Kata-kata pria itu lembut, tapi menusuk tepat di jantung hati. Aku tak dapat menyangkal bahwa benar Azka dan Azkia adalah tanggung jawabku. Dan kelak di akherat pasti akan dihisab terkait pengabaian ini. Makin mencengkramlah rasa bersalah dalam diri ini. Kata maaf takkan pernah menghapus kesalahan terbesar dalam hidup. Sungguh, mengapa aku bisa menjadi laki-laki bodoh hanya karena wanita busuk sejenis Ela. Mengapa mudah terpedaya oleh rayuan mautnya. “Saya berdosa Pak ustaz, saya memang jahat. Mungkin inilah sebabnya Allah belum mengizinkan saya bertemu mereka.”Kalaulah tak ingat waktu, aku masih betah di sini. Mendengarkan nasehat yang menyejukkan hati. Seakan-akan hati yang gersang ini tengah disirami oleh embun keberkahan.Aku pamit pada pria yang telah bersedia mendengarkan keluh kesah. Juga memberikan nasehat berharga yang yang menyejukkan jiwa. Inilah hikmah kedatangan ke tempat ini.Selepas pulang dari sana, aku bertekad akan terbang ke Sumatera besok. Ini adalah kesempatan
RIDA “Aku akan urus tiket keberangkatan ke Sumatera pekan depan. Siapkan saja barang yang akan dibawa!” terang mas Afgan sekali lagi Perkataan itu amat serius hingga tak mungkin dibilang bercanda. Lagipula lelaki ini tabiatnya memang serius. Bila memutuskan sesuatu, takkan ditarik balik. “Saya tidak ingin merepotkan Anda. Insya Allah saya bisa sendiri. Anak-anak juga akan aman terkendali,” sanggahku. Ini merupakan penolakan halus agar ia mengurungkan niat untuk mengantar. Tak mungkinlah kami pergi berduaan. Selain tak boleh, juga khawatir ada fitnah. Duh, bagaimana menjelaskannya. “Kita tidak berdua. Ajaklah Nani dan suaminya. Sampaikan pada mereka anggap liburan,” tegasnya. Aku tak merespon ucapannya sebab percuma juga menolak. Pria ini tetap akan menjalankan keputusannya. Apa yang akan dikatakan mama dan kakak-kakakku kalau melihat mas Afgan. Apalagi kisah dengan mas Adnan pun belum aku sampaikan. Bagaimana kalau mereka berpikitan negatif soal kami. Ah, kenapa jadi ribet beg
RIDA Tak selang lima menit, mama masuk ruangan. Ia langsung berlari merengkuhku. Kami pun bertangisan. “Kamu ke mana saja, Nak. Mama takut, mama bingung! Kata Adnan kalian sudah cerai dan kamu pergi!” Aku melepas pelukan mama mendengar ucapannya. Mata ini menatapnya lekat untuk meminta kepastian akan kebenaran ucapan. “Mama sudah tahu, Rida. Mama ke sana bersama bang Rano. Di sana hanya ada Adnan dan istri kurang ajarnya. Benar-benar terkutuk mereka!” Kami kembali berpelukan sambil menangis. Bahu mama sampai terguncang saking keras tangisannya. “Rida!” Bang Rano memelukku setelah mama melepaskan pelukannya. Pria itu mengelus kepala dan punggung ini. Kudengar ia pun terisak. Mungkin sangat haru adiknya kembali dengan selamat. “Sini sama nenek, Sayang!” Mama merengkuh tubuh Azka. Ia menciumi cucunya berulang-ulang. Sedangkan Azkia menolak. Ia memang belum kenal benar dengan neneknya. Setelah acara tangis-tangisan selesai, aku memperkenalkan mas Afgan, Nani dan suaminya. Mama b
ADNAN Aku yakin pria yang bertanya pada Azka adalah Afgan. Meski tak sedang menggunakan pakaian formil, raut wajah dan ketegapan tubuh menjadi bukti paling otentik. Tatapan yang ada di balik kacamata tipis itu tak tajam, tapi menyiratkan kewibawaan. Otak ini sekonyong-konyong dipenuhi banyak pertanyaan. Keadaan itu membuat makin beratlah beban organ otak menampung berbagai pemikiran. Tentang Azka dan Azkia yang seolah tak kenal padaku. Juga betapa mata Rida terang didominasi tatapan kebencian. Pertanyaan yang baru saja terbersit menjadi hilang sebab kedatangan bang Rano. Tentu hal rasional ketika pria yang memakai kaos hitam itu marah. Pastilah di dadanya tersulut api kebencian. Yang siap melumat pria menyebalkan seperti diriku. Bang Rano melesat seperti busur yang dilepaskan dari panahnya. Sekilat tercekal kerah kemejaku yang kancingnya terbuka. Dua kakiku sampai harus berjinjit sebab kerasnya cekalan. Tangannya yang terkepal di udara sudah hampir mendarat di pipi ini. Jika sa
Setelah bermenit-menit dalam kebimbangan, aku memutuskan jalan ke kanan. Ini bukan keputusan berdasarkan pada tujuan tertentu, tapi lebih pada sudah tak bisa tahan dengan sengatan matahari yang sudah mulai menunjukkan sifat aslinya, panas. Saat ada rumah makan di salah satu bagian jalan, aku memutuskan masuk ke sana. Tempatnya tak besar, tapi cukuplah dijadikan tempat perlindungan dari cuaca panas.. Aku memilih duduk di paling pojok. Di sudut ruangan ini bisa bebas melamun. Aku memang butuh menepi.sejeda dari keramaian, menikmati kesendirian. Meski ini tidak membantu menghilangkan masalah, setidaknya dapat meredakan kekacauan. Terlintas kembali kejadian di ruang Rida. Satu per satu sketsanya menyesakkan dada. Tentang kemarahan keluarga Rida, penolakan anak-anak dan tergantikannya kasih sayang mereka. Kutelungkupkan wajah di dua tangan yang disedekapkan, lalu ditaruh di atas meja. Perlahan jatuh air mata yang kini berdesakan di pelupuknya. Sesesak ini rasa yang kini hadir di dada
AFGAN Aku mendekap Azkia yang syok akibat mendengar jeritan ibunya. Anak jelita ini pun membenamkan wajah di dadaku seakan meminta perlindungan. Ia kadang menggerakkan kepala dan mengeluarkan suara agak keras, normal bagi anak yang sedang katakutan. “Sayang, gak ada apa-apa,” hiburku sambil mengelus rambut dan punggung anak ini. Tanganku sampai ikut terguncang saking kencang gerakan bahu dan bahunya. Aku juga harus menenangkan Azka. Ia sama kaget meski tak separah Azkia. Anak lelaki yang tengah bergetar ini kuajak duduk di sofa. Dalam posisi begini ia bisa menyandarkan tubuhnya pada sisi tubuhku. Kurasakan getaran di tubuh Azka. Wajarlah anak seusianya syok mendapati kenyataan yang tak disangka. Bertemu ayah yang amat dirindukan sekaligus dipersalahkan atas ketidakhadiran dalam hidupnya. Meski Azka masih pra balig, anak seusianya sudah dapat mengingat dan memahami situasi. Di kepalanya telah terkumpul memori kejadian yang menyenangkan ataupun menyakitkan. Aku mengelus punggung a
Sebelum kembali ke rumah Rida, aku mencari mini market. Dalam rangka menghibur hati dua anak Rida, aku harus membeli sesuatu. Es krim, coklat dan snack. Saat terlintas coklat aku tak bisa menahan senyuman. Rida sepertinya tak suka Azkia memakan makanan itu. Aku tahu itu karena takut bajunya kotor. Perempuan itu sangat apik. Ia tak suka ada setitik noda pun pada baju anaknya. Saking apik kadang jadi berlebihan menurutku. But, itu tak perlu diperpanjang. Namanya juga manusia, pastilah ada beda pikiran dan selera. Bagiku, sebuah perbedaan selama tak mengusik hal fundamental atau memicu kekisruhan tak perlu diperdebatkan. Hanya buang waktu dan memancing masalah jadi besar. Lebih baik fokus pada perbaikan kualitas hubungan. Membangun saling percaya dan menyamankan satu sama lain. Takkan ada kedamaian jika suami istri terlalu mengotak-atik perbedaan. Lebih baik mengikatkan diri dalam persamaan dan menghargai perbedaan. Satu hal lagi jangan terlalu menuntut kesempurnaan sebab itu hanya m
RIDA Wajahku bukan lagi menghangat mendengar tawaran mas Afgan. Bahkan, kini suhunya sudah memanas. Tanpa kupegang pun pipi ini terasa berbeda. Meski tawaran itu sedikit konyol, aku tetap saja kegeeran. Ya, memang tak mungkin malam ini melangsungkan akad nikah sebab terlalu mendadak. Orang tua juga pastilah syok atas kenekatan itu. Surat-suratnya saja belum ada karena memang belum diurus. Aku tak mau nikah siri. Inginnya resmi secara agama dan negara. Meski pun nikah siri itu sah, tetap saja tak merasa nyaman. Jaman sekarang harus hati-hati juga terkait nikah siri ini. Banyak lelaki buaya yang memanfaatkan. Ia mengiming-imingi wanita dengan seribu janji, lalu pergi tiada kabar berita lagi.. Jadi jadilah wanita itu tidak memiliki status yang jelas. Istri bukan janda pun tidak. Aku tahu Mas Afgan tidak seperti itu. Namun, sebagai orang yang pernah dikhianati aku tetap harus waspada. Apalagi lelaki ini merupakan orang kaya yang punya kuasa. Mudah baginya untuk memperdaya wanita. “K
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin