Hari ini Yanti melangsungkan pernikahan dengan mas Radit. Aku diminta menjadi salah satu bagian dari keluarga wanita. Katanya jadi adik atau kakak tak masalah. Aku tidak boleh mengurus apapun. Hanya tampil di depan dengan dandanan cetar membahana. Pakaian, clutch dan sepatu senada warnanya sudah disiapkan. Begitu juga dengan Azka dan Azkia, mereka pun didandani bak pangeran dan putri kecil. Sejak bercerai, aku tak pernah merias wajah. Rasanya tak berselera saja. Yanti kadang protes melihat tampilan kusamku. Katanya meski tak berhias, rawatlah kecantikan yang dianugerahkan Allah. Aku sih mengiyakan tanpa melaksanakan. Karena kesal, akhirnya Yanti membelikan skincare untuk perawatan. Dengan terpaksa kupakai juga seperlunya. “Seenggaknya dandanlah buat Mr Ganteng, Afgan, papi Azka dan Azkia “ goda Yanti kala itu. Aku membalas candaannya dengan cubitan kecil. Dasar Yanti, kalau sudah kumat jailnya selalu saja menghubungkanku dengan mas Afgan. Saat ini, hatiku masih beku. Rasanya kep
RIDAMas Afgan langsung menyambut uluran tangan Azkia. Ia kemudian mengecup pipi cubby putriku. “Putri Azkia cantik, deh!” pujinya. Sementara Azka tak mau lepas dari genggaman tangan satunya milik mas Afgan. Dipikir jadi seperti papa mereka saja. “Temani ke sana, boleh?” pintanya padaku. Ia mengarahkan pandangannya ke pelaminan. Aku mengiringi langkah mas Afgan. Saat mau meraih tangan Azka, anak itu menolak. Ya, ampun segitu nempelnya sama om baru dikenal. Mas afgan mengucapkan selamat dan melantunkan doa untuk pengantin. Ia bilang telah menyiapkan hadiah paket bulan madu untuk mereka. Tentu saja mata Yanti berbinar-binar. “Terima kasih, pak Afgan atas kedatangam, doa dan hadiahnya. Semoga cepat menyusul kami. Ditunggu undangannya, mba Rida!!” Sepertinya wajahku memerah kini. Kalau suhunya sih naik memang saat mendengar ungkapan mas Radit. Kenapa harua menyelipkan namaku coba. Suami istri ini memang sepertinya punya misi menyatukan kami. Harus lebih hati-hatilah pada sepak ter
AFGAN“Jadi gimana hubungan kakak sama mba Rida?” tanya Adela yang tak pernah bosan menginterogasi. Terlihat sekali rasa penasaran ibu muda ini. “His, ini gara-gara keseringan nonton gosip artis, bawaannya penasaran terus,” ledekku pada wanita yang sejak hamil dilarang terjun di perusahaan oleh suaminya. Katanya jadi ibu rumah tangga saja. Biar urusan bisnis ditangani kami. “Ini bukan gosiplah, tapi fakta, Akak!” rajuknya sambil menghalangi tanganku dari laptop. Sepertinya kalau tirak dijelaskan akan terus menganggu. Mungkin dia datang ke rumah memang niat mencari gosip ini. “Belum ada perkembangan. Rida menutup diri. Mungkin masih trauma dengan kegagalan pernikahan sebelumnya,” Adela manggut-manggut. Ia lalu mengetuk telunjuk pada bibirnya. Boal mata bergerak ke kanan dan kiri. “Wajarlah, Rida baru pisah beberapa bulan lalu. Kata temannya dia diceraikan tanpa ada kesalahan, lantas suaminya menikah lagi seminggu setelah perceraian. Nasibnya tak jauh beda denganku, dikhianati.” W
Aku terhenyak sejenak mendengar permohonan mas Afgan. Rasanya seperti sedang diserang bertubi-tubi dari arah depan. Lalu, tak sanggup melawan. Kepalaku tertunduk sebab tak sanggup bertemu pandang dengan tatapan penuh hasrat di depan sana. Jelas sekali binar cinta yang menguar dari dua bola matanya. Hati ini bahkan mampu merasakan getaran hatinya. Tak kupungkiri permohonan itu sempat melambungkan hati. Aku terbang hingga melayang. Namun, kembali menapak saat logika datang. Tak boleh, aku tak boleh semudah ini terbawa angan-angan. Ingatlah, lelaki tak bisa dipegang janjinya. Bukankah mas Adnan dulunya baik, sangat baik. Bagaimana sekarang? Nyatanya seorang pendusta. Tapi, alangkah tak elok jika langsung menolak permohonan seorang yang amat berharap. Baiknya kutunda hingga beberapa hari ke depan. Tapi lagi, bukankah mengulur-ulur juga akan membuat lebih sakit. Jika pada akhirnya tetap ditolak. Ya, Allah, hamba harus bagaimana? Keringat di telapak tanganku sudah membuat tak nyaman.
