Extra Part
"Mas, kayaknya Dedek ee deh! Dia nangis terus, sepertinya gak nyaman. Harus segera diganti popoknya, Mama gantiin popoknya ya, sayang!" ucap Nisa. Tangannya hendak membuka bedong yang menyelimuti tubuh Jannah. "Jangan, Nis! Jangan dibuka! Biar suster aja yang gantiin popoknya!" ucapku menahan tangan Nisa. "Gak apa-apa, Mas! Biar Nisa aja yang gantiin popoknya! Sekalian Nisa belajar Mas. Agar terbiasa!" "Udah gak usah! Biar suster aja yang ganti! Kamu istirahat saja, lagian kamu kan masih lemes habis operasi!" ucapku pada Nisa. Aku pun segera mengambil Jannah dari gendongannya. "Gak apa-apa, Mas! Biar Nisa aja yang ganti. Nisa gak lemes ko!" "Gak usah Nis! Kamu istirahat aja! Aku gak mau kamu kenapa-kenapa! Dokter kan sudah bilang kalau kamu gak boleh banyak gerak!" Di tengah percakapan ku dan Nisa, tiba-tiba Ibu datang menghampiri. "Ada apa"Nis, kendalikan emosimu! Jangan seperti ini. Kasian Jannah! Dia haus, Nis! Dia butuh kamu,""Nggak, Mas! Aku nggak mau anak itu! Jauhkan anak itu dari aku, Mas! Bawa dia pergi! Aku nggak mau menyentuhnya lagi!""Dasar pelacur! Rasain tuh karma untukmu! Makanya jadi wanita itu jangan kegatelan, pake selingkuh dengan mertua sendiri! Gini kan akibatnya!" Suara teriakan dari luar masih terus menggema. Rupanya Ibu-Ibu komplek ini sama sekali tidak merasa Iba pada Nisa dan bayinya."Bu, tolong bawa dulu Jannah ke kamar! Beri dulu dia air putih. Anton mau mencoba untuk menenangkan Nisa!" seru ku pada Ibu. Ia pun mengangguk mengiyakan, dan segera membawa Jannah masuk ke kamarnya."Nis, ayo berdiri! Ikut Mas ke kamar!" ucapku merangkul Nisa dan membawanya ke kamar."Minum dulu, Nis!" Ku sodorkan satu gelas air putih padanya. Ia pun meminumnya sampai habis.Nisa mulai tenang, kul
"Ya Allah, Nis! Apa yang kamu lakukan?" aku segera menghampiri Nisa dan langsung mengangkat tubuhnya yang lemas ke sofa."Bu! Ibu! Cepat keluar, Bu! Nisa terluka!" teriakku memanggil Ibu.Setelah mendengar teriakanku Ibu pun keluar dari kamar, dengan Jannah di gendongannya."Ya Allah, Anton! Nisa kenapa?" tanya Ibu panik."Anton nggak tau, Bu! Barusan Anton lihat Nisa sudah tergeletak di dapur! Sepertinya dia mau bunuh diri!" sahutku pada Ibu.Aku segera mengeluarkan sapu tangan dari saku celana. Dan langsung mengikat luka di tangannya yang terus mengeluarkan darah. Aku harus segera membawa Nisa ke rumah sakit. Sebelum semuanya terlambat.Aku menggendong tubuh Nisa, dan memasukkannya ke dalam mobil."Bu, Anton mau kerumah sakit dulu! Ibu tolong jagain Jannah! Ini susu dan dot nya. Nanti tolong buatkan susu ini kalau Jannah haus!" jelasku pada Ibu sambi
"Stop, Bu! Tolong jangan telpon Emak! Anton akan bawa pergi jannah sekarang juga! Tapi Anton mohon, Ibu jangan hubungi Emak," ucapku pada Ibu yang hampir saja menekan tombol panggil di layarnya.Ibu pun menatapku lalu berkata. "Baiklah, Anton! Ibu tidak akan menelpon Emaknya Nisa, tapi sekarang juga kamu bawa pergi anak itu dari rumah ini. Ibu nggak mau kena sial karena membiarkan anak itu tinggal dirumah kita!" Tegas Ibu padaku. Aku pun mengangguk menyetujuinya, lalu berjalan ke kamar untuk membereskan semua barang-barang milik Jannah.Lima belas menit berlalu, semua barang milik Jannah telah aku masukan ke dalam tas. Aku pun bergegas menggendong Jannah yang sedang terlelap tidur."Gimana, Anton? Kamu sudah selesai membereskan semua barang-barang anak itu?
Nisa terbaring diatas kasur dengan kaki dan tangan terikat. Siapa yang tega melakukan ini? Bahkan, selang infus di tangannya pun sudah dilepas!Aku mencoba untuk membuka pintu, tapi ruangan itu terkunci. Aku harus segera mencari dokter atau perawat. Mereka harus memberikan penjelasan padaku.Aku berlari menuruni anak tangga, berteriak memanggil dokter dan perawat. Tak lama kemudian, dokter Tiara datang menghampiri ku."Pak, Anton! Syukurlah Bapak segera datang!" ucapnya seolah tidak terjadi apa-apa dengan Nisa."Dokter! Tolong jelaskan pada saya, kenapa Nisa dipindahkan ke lantai tiga? Terus kenapa kaki dan tangannya di ikat? Dia bukan pasien gangguan mental, dokter! Kenapa anda memperlakukan seperti pasien yang memiliki gangguan jiwa?" ucapku memberondong pertanyaan pada dokter berambut pirang ini."Tenang dulu Pak Anton! Saya bisa menjelaskan semuanya!" jawabnya berusaha menenangkanku ya
"Maafkan saya, Suster! Saya tidak bisa melakukannya!" ucapku membuat suster muda itu bingung."Maksud Bapak?" tanya ia heran."Iya, Sus! Sebenarnya--saya dan dia sudah resmi bercerai! Kami sudah bukan suami istri. Jadi--saya tidak bisa membantunya melakukan itu. Kalau suster tidak keberatan, saya minta tolong biar suster saja yang membantu memompa ASI nya!" jelasku padanya."Oalah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu jika Bapak dan Ibu adalah mantan suami istri! Kalau begitu, biar saya bilang dulu sama dokter Tiara. Siapa tau dokter Tiara punya obat penghilang nyeri atau obat penenang untuk Ibu Nisa!""Baik, Sus! Silakan!""Kalau begitu, saya
Emak terus berderai air mata, ia tampak begitu sedih."Mak … Emak nggak perlu sedih seperti ini! Emak nggak perlu meratapi kepergian Bapak!" ucapku pada Emak. Seketika Emak menatapku dengan heran."Maksud Nak Anton apa? Kenapa kamu bicara seperti itu, Nak?" sahut Emak bingung."Bapak bukan orang baik, Mak! Dia tidak seperti yang Emak kira!" Aku berusaha menjelaskan lagi, walau sepertinya Emak masih belum paham karena aku belum menceritakan semuanya."Emak semakin tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Nak! Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu pada Bapakmu?""Mak, bisa kita bicara berdua saja? Anton tidak enak jika o
Para perawat pria dibantu oleh security berusaha untuk mengambil gunting bedah di tangan Nisa. Sedangkan perawat wanita dan dokter lainnya membantu mengangkat Emak dan memindahkannya ke atas brankar.Emak tampak begitu kesakitan, darah mulai terlihat keluar di area perutnya yang terluka. Dengan sigap para dokter dan perawat yang membantu Emak membawanya ke ruang tindakan.Mereka berlarian menuju jalan alternatif khusus untuk membawa kursi roda dan brankar rumah sakit.Aqila langsung menangis melihat Emaknya terluka. Mereka berdua berlarian mengejar para perawat yang membawa Emak."Maaf Pak Anton! Kami harus memindahkan Ibu Nisa ke ruang isolasi. Psikologisnya benar-benar tidak stabil. Sudah d
Matahari sudah muncul ke permukaan, waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku bergegas keluar dari kamar, bersiap untuk sarapan pagi."Loh, ko' kamu yang nyiapin sarapannya, Lis? Mbok Darmi kemana?" tanyaku pada Sulis yang sedang sibuk menata sarapan di meja makan."Mbok Narmi lagi nggak enak badan, Pak! Jadi, biar saya saja yang menyiapkan sarapan untuk Pak Anton dan Tuan besar!""Memangnya Wati kemana? Dia juga sakit?" ucapku menanyakan asisten rumah tangga yang lainnya."Tidak, Pak! Mbak Wati sedang beres-beres di dapur!" sahut Sulis, tangannya dengan cekatan menata setiap menu di meja."Ya sudah, kalau tugasmu sudah beres, kamu segera kembali ke kamar! Kamu harus fokus jagain Jannah. Saya tidak mau dia kenapa-kenapa! Tugas kamu disini 'kan sebagai pengasuhnya Jannah! Jadi sebaiknya tidak usah mengambil pekerjaan lain selain jagain Jannah!" jelasku padanya. Sulis pun mengangguk mengiyakan.Suli