RIDA Telpon mas Afgan tadi membuatku jadi senyum-senyum sendiri setelahnya. Sampai-sampai Azka bertanya kenapa mama seperti itu. “Mama kenapa senyum?” tanya Azka polos. Aku beristigfar perlahan, lalu mengembalikan posisi bibir menjadi biasa lagi. Selanjutnya, mengalihkan pembicaraan. “Sebentar lagi azan magrib, nontonnya udahan, ya! Ayok, kakak’kan mau ke masjid bareng pak Ustaz!” Azka mengangguk dan bersegera mencari pakaian ganti. Aku hanya mengatakan di mana letak baju kokonya, ia yang kemudian punya tugas mengambil sendiri. Setelah azan mahrib aku menitipkan Azka pada pak Ustaz yang lewat depan rumah. Pria paruh baya itu akan dengan senang hati menuntun putra sulungku itu. Nanti pulangnya setelah Isya diantar lagi. Pembiasaan anak lelaki ke masjid sejak dini akan menumbuhkan cinta pada tempat itu. Hal tersebut juga akan membuka kebaikan demi kebaikan. Setelah sholat magrib, aku bersegera menidurkan Azkia. Jam segini dia sudah ngantuk berat. Aku memang sengaja menciptakan
“Deuh, yang mau ketemu Ayank,” bisik Nani yang baru saja datang. Kutepuk saja lengannya pelan. “Yaudah, mba dandan aja, aku deh yang gantiin masak. Anggep pahala bantu pengantin,” lanjutnya sambil cekikikan. Lalu dia pergi ke dapur. Ya ampun segitu kentarakah perasanku di sisinya. ‘Kan jadi malu tak bisa menyembunyikan kegeeran. Pukul sepuluh suara mobil memasuki halaman, lalu terdengar pekikan Azka dan Azkia. Tentu saja mereka girang sebab yang ditunggu sudah datang. “Oooom!” “Oooo!” Sepertinya mereka sedang berebut minta dipeluk. Soalnya ada kegaduhan adu mulut antara Azka dan Azkia. Aku? Mendadak lutut ini lemas, mungkin saking gugup akan bertemu dengannya. Ya ampun, Rida apa-apan, sih kamu? Inget umurlah! Sudah bukan abege, loh! “Loh, Mba, kok masih di sini. Udah sana sambut pangerannya! Katanya kangen!” goda Nani. Ampun, eh anak ini. Bikin hati main jedar jeder. Dia malah mendorongku untuk keluar dari dapur. Untung saja sudah memakai gamis dan kerudung. Dengan kondisi d
ADNAN“Mas, jangan diam saja, ayo kita bicara! Aku sudah tak berhubungan lagi dengannya, sumpah, Mas! Kevin sudah pergi keluar negeri. Mungkin juga takkan kembali!” kata Ela sambil mengguncang-guncang tanganku. Aku tahu ada air mata mengalir di pipinya. Kupikir itu adalah air mata buaya. Takkan ada ketulusan pada wanita sebusuk dirinya. Kutepis jari lentik itu kasar, lalu bangkit meninggalkannya. Aku sudah muak dengan drama wanita ular itu. Berkali-kali ia menikam tanpa belas kasih. Dan yang menyakitkan adalah berselingkuh dengan atasanku sendiri.Wanita yang kuperjuangkan dengan segenap jiwa, nyatanya hanya sosok menjijikkan. Benarlah bahwa aku telah membuang berlian demi batu koral.Tiga hari sudah aku tak bicara padanya. Bukan sebagai hukuman, tapi lebih pada pembiaran masalah tanpa solusi. Menurutku perkara ini takkan ada penyelesaiannya.Aku yakin Ela takkan jera. Meski sekarang menghentikan perselingkuhan karena tekanan keluarga Kevin, ia akan mengulanginya lagi. Masih dengan o
ADNANLamunanku buyar oleh tepukan seseorang. Saat menoleh agak kaget sebenarnya. Mau apa pria sombong itu duduk di sebelahku. Mau mengejek lelaki yang telah jatuh dan tak bisa bangun lagi? Atau dia puas melihat sepupunya telah berhasil merebut istriku? Brengsek memang! Aku ingin menghindar, tapi urung sebab terlanjur bicara. “Mau kerjasama?” tawarnya to the point.Aku kembali menyesap minuman, masih belum bisa merespon sebab penjelasannya belum detil.“Aku punya proyek pribadi, tak terpegang sebab sibuk dengan urusan proyek bersama.”“Mengapa menawariku?”“Kau pasti tahu jawabannya. Jujur, aku tak suka memuji orang, tapi kali ini aku katakan kau orang hebat. Peganglah proyek itu!”Sejujurnya aku belum berminat mengambil sebuah pekerjaan. Lagipula tak mencari uang selama lima tahun pun aku masih bisa hidup. Jual saja tanah dan rumah warisan, aku tinggal tumpang kaki tetap bisa senang-senang.“Akan kupikirkan!”“Besok, aku dan Cindy mengundang kalian makan malam. Ada baiknya kita menj
Aku kembali ke rumah untuk mengemas pakaian dan beberapa peralatan yang dibutuhkan.l. Rencana di puncak entah akan berapa hari belum ditentukan. Yang pasti bawa pakaian lima set cukuplah. Lagipula tak ada agenda pergi ke kantor, jadi tak akan boros juga. Kalau pun kurang, gampanglah bisa beli lagi. Aku juga membawa laptop, kunci brankas, kartu-kartu berharga dan beberapa benda yang diperlukan. Tak lupa meletakkan surat untuk Ela hingga dia tahu kenapa suaminya pergi. Terserah mau berbuat apapun, aku tak peduli. Kalau mau cerai, gugat saja sendiri. Kukatakan pada bi Asih akan pergi beberapa hari. Jika Ela bertanya, serahkan saja surat yang kutitipkan. Perempuan itu tak perlu diperintah dua kali, langsung mengatakan siap melaksanakan. Kulesatkan kendaraan andalan. Mobil ini telah menemani tiga tahun lamanya. Lumayan awet. Bukan tak bisa beli baru, tapi tak minat. Jalanan menuju Puncak biasanya lancar di jalan tol. Kalau sudah keluar, jangan harap bisa ngegas. Yang pasti harus sabar
Kuusap setetes air mata yang jatuh. Namun percuma sebab setelah itu mengalir kembali buliran lainnya. Masa-masa indah bersama Rida dan anak-anak kini tinggal kenangan. Semua kebahagiaan itu kulepas demi mengejar syahwat yang menggila. Benarlah sesal itu muncul di belakang. Dan itu percuma sebab belum tentu dapat kuperbaiki. Sakit yang kutorehkan padanya teramat dalam. Meski sudah tujuh bulan berlalu, pasti nyerinya masih terasa. Aku yakin Rida mudah memaafkan. Tapi untuk mau memberi kesempatan kedua aku tak yakin. Sekiranya aku memohon sambil berlutut pun belum tentu diterima kembali. Wanita punya kemampuan bertahan tanpa pria seumur hidupnya. Sementara pria tak sanggup menjalani kesendirian, meski satu hari saja. “Maaf, maaf, maaf.” Kuusap terus kuusap airmata yang makin deras berjatuhan. Dada ini ikut berdenyut mengingat ketololanku sendiri. Ya, akulah Adnan, manusia paling tolol di muka bumi. “Rida, Azka, Azkia papa rindu, sangat rindu. Di mana kalian, sehatkah, cukupkah ke
Setiap ada orang di jalan, aku sengaja bertanya tentang foto Rida dan anak-anak. Upaya ini terus kulakukan hingga sore datang.Saat magrib, aku sengaja sholat di masjid yang ada di perkampungan. Siapa tahu mereka tinggal di salah satu tempat masjid itu berada.Nama masjid yang sedang kudatangi adalah An Nur. Tempatnya dekat dengan kebun teh dan beberapa villa besar. Milik orang Jakarta katanya.Selepas sholat, aku menyengaja ngobrol dengan jamaah. Tak lupa menyodorkan foto Rida dan anak-anak.“Bapak ini siapanya mereka?” tanya salah seorang pria yang dipanggil Ustaz. Wajahnya terlihat tak bisa menyembunykan kekagetan.“Saya mantan suami wanita ini, dan mereka adalah putra putri saya!”“Jadi, Anda ayahnya Azka?” tanyanya dengan nada benar-benar kaget. “Bapak kenal mereka? Tolong katakan di mana mereka, Pak. Saya mohon!”Aku terkejut mendengar pria paruh baya ini menyebut nama Azka, lalu Azkia juga Rida. Artinya dia kenal dengan orang-orang yang kucari.Tentu saja ini adalah informasi
Kata-kata pria itu lembut, tapi menusuk tepat di jantung hati. Aku tak dapat menyangkal bahwa benar Azka dan Azkia adalah tanggung jawabku. Dan kelak di akherat pasti akan dihisab terkait pengabaian ini. Makin mencengkramlah rasa bersalah dalam diri ini. Kata maaf takkan pernah menghapus kesalahan terbesar dalam hidup. Sungguh, mengapa aku bisa menjadi laki-laki bodoh hanya karena wanita busuk sejenis Ela. Mengapa mudah terpedaya oleh rayuan mautnya. “Saya berdosa Pak ustaz, saya memang jahat. Mungkin inilah sebabnya Allah belum mengizinkan saya bertemu mereka.”Kalaulah tak ingat waktu, aku masih betah di sini. Mendengarkan nasehat yang menyejukkan hati. Seakan-akan hati yang gersang ini tengah disirami oleh embun keberkahan.Aku pamit pada pria yang telah bersedia mendengarkan keluh kesah. Juga memberikan nasehat berharga yang yang menyejukkan jiwa. Inilah hikmah kedatangan ke tempat ini.Selepas pulang dari sana, aku bertekad akan terbang ke Sumatera besok. Ini adalah kesempatan
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin