ELAAku menolak tidur bersamanya malam ini dengan alasan belum ada kejelasan soal perceraian. Kukatakan dengan tekanan lakukanlah segera proses gugat cerai.Aku memberi batas satu bulan urusan itu harus beres. Jika sampai tak ada perkembangan maka sudahi hubungan ini.Untunglah seorang Ela tak seperti si cengeng Rida. Dalam prinsip hidupku tak boleh ada kegagalan. Harus sukses dan tergapai semua ambisi demi ambisi.Aku berhasil lolos dari Kevin dengan satu ancaman. Kalau dia menjamah tubuh ini sekarang maka aku akan benci selamanya. Dan, jangan harap bakal bertemu lagi.Kevin kalah oleh ketegasanku. Pria itu hanya bisa menahan hasrat yang sudah meledak-ledak. Lalu, dengan terpaksa mengizinkanku pulang.Hmmm, rupanya pria itu memang telah takluk padaku!*Aku menelpon bi Asih untuk menanyakan apa tuan Adnan ada di rumah? Aku harus merancang strategi supaya aman terkendali.Saat ini tak boleh angkat senjata pada mas Adnan sebab belum ada tanda-
ADNAN Aku meminta supir mengarahkan mobil ke rumah kedua. Aku tak sudi bertemu wanita yang sudah menyerahkan dirinya pada lelaki lain. Ben terus mengirimkan foto hasil pengintaiannya. Yang paling menyakitkan adalah saat mobil yang ditumpangi Ela dan selingkuhannya masuk ke sebuah rumah mewah. Setelah itu Ben tak bisa lagi melihat apa yang terjadi sebab gerbangnya tertutup rapat. “Tuan akan tidur di sini?” tanya pelayan baru yang mengurus rumah ini. Aku tak menjawabnya, tapi langsung melangkah ke arah dalam. Meski perut keroncongan, aku tak berselera untuk menyuap makanan. Paling hanya minum susu coklat hangat yang dibuatkan pelayan. Guyuran air di atas kepala membantu untuk mendinginkan apa yang tengah membara. Perlahan hatiku menjadi tenang. Ledakan-ledakan saat menyaksikan pengkhianatan mulai hilang. Sekarang, amarah itu berganti sakit tak terlukis kata. Bukan semata karena pengkhianatan, tapi juga tentang terlukanya harga diri. Aku adalah m
ELA Kemarahan mas Adnan sempat menbuatku benar-benar takut. Apalagi saat ia mengatakan kami pisah rumah sementara.Kini, muncul sesal mengapa napsu ini tak pernah berhenti. Padahal cinta dan kekayaan telah ada di tangan. Harusnya menerima dan menjalani saja pernikahan Entahlah, mengapa aku bisa selemah ini di hadapannya. Kukira dia bodoh, nyatanya aku yang tolol telah bermain hati.Aku pernah berjanji untuk tak jatuh hati. Namun, semua itu terbantahkan saat pertama kali bertemu dengannya. Ya, aku telah jatuh hati pada seorang Adnan SaputraSepanjang aku mengenal lelaki, mas Adnanlah yang paling baik dan tulus menyayangi. Ia memperlakukanku bak ratu sesungguhnya. Pria itu menuruti semua keinginanku dan tak menuntut banyak. Dia hanya ingin aku ada saat dirinya di rumah. Untuk sekedar melepas lelah dan bercengkerama dengan istrinya. Sebenarnya itu permintaan wajar dari seorang suami. Past
ADNANAku akan nekat pergi malam ini juga untuk menyusul Ela ke Bali. Namun, kondisi tubuh nyatanya tak memungkinkan. Kalaupun memaksakan penerbangan malam, rasanya takkan sanggup. Kutahan diri hingga esok pagi. Meski emosi ini sudah meledak-ledak, sekuat mungkin ditahan hingga nanti. Akhirnya kembali ke peraduan untuk merebahkan diri di sana. Aku sangat butuh istirahat agar tak ambruk. Baru merebahkan diri, pintu kamar diketuk. Aku tahu itu pasti bi Asih. Ingin marah sebab merasa terganggu, tapi diurungkan. Kasihanlah dia yang tak tak tahu apa-apa harus kena getahnya. “Tuan, maaf saya mau istirahat. Makan malamnya sudah saya rapikan kembali.” Aku mengangguk pada wanita yang seusia mama itu. Namun, sebelum ia membalikkan badan, aku menahannya dengan pertanyaan. “Bi, apa bibi tahu sesuatu tentang Nyonya?” Wanita itu terdiam. Ia menatapku sekilas, lalu menunduk. Aku tahu bibirnya bergerak, tapi belum juga keluar kata-kata. Seperti ketakutan untuk menyampaikan sesuatu. Kasihan juga
