Aku terhenyak sejenak mendengar permohonan mas Afgan. Rasanya seperti sedang diserang bertubi-tubi dari arah depan. Lalu, tak sanggup melawan. Kepalaku tertunduk sebab tak sanggup bertemu pandang dengan tatapan penuh hasrat di depan sana. Jelas sekali binar cinta yang menguar dari dua bola matanya. Hati ini bahkan mampu merasakan getaran hatinya. Tak kupungkiri permohonan itu sempat melambungkan hati. Aku terbang hingga melayang. Namun, kembali menapak saat logika datang. Tak boleh, aku tak boleh semudah ini terbawa angan-angan. Ingatlah, lelaki tak bisa dipegang janjinya. Bukankah mas Adnan dulunya baik, sangat baik. Bagaimana sekarang? Nyatanya seorang pendusta. Tapi, alangkah tak elok jika langsung menolak permohonan seorang yang amat berharap. Baiknya kutunda hingga beberapa hari ke depan. Tapi lagi, bukankah mengulur-ulur juga akan membuat lebih sakit. Jika pada akhirnya tetap ditolak. Ya, Allah, hamba harus bagaimana? Keringat di telapak tanganku sudah membuat tak nyaman.
“Azka main sama om Radit, mau?” Aku buru-buru menyeka air mata saat melihat Yanti dan mas Radit datang. Aku tak ingin terlihat cengeng di sisi mereka. “Dedek Azkia sini gendong sama Tante!” tawar Yanti. Dan Azkia langsung menyambutnya. Setelah Azkia pindah tangan, aku bergegas membuat minuman untuk dua sejoli itu. Sebenarnya penasaran ada apa gerangan mereka menyempatkan diri datang. Aku berharap tak akan membahas mas Afgan. Biar saja itu berlalu. Lagipula orang itu juga tak datang lagi, kecewa dan sakit hati juga mungkin. Kuletakkan minuman dan setoples kue kering di meja depan. Lalu, memerhatikan pengantin baru itu bermain dengan anak-anak. Yanti menghentikan permainan saat melihatku berdiri di ambang pintu. Ia lalu meninggalkan mas Radit yang masih asyik bermain dengan Azka dan Azkia. “Aku dan mas Radit akan ke Surabaya selama tiga bulan. Ada urusan bisnis dengan rekan kerjanya. Doain, ya semoga sukses proyek ini!” terang Yanti setelah kami duduk di sofa. Mendengar informas
Penolakan Rida adalah pukulan telak bagi perasaanku. Jawabannya telah mampu mematah-matahkan kepingan rasa yang susah payah kususun di atas reruntuhan masa lalu. Mungkin inilah jawaban dari keraguan bahwa dirinya akan menerima proposal cinta ini. Ternyata benar adanya, Rida belum siap menjalani kehidupan pernikahan baru. Salahku juga kenapa tak peka akan trauma masa lalunya. Aku saja yang lelaki pernah patah berkali – kali, apalagi perempuan yang punya sensitifitas perasaan lebih tinggi. Pasti akan sulit bangkit dari tragedi yang menyakiti. Aku pulang dalam rasa yang kacau balau. Persis seperti kereta tabrakan. Puingnya berserakan di mana-mana. Aku butuh sedkit dan waktu untuk mengembalikan kepingan hati yang berserak. Takkan larut terlalu lama sesakit apapun dada ini. Lagu unbreak my heart mengalun di sepanjang perjalanan pulang. Bait demi baitnya bersepakat dengan kondisi hatiku kini. Jadilah alunan nadanya menghanyutkan perasaan sendiri. * “Dia masih trauma kegagalan pernika
Hari ini tepat sebulan aku tak menemui Rida. Kupikir menghindarinya akan melepas pelan-pelan rasa yang terlanjur disulam. Nyatanya tidak. Yang terjadi justru aku makin tersiksa. Tersiksa sebab rindu yang menggila. Siang tadi konsentrasiku bubar. Entah mengapa hari ini terus melintas bayangan mereka. Silih berganti hingga yang terlihat di laptop adalah senyum wanita itu dan anak-anaknya. Untung saja tak ada yang tahu bagimana kondisiku saat itu. Jika ada yang bisa menerawang pikiran pasti ditertawakan. Malam ini pun sama. Lepas makan, aku tak berselera menjamah tugas kantor yang akhirnya dibawa ke rumah. Lebih memilih duduk di balkon memandangi pekatnya malam. Di sana ada taburan bintang yang beredar mengelilingi bulan. Serupa dayang-dayang mengitari ratunya. Keasyikanku menikmati suasana malam terhenti oleh panggilan telpon. Ternyata dari Radit. Aku sengaja memberi nomor HP padanya untuk berjaga jika ada informasi penting terkait Rida. “Azka sakit, keadaannya kritis. Ia terus men
Kehadiran pria itu membesarkan hati. Dia bagai oase di padang Sahara yang sanggup menghilangkan dahaga. Aku terharu sekaligus bahagia pria ini mau datang untuk menjenguk Azka. Padahal sebelumnya jelas-jelas telah dikecewakan. “Terima kasih telah bersedia datang,” ucapku perlahan. Pria itu tersenyum seklias, lalu mengatakan akan menjaga Azka malam ini Ketika dia menyuruh istirahat, aku langsung menuruti. Seluruh tubuh ini memang sudah seperti dilempar dari ketinggian. Aku ingin merebahkan diri meski sekejap saja. * Azkia mencucurkan air mata saat melihat kedatanganku. Maklumlah sudah tak bertemu ibunya dua hari dua malam. Kuciumi ia berulang sebagai tanda sayang dan melepas kerinduan. “Maaa!” teriakmya di sela tangisan. “Iya, Sayang, ini mama!” Aku pun ikut menangis mendapati kesedihannya. Selama ini Azkia tak pernah lepas dariku sebab memang masih batita. Wajar sekarang ia sangat kehilangan. Aku menimang, menyuapi dan mengajaknya bermain untuk beberapa jam. Nanti siang akan
Azkia pun menyambut tawaran itu. Setelah Azkia ada dalam pangkuan mas Afgan, aku keluar kamar untuk menemui adik Yanti dan suaminya. “Aku siapin makanannya, ya, Mba!” ucap Nani padaku. “Iya, Nan, makasih, ya! Mas Danu, makaaih juga. Maaf merepotkan!” Sepasang suami istri yang belum dikarunia anak itu seperti pengganti Yanti dan mas Radit. Lelaki itu bisa membantu sebab sedang tak ada pekerjaan. Ia baru saja habis kontrak dan sekarang sedang mencari pekerjaan baru. Aku pernah mengatakan itu pada mas Afgan. Kasihan kataku saat itu. Baru setahun menikah sudah diuji kehilangan pekerjaan. Mendengar itu mas Afgan berjanji akan memberikan pekerjaan. Tenang katanya itu bisa diatur. Ketika disampaikan hal demikian, Nani dan Danu sangat senang tentu. Danu tinggal menunggu kabar soal pekerjaan. Setelah mas Afgan hari ini pulang akan dicek apa saja lowongan yang bisa dimasuki di perusahaan. Ia berjanji besok pun sudah akan diberi jawaban. Pastilah mudah baginya menetapkan orang. Kata mas R
RIDA Telpon mas Afgan tadi membuatku jadi senyum-senyum sendiri setelahnya. Sampai-sampai Azka bertanya kenapa mama seperti itu. “Mama kenapa senyum?” tanya Azka polos. Aku beristigfar perlahan, lalu mengembalikan posisi bibir menjadi biasa lagi. Selanjutnya, mengalihkan pembicaraan. “Sebentar lagi azan magrib, nontonnya udahan, ya! Ayok, kakak’kan mau ke masjid bareng pak Ustaz!” Azka mengangguk dan bersegera mencari pakaian ganti. Aku hanya mengatakan di mana letak baju kokonya, ia yang kemudian punya tugas mengambil sendiri. Setelah azan mahrib aku menitipkan Azka pada pak Ustaz yang lewat depan rumah. Pria paruh baya itu akan dengan senang hati menuntun putra sulungku itu. Nanti pulangnya setelah Isya diantar lagi. Pembiasaan anak lelaki ke masjid sejak dini akan menumbuhkan cinta pada tempat itu. Hal tersebut juga akan membuka kebaikan demi kebaikan. Setelah sholat magrib, aku bersegera menidurkan Azkia. Jam segini dia sudah ngantuk berat. Aku memang sengaja menciptakan
“Deuh, yang mau ketemu Ayank,” bisik Nani yang baru saja datang. Kutepuk saja lengannya pelan. “Yaudah, mba dandan aja, aku deh yang gantiin masak. Anggep pahala bantu pengantin,” lanjutnya sambil cekikikan. Lalu dia pergi ke dapur. Ya ampun segitu kentarakah perasanku di sisinya. ‘Kan jadi malu tak bisa menyembunyikan kegeeran. Pukul sepuluh suara mobil memasuki halaman, lalu terdengar pekikan Azka dan Azkia. Tentu saja mereka girang sebab yang ditunggu sudah datang. “Oooom!” “Oooo!” Sepertinya mereka sedang berebut minta dipeluk. Soalnya ada kegaduhan adu mulut antara Azka dan Azkia. Aku? Mendadak lutut ini lemas, mungkin saking gugup akan bertemu dengannya. Ya ampun, Rida apa-apan, sih kamu? Inget umurlah! Sudah bukan abege, loh! “Loh, Mba, kok masih di sini. Udah sana sambut pangerannya! Katanya kangen!” goda Nani. Ampun, eh anak ini. Bikin hati main jedar jeder. Dia malah mendorongku untuk keluar dari dapur. Untung saja sudah memakai gamis dan kerudung. Dengan kondisi d
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin