"Lho, kamu mau kemana, Mas?" tanya Selena yang melihat Fatih berjalan keluar showroom. "Mau lihat apa yang kamu katakan itu benar apa enggak.""Halah, Mas, gak perlulah sampai begitu. Berubah sih tapi masih tetap cantikan aku." Fatih tidak mendengarkan ucapan Selena. Baginya itu hanya alasan yang ia kemukakan di depan Selena. Padahal aslinya tidak seperti itu. Ada rasa rindu yang membuncah dalam dirinya terhadap mantan istri yang belum resmi bercerai di mata hukum itu. Namun, untuk mengakui ada perasaan khawatir akan hutangnya pada Selena. Fatih terus saja berjalan mendekati di mana showroom itu berada. Hingga kakinya kini berpijak di atas lantai depan ruko itu tenggorokan Fatih seperti tercekat. Napasnya tidak beraturan. Bahkan, Fatih membelalak karena pada faktanya apa yang diucapkan Selena itu kebenaran. Ia memindai tubuh Eka dari atas hingga bawah dan kembali lagi bawah hingga ke atas. Yah, tubuh Eka sudah semakin langsing meski masih belum ideal untuk tinggi badan Eka tapi mas
"Itu aku … emm anu … sebenarnya aku ….""Mas Fatih! Ngapain kamu di sana! Dan kamu jalang! Jangan kamu ganggu suamiku!" "Jalang teriak jalang, gak malu?" "Dan kamu, Mas! Ngapain sih Mas kamu ke sini segala? Pake acara ngobrol lagi," sungut Selena dengan geram saat melihat Fatih berbicara kepada Eka. "Ya memangnya kenapa? Kan aku ada anak sama Eka. Jadi wajar dong kalau aku menanyakan kabar Nayra pada Eka?" Fatih berusaha membela dirinya. "Halah Mas, itu mah cuma alasan kamu saja kan? Sebenarnya kamu juga pengen ketemu kan sama Eka? Mau lihat perubahan Eka yang aku ceritakan tadi kan? Ngaku aja deh Mas nggak usah pura-pura gitu.""Kamu tuh kenapa sih? Aku ke sini tuh ya cuma nanyain kabarnya Nayra saja. Kan aku juga Bapaknya." Fatih sudah mulai tersulut emosi dengan tingkah Selena. "Tapi kamu tuh sudah cerai sama Eka Mas!""Ya memang kenapa kalau aku sudah cerai sama Eka? Toh cerai agama kan? Masih bisa rujuk ini. Lagian tanggung jawab Nayra kan wajib sama aku."Selena terkejut me
"Ya memang apa salahnya kalau aku mau rujuk sama Eka? Kita ada anak kok. Aku cuma nggak mau Nayra kekurangan kasih sayang dari ayah dan Ibunya.""Kenapa nggak dari dulu saja Mas kamu setia sama Eka? Kalau kamu mau rujuk sama Eka, kamu harus kembaliin semua yang pernah aku kasih ke kamu Mas. Termasuk buat makanmu selama denganku itu juga harus kamu kembalikan.""Lha mana bisa begitu. Kan dulu kamu sendiri yang ngasih. Aku mana pernah minta sama kamu.""Heh, Mas! Kamu apa gak ingat? Tidak ada yang gratis di dunia ini tau gak!"Fatih terdiam mendengar penuturan dari Selena. Bagaimana mungkin ia bisa mengembalikan semua yang pernah Selena kasih?. "Sial!" umpat Fatih. ****Bu Nuri bingung harus mengaturnya bagaimana. Uang yang dikasih Selena hanya delapan ratus ribu. Tiga ratus untuk makan selama seminggu dan lima ratus uang jatahnya dia sendiri. Sedangkan Bu Nuri harus membayar arisan sebesar tiga ratus ribu. Hanya sisa dua ratus mana cukup untuk dia sekedar membeli pakaian? "Duh, gima
Ikan asin dan tumis kangkung. Ya, Selena memiliki alergi terhadap ikan asin. Bagaimana bisa ia memakan itu?"Apa yang Ibu masak ini! Makanan sampah!" pekik Selena. Bu Nuri dan Fatih tergopoh-gopoh menghampiri Selena setelah mendengar suara pekikannya. Selena hendak membuang makanan yang telah Bu Nuri masak. Selena membawa makanan itu ke dapur. Telat satu detik saja, makanan itu sudah berpindah ke tempat sampah. Beruntung Bu Nuri dengan cepat mencegah Selena membuang makannya. "Eh eh, mau kamu apain itu masakan Ibu?""Ya mau aku buang lah, makanan sampah kayak gini kok disuguhkan ke aku.""Sini, Ibu sudah capek-capek masak seenaknya saja mau kamu buang." Bu Nuri merebut piring yang dipegang oleh Selena lalu meletakkannya di atas meja. "Kenapa Ibu cuma masak kangkung sama ikan asin? Ibu tau, aku tuh alergi sama ikan asin!" Selena membentak Bu Nuri membuat Bu Nuri sedikit terkejut. "Ya mana Ibu tau, kamu saja nggak bilang. Lagian makanan tuh disyukuri aja apa yang ada."Bu Nuri beru
Fatih kembali ke meja makan menghampiri Bu Nuri. "Mana Selena, Tih?" tanya Bu Nuri celingak-celinguk mencari Selena. "Dia nggak mau makan, Bu. Dia langsung pergi ke showroom. Padahal aku pengen ke showroom bareng. Tapi malah ditinggal." Fatih mendaratkan bokongnya di kursi duduk. Dengan lesu ia mengambil nasi ke dalam piring. "Dasar kurang ajar itu Selena! Berani-beraninya dia gitu ke kita! Apa karena dia merasa yang sudah membiayai hidup kita makanya sok begitu? Padahal uang yang kita pakai juga gak seberapa banyak.""Ibu bener-bener nggak kuat, Tih. Baru juga sehari, gimana kalau tiap hari Ibu diperlakukan semena-mena begini? Angan-angan Ibu pengen dapat menantu kaya, sayang sama mertua dan nggak pelit, ternyata malah dapet menantu yang membabukan mertuanya." Bu Nuri berucap sambil terus mengunyah makanan karena Bu Nuri benar-benar sudah kelaparan. "Tadi Fatih ketemu sama Eka, Bu." Fatih mengalihkan pembicaraan mengenai Selena karena sejatinya ia sendiri juga malas mendengar oce
"Emang dasar ya, anak jaman sekarang kalau dikasih tau pada ngeyel. Bisanya cuma bantah. Beda jaman saya dulu yang selalu ngikut apa kata yang lebih tua.""Ya nggak apa-apa lah, Bu. Julid amat jadi orang. Toh saya juga makan nggak pake uang Ibu kan?""𝚂𝚊𝚢𝚊 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚓𝚞𝚕𝚒𝚍, 𝙼𝚋𝚊𝚔 𝙺𝚒𝚗𝚊𝚗. 𝚃𝚊𝚙𝚒 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚗𝚒𝚑 𝚙𝚎𝚍𝚞𝚕𝚒 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚒𝚝𝚞. 𝚂𝚎𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚒𝚝𝚞 𝚖𝚊𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚔𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚖𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚒𝚗𝚐𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗."𝙺𝚒𝚗𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚎𝚗𝚝𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚐𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚊𝚑 𝚜𝚊𝚢𝚞𝚛𝚊𝚗. 𝙸𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚝𝚊𝚙 𝚙𝚎𝚛𝚎𝚖𝚙𝚞𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚜𝚒𝚊 𝚜𝚎𝚔𝚒𝚝𝚊𝚛 45 𝚝𝚊𝚑𝚞𝚗 𝚒𝚝𝚞."𝚃𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝙱𝚞 𝙴𝚕𝚒 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚒𝚗𝚐𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚍𝚞𝚕𝚒 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚢𝚊. 𝚃𝚊𝚙𝚒 𝚊𝚕𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚑 𝚋𝚊𝚒𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚔𝚎𝚙𝚎𝚍𝚞𝚕𝚒𝚊𝚗 𝙱𝚞 𝙴𝚕𝚒 𝚒𝚝𝚞 𝚌𝚞𝚔𝚞𝚙 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚊𝚖 𝚍𝚊𝚗 𝚍𝚘𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚗 ?
Wajah wanita paruh baya itu pun memerah. Ia merasa sangat malu, lantas diletakkannya barang belanjaan yang sudah ia pilih tadi dengan hentakan. "Nih aku kembalikan, gak jadi belanja! Timbang hutang gak seberapa aja pake diumbar-unbar.""Yang namanya utang ya tetap hutang, Bu. Hutang itu ya harus dibayar. Kalau gak mau diingatkan ya gampang, Hu, jangan hutang. Lagian malah saya gak rugi kalau situ gak jadi belanja. Mending tuh bahan makanan saya suruh istri saya aja masak di rumah daripada laku tapi dihutang sama situ.""Halah, hitung berapa hutang aku sekarang biar aku bayar."Si mamang tukang sayur pun mengambil buku catatan hutang dan melihat nama Bu Eli di daftar buku itu. "Totalnya sembilan ratus dua puluh ribu."Mata Bu Eli membelalak mendengar nominal hutang uang disebutkan oleh si tukang sayur tadi yang biasa dipanggil dengan Mang Gembul karena badannya yang memang gembul. "Hutang apaan sampai sembilan ratus. Kamu mau meras saya ya!" "Lah, meras gimana? Jelas-jelas di sini
"Kenapa gak dipaksa aja sih mintanya, Mang?" tanya Kinan pada Mang Gembul. "Bukannya saya gak berani lawan itu Nenek lampir, Mbak Kinan. Tapi saya malu lawan emak-emak mulut ember kayak dia. Ck, mana hutangnya banyak lagi.""Udah tau begitu kenapa masih dikasih sampai numpuk begitu, Mang?" timpal yang lainnya."Saya gak ngasih, Ibu-Ibu. Tapi dia nya langsung ngeloyor pergi ketika saya sedang jualin yang lainnya. Ya mau gimana itu barang sudah dibawa saya cuma dikasih uang dua puluh ribuan aja.""Yaudah, Mang, terima nasibmu. Kalau dibayar ya alhamdulillah kalau enggak ya terserah si Mamangnya mau diapain dia. Kita sebagai tetangga mah ikhlas. Hahahaha. Tapi lain kali jangan dikasih lagi daripada sakit hati kan?" "Ih, ya ogah mau kasih dia lgi. Apa lagi setelah omongannya tadi berasa dia yang paling kaya aja. Kere aja belagu banget."Kinan pun menyudahi kegiatan belanjanya. Ia bergegas kembali ke rumah kontrakannya karena pasti Andra sudah menunggu terlalu lama. ***"Kok kama belanj