ADNANSetelah urusan di ruang keamanan beres, aku menemui Ela. Ia ada di sebelah ruangan ini. Entah apa namanya. Ela tak berani menatap ke arahku. Ia hanya tertunduk dan bergetar. Aku pun tak ingin banyak bicara. Langsung mengajaknya pulang tanpa berpanjang kata. Amarah ini masih membuncah, tapi tak mungkin diluapkan di sini. Sekuat mungkin kutahan agar magma kemurkaan tak erupsi. Aku tak langsung pulang sebab pikiran masih kacau. Sebaiknya menenangkan diri dahulu agar kembali kewarasan. Kami duduk di atas batu karang di bibir pantai. Angin yang mulai kencang sedikit banyak membantu meredakan hawa panas yang membuncah di dada. Tak ada yang dilakukan selain menatap gulungan ombak berkejar-kejaran. Serta birunya air laut yang entah berapa kedalamannya. Jika ombak surut, la pun tenang. Apabila gelombang itu datang, maka hilanglah ketenangan. Seperti itulah kehidupanku. Tujuh tahun tanpa gelombang kujalani bersama Rida. Tenang dan menenangkan jiwa raga. Di sana hanya ada riak-riak
Hari ini Yanti melangsungkan pernikahan dengan mas Radit. Aku diminta menjadi salah satu bagian dari keluarga wanita. Katanya jadi adik atau kakak tak masalah. Aku tidak boleh mengurus apapun. Hanya tampil di depan dengan dandanan cetar membahana. Pakaian, clutch dan sepatu senada warnanya sudah disiapkan. Begitu juga dengan Azka dan Azkia, mereka pun didandani bak pangeran dan putri kecil. Sejak bercerai, aku tak pernah merias wajah. Rasanya tak berselera saja. Yanti kadang protes melihat tampilan kusamku. Katanya meski tak berhias, rawatlah kecantikan yang dianugerahkan Allah. Aku sih mengiyakan tanpa melaksanakan. Karena kesal, akhirnya Yanti membelikan skincare untuk perawatan. Dengan terpaksa kupakai juga seperlunya. “Seenggaknya dandanlah buat Mr Ganteng, Afgan, papi Azka dan Azkia “ goda Yanti kala itu. Aku membalas candaannya dengan cubitan kecil. Dasar Yanti, kalau sudah kumat jailnya selalu saja menghubungkanku dengan mas Afgan. Saat ini, hatiku masih beku. Rasanya kep
RIDAMas Afgan langsung menyambut uluran tangan Azkia. Ia kemudian mengecup pipi cubby putriku. “Putri Azkia cantik, deh!” pujinya. Sementara Azka tak mau lepas dari genggaman tangan satunya milik mas Afgan. Dipikir jadi seperti papa mereka saja. “Temani ke sana, boleh?” pintanya padaku. Ia mengarahkan pandangannya ke pelaminan. Aku mengiringi langkah mas Afgan. Saat mau meraih tangan Azka, anak itu menolak. Ya, ampun segitu nempelnya sama om baru dikenal. Mas afgan mengucapkan selamat dan melantunkan doa untuk pengantin. Ia bilang telah menyiapkan hadiah paket bulan madu untuk mereka. Tentu saja mata Yanti berbinar-binar. “Terima kasih, pak Afgan atas kedatangam, doa dan hadiahnya. Semoga cepat menyusul kami. Ditunggu undangannya, mba Rida!!” Sepertinya wajahku memerah kini. Kalau suhunya sih naik memang saat mendengar ungkapan mas Radit. Kenapa harua menyelipkan namaku coba. Suami istri ini memang sepertinya punya misi menyatukan kami. Harus lebih hati-hatilah pada sepak ter
AFGAN“Jadi gimana hubungan kakak sama mba Rida?” tanya Adela yang tak pernah bosan menginterogasi. Terlihat sekali rasa penasaran ibu muda ini. “His, ini gara-gara keseringan nonton gosip artis, bawaannya penasaran terus,” ledekku pada wanita yang sejak hamil dilarang terjun di perusahaan oleh suaminya. Katanya jadi ibu rumah tangga saja. Biar urusan bisnis ditangani kami. “Ini bukan gosiplah, tapi fakta, Akak!” rajuknya sambil menghalangi tanganku dari laptop. Sepertinya kalau tirak dijelaskan akan terus menganggu. Mungkin dia datang ke rumah memang niat mencari gosip ini. “Belum ada perkembangan. Rida menutup diri. Mungkin masih trauma dengan kegagalan pernikahan sebelumnya,” Adela manggut-manggut. Ia lalu mengetuk telunjuk pada bibirnya. Boal mata bergerak ke kanan dan kiri. “Wajarlah, Rida baru pisah beberapa bulan lalu. Kata temannya dia diceraikan tanpa ada kesalahan, lantas suaminya menikah lagi seminggu setelah perceraian. Nasibnya tak jauh beda denganku, dikhianati.” W
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin