejamkan mataku, menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran di dada yang semakin bertalu hebat membayangkan akan ada saya
"Beberapa hari yang lalu aku sudah menemanimu, sekarang giliran kamu yang menemaniku di sini." Bara beringsut dan merebahkan kepalanya di pahaku.Aku sedikit kaget karena perlakuannya, sedangkan laki-laki berhidung mancung itu dengan santainya memejamkan mata."Bara.""Diamlah, aku hanya ingin istirahat sebentar." Bara menimpali ucapanku yang mau memprotesnya.Aku menghela napas panjang, aku pikir Bara butuh jasaku untuk menemaninya menemui seseorang, ternyata malah hanya untuk dijadikan bantal.Dalam pangkuanku Bara terlihat sangat damai, sepertinya dia sudah tertidur pulas. Kupatut-patut laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan hari itu. Fisiknya nyaris sempurna, jika aku bandingkan dia tak kalah ganteng dengan para aktor di televisi, selain itu dia juga sangat mapan, seharusnya dia bisa mendapatkan wanita mana saja untuk dijadikan pasangannya. Malah memilih untuk menyewaku? Aneh ....Sementara menunggu sang tuan tidur, untuk menghilangkan rasa suntuk kuputar musik di gawaiku dan
"Pegangan yang kuat agar nanti kau tidak diterbangkan angin!"Makjleep ... selalu seperti itu, Bara selalu berhasil membuatku menjadi istimewa dan seketika mematahkannya.Mendengar ucapan Bara, sontak aku memperhatikan tubuhku. Apa aku terlalu kurus sampai-sampai angin akan menerbangkanku jika aku tidak berpegang kuat-kuat?"Sudah ... jangan terlalu diperhatikan, tubuhmu yang tipis itu tidak akan berubah meskipun kau menatapnya lama-lama."Benar-benar mengesalkan sekali laki-laki ini. Ingin rasanya kutampol mulutnya yang semena-mena mencibirku itu.Karena kesal, aku menarik tanganku yang masih melingkar di pinggangnya. Agar laki-laki angkuh itu bisa melihat kalau aku tidak terlalu kurus dan angin tak akan dengan mudah menerbangkanku seperti yang dia katakan. Namun, baru saja tanganku terlepas dari pinggangnya, Bara kembali menarik tanganku dengan cepat, sehingga tubuhku ikut-ikutan membentur tubuh tegapnya yang terbungkus jaket kulit."Jangan pernah membantah! Lakukan saja apa yang ku
Dengan mata terpejam aku menikmatinya, dan ini untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, semenjak aku bercerai dari Denis.Bara mengakhirinya saat napasku tersengal, dia melepaskannya. Namun, tatapan matanya masih tertuju lurus pada manikku.Aku memejamkan mataku dan membuang napas berat, tak seharusnya aku terjerat dalam permainan Bara. Karena aku tahu semua itu hanyalah kepura-puraan semata.Aku melangkah meninggalkan Bara di bibir pantai, duduk di bawah payung besar sambil menatap pada matahari yang hampir tenggelam seutuhnya.Ya, aku dan Bara seperti jingga senja yang disisakan matahari itu, indahnya hanya sebentar saja, sebelum malam datang dan merubahnya menjadi hitam pekat. Jadi, tak ada alasan untukku terbuai dengan keindahan sesaat itu. Kami hanya dua orang yang kebetulan bertemu, sejenak bercerita, kemudian sama-sama kembali melangkah, berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.Jingga senja mulai berubah mendung kelabu, langit yang semula cerah berangsur ditutupi
Bergegas aku bangkit, tetapi Bara malah menarik tanganku hingga aku kembali terjerembap di dadanya."Jangan pura-pura shock, aku tahu kau pasti menikmatinya, bukan?"Aku kembali bangkit, tetapi tangan kekar Bara menahan tubuhku dengan kuat."Bicara apa kamu? Jangan ngelantur!" elakku dengan posisi kepala masih berada di dada bidang milik Bara. Aku bisa mendengar detak jantungnya secara langsung. Hangat tubuhnya terasa di pipiku."Singkirkan tanganmu! Aku mau ke kamar mandi!""Sebentar lagi. Salahmu sendiri, kamu yang membuat aturan kamu juga yang melanggarnya. Kamu yang memberi batas antara kita, kamu juga yang melewatinya."Aku mendengus kesal, merutuki kecerobohanku, memang aku kalau sudah tidur suka lupa dengan keadaan.Tak ada gunanya untuk memberontak, kubiarkan Bara menahan tubuhku. Detak jantung dengan deru napasku saling berpacu dalam dekapan tangan kokohnya.Setelah beberapa saat Bara mulai melonggarkan pelukannya, aku mengambil kesempatan untuk segera bangkit."Tunggu!" Lagi
Meski aku tak tahu pasti ke mana arah pembicaraan Bara, namun entah kenapa rasanya ada makna yang begitu dalam di sana.Hening ... kami sama-sama diam entah beberapa saat, seakan tenggelam dengan pikiran masing-masing."Ayo, kita cari sarapan!" ucap Bara sambil berdiri."Di luar masih hujan." Pandanganku beralih ke kaca jendela.Bara mengikuti arah pandanganku, kemudian kembali menghempaskan tubuhnya di ranjang dan merebahkan badannya di sana dengan kaki yang menjuntai ke lantai."Seandainya kemarin kamu bawa mobil, kita tak akan terjebak di sini," sesalku.Tak ada jawaban apa pun dari Bara, dia tampak memejamkan matanya. Bulu matanya yang lentik saling beradu, alisnya yang tebal memberikan pesona tersendiri saat dia terpejam. Tak sadar aku menatapnya dalam."Jangan menatapku terlalu lama, nanti kamu bisa jatuh cinta dan takkan mudah untuk melupakanku!"Aku tersentak, lagi ... Bara memergokiku seperti maling yang ketahuan.Meski kuakui Bara termasuk ke dalam kriteria laki-laki idaman,
Aku tertegun, mataku tak berkedip menatap Bara sembari mencerna ucapannya dan juga tentang apa yang dia lakukan padaku barusan."Besok pagi-pagi kita akan ke rumah sakit, aku sudah berjanji akan mengantar Langit pulang. Sekarang istirahatlah, hari sudah sangat larut." Baru kali ini Bara bicara lembut dan enak di dengar padaku. Tak ada ucapan keangkuhan dan nada keras.Bara meraih lenganku, membawaku kembali menuju ke tempat tidur. Aku yang seakan terhipnotis olehnya hanya menurut saja."Istirahatlah," ucapnya setelah mendudukkanku, kemudian dia mengambil bantal dan guling lalu beranjak menuju sofa dan membaringkan tubuhnya di sana."Bara? Apa itu benar-benar dia? Atau aku sedang bermimpi?" batinku.Dari tempat tidur aku memperhatikan Bara yang sudah memejamkan matanya dengan tangan bersedekap di dada.Kucubit lenganku, memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. Sakit ... sepertinya ini memang nyata.Kuirik jam kecil di atas nakas, ternyata sudah lewat tengah malam, pantas saja kalau
"Tetaplah di sini sampai kau merasa lebih baik!" ucap Bara sambil melangkah keluar dan menutup pintu.Aku yang tak mengerti hanya bisa menganggukkan kepala.Dingin air yang menggenang di dalam bathtub langsung menusuk ke setiap pori-poriku, menembus kulit, hingga menusuk ke tulang.Sensasi yang tadi kurasakan berangsur mereda. Namun, sedikit kewarasanku masih berpikir kenapa Bara malah merendamku dengan air dingin, padahal hari sudah mulai larut.Entah sudah berapa lama aku berendam, tubuhku mulai terasa menggigil, aku berusaha bangkit. Sayangnya gaun yang kukenakan membuatku kesulitan untuk keluar dari bathtub yang penuh air itu.Disaat bersamaan, pintu terbuka dari luar, di sana Bara berdiri dengan masih memakai pakaiannya yang tadi, hanya saja beberapa kancing di bagian atas kemejanya sudah terbuka, lengan bajunya juga sudah tersingsing hingga batas siku.Di ambang pintu Bara berdiri sambil menatapku yang masih berendam."Apa kamu sudah baikkan?" tanyanya."Aku kedinginan. Kenapa k
Aku menatap kotak kecil dalam genggamanku, bayangan benda berkilau itu melintas di benakku yang disusul dengan ucapan Bara. Apa dia benar memberikan ini untukku? Bukankah tadii dia bilang akan memberikannya pada wanita yang dia sukai. Aku menggeleng, Bara pasti salah bicara.Kubawa kembali kotak itu ke kamar Langit dan menyimpannya dalam tas, biar nanti malam saja kuberikan padanya, pikirku."Om Bara baik, ya, Ma," ucap Langit saat aku kembali duduk di sampingnya."Iya, Sayang," sahutku sambil membelai rambutnya."Seandainya papa Langit sebaik Om Bara ...."Langit tidak melanjutkan ucapannya, dia menarik napas dalam seakan melepaskan rasa sesak yang bersarang di sana. Sepertinya Langit merindukan sosok seorang ayah, dan itu sangat wajar, mengingat sudah sekian lama sosok itu menghilang dari kehidupannya.Ibu yang sedari tadi duduk di sofa mendekat dan membawa Langit ke dalam pelukannya."Langit sabar, ya, Sayang, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih indah untuk Langit," ucap wani
Meski aku tak tahu pasti ke mana arah pembicaraan Bara, namun entah kenapa rasanya ada makna yang begitu dalam di sana.Hening ... kami sama-sama diam entah beberapa saat, seakan tenggelam dengan pikiran masing-masing."Ayo, kita cari sarapan!" ucap Bara sambil berdiri."Di luar masih hujan." Pandanganku beralih ke kaca jendela.Bara mengikuti arah pandanganku, kemudian kembali menghempaskan tubuhnya di ranjang dan merebahkan badannya di sana dengan kaki yang menjuntai ke lantai."Seandainya kemarin kamu bawa mobil, kita tak akan terjebak di sini," sesalku.Tak ada jawaban apa pun dari Bara, dia tampak memejamkan matanya. Bulu matanya yang lentik saling beradu, alisnya yang tebal memberikan pesona tersendiri saat dia terpejam. Tak sadar aku menatapnya dalam."Jangan menatapku terlalu lama, nanti kamu bisa jatuh cinta dan takkan mudah untuk melupakanku!"Aku tersentak, lagi ... Bara memergokiku seperti maling yang ketahuan.Meski kuakui Bara termasuk ke dalam kriteria laki-laki idaman,
Bergegas aku bangkit, tetapi Bara malah menarik tanganku hingga aku kembali terjerembap di dadanya."Jangan pura-pura shock, aku tahu kau pasti menikmatinya, bukan?"Aku kembali bangkit, tetapi tangan kekar Bara menahan tubuhku dengan kuat."Bicara apa kamu? Jangan ngelantur!" elakku dengan posisi kepala masih berada di dada bidang milik Bara. Aku bisa mendengar detak jantungnya secara langsung. Hangat tubuhnya terasa di pipiku."Singkirkan tanganmu! Aku mau ke kamar mandi!""Sebentar lagi. Salahmu sendiri, kamu yang membuat aturan kamu juga yang melanggarnya. Kamu yang memberi batas antara kita, kamu juga yang melewatinya."Aku mendengus kesal, merutuki kecerobohanku, memang aku kalau sudah tidur suka lupa dengan keadaan.Tak ada gunanya untuk memberontak, kubiarkan Bara menahan tubuhku. Detak jantung dengan deru napasku saling berpacu dalam dekapan tangan kokohnya.Setelah beberapa saat Bara mulai melonggarkan pelukannya, aku mengambil kesempatan untuk segera bangkit."Tunggu!" Lagi
Dengan mata terpejam aku menikmatinya, dan ini untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, semenjak aku bercerai dari Denis.Bara mengakhirinya saat napasku tersengal, dia melepaskannya. Namun, tatapan matanya masih tertuju lurus pada manikku.Aku memejamkan mataku dan membuang napas berat, tak seharusnya aku terjerat dalam permainan Bara. Karena aku tahu semua itu hanyalah kepura-puraan semata.Aku melangkah meninggalkan Bara di bibir pantai, duduk di bawah payung besar sambil menatap pada matahari yang hampir tenggelam seutuhnya.Ya, aku dan Bara seperti jingga senja yang disisakan matahari itu, indahnya hanya sebentar saja, sebelum malam datang dan merubahnya menjadi hitam pekat. Jadi, tak ada alasan untukku terbuai dengan keindahan sesaat itu. Kami hanya dua orang yang kebetulan bertemu, sejenak bercerita, kemudian sama-sama kembali melangkah, berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.Jingga senja mulai berubah mendung kelabu, langit yang semula cerah berangsur ditutupi
"Pegangan yang kuat agar nanti kau tidak diterbangkan angin!"Makjleep ... selalu seperti itu, Bara selalu berhasil membuatku menjadi istimewa dan seketika mematahkannya.Mendengar ucapan Bara, sontak aku memperhatikan tubuhku. Apa aku terlalu kurus sampai-sampai angin akan menerbangkanku jika aku tidak berpegang kuat-kuat?"Sudah ... jangan terlalu diperhatikan, tubuhmu yang tipis itu tidak akan berubah meskipun kau menatapnya lama-lama."Benar-benar mengesalkan sekali laki-laki ini. Ingin rasanya kutampol mulutnya yang semena-mena mencibirku itu.Karena kesal, aku menarik tanganku yang masih melingkar di pinggangnya. Agar laki-laki angkuh itu bisa melihat kalau aku tidak terlalu kurus dan angin tak akan dengan mudah menerbangkanku seperti yang dia katakan. Namun, baru saja tanganku terlepas dari pinggangnya, Bara kembali menarik tanganku dengan cepat, sehingga tubuhku ikut-ikutan membentur tubuh tegapnya yang terbungkus jaket kulit."Jangan pernah membantah! Lakukan saja apa yang ku
"Beberapa hari yang lalu aku sudah menemanimu, sekarang giliran kamu yang menemaniku di sini." Bara beringsut dan merebahkan kepalanya di pahaku.Aku sedikit kaget karena perlakuannya, sedangkan laki-laki berhidung mancung itu dengan santainya memejamkan mata."Bara.""Diamlah, aku hanya ingin istirahat sebentar." Bara menimpali ucapanku yang mau memprotesnya.Aku menghela napas panjang, aku pikir Bara butuh jasaku untuk menemaninya menemui seseorang, ternyata malah hanya untuk dijadikan bantal.Dalam pangkuanku Bara terlihat sangat damai, sepertinya dia sudah tertidur pulas. Kupatut-patut laki-laki yang baru kukenal dalam hitungan hari itu. Fisiknya nyaris sempurna, jika aku bandingkan dia tak kalah ganteng dengan para aktor di televisi, selain itu dia juga sangat mapan, seharusnya dia bisa mendapatkan wanita mana saja untuk dijadikan pasangannya. Malah memilih untuk menyewaku? Aneh ....Sementara menunggu sang tuan tidur, untuk menghilangkan rasa suntuk kuputar musik di gawaiku dan
Kusandarkan kepalaku ke dinding sembari memejamkan mata, dalam hati tak henti berdoa untuk keselamatan Langit.Aku merasakan sentuhan tangan Bara di tengkukku dan membawa kepalaku agar bersandar di bahunya. "Begini akan membuatmu lebih nyaman," ucapnya. Pandangan kami bertemu saat aku mendongakkan kepala.Aku berusaha untuk bangkit. Namun, Bara menahannya.Ya, Bara memang benar, sepertinya disaat-saat seperti ini aku memang membutuhkan bahu untukku bersandar dan membagi beban, tetapi sayang ... ah, sudahlah, aku tak mau menyalahkan takdir. Takdirlah yang mengharuskanku seperti ini, dan takdir jugalah yang menjadikanku wanita yang kuat. Buktinya sampai sekarang aku masih bisa berdiri tegap, meski tanpa tempat untuk berbagi.Lelah ... tak munafik, jiwaku berangsur lelah, kembali aku merasa nyaman bersandar pada pundak laki-laki yang baru kukenal itu. Kupejamkan mataku, menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran di dada yang semakin bertalu hebat membayangkan akan ada saya