“Azka main sama om Radit, mau?” Aku buru-buru menyeka air mata saat melihat Yanti dan mas Radit datang. Aku tak ingin terlihat cengeng di sisi mereka. “Dedek Azkia sini gendong sama Tante!” tawar Yanti. Dan Azkia langsung menyambutnya. Setelah Azkia pindah tangan, aku bergegas membuat minuman untuk dua sejoli itu. Sebenarnya penasaran ada apa gerangan mereka menyempatkan diri datang. Aku berharap tak akan membahas mas Afgan. Biar saja itu berlalu. Lagipula orang itu juga tak datang lagi, kecewa dan sakit hati juga mungkin. Kuletakkan minuman dan setoples kue kering di meja depan. Lalu, memerhatikan pengantin baru itu bermain dengan anak-anak. Yanti menghentikan permainan saat melihatku berdiri di ambang pintu. Ia lalu meninggalkan mas Radit yang masih asyik bermain dengan Azka dan Azkia. “Aku dan mas Radit akan ke Surabaya selama tiga bulan. Ada urusan bisnis dengan rekan kerjanya. Doain, ya semoga sukses proyek ini!” terang Yanti setelah kami duduk di sofa. Mendengar informas
Penolakan Rida adalah pukulan telak bagi perasaanku. Jawabannya telah mampu mematah-matahkan kepingan rasa yang susah payah kususun di atas reruntuhan masa lalu. Mungkin inilah jawaban dari keraguan bahwa dirinya akan menerima proposal cinta ini. Ternyata benar adanya, Rida belum siap menjalani kehidupan pernikahan baru. Salahku juga kenapa tak peka akan trauma masa lalunya. Aku saja yang lelaki pernah patah berkali – kali, apalagi perempuan yang punya sensitifitas perasaan lebih tinggi. Pasti akan sulit bangkit dari tragedi yang menyakiti. Aku pulang dalam rasa yang kacau balau. Persis seperti kereta tabrakan. Puingnya berserakan di mana-mana. Aku butuh sedkit dan waktu untuk mengembalikan kepingan hati yang berserak. Takkan larut terlalu lama sesakit apapun dada ini. Lagu unbreak my heart mengalun di sepanjang perjalanan pulang. Bait demi baitnya bersepakat dengan kondisi hatiku kini. Jadilah alunan nadanya menghanyutkan perasaan sendiri. * “Dia masih trauma kegagalan pernika
Hari ini tepat sebulan aku tak menemui Rida. Kupikir menghindarinya akan melepas pelan-pelan rasa yang terlanjur disulam. Nyatanya tidak. Yang terjadi justru aku makin tersiksa. Tersiksa sebab rindu yang menggila. Siang tadi konsentrasiku bubar. Entah mengapa hari ini terus melintas bayangan mereka. Silih berganti hingga yang terlihat di laptop adalah senyum wanita itu dan anak-anaknya. Untung saja tak ada yang tahu bagimana kondisiku saat itu. Jika ada yang bisa menerawang pikiran pasti ditertawakan. Malam ini pun sama. Lepas makan, aku tak berselera menjamah tugas kantor yang akhirnya dibawa ke rumah. Lebih memilih duduk di balkon memandangi pekatnya malam. Di sana ada taburan bintang yang beredar mengelilingi bulan. Serupa dayang-dayang mengitari ratunya. Keasyikanku menikmati suasana malam terhenti oleh panggilan telpon. Ternyata dari Radit. Aku sengaja memberi nomor HP padanya untuk berjaga jika ada informasi penting terkait Rida. “Azka sakit, keadaannya kritis. Ia terus men
Kehadiran pria itu membesarkan hati. Dia bagai oase di padang Sahara yang sanggup menghilangkan dahaga. Aku terharu sekaligus bahagia pria ini mau datang untuk menjenguk Azka. Padahal sebelumnya jelas-jelas telah dikecewakan. “Terima kasih telah bersedia datang,” ucapku perlahan. Pria itu tersenyum seklias, lalu mengatakan akan menjaga Azka malam ini Ketika dia menyuruh istirahat, aku langsung menuruti. Seluruh tubuh ini memang sudah seperti dilempar dari ketinggian. Aku ingin merebahkan diri meski sekejap saja. * Azkia mencucurkan air mata saat melihat kedatanganku. Maklumlah sudah tak bertemu ibunya dua hari dua malam. Kuciumi ia berulang sebagai tanda sayang dan melepas kerinduan. “Maaa!” teriakmya di sela tangisan. “Iya, Sayang, ini mama!” Aku pun ikut menangis mendapati kesedihannya. Selama ini Azkia tak pernah lepas dariku sebab memang masih batita. Wajar sekarang ia sangat kehilangan. Aku menimang, menyuapi dan mengajaknya bermain untuk beberapa jam. Nanti siang akan
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin